Penerjemah: Masyithah Mardhatillah


Dalam sebuah wawancara dengan Courier UNESCO, Yuval Noah Harari, ahli sejarah Israel dan penulis Sapiens, Homo Deus serta 21 Lessons for the 21st Century, menganalisis berbagai konsekuensi dari krisis kesehatan Covid-19. Ia juga menggarisbawahi kebutuhan akan kerjasama ilmiah internasional dan keterbukaan informasi antarnegara.

Apa bedanya pandemi kesehatan global yang saat ini tengah kita hadapi dengan krisis-krisis kesehatan yang sudah pernah terjadi? Apa pula yang sebenarnya ingin ditunjukkan pandemi satu ini?

Saya tidak yakin pandemi ini merupakan ancaman kesehatan terparah yang pernah kita hadapi. Epidemi influenza pada 1918-1919 tampaknya lebih buruk, epidemi AIDS juga mungkin demikian. Begitu juga dengan beberapa pandemi terakhir yang tentunya jauh lebih mengkhawatirkan. Di antara pandemi-pandemi tersebut, pandemi inilah yang terbilang jinak. Pada awal dasawarsa] 980-an, jika Anda terkena AIDS, Anda akan meninggal dunia. Black Death (Kematian Hitam, wabah yang menyerang Eropa antara 1347-1351) membunuh sekitar seperdelapan dari populasi terdampak. Sementara itu, wabah influenza pada 1918 membunuh lebih dari 10 persen populasi di beberapa negara. Sebaliknya, Covid-19 membunuh tak lebih dari 5 % di antara pasien yang terinfkesi dan jika mutasi yang mengerikan tidak terjadi, rasanya virus ini tidak akan mampu membunuh lebih dari 1% populasi negara manapun. 

Apalagi, berbeda dengan masa-masa sebelumnya, saat ini kita memiliki seluruh pengetahuan ilmiah dan perangkat teknologi yang dibutuhkan untuk mengatasi wabah ini. Ketika Black Death terjadi, masyarakat benar-benar tak berdaya. Mereka tidak pernah mengetahui apa yang tengah mengancam di depan mata dan bagaimana harus menghadapinya. Pada 1348, Fakultas Kesehatan Universitas Paris meyakini bahwa epidemi tersebut disebabkan kesialan astrologi—yakni gesekan besar antara tiga planet di Aquarius yang menyebabkan pencemaran udara mematikan (dikutip dalam Rosemary Horrox (peny). The Black Death, Manchester University Press, 1994, h. 159). 


Sebaliknya, ketika Covid-19 merebak, para ilmuwan hanya membutuhkan waktu dua pekan untuk bisa mengenali persis virus yang bertanggungjawab di balik epidemi ini, merangkai seluruh genomnya dan mengembangkan uji coba penyakit terpercaya. Dari situ, kita semua jadi tahu apa yang harus dilakukan untuk menghentikan penyebaran pandemi ini. Sepertinya dalam satu atau dua tahun ke depan, kita juga akan memiliki vaksin penyakit ini.

Namun demikian, Covid-19 bukan saja merupakan krisis kesehatan. Ia juga mengakibatkan krisis ekonomi dan politik yang luar biasa. Dibanding virus yang menyebabkan wabah ini, saya lebih mengkhawatirkan iblis dalam diri manusia: kebencian, ketamakan dan kebodohan. Jika masyarakat menyalahkan orang lain atau kelompok minoritas atas terjadinya epidemi ini; jika bisnis yang serakah hanya mementingkan keuntungan yang akan diraupnya; dan jika kita mempercayai semua ragam teori konspirasi—epidemi ini akan semakin sulit diatasi. Tak sampai di situ, masa depan kita juga akan diracuni dengan kebencian, ketamakan dan kebodohan semacam ini. Sebaliknya, jika kita menyikapi epidemi ini dengan solidaritas global dan kedermawanan serta lebih mempercayai ilmu pengetahuan dibanding teori-teori konspirasi, saya yakin kita tidak hanya akan dapat mengatasi dan melewati krisis ini dengan baik, akan tetapi juga menjadi pribadi yang lebih kuat begitu pandemi ini berakhir. 

Dalam hal apa penjarakan sosial bisa menjadi norma? Efek apa pula yang akan terasa di masyarakat?


Selama krisis ini terjadi, penjarakan sosial menjadi tak terhindarkan. Virus ini menyebar dengan mengeksploitasi insting terbaik kita sebagai manusia. Kita adalah mahluk sosial yang suka melakukan kontak dengan orang lain, utamanya di waktu-waktu sulit. Ketika para kerabat, sahabat dan tetangga sedang sakit, kita akan merasa kasihan dan segera berkunjung untuk membantu mereka. Inilah yang digunakan virus Corona untuk menyerang kita. Begitulah persisnya ia menyebar. Karena itu dalam bertindak, kita harus  mengedepankan pikiran dibanding perasaan dan terlepas dari semua kesulitan yang ada, kita harus mengurangi kontak satu sama lain. Jika virus adalah kepingan genetik yang tak bisa berpikir, kita manusia memiliki pikiran untuk menganalisis situasi apapun secara rasional kemudian menentukan tindakan yang akan diambil. Saya pribadi percaya bahwa begitu krisis ini berlalu, tidak akan ada efek jangka panjang apapun terkait insting dasar kita sebagai manusia. Kita akan tetap menjadi mahluk sosial. Kita masih akan senang melakukan kontak dengan sahabat dan keluarga serta saling berkunjung dan membantu satu sama lain. 


Ingat, misalnya, apa yang terjadi pada komunitas LGBT begitu wabah AIDS muncul. AIDS adalah epidemi yang menakutkan, dan kaum gay seringkali diabaikan sepenuhnya oleh pemerintah. Namun demikian, epidemi tersebut tidak menyebabkan disintegrasi dalam komunitas ini. Yang terjadi jusrtu sebaliknya. Ketika krisis memburuk, para sukarelawan LGBT mendirikan beberapa organisasi baru untuk membantu orang-orang sakit dan menyebar informasi yang bisa dipercaya sembari memperjuangkan hak politiknya. Pada dasawarsa 1990-an, setelah tahun-tahun terburuk karena epidemi AIDS berlalu, komunitas LGBT di beberapa negara justru jauh lebih kuat dibanding sebelumnya. 

Bagaimana pandangan Anda seputar kerjasama ilmiah dan keterbukaan nformasi antarnegara setelah krisis ini selesai? UNESCO dibentuk setelah Perang Dunia Kedua untuk mempromosikan kerjasama ilmiah dan intelektual melalui prinsip kebebasan berpendapat. Bisakah ‘kebebasan’ ini dan kerjasama antarnegara diperkuat sebagai hikmah dari krisis ini? 

Kelebihan utama kita dibanding virus adalah kemampuan bekerjasama dengan efektif. Virus di China dan Amerika tidak dapat bertukar tips bagaimana menyerang manusia. Namun begitu, Tiongkok dapat mengajari Amerika berbagai hal tentang virus ini dan bagaimana mengatasinya. Lebih dari itu—Tiongkok bisa langsung mengirim ahli dan peralatan kesehatan untuk membantu Amerika, sementara Amerika pun juga dapat melakukan hal yang sama untuk membantu negara-negara lain. Virus tak bisa melakukan hal demikian. 

Di antara berbagai bentuk kerjasama, kerjasama dalam berbagi informasi barangkali merupakan bagian terpenting, sebab Anda tidak bisa melakukan apapun tanpa informasi yang akurat. Anda tidak dapat mengembangkan obat-obatan dan vaksin tanpa informasi terpercaya. Bahkan, isolasi yang kita jalani juga bermula dari informasi. Jika Anda tidak memahami bagaimana cara virus ini menyebar, mana mungkin Anda dapat meyakinkan masyarakat untuk mengkarantina diri dalam rangka memerangi virus ini? 

Apalagi, isolasi melawan AIDS, misalnya, sangat berbeda dengan isolasi melawan Covid-19. Dalam isolasi menghindari AIDS, Anda harus menggunakan kondom ketika berhubungan seksual sementara kontak langsung, mengobrol, hingga bersalaman atau memeluk penderita AIDS tidak menimbulkan masalah atau risiko apapun. Namun demikian, Covid-19 sama sekali berbeda. Untuk mengetahui bagaimana cara tepat mengisolasi diri dari epidemi tertentu, hal pertama yang Anda butuhkan adalah informasi terpercaya soal penyebab epidemi. Apakah virus atau bakteri? Apakah menular melalui darah atau nafas? Apakah membahayakan anak kecil atau lansia? Apakah hanya ada satu jenis keturunan virus, atau beberapa mutan?

Pada tahun-tahun belakangan, para politisi otoriter namun terkenal berupaya sedemikian rupa tidak hanya untuk menghalangi laju informasi yang melimpah, namun juga untuk meruntuhkan kepercayaan publik terhadap ilmu pengetahuan. Beberapa di antara politisi tersebut menggambarkan ilmuwan sebagai kaum elit yang jahat dan jauh dari ‘masyarakat’. Mereka memperdaya para pendukungnya untuk tak lagi mempercayai apa yang dikatakan ilmuwan soal perubahan iklim bahkan vaksinasi. Harusnya, masa krisis semacam ini dapat membuka mata siapapun betapa bahayanya pesan-pesan populis semacam itu. Di masa krisis, kita begitu membutuhkan keterbukaan informasi seluas-luasnya. Kita juga harus mampu meyakinkan masyarakat untuk lebih mempercayai ilmuwan dibanding pemimpin politik. 

Untungnya pada masa darurat ini, sebagian besar pihak tampak begitu mengandalkan ilmu pengetahuan. Gerja Katolik memerintahkan jemaatnya untuk menjauhi gereja. Israel menutup sinagog. Republik Islam Iran menghukum masyarakat yang mengunjungi masjid. Candi-candi dan semacamnya menangguhkan upacara-upcara publik. Semua terjadi karena para ilmuwan membuat kalkulasi dan rekomendasi untuk menutup tempat-tempat suci tersebut. 

Saya berharap masyarakat akan selalu mengingat pentingnya informasi ilmiah yang terpercaya bahkan setelah krisis ini berlalu. Lebih jauh, jika kita ingin mendapatkan informasi ilmiah terpercaya dalam masa-masa krisis apapun, kita harus berinvestasi pada sektor ini jauh-jauh hari di waktu normal. Informasi ilmiah tidak begitu saja turun dari langit atau bersemi sedemikian rupa dari dari kepala orang-orang genius. Ia  sangat bergantung pada lembaga-lembaga otonom yang kuat semisal kampus, rumah sakit dan surat kabar. Lembaga-lembaga tersebut harusnya tidak hanya melakukan penelitian untuk menemukan kebenaran, akan tetapi juga dapat dengan bebas menyajikan informasi apapun pada masyarakat tanpa takut dihukum oleh pemerintah otoriter. Butuh sekian tahun untuk membangun lembaga-lembaga semacam ini, namun kehadirannya demikian berharga. Negara yang menyediakan pendidikan yang baik kepada warganya melalui lembaga-lembaga mandiri yang kuat akan dapat menghadapi epidemi apapun jauh lebih baik dibanding pemerintah diktator yang brutal dan hanya bisa mengawasi warganya yang tidak tahu apa-apa. 

Contoh kecilnya adalah soal bagaimana Anda dapat membuat jutaan orang mau mencuci tangan dengan sabun setiap hari. Cara pertama adalah dengan menempatkan polisi atau mungkin kamera di setiap toilet lalu menghuum siapapun yang tidak mencuci tangan. Cara lainnya adalah mengajari siswa di sekolah soal virus dan bakteri, menjelaskan bahwa sabun dapat membuang atau membunuh berbagai patogen tertentu dan meyakini bahwa masyarakat dapat mengambil keputusan yang tepat. Menurut Anda, metode mana yang lebih efisien? 

Seberapa penting negara-negara di dunia harus bekerjasama satu sama lain dalam menyebarkan informasi yang terpercaya?

Negara-negara harus berbagi informasi terpercaya tidak hanya soal isu-isu kesehatan, akan tetapi juga isu-isu lain—dari dampak ekonomi krisis ini hingga kondisi psikologis masyarakatnya. Katakan misalnya negara X tengah berdebat soal kebijakan lockdown jenis apa yang akan diterapkan. Harusnya, negara tersebut tidak hanya mempertimbangkan soal penyebaran virus, akan tetapi juga akibat ekonomi dan psikologis dari lockdown yang akan diberlakukan. Dalam hal ini, negara-negara lain sudah pernah menghadapi dilema serupa dan mencoba kebijakan yang berbeda-beda. Daripada bertindak murni berdasarkan spekulasi dan mengulang kesalahan lama, negara X tersebut dapat mengkaji konsekuensi nyata dari perbedaan kebijakan lockdown yang diambil Tiongkok, Korea, Swedia, Italia dan Inggris. Dari situlah sebuah keputusan yang lebih tepat dapat dihasilkan. Ini hanya mungkin terjadi jika negara-negara yang sudah mengalami hal tersebut mau dengan jujur membagika informasi tak hanya soal jumlah warga yang sakit dan meninggal dunia, akan tetapi juga apa yang terjadi pada kehidupan ekonomi hingga kesehatan mental warganya. 

Munculnya AI dan kebutuhan akan solusi teknis telah menuntun berbagai perusahaan swasta bergerak maju. Dalam konteks ini, masihkah mungkin mengembangkan prinsip etika global dan memulihkan kerjasama internasional?

Seiring dengan keterlibatan perusahaan swasta, kebutuhan untuk membuat prinsip-prinsip etis global dan memulihkan kerjasama internasional semakin terasa. Beberapa perusahaan swasta mungkin lebih terdorong alasan keuntungan dibanding solidaritas, sehingga harus ada aturan cermat terkait ini. Apalagi, mereka yang cenderung berlagak baik ini tidak harus bertanggungjawab secara langsung kepada publik, sehingga memberi mereka terlalu banyak akses dan kekuatan bisa jadi sangat membahayakan. 

Ini khususnya berlaku ketika kita berbicara soal pengintaian. Saat ini kita menyaksikan proses pembuatan sistem pengintaian baru di seluruh dunia baik oleh pemerintah maupun perusahaan swasta. Krisis ini agaknya menandai babak penting dalam sejarah pengintaian. Pertama karena ia mungkin membenarkan dan menormalisasi digunakannya perangkat pengintaian massal di negara-negara yang pernah menolak terobosan ini. Kedua dan yang lebih penting adalah karena ia menandai transisi dramatis dari pengintaian ‘di atas kulit’ menjadi ‘di bawah kulit’. 

Sebelum masa krisis ini, baik pemerintah maupun perusahaan umumnya memonitor tindakan fisik yang Anda lakukan—ke mana Anda pergi dan siapa yang Anda temui. Saat ini mereka lebih tertarik pada apa yang terjadi dalam tubuh Anda; pada kondisi kesehatan, suhu tubuh, dan tekanan darah. Informasi biometrik semacam ini dapat memberi keduanya limpahan informasi yang jauh lebih banyak dibanding sebelumnya. 

Bisakah Anda menyarankan prinsip-prinsip etis soal bagaimana seharusnya aturan dalam sistem pengintaian ini?

Idealnya, sistem pengintaian ini harus dijalankan dan dikelola oleh sebuah otoritas layanan kesehatan khusus, bukan perusahaan swasta apalagi layanan keamanan. Otoritas tersebut harus fokus untuk mencegah epidemi tanpa kepentingan politik atau komersial apapun. Saya sangat gelisah ketika mendengar selentingan kabar yang membandingkan krisis Covid-19 dengan perang sehingga meminta layanan keamanan untuk  turun tangan. Yang kita hadapi saat ini bukanlah perang. Ini adalah krisis layanan kesehatan. Tidak ada musuh berupa manusia yang harus dibunuh. Yang kita hadapi adalah soal merawat manusia. Bayangan dominan dalam perang adalah seorang tentara dengan bedil mencorong ke depan. Dalam epidemi ini, bayangan kita harus beralih pada seorang perawat yang mengganti sprei rumah sakit. Tentara dan perawat memiliki cara pandang yang sama sekali berbeda. Jika Anda inigin menugaskan seseorang untuk pandemi ini, jangan kirim seorang prajurit. Kirimlah seorang perawat. 

Selanjutnya, otoritas layanan kesehatan tersebut harus mengumpulkan data minimal yang dibutuhkan demi misi mencegah epidemi. Ia tak boleh membagikannya pada badan-badan lain—utamanya polisi ataupun perusahaan swasta. Harus dipastikan juga bahwa data yang terkumpul tidak digunakan untuk membahayakan atau memanipulasi orang-orang yang datanya masuk dalam daftar tersebut—misalnya, menyebabkan mereka kehilangan pekerjaan atau asuransi. 

Akan tetapi, otoritas kesehatan yang berkewenangan tersebut dapat membagi data yang dimilikinya untuk kepentingan penelitian ilmiah meski harus dipastikan terlebih dahulu bahwa hasil penelitian tersebut dapat diakses cuma-cuma oleh publik. Atau jika tidak, akses ini berlaku jika keuntungan insidental dari penelitian tersebut dapat kembali diinvestasikan untuk layanan kesehatan yang lebih baik. 

Berbeda dengan semua pembatasan akses data di atas, orang-orang yang datanya terekam dalam daftar besar tersebut harus diberi sebanyak mungkin kontrol terhadap datanya sendiri. Mereka harus bisa bebas mengamati data pribadi masing-masing dan memanfaatkannya.

Akhirnya, kendatipun sistem pengintaian semacam ini mungkin akan sangat nasionalis dari segi karakter dan karenanya bisa berbeda antartiap negara, untuk benar-benar dapat mencegah epidemi, seluruh otoritas kesehatan dari berbagai negara harus saling bekerjasama satu dan lainnya. Wabah tidak mengenal batas negara sehingga jika kita tidak memadukan data dari berbagai negara, akan sangat sulit melacak dan menghentikan epidemi. Apalagi, ketika pengintaian nasional dilakukan oleh sebuah otoritas layanan kesehatan yang independen dan bebas dari kepentingan politik serta komersial, akan jauh lebih mudah bagi otoritas nasional untuk bekerjasama secara global. 

Anda pernah menyampaikan bahwa baru-baru ini, terjadi penurunan tajam dalam kepercayaan terhadap sistem internasional. Bagaimana Anda menanggapi perubahan yang amat besar ini dalam hubungannya dengan kerjasama antarnegara di masa depan?

Saya tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Ini bergantung pada pilihan yang kita ambil hari ini. Negara-negara di dunia bisa memilih untuk saling berebut sumber daya yang langka dan memburu kebijakan yang egois dan isolasionis, namun mereka juga bisa memilih untuk saling membantu sama lain dengan semangat solidaritas global. Pilihan ini akan menentukan laju krisis yang tengah kita hadapi dewasa ini sekaligus masa depan sistem internasional di tahun-tahun mendatang. 

Saya sendiri mengharapkan seluruh negara di dunia akan cenderung pada solidaritas dan kerjasama global. Kita tidak bisa menghentikan epidemi ini tanpa kerjasama yang kuat antarnegara seluruh dunia. Bahkan jika sebuah negara tertentu berhasil menghentikan epidemi ini di wilayahnya untuk sementara waktu, selama epidemi ini masih menyebar di wilayah lain, ia bisa kembali dan muncul lagi di manapun. Kemungkinan lebih buruknya adalah sifat virus yang dapat bermutasi secara konstan. Sebuah mutasi virus di belahan dunia manapun dapat membuatnya lebih mudah menular dan lebih mematikan hingga membahayakan ras manusia. Satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk melindungi diri sendiri adalah membantu melindungi seluruh manusia.

Hal yang sama terjadi dalam krisis ekonomi. Jika masing-masing negara hanya memikirkan kepentingan dan keuntungannya sendiri, ini hanya akan menghasilkan resesi global yang berdampak pada semua orang. Negara-negara kaya seperti Amerika, Jerman dan Jepang akan mampu mengatasi ini dengan berbagai cara. Akan tetapi, negara-negara yang lebih miskin di Afrika, Asia dan Amerika Latin mungkin akan benar-benar lumpuh. Amerika mampu menggelontorkan 2 triliun dolar untuk memulihkan ekonomi negaranya. Namun demikian, Ekuador, Nigeria dan Pakistan tidak memiliki sumber daya serupa. Kita membutuhkan rencana penyelamatan ekonomi global.

Sayangnya, sejauh ini, belum tampak suatu kepemimpinan global kuat yang kita butuhkan. Amerika yang menjadi pimpinan dunia selama epidemi Ebola 2014 lalu dan krisis finansial pada 2008 tidak lagi menjalankan peran ini. Tata pemerintahan Trump sangat jelas menunjukkan bahwa Amerika hanya peduli terhadap negaranya sendiri. Ia bahkan telah memutus ikatan dengan sekutu-sekutu terdekatnya di Eropa Barat. Bahkan jika saat ini Amerika tiba-tiba mengumumkan rencana globalnya, siapa yang akan mempercayai dan mengikuti arahannya? Apa Anda akan mengikuti seorang pemimpin yang mottonya adalah “Aku Dulu?”

Namun demikian, setiap krisis sebenarnya juga menghadirkan kesempatan. Semoga pandemi yang tengah kita hadapi ini akan membantu manusia menyadari bahaya akut dari perpecahan global. Jika pada akhirnya epidemi ini benar-benar menghasilkan kerjasama global yang semakin inten, ini tidak hanya menunjukkan kemenangan melawan virus Corona, akan tetapi juga melawan bahaya-bahaya lain yang mengancam ras manusia—dari perubahan iklim hingga perag nuklir.  

Anda berbicara soal bagaimana pilihan yang kita ambil hari ini akan berpengaruh terhadap kehidupan di masa mendatang dalam aspek ekonomi, politik, dan budaya. Apa saja pilihan-pilihan tersebut dan siapa yang bertanggungjawab menentukannya?

Kita dihadapkan pada banyak pilihan. Tak hanya pilihan antara isolasi nasionalistik dan solidaritas global. Pertanyaan penting lain adalah soal apakah masyarakat akan mendukung munculnya rezim diktator ataukah mereka akan tetap ngotot menghadapi keadaan darurat ini di bawah pemerintahan demokrasi? Saat pemerintah menggelontorkan milyaran uang untuk memulihkan bisnis, apakah mereka menyasar perusahaan besar ataukah bisnis kecil keluarga? Begitu masyarakat beralih pada pola bekerja dari rumah dan berkomunikasi secara daring, apakah ini akan meruntuhkan perserikatan buruh atau justru membaiknya perlindungan terhadap hak mereka?

Semua ini merupakan pilihan politis. Kita harus sadar bahwa yang kita hadapi saat ini bukanlah sekadar krisis kesehatan, akan tetapi juga krisis politik. Media maupun masyarakat tidak boleh membiarkan epidemi ini berhasil sepenuhnya mengalihkan dan menggesert fokus. Tentu saja penting untuk tetap mengikuti perkembangan berita terbaru soal, misalnya, berapa banyak orang meninggal dunia hari ini dan berapa banyak yang terinfeksi. Namun, hal yang juga penting adalah memperhatikan perkembangan politik dan menuntut para politisi mengambil tindakan yang tepat. Masyarakat harus menekan politisi-politisi tersebut untuk menyalakan solidaritas global dalam tindakan-tindakannya; bekerjasama dengan negara-negara lain dan bukan justru saling menyalahkan; membagi bantuan dana secara adil dan tetap mempertahankan mekanisme check and balance dalam demokrasi—bahkan di saat2 darurat seperti saat ini.

Waktu untuk melakukan itu semua adalah saat ini. Siapapun yang kita pilih dalam tahun-tahun mendatang tidak akan bisa membalik keputusan yang kita ambil hari ini. Jika Anda menjadi presiden pada 2021, Anda ibarat datang ke sebuah pesta saat acara telah usai dan pekerjaan yang tersisa hanya mencuci piring kotor. Jika Anda menjadi presiden pada 2021, Anda akan mendapati kenyataan bahwa pemerintah sebelumnya telah membagikan puluhan milyar dolar—dan Anda menanggung gunung hutang yang harus dibayar. Pemerintah sebelumnya juga telah menyusun kembali job market—dan Anda tidak bisa memulai dari awal lagi. Yang juga penting, pemerintah sebelumnya telah memperkenalkan sistem pengintaian baru—yang tidak dapat langsung dilumpuhkan dalam waktu satu malam. Jadi jangan tunggu hingga 2021. Perhatikan apa yang dilakukan politisi saat ini.

PS; Gagasan dalam wawancara ini bersumber dari penulis dan bukan representasi dari UNESCO maupun organsisasi yang menaunginya.

Original Version: https://en.unesco.org/courier/news-views-online/yuval-noah-harari-every-crisis-also-opportunity






























Ebrahim Moosa, profesor studi Islam di University of Notre Dame 



Penerjemah: Masyithah Mardhatillah


“Keberadaan jutaan jemaah haji di Mekkah dan Madinah akan membawa dampak yang mematikan.”

Meskipun pandemi Corona tengah mengguncang dunia, ibadah haji tahunan Muslim ke Mekkah, tempat tersuci dalam agama Islam, masih dijadwalkan pada akhir Juli. Kerajaan Arab Saudi memang telah meminta Muslim seluruh dunia menangguhkan perjalanan haji namun tanpa penangguhan resmi, risiko kesehatan yang dipertaruhkan sangat besar.

Setiap tahun, lebih dari dua juta Muslim melaksanakan ibadah haji. Bersama-sama, mereka melakukan serentetan ritual di Mekkah, mengunjungi beberapa situs di pinggiran kota lalu bertolak ke kota suci Madinah, tempat Nabi Muhammad dikebumikan, yang jauhnya 300 mil.

Haji merupakan salah satu rukun Islam selain syahadat (pengakuan akan keesaan Tuhan), salat lima waktu dalam sehari, zakat tahunan dan puasa di Bulan Ramadhan yang dimulai hari Jum’at yang lalu. Setiap Muslim taat yang secara ekonomi mampu membayar ongkos perjalanan haji dan secara fisik dapat melakukan serangkaian kegiatan di dalamnya diharuskan melaksanakan haji paling sedikit sekali seumur hidup. Para jemaah biasanya telah menabung sejak lama dan melakukan persiapan panjang sebelum berangkat ke Mekkah.

Pernah menjadi seorang jemaah haji, saya ingat betul bagaimana hebatnya pelaksanaan ibadah tersebut. Sejak sampai di Arab Saudi, melakukan serentetan ritual haji hingga kembali ke kampung halaman, jutaan jemaah dari seantero dunia saling berdesak dan berjejal satu sama lain. Mereka memuji dan melantunkan pujaan kepada Tuhan Ibrahim, Isa, dan Muhammad sebanyak yang mereka bisa. 

Penjarakan sosial dan isolasi merupakan antitesis dari irama haji yang sangat padat. Vaksinasi wajib, sanitasi lingkungan yang baik dan tempat tinggal khusus jemaah telah berhasil secara drastis menahan penyebaran penyakit-penyakit menular seperti tipoid dan kolera selama musim haji, namun belum ditemukan terobosan efektif untuk virus Corona.
Otoritas Saudi telah menunjukkan kesadaran akan bahaya kematian yang sangat mungkin diakibatkan pandemi ini. Pada 4 Maret kemarin, mereka telah membatalkan umrah, sebuah ziarah mulya yang sifatnya sukarela, bagi warganya sendiri. Adapun warga negara asing sudah sebelumnya dilarang mengunjungi Arab Saudi untuk keperluan yang sama.

Saudi Arabia harus segera mengumumkan penangguhan haji tahun ini karena pandemi virus Corona. Deklarasi demikian menekankan prioritas aspek keselamatan dalam etika Islam sehingga Muslim seluruh dunia diharapkan dapat membatasi pertemuan-pertemuan keagamaan yang melibatkan banyak orang.

Namun demikian, penangguhan haji merupakan perkara sensitif dan karenanya membutuhkan landasan kuat berupa konsensus ilmiah dari para pemimpin politik maupun tokoh-tokoh Muslim. Apalagi, keberadaan masjid-masjid suci Makkah dan Madinah yang belakangan sepi pengunjung menimbulkan kesedihan mendalam di kalangan Muslim taat. Arab Saudi sendiri masih ragu menangguhkan pelaksanaan haji karena mengkhawatirkan reaksi dunia.

Di dunia Muslim maupun level internasional, reputasi kerajaan Arab Saudi tengah menghadapi pukulan bertubi-tubi pada tahun-tahun terakhir. Ini di antaranya dipicu kerusuhan karena naik tahtanya Putra Mahkota Muhammed bin Salman, perang di Yaman yang penuh malapetaka dan pembunuhan mengerikan Jamal Khashoggi. Dari sinilah Arab Saudi tampak sangat berhati-hati.  

Akan tetapi, penangguhan ibadah haji merupakan keputusan yang harus diambil pemerintah Saudi dan para pemuka agama sebab selama perang, epidemi dan bahaya yang mengerikan, kewajiban melaksanakan ibadah haji tak berlaku lagi. Al-Qur’an secara jelas menyebutkan; “Dan jangan menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan.” Nabi Muhammad juga mengajarkan bahwa siapapun harus menghindari penularan penyakit selama terjadi epidemi.      


Dalam situasi semacam ini, Islam membolehkan segelintir orang tetap melaksanakan ibadah haji seperti biasa di bawah pengawasan yang ketat. Otoritas Saudi harusnya dapat memenuhi persyaratan tersebut dengan membolehkan beberapa warga lokalnya beribadah haji di bawah protokol penjarakan sosial dan penggunaan alat pelindung. 

Sejak ibadah haji diadopsi Islam, para sejarawan mencatat pernah terjadi sekitar 40 kali penangguhan. Wabah di Kesultanan Usmani membuat pelaksanaan haji pada 1814 begitu terganggu karena tiadanya jemaah.


Para ahli etika Muslim juga telah lama menjelaskan dengan gamblang bahwa keselamatan jiwa manusia selama pandemi merupakan hal yang harus diprioritaskan dibanding pelaksanaan ritual-ritual keagamaan. Cendekiawan Muslim Mesir abad ke-15, Ibnu Hajar al-Asqalani, mencatat perihal mudarat yang disebabkan pelaksanaan salat jama’ah besar-besaran ketika sebuah wabah terjadi. Pada Desember 1429, menurutnya, wabah tersebut menyebabkan 40 kematian setiap harinya di Kairo.


Sebulan kemudian, ketika orang-orang kembali dari perkumpulan massal di sebuah padang pasir untuk melaksanakan puasa dan salat taubat agar wabah tersebut segera diangkat, angka kematian justru meroket hingga 1000 perhari. Tak hanya itu, kegagalan menentukan tindakan tepat melawan penyebaran penyakit dalam masa wabah juga dialami Damaskus seabad sebelumnya yang menggiring negara tersebut pada sebuah bencana demikian besar, tulis Al-Asqalani.


Cendekiawan senior Ibnu Rusyd (bapak para filsuf, fisikawan serta ahli hukum yang juga dikenal dengan nama Averroes) berargumen bahwa perjalanan berisiko dan berbahaya yang dilakukan seorang Muslim merupakan perbuatan dosa. Ini merupakan peringatan keras pada siapapun yang mengabaikan bahaya pandemi yang tengah terjadi.


Para pemimpina agama seluruh dunia yang peka terhadap persoalan ini telah menutup masjid-masjid selama nyaris satu bulan. Para ulama juga mengimbau kaum Mukmin untuk melaksanakan ritual shalat sunnah di malam Ramadhan, tarawih, di rumah masing-masing. 

Raja Salman Abdul Aziz yang digelari “Pemelihara Dua Tempat Suci” akan berperan besar terhadap keselamatan global jika segera mengumumkan penangguhan haji kepada Muslim seluruh dunia. Musyawarah antara pihak kerajaan dan perwakilan negara-negara Muslim akan membantu penyusunan konsensus perihal keharusan penangguhan kewajiban haji di musim haji tahun ini.


Keputusan dini yang demikian juga akan menyelamatkan banyak nyawa karena secara empatik, ia menekankan bahwa pertemuan keagamaan apapun di negara manapun, selama krisis ini belum teratasi, akan sangat berbahaya.


Pamekasan, 28-29 April 2020


Penerjemah Inggris-Indonesia: Masyithah Mardhatillah 
Penerjemah Turki-Inggris: Ekin Olkap

Orang-orang selalu merespon epidemi dengan menyebar desas-desus dan berita bohong, menganggap penyakit layaknya mahluk asing yang datang karena dibawa maksud jahat.  
ISTANBUL-Empat tahun belakangan saya tengah menulis novel sejarah dengan latar tahun 1901 ketika apa yang dikenal dengan wabah pandemi ketiga tengah terjadi, sebuah wabah penyakit pes yang membunuh jutaan orang di Asia dan segelintir di Eropa. Selama dua bulanan terakhir, para teman dan saudara, editor dan jurnalis yang terlanjur mengetahui judul novel tersebut, “Malam-malam Wabah”, terus mengajukan rentetan pertanyaan tentang pandemi.
Hal yang paling ingin mereka ketahui adalah kesamaan antara virus Corona yang tengah melanda kita saat ini dengan sejarah serta wabah kolera. Ada banyak sekali kesamaan. Sepanjang sejarah manusia dan kesusastraan, apa yang menyamakan pandemi-pandemi tersebut bukanlah karena virus dan kuman yang serupa, akan tetapi respon pertama kita yang selalu sama.
Respon awal terhadap wabah pandemi selalu berupa penyangkalan. Pemerintah lokal maupun nasional selalu saja terlambat memberikan respon, mendistorsi fakta-fakta serta memanipulasi angka-angka untuk mengingkari keberadaan wabah.
Di halaman-halaman awal “A Journal of the Plague Year,” sebuah karya sastra paling terkemuka yang pernah ditulis perihal penularan wabah dan perilaku manusia; Daniel Defor mencatat bahwa pada 1664, otoritas-otoritas lokal di beberapa perkampungan London mencoba memanipulasi angka kematian akibat wabah dengan menjadikannya lebih sedikit dari yang sebenarnya sembari melaporkan penyakit lain sebagai penyebab dari kematian-kematian tersebut.
Pada 1827, dalam novel berjudul “The Betrothed,” barangkali novel paling realis yang pernah ditulis perihal wabah, penulis Italia Alessandro Manzone menggambarkan sekaligus membenarkan kemarahan penduduk lokal terkait respon pemerintah pada wabah 1630 di Milan. Meski sudah ada buktinya, gubernur Milan tetap mengabaikan ancaman penyakit tersebut bahkan urung menggagalkan perayaan ulang tahun sang pangeran. Manzonie menunjukkan bahwa wabah dengan cepat menyebar karena larangan yang diberlakukan tidak memadai, sementara penegakan hukum terbilang longgar dan para warga tidak mengindahkannya.
Banyak karya sastra tentang wabah dan penularan penyakit yang menggambarkan kecerobohan, inkompetensi dan egoisme pemerintah yang hanya menjadikan mereka sebagai pemicu kemarahan massa. Namun demikian, penulis-penulis terbaik, seperti Defoe dan Camus, memungkinkan para pembacanya melihat sesuatu yang lain di luar politik, yakni hal intrinsik dalam keadaan manusia.
Novel Defoe menunjukkan bahwa di balik keluhan yang tak berujung dan kegusaran yang tak berbatas, ada juga kemarahan terhadap takdir dan kehendak ilahiyah yang menyaksikan bahkan mungkin merestui semua kematian dan penderitaan manusia. Kemarahan juga dialamatkan terhadap lembaga keagamaan yang tampak tidak yakin bagaimana mereka ikut andil mengatasi wabah.
Respon kemanusiaan lain yang juga universal dan tampak spontan terhadap pandemi selalu berputar di soal membuat desas-desus dan menyebarkan informasi palsu. Selama pandemi-pandemi terakhir, desas-desus paling banyak dipicu oleh informasi yang salah dan ketidakmungkinan melihat masalah secara utuh.
Defoe dan Manzoni menulis tentang orang-orang yang menjaga jarak ketika bertemu di jalan selama wabah terjadi. Menariknya, mereka ini diceritakan saling bertanya satu sama lain perihal informasi dan berita dari masing-masing kampung dan lingkungan sekitar. Ini memungkinkan mereka mendapat gambaran yang lebih utuh soal wabah sehingga sama-sama berharap dapat selamat dari kematian dan menemukan tempat perlindungan yang aman.
Di dunia tanpa surat kabar, radio, televisi atau internet, kaum buta huruf yang menjadi mayoritas hanya mengandalkan imajinasi untuk mengenali di mana bahaya berada, seberapa ia mengerikan serta seperti apa rasa sakit yang diakibatkan. Kepercayaan pada imajinasi semacam ini membuat masing-masing orang memiliki bentuk ketakutan sendiri-sendiri, apalagi ketika ia dijiwai oleh hal-hal yang liris—lokalitas, spiritualitas dan mitos.
Desas-desus yang paling banyak muncul selama masa wabah adalah perihal siapa yang membawa penyakit atau dari mana sebuah wabah berasal. Sekitar pertengahan Maret, begitu kepanikan dan ketakutan mulai menyebar di seantero Turki, manager bank saya di Cihangir, Istanbul, mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa ‘sesuatu ini’ merupakan respon ekonomi China terhadap Amerika Serikat dan seluruh dunia.
Seperti halnya iblis, wabah selalu dianggap sebagai hal yang datang dari luar. Ia dibayangkan sudah pernah menyerang tempat lain namun upaya untuk menekannya tidak cukup berhasil. Terkait penyebaran wabah di Athena, Thucydides memulai paparannya dengan mengatakan bahwa wabah telah lama menyebar di tempat yang jauh, yakni Ethiopia dan Mesir.
Sebagai mahluk asing, wabah penyakit juga dipercaya datang dari luar dan berhasil masuk karena ‘dibawa’ oleh maksud jahat. Rumor-rumor soal identitas yang dianggap sebagai pembawa dan penyebar wabah selalu menjadi hal paling lazim dan populer.
Dalam “The Betrothed,” Manzoni menggambarkan seorang tokoh yang merupakan representasi dari imajinasi paling umum selama wabah di Abad Pertengahan: Setiap hari bakal ada desas-desus soal orang berhati dengki yang datang dengan niat jahat untuk melumuri gagang-gagang pintu atau air mancur dengan cairan terinfeksi wabah. Atau mungkin seorang lelaki tua kelelahan yang duduk di lantai gereja lalu dituduh menyebarkan virus oleh wanita yang lewat hanya karena si tua menggosok-gosokkan jasnya. Lalu tak lama, segerombolan orang yang main hakim sendiri ikut bergabung.
Ledakan kekerasan yang tak diharapkan pun tak dapat dikendalikan ini, kabar angin, kepanikan dan pemberontakan menjadi lazim selama epidemi wabah sejak Abad Pencerahan. Marcus Aurelius menyalahkan Kaum Kristiani di Kekaisaran Romawi karena ketidakmauan mereka mengikuti ritual yang bertujuan mengambil hati dewa Romawi dianggap menjadi penyebab wabah cacar Antonine. Selama wabah yang terjadi selanjutnya, Kaum Yahudi juga disalahkan karena dituduh meracuni sumur Kesultanan Usmani dan Kristen Eropa.
Sejarah dan kesusastraan soal wabah sama-sama menunjukkan intensitas penderitaan, ketakutan akan kematian, rasa takut yang metafisik serta rasa aneh luar biasa yang dialami rakyat terdampak dan pada gilirannya menentukan kadar kemarahan dan ketidakpuasan politik.
Sebagaimana pandemi-pandemi tua tersebut, desas-desus yang tidak berdasar dan tuduhan berdasarkan identitas negara, agama, etnik dan daerah saat ini juga berefek signifikan terhadap bagaimana kejadian-kejadian selama wabah Corona ini ditafsiri. Kecondongan media sosial dan media populer sayap kanan yang memperkuat kebohongan juga ikut ambil bagian.
Namun hari ini, kita memiliki akses informasi terpercaya soal pandemi ini yang jauh lebih banyak dan lebih leluasa dibandingkan orang-orang yang menghadapi pandemi lama.  Ini jugalah yang membuat rasa takut yang kita rasakan semakin kuat dan masuk akal sebab apa yang kita alami saat ini begitu berbeda. Teror yang kita hadapi bukanlah sekadar desas-desus, akan tetapi informasi yang akurat.    
Saat kita melihat titik-titik merah di peta negara yang kita tinggali dan di dunia semakin bertambah bahkan berlipat, kita menyadari bahwa tak ada tempat untuk melarikan diri dan berlindung. Kita bahkan tidak membutuhkan imajinasi apapun untuk mulai merasakan hal terburuk. Kita tinggal menyaksikan video pawai truk-truk tentara besar dan hitam yang mengangkut jenazah dari kota-kota kecil Italia ke pemakaman terdekat sambil membayangkan bahwa kita tengah menyaksikan prosesi pemakaman kita sendiri.
Akan tetapi, teror yang kita rasakan meniadakan imajinasi dan individualitas. Ia mengungkapkan betapa secara tak terduga, kehidupan kita dan umat manusia lain sama-sama berada di ujung tanduk. Ketakutan, seperti pikiran akan kematian, membuat kita merasa sendiri, namun pengakuan bahwa kita semua tengah mengalami kesedihan mendalam yang sama dapat mengeluarkan kita dari kesepian semacam itu.
Pengetahuan bahwa seluruh umat manusia, mulai dari Thailand hingga New York, memiliki kecemasan yang sama soal bagaimana dan di mana harus mengenakan masker wajah, bagaimana cara teraman memperlakukan makanan yang baru dibeli dan apakah karantina mandiri dibutuhkan merupakan pengingat yang konstan bahwa kita tak sendiri. Ini melahirkan perasaan solidaritas. Kita tak lagi dibuat malu oleh rasa takut yang kita rasakan. Ia justru menuntun kita menemukan kerendahan hati yang memunculkan kesalingpengertian.
Ketika di televisi saya melihat orang-orang menunggu di luar rumah sakit-rumah sakit besar, saya dapat begitu merasakan bahwa teror yang saya hadapi juga dialami umat manusia yang lain, dan saya pun tidak merasa sendirian. Terkadang, saya merasa sedikit malu dengan ketakutan yang saya alami, namun lambat laun saya melihatnya sebagai sebuah respon yang sangat wajar. Saya lalu teringat sebuah adagium tentang pandemi dan wabah yang mengatakan bahwa mereka yang merasa takut akan hidup lebih lama.
Pada akhirnya saya menyadari bahwa ketakutan memunculkan dua respon berbeda pada diri saya, mungkin juga pada diri kita semua. Terkadang ia membuat saya seperti menarik diri menuju kesendirian dan kesunyian. Namun di waktu yang lain, ia mengajarkan saya untuk rendah hati dan bersolidaritas
Saya bermimpi menulis novel tentang wabah sejak 30 tahun yang lalu, dan ketika itu saya sudah ingin membidik perihal ketakutan akan kematian. Pada 1561, penulis Ogier Ghiselin de Busbecq—yang merupakan duta Kekaisaran Hapsburg di Kesultanan Usmani selama pemerintahan Sulaiman Agung—berhasil meloloskan diri dari wabah di Istanbul dengan membawa para pengungsi sejauh enam jam perjalanan ke Pulau Prinkipo, kepulauan Pangeran terbesar di tenggara Istanbul yang terletak di Laut Marmara. Ia menganggap UU karantina di Istanbul tidak memadai serta menegaskan bahwa rakyat Turki adalah kaum fatalis karena agama yang mereka anut, yakni Islam. 
Sekitar satu setengah abad kemudian, Defoe yang bijaksana menulis di novelnya tentang wabah London bahwa rakyat Turki dan Mahometans (Muslim, pengikut Nabi Muhammad, pent) “mengakui ide soal takdir dan meyakini bahwa akhir cerita setiap orang sudah ditentukan”. Novel wabah yang saya tulis akan membantu saya berpikir soal fanatisme Muslim dalam konteks sekularisme dan modernitas.   
Baik fatalis atau bukan, sejarah mencatat bahwa meyakinkan Muslim untuk sabar menjalani karantina selama epidemi jauh lebih sulit dibanding meyakinkan umat Kristiani, khususnya di Kesultanan Usmani. Protes yang dipicu masalah perdagangan karena para penjaga toko dan rakyat pedesaan dari semua agama cenderung mengalami kenaikan gaji ketika menolak karantina, di kalangan Muslim, diperparah dengan isu kesopanan perempuan dan privasi domestik. Komunitas Muslim di awal abad 19 juga menuntut layanan dari “dokter-dokter Muslim,” sebab saat itu kebanyakan dokter adalah kaum Kristiani, bahkan di kekasairan Utsmani sekalipun.
Sejak dasawarsa 1850-an, ketika bepergian dengan kapal api semakin murah, perjalanan ziarah haji Muslim ke kota suci Mekkah dan Madinah menjadi perantara penyebaran penyakit menular terbesar di dunia. Tak heran pada abad ke-20, untuk mengendalikan laju jemaah haji ke Makkah dan Madinah sekaligus perjalanan pulang ke negaranya masing-masing, Pemerintah Inggris mendirikan kantor-kantor karantina pertama di dunia yang terletak di Iskandariah, Mesir.
Perkembangan sejarah ini dapat menjelaskan tak hanya soal menyebarnya stereotip perihal ‘fatalisme’ Muslim, akan tetapi juga soal prakonsepsi bahwa mereka dan orang Asia lain merupakan satu-satunya muasal dan pembawa penyakit menular.
Di bagian-bagian akhir-akhir novel Fyodor Dostoyevsky yang berjudul Crime and Punishment, Raskolnikov, tokoh utama dalam novel tersebut, bermimpi tentang wabah. Dalam tradisi kesusasteraan, ia digambarkan seperti berikut: “Dia bermimpi bahwa seluruh dunia dikutuk oleh sebuah wabah asing yang datang ke Eropa dari kedalaman Asia.”
Di peta-peta dari abad ke-17 dan 18, batas politis Kesultanan Usmani—yang dianggap akan menjadi awal terbentuknya dunia yang melampaui Barat—ditandai dengan Sungai Donau. Namun demikian, batas budaya dan antropologi antara dua dunia tersebut adalah wabah dan fakta bahwa kemungkinan terjangkit wabah jauh lebih tinggi di sebelah timur sungai Donau. Ini diperkuat tidak hanya dengan ide fatalisme sejak lahir yang sering dihubungkan dengan kebudayaan Timur dan Asia, tetapi juga prakonsepsi bahwa wabah dan epidemi lain selalu datang dari ceruk tergelap di timur.
Gambaran yang kita dapat sedikit demi sedikit dari sejarah lokal cukup menunjukkan bahwa selama pandemi wabah-wabah besar, masjid-masjid di Istanbul tetap menyelenggarakan pemakaman. Mereka yang berkabung juga masih saling mengunjungi untuk mengungkapkan belasungkawa dan berbalas pelukan penuh air mata. Bukannya mengkhawatirkan dari mana datangnya penyakit dan bagaimana ia menyebar, orang-orang justru lebih peduli soal bagaimana mereka lebih siap menghadapi pemakaman selanjutnya. 
Namun demikian, selama pandemi virus Corona yang tengah terjadi ini, pemerintah Turki telah mengambil pendekatan sekuler, yakni melarang penguburan jenazah yang meninggal karena wabah dan mengeluarkan keputusan tegas untuk menutup masjid-masjid pada Hari Jum’at ketika orang-orang dalam jumlah besar biasa datang demi menunaikan ibadah paling penting dalam sepekan. Warga Turki tidak melawan tindakan-tindakan ini. Seperti ketakutan kami yang besar, demikian halnya dengan sikap bijaksana dan kesabaran.
Untuk menciptakan dunia yang lebih baik setelah pandemi ini, kita harus memiliki dan memelihara perasaan rendah hati dan solidaritas yang timbul dari momentum ini.   

Orhan Pamuk, peraih penghargaan Nobel Sastra pada 2006, penulis Novel "Nights of Plague" yang akan terbit.

Pamekasan, 26-27 April 2020


Penerjemah: Masyithah Mardhatillah

Indonesia tidak siap menghadapi pandemi Covid-19. Baru diumumkannya segelintir kasus hingga akhir Maret cukup jelas menunjukkan kegagalan dan ketidamampuan pemerintah mengambil tindakan tepat untuk menghadapi epidemi ini. Pada 2 Februari, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto bahkan dengan naif mengatakan bahwa kekuataan doa akan mampu melindungi Indonesia dari pandemi ini. Kasus pertama secara resmi diumumkan pada 02 Maret. Sementara pada akhir Maret,  jumlah kasus yang dilaporkan sudah melampaui angka 1400 dan tak lama, ia meroket menjadi 4.000-an pada 12 April. Pada 21 April, jumlah keseluruhan kasus melampaui 7000 dengan angka kematian terbesar di negara-negara Asia selain Tiongkok. Pemerintah Indonesia di level pusat maupun daerah terbilang lamban merespon situasi. Baru pada 21 April perjalanan Ramadhan atau yang populer disebut mudik resmi dilarang.

Pandemi ini merupakan tantangan yang luar biasa baru bagi umat Muslim dengan datangnya Bulan Ramadhan sejak 23 Maret. Organisasi-organisasi Muslim, termasuk Muhammadiyah dan NU, menyadari betul perihal krisis kesehatan ini sejak awal. NU langsung mengubah aktivitas rutin Ramadhan-nya untuk menghindari persebaran virus dalam acara-acara rutin tahunan tersebut. Secara khusus, organisasi ini menghadapi tantangan yang unik sekaligus menjengkelkan karena dua alasan. Pertama adalah tantangan dari aspek organisasi. NU merupakan federasi yang terstruktur secara longgar dari beberapa pesantren yang bergerak secara swadaya dan dipimpin oleh seorang ilmuwan kharismatik atau biasa disebut kiai. Kesetiaan begitu terpusat kepada masing-masing kiai dan bukan pada organisasi. Kedua adalah soal bagaimana mengkontekstualisasi makna keagamaan pada pandemi Covid-19.


Nahdlatul Ulama

NU didirikan pada 1926 di Surabaya untuk merespon penaklukan Mekkah oleh kaum Wahabi. Beberapa pendirinya, termasuk K.H. Hasyim Asy’ari (1871-1947), pernah belajar di kota suci tersebut selama beberapa dasawarsa dan merupakan salah satu sarjana Muslim yang paling terkemuka. NU memiliki kurang lebih 80 juta anggota yang mendaulatnya sebagai organisasi Muslim terbesar di Indonesia. Sebagian besar pengikut NU adalah orang Jawa dan orang Madura. Ada segelintir elite perkotaan berpendidikan tinggi di tubuh NU, namun sebagian besar berasal dari desa dan kota kecil. Organisasi serupa dapat ditemukan di Lombok (Nahdlatul Wathan) dan Sulawesi (As’adiyah).

Dalam hal keagamaan, NU mendefinisikan dirinya sebagai ahlus sunnah wal jama’ah (komunitas yang meneladani Rasulullah). Warga NU mengikuti satu di antara empat madzhab Sunni dalam wilayah hukum Islam, berteologi Asy’ariyah yang menekankan pada penafsiran rasional terhadap Al-Qur’an serta berpedoman pada Al-Ghazali (1058-1111) dan al-Junaid (830-910) dalam bidang sufisme syar’i (mistisisme Islam). Pemujaan orang-orang suci merupakan salah satu dasar kesalehan dalam NU. Jutaan pengikut NU biasa berziarah ke makam-makan para wali, utamanya sembilan wali yang menjadi tokoh penyebar Islam di Jawa. Logika berpikir NU, termasuk yang ada kaitannya dengan kewajiban keagamaan, didasarkan pada madzhab Syafi’i serta penerapan prinsip-prinsip dalam Al-Qur’an dan hadist. NU secara aktif mempromosikan tradisi  dan budaya Jawa ataupun budaya lain di Indonesia, utamanya dalam bentuk acara-acara berskala publik.

Para kiai terkemuka sedari awal menyadari bahwa penjarakan sosial harus dilakukan untuk menekan pandemi Corona. Ini tentu mengharuskan penyesuaian dengan prosedur pesantren yang berlaku serta perubahan perilaku keagamaan dan sosial Muslim di level individu. Begitu Ramadhan menjelang, kyai yang biasanya sibuk menyiapkan beberapa perlengkapan untuk acara-acara sosial keagamaan selama Ramadhan kini lebih fokus merespon pandemi dan memimpin pesantren dalam keadaan luar biasa ini.

Namun demikian, kenyataannya, Ramadhan memang menjadikan penjarakan sosial sangat sulit. Pandemi ini tidak akan mungkin bisa ditekan jika Muslim tetap dengan suka cita melakukan aktivitas Ramadhan seperti biasa. Ada juga kecenderungan mengaburkan perkara wajib dalam konteks keagamaan dan dalam konteks sosial-budaya NU, seperti doa Nishfu Sya’ban dan mengunjungi kuburan (nyadran) sebelum Ramadhan dimulai. Termasuk pula di antaranya adalah buka puasa bersama, bazar harian Ramadhan, pengajian, pawai, perayaan-perayaan, anjangsana keluarga, perayaan Idul Fitri dan tradisi mudik yang biasanya mampu seketika mengosongkan kota-kota karena orang-orang kembali ke kampungnya di akhir Ramadhan.

Ada lebih dari empat belas ribu pesantren di Indonesia. Sebagian besar di antaranya menawarkan perpaduan antara pendidikan Islam dan modern sekuler. Sebagian lain hanya mengajarkan pelajaran-pelajaran keagamaan. Pesantren menawarkan pendidikan Islam yang setara dengan lembaga pendidikan di Asia Tenggara dan Timur Tengah. Masing-masing memiliki keunikan dan menggambarkan spesialisasi dari kiai yang memimpin. Ada juga yang menawarkan pendidikan Islam dasar. Yang lain fokus pada kajian-kajian hukum Islam tingkat tinggi, pembacaan Al-Qur’an, kajian teologi dan tradisi yang dilakukan Muslim Indonesia. Jumlah santri di masing-masing pesantren berbeda mulai yang kurang dari 100 hingga yang lebih dari 12 ribu. Kehidupan pesantren terbilang keras. Sebanyak 20-an santri tinggal di satu kamar yang sama. Beberapa di antaranya tidur di masjid karena terlalu penuh.


NU, Pesantren, Imbauan Keagamaan dan Virus Corona

Respon NU terhadap pandemi Covid-19 memadukan antara logika berpikir ala Syafi’i dengan pragmatisme medis. Muslim NU begitu memperhitungkan otoritas dan kearifan kiai. NU maupun kiai secara individu mengakui bahwa penjarakan sosial merupakan satu-satunya cara untuk menekan penyebaran virus dan ini mengharuskan Muslim mengubah perilaku sosial keagamannya. Untuk itu, NU mendirikan pos-pos komando di seluruh Indonesia untuk menyediakan informasi soal pandemi ini serta bantuan terhadap korban. Pada pertengahan Maret, dibentuk juga pos-pos untuk membantu upaya disinfektasi dan mengumpulkan paket makanan untuk para korban serta orang miskin.

Di level lokal maupun nasional, NU memberi imbauan serta arahan soal apa yang seharusnya dilakukan Muslim selama pandemi belum berakhir.

Pada pertengahan Maret, makam-makan para wali ditutup. Selanjutnya pada 28 Maret, lembaga kesehatan NU mengimbau Muslim untuk tetap di rumah dan tidak mudik untuk libur Lebaran. Tak sampai di situ, pada 04 April, majelis pusat NU mengedarkan arahan yang menegaskan bahwa aktivitas rutin Ramadhan harus dibatasi. Edaran tersebut juga mengharuskan Muslim melakukan salat tarawih, shalat khusus yang hanya dikerjakan pada malam Bulan Ramadhan, di rumah masing-masing, bukan di masjid. Selain itu, instruksi pembatalan juga diberlakukan pada salat Idul Fitri yang merupakan perayaan puncak puasa.

Pada 09 April, NU menyelenggarakan istighasah kubro Nisfu Sya’ban secara daring, memohon pertolongan Allah untuk menyelamatkan Indonesia dari COVID-19. Lebih dari 100.000 orang berpartisipasi. Acara ini juga disiarkan di 14 channel televisi. Nisfu Sya’ban adalah hari kelima belas dalam Bulan Sya’ban, bulan sebelum Ramadhan. Muslim NU umumnya meyakini bahwa Allah mengabulkan doa yang dipanjatkan pada hari tersebut. Puluhan perayaan nyadran pada momen ini juga dibatalkan. Beberapa di antaranya merupakan anjangsana keluarga dalam level kecil, sedang lainnya adalah nyadran massal di kuburan orang-orang suci yang biasanya melibatkan ribuan orang.

Sementara itu di pesantren, para kiai menghadapi dilema yang juga sangat sulit. Kondisi yang ramai membuat pesantren sangat rentan menjadi tempat penyebaran virus Corona. Biasanya, Ramadhan merupakan waktu libur santri. Memperbolehkan mereka pulang ke rumah dapat semakin menambah risiko meluasnya pandemi ini. Sebaliknya, menampung santri ‘di pesantren’ juga berpotensi menyebarkan virus di wilayah-wilayah yang layanan kesehatannya masih belum sempurna. Beberapa kiai memilih untuk memajukan liburan Ramadhan. Lirboyo, salah satu pesantren terbesar, menyiapkan peralatan screening dan treatment khusus bagi santri sebelum mereka pulang. Yang lain tetap membiarkan santri tinggal di pesantren namun membatasi kontak dengan orang luar untuk memastikan pesantren tetap aman dan steril dari virus. Ini adalah pilihan-pilihan yang sulit. Namun demikian, apapun keputusan yang diambil, kepedulian kiai yang demikian besar terhadap santri-santrinya begitu tampak.                


Korban sebagai Syahid

Berapa banyak orang Indonesia yang telah meninggal dunia karena Covid-19 belum dapat benar-benar dipastikan. Namun demikian, jumlahnya akan semakin banyak dalam beberapa pekan dan bulan mendatang. Terkait ini, NU telah memberi penegasan serta—semacam—pelipur lara bahwa mereka yang meninggal karena pandemi ini dianggap syahid dan karenanya akan menerima pahala dari apa yang diderita. Beberapa pernyataan menyebutkan bahwa hadist di bawah ini menjelaskan perihal derajat syahid korban Covid-19.

Suatu ketika Rasulullah menanyai para sahabatnya:
“Siapakah di antara kalian yang syahid?” Mereka menjawab: “Mereka yang meninggal dunia di medan perang adalah syahid”. Lalu Rasulullah menimpali, “Jika demikian, sangat sedikit umatku yang syahid.” Para sahabat kembali bertanya, “Lalu siapa?” Rasulullah menjawab “Mereka yang meninggal dunia di medan perang adalah syahid, termasuk juga yang meninggal di jalan Allah (bukan ketika berperang), karena wabah, karena sakit perut, juga karena tenggelam”

Mark Woodward adalah profesor peneliti di Center for the Study of Religion and Conflict di Arizona State University









Oleh: Yuval Noah Harari
Penerjemah: Masyithah Mardhatillah

Akankah pandemi virus Corona mengembalikan kita pada sikap lama yang nrimo dan pasrah terhadap kematian—atau justru semakin memicu upaya memperpanjang usia manusia?

Dunia modern dibentuk oleh kepercayaan bahwa manusia dapat mengakali dan menundukkan kematian. Ini merupakan sikap revolusioner yang terbilang baru. Di sebagian besar sejarah, manusia cenderung menerima kematian tanpa perlawanan apapun. Hingga akhir masa modern, sebagian besar agama dan ideologi melihat kematian tak hanya sebagai takdir dan karenanya tak dapat dihindari, akan tetapi juga sebagai sumber utama makna kehidupan. Kejadian paling penting dalam keberadaan manusia terjadi ketika Anda menghembuskan nafas terakhir. Hanya dari situlah  Anda dapat belajar tentang rahasia-rahasis kehidupan yang sejati. Hanya dari situ pulalah Anda akan mendapat keselamatan yang kekal atau menderita kutukan abadi. Dalam dunia tanpa kematian—dan karenanya tanpa surga, neraka atau kebangkitan kembali—agama seperti Kristen, Islam dan Hinduisme menjadi tak masuk akal. Dalam sebagian besar sejarah, pikiran terbaik manusia sibuk memberi makna pada kematian, bukan berupaya menundukkannya.

The Epic of Gilgamesh, mitos Orpheous dan Eurydice, Bible, Al-Qur’an, Veda, dan kitab suci atau cerita sakral yang tak terhitung jumlahnya menekankan bahwa manusia akan meninggal dunia karena Tuhan, Kosmos, atau Dewi Alam telah menentukan yang demikian. Karena itu, kita umat manusia harus menerimanya dengan rasa syukur dan kepasrahan. Mungkin suatu hari, Tuhan akan menghapus kematian melalui gerak tubuh metafisika yang menakjubkan, seperti kedatangan Yesus untuk kedua kalinya. Namun, mengorkestrasi bencana semacam ini tentu di luar kemampuan manusiawi.

Lalu revolusi ilmu pengetahuan terjadi. Bagi para ilmuwan, kematian bukanlah takdir ilahiyah—ia semata-mata merupakan masalah teknis. Manusia meninggal dunia bukan karena Tuhan menghendaki demikian, tapi karena adanya kesalahan teknis. Jantung berhenti memompa darah. Kangker merusak liver. Virus berkembang biak di paru-paru. Lalu siapa/apa yang bertanggungjawab terhadap semua masalah teknis tersebut? Masalah teknis yang lain. Jantung berhenti memompa darah karena kurangnya oksigen yang sampai ke ototnya. Sel kanker menyebar di liver karena beberapa faktor genetik atau mutasi. Sementara virus menetap di paru-paru karena terkena cipratan bersin orang di bus. Tak ada campur tangan metafisika apapun dalam hal ini.
Lebih jauh, ilmu pengetahuan meyakini bahwa setiap masalah teknis juga memiliki solusi teknis. Kita tak perlu menunggu kedatangan Nabi Isa yang kedua untuk mengalahkan kematian. Beberapa ilmuwan di laboratorium bisa melakukannya. Jika sebelumnya persoalan ini merupakan wilayah pendeta dan ahli agama yang berjubah hitam, kini ia berpindah pada awak laboratorium dengan jas putihnya. Jika jantung tak berdenyut, kita bisa merangsangnya dengan alat pacu jantung atau bahkan menggantinya dengan jantung baru. Ketika kangker mengamuk, kita dapat membunuhnya dengan radiasi. Jika virus berkembang biak di paru-paru, kita dapat menundukkanya menggunakan obat-obat baru.

Benar, saat ini, kita tidak dapat memecahkan semua permasalahan teknis tersebut. Namun kita tengah melakukannya. Pikiran terbaik manusia tidak lagi berjibaku untuk memaknai kematian, akan tetapi soal bagaimana usia kehidupan dapat diperpanjang. Mereka mengamati sistem mikrobiologi, psikologi dan genetika yang berkait erat dengan penyakit dan usia lanjut lalu mengembangkan obat-obat dan layanan kesehatan yang revolusioner.
***
Dalam usahanya memperpanjang usia kehidupan, manusia terbilang cukup sukses. Selama dua abad terakhir, rata-rata harapan hidup meningkat dari 40 tahun ke 72 tahun di seluruh dunia, bahkan hingga 80 tahun di negara-negara maju. Anak-anak juga berhasil lepas dari ancaman kematian. Hingga abad ke-20, sedikitnya sepertiga anak-anak tidak pernah bertahan hidup hingga usia dewasa. Para pemuda biasanya meninggal dunia karena menderita penyakit anak-anak semisal disentri, campak dan cacar. Pada abad ke-17 di Inggris, sekitar 150 dari setiap 1000 bayi yang baru lahir meninggal dunia di tahun pertamanya dan hanya 700 di antaranya yang bertahan hidup hingga usia 15 tahun. Hari ini, hanya 5 dari 1000 bayi di Inggris yang meninggal dunia di tahun pertamanya sementara 933 di antaranya dapat merayakan ulang tahun ke-15. Di dunia secara keseluruhan, angka kematian anak turun hingga kurang dari 5%.
Sekali lagi, manusia  bisa dikatakan berhasil dalam usahanya melindungi kehidupan dan memperpanjang usia sehingga wawasan dunia kita juga telah demikian berubah. Ketika agama-agama tradisional menganggap akhirat sebagai sumber utama dari semua makna, sejak abad ke-18, ideologi-ideologi semacam liberalisme, sosialisme dan feminisme mampu menghilangkan ketertarikan terhadap kehidupan akhirat. Apa yang persisnya terjadi pada seorang komunis setelah kematiannya? Apa pula yang menimpa seorang kapitalis? Seorang feminis? Tentu tak ada gunanya mencari jawaban tersebut di tulisan-tulisan Karl Marx, Adam Smith atau Simone de Beauvoir.
Satu-satunya ideologi modern yang masih menganggap kematian memiliki peran sentral hanyalah nasionalisme. Dalam moment-moment puitik penuh keputusasaan, nasionalisme menjanjikan bahwa siapapun yang meninggal dunia dalam perjuangan membela negara akan hidup selamanya di ingatan banyak orang. Namun demikian, janji ini cukup membingungkan sebab orang paling nasionalis sekalipun tidak benar-benar tahu bagaimana ‘cara kerjanya’. Bagaimana Anda bisa benar-benar hidup dalam kenangan? Jika Anda meninggal dunia, bagaimana Anda bisa tahu apakah orang-orang masih mengingat Anda atau tidak? Woody Allen pernah ditanya apakah dia ingin hidup selamanya di ingatan para pecinta film. Allen menjawab: “Aku mending hidup di apartemenku”. Terkait ini, beberapa agama tradisional sebenarnya sudah mengubah fokus. Dibanding menjanjikan surga di akhirat, mereka mulai lebih menekankan apa yang bisa dilakukan para pemeluknya di kehidupan ini.
Lalu apakah pandemi yang tengah kita hadapi saat ini akan mengubah sikap kita terhadap kematian? Mungkin tidak, bahkan sebaliknya. Covid-19 bisa jadi akan membuat kita semakin gencar melindungi kehidupan manusia. Umumnya, reaksi kultural terhadap Covid-19 bukanlah kepasrahan, akan tetapi perpaduan antara akibat pelanggaran dan harapan.
Saat sebuah pandemi meledak di masyarakat pra-modern seperti Eropa pada abad pertengahan, orang-orang tentu mengkhawatirkan kehidupan mereka dan begitu terpukul dengan kematian orang-orang tersayangnya, namun reaksi kultural mereka yang paling utama adalah kepasrahan. Ahli psikologi mungkin akan menyebut ini dengan “hikmah dari ketidakberdayaan”. Namun demikian, orang-orang tersebut cenderung meyakini bahwa hal demikian adalah kehendak Tuhan—atau mungkin adzab karena dosa umat manusia. “Tuhan tahu yang terbaik. Kita, manusia-manusia berdosa, layak mendapatkan musibah ini. Dan Anda akan lihat, semuanya akan indah di akhir cerita. Jangan khawatir, orang baik akan mendapat pahalanya di surga. Jangan buang waktu mencari obat. Penyakit ini dikirim Tuhan untuk menghukum kita. Mereka yang menganggap bahwa manusia bisa mengatasi epidemi ini dengan kepintarannya hanya menambah dosa dari kejahatan lain yang telah dilakukan. Siapa kita untuk menggagalkan rencana Tuhan?”
Sikap kita hari ini bertolak belakang 180 derajat. Kapanpun terjadi bencana yang memakan nyawa—kecelakaan kereta api, kebakaran besar, bahkan badai—kita cenderung melihatnya sebagai kesalahan manusia yang bisa dihindari, bukan adzab ilahiyah atau malapetaka alam yang tak terhindarkan. Andai perusahaan kereta api tidak memangkas anggaran keselamatannya, andai kepala kotamadya memberlakukan tata cara pencegahan kebakaran yang lebih baik, dan andai pemerintah lebih dini mengirimkan bantuan—orang-orang tersebut pasti bisa diselamatkan. Pada abad 21, kematian massal berubah menjadi sebab dilakukannya investigasi atau pemejahijauan sebuah perkara.
Seperti ini pulalah sikap kita terhadap wabah. Ketika sebagian pendakwah menjelaskan bahwa AIDS adalah hukuman Tuhan bagi kaum gay, masyarakat modern untungnya menggeser pandangan tersebut pada orang-orang ‘gila’ sehingga hari ini kita cenderung beranggapan bahwa penyebaran Aids, Ebola dan epidemi lain yang baru-baru ini melanda merupakan buah dari kegagalan organisasi kesehatan. Kita berpikir bahwa manusia memiliki pengetahuan dan peralatan yang memadai untuk mengatasi wabah-wabah tersebut sehingga jika penyakit menular yang demikian tak dapat lagi dikendalikan, keadaan tersebut lebih disebabkan inkompetensi manusia, bukan murka ilahi. Covid-19 tidaklah terkecuali. Krisis ini masih jauh dari selesai, namun permainan saling menyalahkan sudah dimulai. Negara-negara saling menyalahkan satu sama lain. Para pesaing politik juga saling  melempar tanggungjawab layaknya granat tangan tanpa peniti.
Sepanjang situasi sulit ini, ada juga harapan yang demikian besar. Pahlawan kita saat ini bukanlah pendeta yang menguburkan jenazah dan memaklumi bencana—akan tetapi ahli medis yang menyelematkan nyawa dan kehidupan manusia. Adapun pahlawan yang sebenarnya adalah para ilmuwan yang bekerja di laboratorium. Seperti para pecinta film yang tahu betul bahwa Spiderman dan Wonder Woman akhirnya akan mengalahkan orang jahat dan menyelamatkan dunia, kitapun juga yakin bahwa dalam bulan-bulan mendatang, mungkin tahun depan, para awak di laboratorium akan menemukan treatment yang efektif untuk Covid-19 bahkan dalam bentuk vaksinasi. Lalu kita akan mempertontonkan virus Corona yang menjijikkan sebagai organisme alfa di planet ini! Sementara itu, pertanyaan yang muncul dari mulut setiap orang di Gedung Putih, di Wall Street atau sepanjang balkon Italia adalah  “kapan vaksinnya siap?” Kapan.   
***
          Ketika vaksin benar-benar siap dan pandemi ini berakhir, apa yang akan menjadi bekal utama manusia untuk kehidupan setelahnya? Apapun itu, kita harus berinvestasi lebih besar untuk melindungi kehidupan manusia. Kita harus memiliki lebih banyak rumah sakit, dokter dan perawat. Kita juga harus menyediakan lebih banyak mesin bantu pernapasan, alat pelindung, dan alat test. Kita harus menginvestasikan lebih banyak uang untuk meneliti patogen yang tidak dikenal dan mengembangkan treatment yang benar-benar baru dan efektif. Kita tidak boleh tertangkap basah kembali oleh wabah semacam ini.
Beberapa di antara kita mungkin mengatakan bahwa keharusan-keharusan tersebut adalah salah, sebab krisis harusnya mengajarkan kerendahan hati. Kita tidak boleh terlalu meyakini kemampuan manusia untuk menundukkan kekuatan alam. Sebagian orang yang pesimistis semacam ini masih percaya dengan doktrin abad pertengahan yang menyerukan kerendahan hati namun pada waktu yang sama meyakini bahwa (hanya) merekalah yang mengetahui jawaban di balik semua persoalan. Orang-orang fanatik tidak dapat membantu diri mereka sendiri—seorang pastor yang memimpin kajian Bible di kabinet Donald Trump mengatakan bahwa epidemi ini merupakan azab tuhan terhadap homoseksualitas. Akan tetapi, teladan paling sempurna dalam tradisi tersebut dewasa ini justru lebih mempercayai ilmu pengetahuan dibanding kitab suci. 
Gereja Katolik memerintahkan orang-orang beriman untuk jauh dari gereja. Israel juga telah menutup sinagog-sinagognya sementara Republik Islam Iran menyarankan warganya agar tidak mengunjungi masjid. Candi dan yang semacamnya ditutup dari acara-acara publik. Ini semua terjadi karena ilmuwan telah melakukan kalkulasi dan memberi saran untuk menutup tempat-tempat suci tersebut.  
Tentu saja, tidak setiap orang yang memperingatkan kita tentang hal mimpi keangkuhan manusia mempercayai doktrin abad pertengahan. Para ilmuwan pun akan setuju bahwa kita harus realistis dalam berekspekstasi dan tidak boleh beriman buta terhadap kekuatan dokter untuk melindungi manusia dari semua bencana kehidupan. Ketika kemanusiaan secara keseluruhan semakin kuat, orang-orang harus tetap menghadapi kelemahannya masing-masing. Mungkin dalam satu atau dua abad ke depan, ilmu pengetahuan akan mampu memperpanjang usia kehidupan manusia hingga tak terbatas, namun hal demikian belum terjadi saat ini. Selain segelintir bayi berharga milyaran, masing-masing kita suatu hari akan meninggal dunia dan kehilangan orang-orang yang kita sayangi. Kita harus sepenuhnya mengakui kefanaan kita.
Selama berbad-abad, manusia menggunakan agama sebagai mekanisme pertahanan, percaya bahwa mereka akan kekal selamanya di akhirat. Namun saat ini, mereka terkadang berbalik menggunakan ilmu pengetahuan sebagai mekanisme pertahanan alternatif, percaya bahwa dokter akan selalu bisa menyelamatkan nyawa, dan bahwa mereka akan hidup selamanya di apartemen. Kita memerlukan pendekatan yang berimbang di sini. Kita harus mempercayai ilmu pengetahuan untuk melawan epidemi, namun kita tetap harus menanggung beban ketika berurusan dengan kematian dan kefanaan yang sifatnya individu.
Krisis yang tengah terjadi mungkin akan membuat kita secara individu lebih sadar akan kehidupan dan capaian manusia yang sementara. Namun, peradaban modern kita sangat mungkin akan mengambil arah yang berlawanan. Mengingat kelemahannya di sana-sini, peradaban modern akan bereaksi dengan membangun pertahanan yang lebih kuat. Saat krisis ini berakhir, saya tidak berharap kita akan melihat penambahan signifikan dalam anggaran fakultas filsafat. Namun demikian, saya bertaruh kita akan menyaksikan drastisnya penambahan anggaran untuk sekolah kedokteran dan sistem layanan kesehatan.  
Mungkin itulah hal terbaik yang dapat diharapkan manusia. Pemerintah tidak terlalu pandai berfilsafat. Filsafat bukanlah wilayah mereka. Pemerintah harusnya lebih fokus membangun sistem layanan kesehatan. Bagaimana masing-masing individu bisa semakin baik melakukan kerja filosofisnya bergantung pada selera dan pilihan masing-masing. Para dokter tidak bisa memecahkan teka-teki keberadaan kita, tetapi mereka bisa memberi kita lebih banyak waktu untuk bergelut dan bergulat dengannya. Apa yang akan kita lakukan dengan waktu tersebut, lagi-lagi, tergantung pilihan masing-masing.
Pamekasan, 23-24 April 2020
Original version: https://www.theguardian.com/books/2020/apr/20/yuval-noah-harari-will-coronavirus-change-our-attitudes-to-death-quite-the-opposite


                  


MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.