Update Bibliography & Amal Jariyah Pustakawan (2-habis)




Jadi, aktivitas meremajakan data pustaka itu isinya ngapain aja si? Jawabannya kira-kira begini... 

#1 hal teknis: Langkah pertama yang harus dilakukan dalam agenda UB adalah, tentu saja, memindahkan buku dari rak tandon ke meja kerja. Ini bisa dilakukan secara mandiri atau nebeng ke teman lain yang sedang melakukan aktivitas tersebut. Aku pribadi jarang sekali mengambil buku dari rak tandon. Selain karena males bergerak dan bertanya rak mana yang masih belum tersentuh, ada semacam kesepakatan tak tertulis bahwa tugas semacam itu sudah di-handle orang-orang tertentu. Biasanya nggotong buku pakai tangan, kalau tidak ya trolley. Bukan trolley belanja sih.

#1 hal non-teknis: Selain soal ruangan utama yang sebenarnya kurang ideal karena hanya memungkinkan, mentok, lima orang dengan masing-masing satu set computer, AC di ruangan tersebut juga antara on dan off yang intinya kurang bisa memberi nuansa sejuk di ruangan. Ini tentu cukup mengganggu tapi lama-lama, terasanya sudah biasa dan tidak begitu membuat sowap. Setidaknya bisa jadi pemanasan menyambut semester baru bulan depan kalau kemudian tidak sengaja dapat kelas yang AC-nya nyala tapi tidak mendinginkan udara.

#2 hal teknis: Setelah buku di tangan, pustakawan akan mencari rekaman data buku tersebut di sistem. Cara termudahnya adalah dengan menggunakan penelusuran berdasarkan kata kunci. Memasukkan kata kunci tertentu di search box atau kotak pencarian. Bisa nama pengarang, judul buku, dan info-info lain. Namun, pilihan pertama ini tak selalu berhasil karena seringkali ada ketidaksesuaian antara data yang tertulis di buku dan tercatat di sistem.  Solusinya adalah menggunakan nomor barkod (kode batang, asline artinya) yang tertera di sampul belakang buku. Kode ini biasanya terdiri dari tahun buku tersebut dientri ke sistem kemudian dirangkai langsung dengan semacam nomor urut di antara buku-buku lain yang juga ‘seangkatan’. Ada juga nomor barkod yang tidak demikian dan ini biasanya ditemukan di buku-buku yang masuk perpus lebih awal. Solusi ini adalah solusi semi terakhir sebab jika ada buku di rak tandon yang datanya tidak direkam di sistem, maka solusi terakhirnya adalah.. ENTRI BARU. Dan percayalah, nyunting/ngubah entri lebih bikin baper dibanding bikin entri baru. Apa pasal? Next di point ketiga. 

#2 hal non-teknis: Mengingat pekerjaan semacam ini adalah kerja otot yang sedikit sekali melibatkan otak, maka, untungnya, aku bisa tetap bekerja meski nyambi melakukan hal-hal lain yang biasanya kuanggap mengganggu, semisal ngobrol hingga dengerin musik. Dua aktivitas ini, selain mengunyah makanan ringan atau sarapan buah, justru merupakan pendukung utama lancar dan suksesnya proses penyuntingan sekaligus peremajaan info buku yang entah kapan berakhirnya itu.

#3 hal teknis: Sebagian besar kegagalan pencarian data buku disebabkan oleh yang namanya salah ketik atau typo, istilah kerennya. Karena itu, mereka yang mengentri data harus jeli dan teliti memasukkan kata kunci seperti yang tertulis plek di buku. Mau tulisan itu menyalahi EYD atau ngga, taklid yang demikian harus tetap dilakukan. Jika sudah bertaklid namun belum mendapatkan hasil yang diinginkan, maka yang bersangkutan bisa melacak kata-kata yang dianggap rentan ditulis dengan ejaan yang salah. Perihal Muhammad pakai U atau O, disingkat pakai titik atau tidak, dan lain sebagainya, harus masuk di list pertimbangan si pengentri data. Proses awal ini cukup menentukan proses-proses selanjutnya sebab jika data buku mudah dan segera ditemukan, semangat untuk menyelesaikan tugas entri satu buku akan meletup sehingga pekerjaan juga akan cepat selesai. Dan begitu juga, tentu, sebaliknya. Ketika data yang diinginkan tidak muncul-muncul juga, lelah yang awalnya kecil jadi terasa mengembang seketika. 

#3 hal non-teknis: as the time goes on, semua seperti mulai menemukan zona nyamannya masing-masing. Ruang utama biasanya diisi oleh orang yang itu-itu aja. Salah satunya aku. Bahkan posisi kursinya juga tidak banyak berubah dari hari ke hari. Selain itu, spot lain adalah di ruang admin. Di sini ada dua set komputer, dan lainnya adalah di BI Corner. Karpet yang terhampar memungkinkan spot ini diisi banyak orang, meski hanya ada dua set computer. Sebagian penghuni spot ini biasanya membawa laptop/notbuk pribadi sehingga bisa lebih fleksibel kerjanya. Spot lain yang juga adalah pilihan terakhir adalah di ruang kepala. Di situ ada meja oval panjang gede dengan beberapa kursi dan sekian set computer. Uniknya, hanya Bu Zaki yang betah—dan mau—melakukan tugas dari ruangan sakral itu. :) 

#4 hal teknis: Sejak awal kami menyepakati beberapa hal, salah satunya adalah perihal tata cara penulisan judul. Judul utama ditulis menggunakan huruf kapital, sedang anak judul atau subjudul menggunakan title case alias kapital hanya di awal kata saja, kecuali kata sambung. Nah di lapangan, kami kerap kebingungan menentukan mana judul utama dan anak judul karena tampilan sampul biasanya dibikin menarik dan meningkatkan penjualan. Untuk menentukan dua hal tersebut, kami harus membuka halaman identitas buku dan kadang kala menemukan perbedaan-meski tidak esensial—antara yang tertulis di situ dan di sampul. Ketika ini terjadi, biasanya kami lebih berpijak pada halaman di identitas buku. 

Jika sebuah judul utama memiliki anak judul, maka kami harus menambahkan titik dua setelahnya. Setelah pungtuasi itu, jelas ada spasi. Tapi soal apakah sebelum meletakkan titik dua tersebut juga harus ada spasi atau tidak, itu masih menjadi pertanyaan pribadi yang belum sempat tak lontarkan pada siapapun. Tapi biasanya, aku tidak membubuhkan spasi sebelum menulis titik dua demi alasan lebih enak dilihat dan tidak kelihatan too crowded. Ini baru lika-liku judul. Apa cukup di sini? Ternyata tidak.  

#4 hal non-teknis: Yang juga menyedihkan, tapi sekaligus mendukung kinerja adalah sinyal waifai yang tidak maksimal sampainya ke ruang P2SAD. Jadi selama di sana, aku dkk hanya bisa memanfaatkan internet dari computer yang kami pakai. Dengerin musik fesbukan sambil sesekali baca artikel di situs-situs populer yang tidak memerlukan kerja otak yang serius. Sayangnya, kami tidak bisa on di Whatsapp web dengan jaringan waifai dan harus menggunakan paket data. Ini berbeda dengan spot-spot lain yang terjangkau jaringan waifai dengan aman dan leluasa.

#5 hal teknis: Seringkali, kami kebingungan dan harus melakukan ijtihad ilmiah ketika berhadapan dengan buku-buku berbahasa Arab. Sebagian buku berbahasa Arab tidak menaruh harakat termasuk di bagian sampul. Untuk judul, kami masih bisa meminta petunjuk dari barkod belakang buku yang selain berisi kode batang serta nomor inventaris, juga menyebut judul kitab/buku sesuai dengan yang tersimpan di sistem (terentri sebelumnya). Sayangnya, tidak semua judul yang terlanjur direkam sistem sesuai dengan judul yang sebenarnya—menurut ijtihad terbaru—sehingga ketika ini terjadi, kami harus menentukan akan mengikuti data lama yang dianggap keliru atau membuat data baru yang tampak lebih benar. Persoalan semacam ini biasanya mblunder  pada kata-kata yang berawal alif lam alias al, baik al syamsiyah atau al-qamariyah. Jika ada buku berjudul Al-Maharat al-Ammah fi Ilmi Al-Nahwi dan di data lama terlanjur disebut bahwa judul berawalan huruf A sedang menurut ijtihad belakangan dianggap huruf M-lah inisialnya (ini juga akan berefek dan tampak pada nomor panggil), maka di sinilah kebingungan akan terjadi. Sebagian dikonsultasikan pada yang dianggap lebih tahu persoalan ini dan sebagian lain di-skip berdasarkan ijtihad pribadi demi efisiensi waktu.

#5 hal non-teknis: Dalam proses ini, ada kalanya, dan bahkan sanga sering, di awal-awal, kami menemukan kebuntuan. Banyaklah kasusnya. Mulai dari buku yang tidak ditemukan datanya, ketidaksesuaian data yang sudah terlanjur direkam sistem dan atau ditempel di buku yang bersangkutan dengan yang seharusnya, kesulitan menentukan mana yang harus ditulis di kolom mana, dan lain sebagainya. Mengatasi hal ini, kami semua memiliki, sekali lagi, aturan tak tertulis bahwa tempat kami berkonsultasi adalah Bu Naili. Pengaduan dari sana-sini yang datang tiap hari membuat ibu tiga anak tersebut dijuluki—sekaligus menjuluki dirinya sendiri—sebagai pegadaian karena berslogan, menyelesaikan masalah tanpa masalah. Bu Naili sendiri, ketika mengalami kebuntuan, akan berkonsultasi kepada Bapak Syakur, kepala perpustakaan kami. Jadi demikianlah hirarkinya. Above all, sebenarnya, konsultasi adalah jalan terakhir ketika ijtihad pribadi kami tidak membuahkan hasil selain keraguan.

#6 hal teknis: Setelah judul ditemukan lalu dipastikan penulisannya bebas dari typo maupun  aturan penulisan huruf kecil dan besarnya, kami akan beralih pada bagian selanjutnya, yakni Pengarang. Bagian ini terintegrasi dengan menu lain dalam Slims, yakni Master File. Jadi seluruh pengarang yang bukunya masuk dalam sistem kami, supposed to be, terdaftar dalam menu ini. Eh FYI dulu, yang ada di Master File tidak hanya pengarang, tapi juga beberapa submenu lain termasuk penerbit, kota terbit, tema dan lain-lain. Nah jadi, setelah data nama seorang pengarang masuk di Master File, maka ia secara otomatis akan muncul di menu Nama Pengarang begitu beberapa huruf awal namanya diketikkan. Masalahnya, ada banyak sekali data nama pengarang yang tidak ditulis seperti seharusnya. Kasus paling banyak adalah seluruh huruf dalam nama diketik dengan huruf kapital. Kasus kedua adalah nama yang dibalik seperti penulisan dalam daftar pustaka. Kasus lain adalah gelar yang dimasukkan dan masih banyak lainnya. Nah, jika ada kesalahan penulisan dalam nama pengarang ini, maka pengentri tak bisa begitu saja melakukan perubahan seperti dalam kolom judul. Ia harus balik dulu ke Master File sehingga, demi alasan efektivitas, seorang pengentri disarankan membuka dua tab di layarnya. Satu untuk data bibliografi dan yang lain untuk Master File.

#6 hal non-teknis: Meski tak tiap hari, kami sering dimanjakan oleh bendahara dengan camilan-camilan yang sengaja dibeli untuk menunjang kerja dan kiner UB ini. Biasanya camilan atau kudapan ini akan diatur beragam dengan tujuan tak membosankan. Jadwal distribusinyapun hampir selalu bisa dipastikan, yakni setelah jam istirahat. Jadi, bisa dipastikan, jika abis istirahat kami tidak balik ke kampus/perpus tepat waktu, maka alamat akan tidak kebagian ataupun kalaupun masih, tidak seleluasa para early birds. Entah alasan teknis operasional atau pertimbangan lain, timing yang demikian sebenarnya sangat tepat karena, to be honest, kuantitas personil setelah jam istirahat biasanya tidak sebanyak jam pagi, termasuk semangat juang dan kerjanya. Balik ke kampuspun tidak seontaim pagi karena tidak ada ceklok ketiga setelah istirahat kelar. #eh  

#7 hal teknis: Another information to take a note adalah bahwa dalam kolom pengarang, ada banyak item yang bisa dimasukkan. Pengarang (utama dan tambahan), penerjemah, penyunting, direktur, produser, penggubah, ilustrator, pencipta dan kontributor. Yang paling sering disebut ya pengarang utama. Penerjemah dan penyunting hanya dalam sebagian keadaan, tidak semua. Aku pribadi, jika menemukan data nama penyunting atau penerjemah yang salah penulisannya, lebih memilih untuk delete it right away dibanding harus ke menu Master File dulu. Miris sih, karena kerjaan editor dan penerjemah itu jauh dari kata mudah. Tapi ya, kalah sama lelahnya.

#7 hal non-teknis: Aku lupa tepatnya tapi sependek yang dapat kuingat, di tengah-tengah proses UB, kami kedatangan bala bantuan dari SMK yang memercayakan enam siswanya untuk magang di tempat kami. Jadilah, Pak Faruk yang awalnya harus sendirian memindai semua buku dari beberapa spot UB, patut berbahagia karena anak-anak magang tersebut langsung distaffkan untuk membantunya.

#8 hal teknis: Masih di soal penulisan nama pengarang. Buku keroyokan tak jarang ditemui dalam proses UB ini dan aturan yang berlaku adalah demikian: Jika penulisnya tiga orang, maka ketiga-ketiganya, harus ditulis. Namun jika lebih dari tiga, maka diwakilkan oleh seorang penulis yang namanya disebut pertama lalu ditambah dengan keterangan DKK alias dan kawan-kawan. Aku beberapa kali menembahkan atau menyunting data di Master File dengan membubuhkan tiga huruf ini meski kadang bingung soal pungtuasi. Apakah sebelum dkk membutuhkan koma dan setelahnya membutuhkan titik. Sayangnya aku tidak bertanya dan lebih memilih ijtihad pribadi sebagai rujukannya.

#8 hal non-teknis: Nyaris separuh perjalanan bulan Januari di mana UB adalah agenda terbesar dan paling dominan di antara kegiatan-kegiatan lain, aku merasa energiku cukup terkuras. Rasanya harus makan lebih banyak untuk bisa konsentrasi dan menjaga endurence di tengah kebosanan yang rasanya semakin menumpuk seperti buku-buku yang tiap hari hanya bisa kami bolak-balik lalu taruh di tempatnya untuk menjalani proses lanjutan. Monoton seperti itu rasanya menakutkan. Untuk menyiasati keadaan, aku membawa headset dari rumah yang kucolokin di computer begitu work time starts. Jadi, selain nyemil dan ngobrol, aku bisa merasa pura-pura dan seolah-olah tengah karaoke meski di tengah jam kerja. Efek negatifnya ya aku merasa asosial dan seringkali ketinggalan berita, hanya karena kupikir efek positifnya lebih besar, I keep doing it. Kupastikan saja suaraku tidak terlalu nyaring ketika bersuara sebab biasanya, ketika telinga ketutupan alat semacam itu dan suara yang masuk focused, nada suara dari mulut biasanya lebih kenceng dari biasa kaya lagi ngomong dengan orang yang mengalami gangguan pendengaran.

#9 hal teknis: Barangkali, ini adalah item terakhir soal penulisan nama pengarang. Di buku-buku tertentu, ada kalanya yang ditulis di sampul depan hanyalah nama terakhir dari si pengarang. Biasanya buku berbahasa Inggris yang masih tampak tak tersentuh. Jadi misalnya, nih, nama pengarangnya Harry James Potter, maka yang tertulis di sampul depan adalah Potter. Nama lengkap si penulis baru ditulis pada halaman dalam. Jika bertemu dengan buku kaya gini, aku bela-belain bolak-balik ke Master File untuk membubuhkan nama lengkap pengarangnya. Selain alasan profesionalitas, ini juga aku niatkan untuk mengapresiasi kerja si penulis, selain pertimbangan bahwa nama belakang yang sama bisa dimiliki oleh banyak sekali orang.

#9 hal non-teknis: Selain camilan resmi dari kantor, buah yang tak bawa dari rumah, meja kami juga nyaris tidak sepi dari asupan lain. Yang paling pasti adalah minuman.  Bu Naili biasanya ditemani kopi panas, Bu Enni dan aku air putih dari botol Tupp*rwar* kami masing-masing, Pak Roviki dengan air dalam botol kemasan, dan entah kalau Pak Habi dan Bu Zaki, aku lupa. Demikian seterusnya pemandangan ini takes place, mungkin di spot lain juga begitu. Aku pribadi merasa tanpa asupan air yang kuteguk sedikit-sedikit namun sering, kerjaan UB tak akan berjalan lancar. Ada juga di antara kami, biasanya Pak Roviki dan Bu Enni, yang sering membawa camilan untuk disantap bersama. Kalau sudah begini, rasanya kerjaan lebih ringan meski kadang melihat tumpukan buku saja sudah melelahkan, membayangkan detik-detik yang terasa lambat ketika memrosesnya satu persatu.  

#10 hal teknis: Setelah kolom Pengarang, ada kolom Pernyataan Tanggungjawab yang biasanya di-skip. Di bawahnya, ada kolom Edisi yang biasanya juga tak skip kareka aku masih bertanya-tanya whether edisi sama dengan cetakan. Hanyasaja, kalau ada yang terdata edisi revisi, aku biarin gitu. Kupikir ini terprovokasi dari keterangan dari sampul depan. Baru kalau ada data yang aneh-aneh, semisal EDISI ASLI, aku tak ragu menghapusnya. Apaan sih, maksudnya. Emang ada edisi asli, edisi KW, edisi repro, gitu?  

#10 hal non-teknis: Alasan lain mengapa aku membawa dan menggunakan headset adalah karena masing-masing kami memiliki selera yang tidak sama. Satu ingin dengerin ceramah, satunya solawat, ada yang reggae Malaysia, dangdut koplo, Standup Comedy dan seterusnya. Sementara itu, kami sama-sama bosan, cape, dan rasanya ingin leyeh-leyeh lalu ke tukang pijat tapi sadar bahwa pekerjaan ini begitu penting dan tidak bisa ditinggalkan. Dalam keadaan semacam ini, untuk melemaskan otot dan otak, audio dan visual dari yutub atau laman lain adalah andalan. Namun, kadang kala, satu atau dua computer ‘berbunyi’ dalam saat yang sama dan alih-alih menjadi harmoni, kedengarannya malah sumbang dan potensial worsen the boredom. Solusi sehatnya, dengerin lewat headset. Kerjaan selesai dan sekali-kali bisa tetap ikutan ngobrol atau dengerin suara dari home computer.

Foto: Dokumentasi pribadi
Caption: Ketika dunia terasa sesempit layar ini