Beberapa hari lalu desa kami dihebohkan dengan meledaknya material petasan di jok sepeda motor salah seorang warga. Karena tengah melaju, ledakan merembet ke motor lain yang ketika itu berpapasan. Tak sampai di situ saja, kobaran api juga melalap sebagian kecil bangunan di sisi jalan. Satu nyawa melayang dan beberapa lain luka-luka.
Tragedi di penghujung Ramadhan tersebut menyisakan duka mendalam tak hanya bagi keluarga korban, akan tetapi juga masyarakat umum. Betapa tidak, suasana bahagia menyambut kedatangan Idul Fitri seketika berubah menjadi ketakutan mencekam.
***
Lepas dari berbagai spekulasi perihal penyebab pasti kejadian, peristiwa tersebut sebenarnya menyiratkan perlunya perenungan ulang terhadap tradisi-tradisi Ramadhan yang terlanjur melekat dan nyaris iconic dalam masyarakat kita.
Ini menjadi penting sebab selain menjadi ikon, beberapa tradisi tertentu juga ironis karena justru menghadirkan nilai yang berseberangan dengan keluhuran Ramadhan. Hal tersebut sedikitnya dapat dilihat dari beberapa ilustrasi kecil berikut;
Pertama, dipasangnya target yang tidak proporsional pun tak realistis. Ramadhan adalah ‘bulan diskon’ sehingga ritual ibadah di dalamnya dipercaya bernilai lebih dibanding bulan-bulan lain. Karenanya, dalam beberapa ibadah tertentu, lazim ditetapkan target yang tak jarang mekso dan tanpa disadari justru ‘mengganggu’ esensi Ramadhan.
Shalat Tarawih super cepat dengan gerakan banter dan thuma’ninah yang banyak terlewatkan, misalnya, berseberangan dengan arti kata tarawih yang seakar dengan makna rehat atau istirahat. Sementara itu, tadarus dengan kecepatan tinggi juga demikian berbeda dengan kebiasaan Rasulullah me-nakrir Al-Qur’an di hadapan Jilbril yang dilakukan begitu pelan dan teliti demi memastikan otentisitas kitab pamungkas tersebut.
Selain ritual yang kemudian menjadi nyaris tanpa esensi, target yang demikian juga cenderung membuat energi selama Ramadhan habis di hari-hari pertama, seperti halnya lari sprint. Padahal, Ramadhan tak ubahnya lari marathon yang mengharuskan terjaganya ketahanan dan stamina pelari di setiap tahapan, utamanya di lap-lap akhir menjelang garis finish.
Kedua, digelarnya kemeriahan yang dalam beberapa hal salah sasaran. Selain kebiasaan menyalakan petasan yang tak hanya memekakkan telinga akan tetapi juga mengancam jiwa, berbagai daerah masih tak lepas dari tong-tong. Dalam tradisi ini, beberapa orang berkeliling kampung dengan iringan musik—umumnya tradisional—dan kadang kala dilengkapi dengan suara petasan.
Awalnya, tradisi ini dimaksudkan untuk membangunkan warga agar tak ketinggalan sahur, akan tetapi berbagai ‘inovasi’ belakangan justru menjadikannya beralih fungsi. Waktu operasional sejak sekitar jam 12 malam, utamanya, membuat tradisi ini berubah menjadi pengganggu jam istirahat malam dan musuh bebuyutan ibu-ibu yang memiliki bayi.
Tak sampai di situ, kemeriahan tersebut akan mencapai titik kulminasinya pada malam takbiran, yakni malam sebelum Hari Raya. Sebagian warga biasanya datang berbondong ke pusat kota mengendarai mobil pick-up dengan suara musik keras dari sound system besar yang terdengar sepanjang jalan. Ramadhan dan Idul Fitri kemudian menjadi semacam ajang hura-hura yang terlihat legal secara adat maupun agama.
Ketiga adalah melonjaknya skala konsumsi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pada Bulan Ramadhan, permintaan barang di pasar bukannya menurun, akan tetapi justru melonjak drastis. Ini lebih dari cukup mengindikasikan bahwa pola konsumsi masyarakat dengan ‘jadwal makan’ ala Ramadhan bukannya semakin efisien, akan tetapi justru sebaliknya.
Ritual puasa yang disebut-sebut dapat menumbuhkan empati kepada mereka yang kurang beruntung juga nyaris menjadi wacana belaka ketika agenda buka puasa lebih bernuansa ‘balas dendam’ dan gaya-gayaan. Menu spesial, porsi jumbo, restoran mahal, gaya hidup borjuis dan jadwal yang kebablasan menjadikan momen tersebut nyaris sebagai acara makan besar dan atau ‘kumpul-kumpul’ semata.
Sementara itu, lonjakan konsumsi akan terus berlanjut menjelang Idul Fitri. Ini dimulai dari belanja busana dan kebutuhan sandang lain, suguhan dan konsumsi Hari Raya, perbaikan bagian-bagian rumah, pembaharuan perabot, hingga tiket perjalanan dan jatah angpao atau parsel untuk keluarga maupun sahabat.
Di satu sisi, tentu tidak ada problem dengan momentum dan berbagai tradisi ‘konsumtif’ tersebut di atas. Apalagi, hari-hari terakhir Ramadhan hingga Hari Raya merupakan momentum yang banyak dipilih untuk menunaikan berbagai varian zakat dan sedekah. Hanya saja tak jarang, konsentrasi akan hal-hal tersebut mengalahkan skala prioritas pada hal-hal lain yang lebih esensial.
***
Lepas dari perlunya perenungan ulang terhadap tiga hal tersebut, bagi sebagian orang, berbagai hal di atas justru menjadi momentum nostalgik yang begitu dirindukan. Apalagi, Ramadhan dan Idul Fitri adalah milik semua orang. Muslim maupun non-Muslim, lelaki dan perempuan, anak kecil hingga orang tua, mereka yang suka mokel ataupun yang sregep mengejar laylatul qadar, semua terkena ‘barakah’ momentum ini.
Karena itu, tak berlebihan kiranya jika tradisi-tradisi tersebut direnungkan ulang untuk dimodifikasi sedemikian rupa demi ikhtiar melestarikan budaya tanpa mengabaikan esensi-esensi relijius di dalamnya. Dan untuk itu, penghujung Ramadhan ini adalah momentum tepat untuk melakukan perenungan tersebut sembari berharap masih berkesempatan menjumpainya di tahun-tahun mendatang.
Gambar: http://www.ubaya.ac.id/2014/content/articles_detail/215/Ramadhan-dan-Lebaran-Bukan-Sama-Dengan-Petasan.html
Another version with a very few change is available at; https://radar.jawapos.com/radarmadura/read/2018/06/22/82369/tradisi-ikonik-nan-ironis-di-bulan-diskon
Posting Komentar