Sejak bulan-bulan pertama kehamilan, yang paling sering dan paling nemen tak minta pada Tuhan adalah agar bisa lahiran alami dan mengASI hingga dua tahun. Namanya aja permintaan, ya pasti minta yang diinginin. Meski begitu, ini tak berarti aku nyinyir apalagi underestimate pada ibu-ibu yang lahiran sesar atau yang tak mengASI baik karena pilihan sendiri atau sebab lain. Lewat jalan apapun, melahirkan tetap melahirkan. Mau lewat ASI, sufor atau sumber nutrisi lain, cinta kasih seorang ibu tetap tak tertukar dan ternilai dengan ukuran apapun.
Setelah melewati drama persalinan alami dengan segala adegannya, tibalah saatnya berjuang untuk mengASI. Hari-hari pertama Rauhia lahir ke dunia cukup hard dan sad karena aku belum bisa adaptasi betul dengan segala hal yang serba baru. ASIpun belum lancar sehingga untuk satu-dua hari, Rauhia masih harus mik sufor dari botol kecil bermerk H*ki yang dibeli beberapa jam setelah dia menangis untuk kali pertama .
Sufor yang ia cicipi adalah ‘hadiah’ dari Polindes tempat persalinanku. Merknya Lov*tona, kemasannya biru. Selain sufor, Rauhia juga dikasih mik air gula, katanya untuk mencegah penyakit kuning. Ketika tahu ini, aku diam ga ngomong apa-apa karena masih berusaha mencaritahu hubungannya penyakit kuning dengan gula. Duh orang tua aja harus ngurangi makan gula, ini kenapa bayi umur sehari uda dikasih gula? Begitu aku nggrundel dalam hati.
FYI, berbekal sharing pengalaman dari seorang teman, aku sudah melakukan treatment khusus untuk memperlancar ASI sejak kehamilan. Tapi, yang namanya newbie unyu dan nyaris no idea tentang how the wonder works mulai dari proses kehamilan, persalinan hingga mengASI, aku sempat pesimis juga bisa mengASI. Yang kuderita adalah pesimis tanpa sebab alias merasa khawatir tanpa alasan atau indikasi medis yang jelas.
Alhamdulillah, lagi dan lagi, keinginan itu terkabul. Ini terjadi, kalau tidak salah, pada hari ketiga lahiran setelah adegan Inisiasi Menyusui Dini di ranjang Polindes serta beberapa episode, sebut saja, habituasi antara kulitku dan kulit si bayi melalui adegan yang kalau diingat sekarang, rasanya awkward banget. Sebelum ASIku lancar, kami tetap dijadwalkan kontak kulit sesering mungkin untuk menstimulasi ASI serta membiasakan mulut si bayi mengenal ‘tangki nutrisi terbaiknya’.
Lancarnya ASIku bermula dari kunjungan salah seorang saudara yang piawai meracik jamu tradisional. Beliau adalah saudara mbah dan sudah berusia lanjut namun luar biasa enerjik, termasuk untuk meracik jamu. Yakin dengan khasiat, kualitas bahan dan proses pembuatan, aku teguk itu jamu—yang umum disebut bejjha—tanpa mikir macam-macam. Rasanya juga tidak pahit sehingga nyaris tak ada masalah. Beberapa jam kemudian, reaksinya kerasa meski taunya baru lewat gelagat si bayi yang ketika nempel di kulitku, tiba-tiba anteng dengan gerakan mulut seolah tengah menyedot sesuatu.
Selain melalui responnya, aku pribadi awalnya tidak merasakan sensasi yang berbeda. Rasanya sama saja. Beberapa saudara perempuan yang mendampingiku meyakinkan bahwa ASIku sudah keluar dan mulai lancar. Lama-lama, aku baru merasakan efeknya. Ketika si bayi menempel di bagian kanan, maka bagian kiri akan terasa sakit karena mengeluarkan ASI juga, meski tidak sedang di-mik. Ok itu rule #1.
Rule#2, karena ketika itu Rauhia masih sangat amat kecil dan so baby, infant gitu, aku hanya bisa menyusuinya dalam keadaan duduk. Tentu ini tidak menjadi masalah di jam-jam normal ketika pagi, siang, sore atau malam jika belum larut. Namun ketika ia masih jetlag dan menyesuaikan zona waktu di perut dan zona waktu di bumi, ia sering bangun tengah malam.
Di saat inilah, aku yang secara naluriah harus menyusuinya dilarang ngantuk betapapun capek dan lelahnya sebab jika itu terjadi dan keseimbanganku hilang, hal buruk akan terjadi. Untunglah, ini tak berlangsung lama sebab entah sejak bulan keberapa, aku sudah bisa mengASI sambil berbaring sehingga bisa ikutan tidur dan tidak harus begadang sesering dahulu.
***
Drama mengASI menemukan episode baru ketika aku harus kembali bekerja meski ketika itu belum tiap hari. Di saat itulah, aku harus melakukan apa yang namanya pumping alias memerah ASI untuk dikonsumsi Rauhia selama aku tidak di rumah. Sebelumnya, aku sudah latihan memerah ASI jika akan membawa Rauhia bepergian agar selama di jalan, dia bisa mik pakai botol. Selain agar segalanya praktis dan ‘tangki’ ga perlu dibuka di sembarang tempat, ini juga dilakukan untuk membiasakannya mik dari botol karena aku harus kembali bekerja.
Awalnya semua berjalan lancar meski aku sempat merasa sedikit kewalahan dengan tugas tambahan mencuci peralatan pumping dan bottling dengan alat dan bahan khusus. Namun semua kulakuan demi cita-cita memberinya ASI eksklusif hingga enam bulan. Jika tak ingat-ingat sekarang, sebenarnya perjuangan memberi ASI eks hingga 6 bulan lebih berat dalam hal membalas komentar-komentar ga asik yang menuduhku terlalu ‘bidan sentris’ karena terobsesi dengan ASI eks 6 bulan.
Tentu saja aku tidak perlu menceritakannya lebih detail di sini. Sebagian masuk hati sebagian lagi keluar lewat jalan mana saja. I said to myself that I am protected already. Aku kebal dengan komentar apapun demi cita-cita ASI eks enam bulan. Yang ada di pikiranku sebenarnya sederhana. Jika aku masih kuat mengASI, kenapa harus dikasih nutrisi lain? Jika periksa kehamilan dan lahiran ke bidan, kenapa harus ngeyel dari program ASI eks 6 bulan yang bukan fatwa pribadi si bidan, melainkan sudah jadi program pemerintah? Ada UUnya pula.
Jadilah aku mengupayakan banyak hal agar bisa ASI eks 6 bulan meski harus bertabrakan dengan beberapa hal. Kadang repot juga ketika terlalu banyak orang yang peduli dengan cara memberi saran. Ketika sarannya ga dijalankan, malah sakit hati. Dianggap ga menghargai, sok tau dibanding yang berpengalaman atau ngeyel sama yang lebih tua. Iya kalau sarannya sama. Lha kalau berbeda? Yang mana yang akan tak ambil? Karena itu aku bikin aturan sendiri bahwa saran yang akan tak ambil adalah saran professional aka bidan dan nakes lain. Saran di luar professional cukup disodakohin pake senyum.
Tapi bytheway, yang namanya ibu, betapapun baru dan unyunya kaya aku, tetap aja merasa bahwa tak ada yang sebaik dirinya dalam memperlakukan si bayi. Ketika aku tak di rumah, tetap aja ada kekhawatiran jika si bayi tiba-tiba dikasih nutrisi lain selain ASI perah yang sudah kusiapkan berhari-hari sebelum hari H. Tak peduli yang jaga adalah ibuku, ibu mertua, bahkan suami sendiri, kekhawatiran itu tetap tak hilang. Siapapun bisa cooperative hanya di depan mata. Saat itulah, ketika sadar dengan ketakberdayaan dan keterbatasanku, larinya kembali ke doa agar semesta mendukung program ASI eks hingga 6 bulan. Aku yakin Tuhan melihat usahaku dan emoh menyia-nyiakannya.
***
Belum genap 6 bulan, Rauhia harus kutinggalkan kurang lebih 24 jam untuk test CAT dalam rangkaian test CPNS ke Surabaya. Sebelum hari H, aku mengumpulkan ASI perah lebih giat dari biasanya karena itu adalah momen pertama kali aku berpisah darinya dalam durasi yang sepanjang itu. Alhamdulillah semua lancar, ASIP-nya nyaris habis dan meski dia harus menjalani adegan minum air tajin tanpa instruksi—dan tentunya izin—ku, kebahagiaan bertemu kembali dengannya memadamkan kekecewaan itu.
Setelah itu, sebelum aku pindah kerja, aku sempat libur lama sehingga Rauhia ‘lupa’ dengan botolnya dan hanya mau ngASI langsung dari aku. Akibatnya setelah liburan berakhir dan aku harus mengurusi kepindahan ke tempat baru, aku kewalahan karena harus kembali mengandalkan ASIP, sementara dia sudah terlanjur emoh mbotol. Ini sempat membuatku frustrasi setelah beberapa cara seperti pakai botol lain dan melubangi karet botol mental ga berfungsi.
Ketika itu ia sudah mulai MPASI, sehingga seharusnya hal ini tidak terlalu mengkhawatirkan. Tapi, dari nomenklaturnya saja, program ekskslusif buah 15 hari kemudian 4 bintang itu sifatnya hanya PEMBANTU, yang utama tetap ASI. Idealnya adalah Rauhia tetap mau mik ASIP selagi aku bekerja sehingga dia tak kekurangan nutrisi dan aku bisa feel ok—kalaupun tidak bisa sepenuhnya—di tempat kerja.
Dengan segala cara dan beberapa trial and error, akhirnya Rauhia mau kembali mik ASI perah dengan bantuan sendok. Ini tentu kurang efektif karena mengharuskan bantuan orang lain dalam waktu dan intensitas yang tinggi. Sementara itu, jadwal ngantor di tempat baru lebih padat dari sebelumnya, yakni lima hari sepekan dari jam 07.30 hingga 16.00.
Nyaris tak ada jalan, akhirnya aku membiasakan diri untuk pulang saat jam istirahat demi ngASI. Senyuman dan ekspresi Rauhia saat mendapatiku datang juga tak terkatakan bagaimana menggembirakannya. Panas hujan tak jadi masalah sebelum akhirnya aku bengek dan harus menggunakan kartu BPJSku untuk bertemu dokter. Kesimpulannya aku terlalu banyak makan angin. Barangkali ada benarnya juga. Jarak tempuh rumah ke kampus adalah 30 menit. Jika dalam sehari aku bolak-balik 2 kali, maka ada waktu 2 jam aku membiarkan tubuhku meet and greet dengan angin jalanan.
Seperti sudah di¬-setting, setelah kejadian bengek itu, Rauhia mulai mau mik ASIP dengan botol baru yang kubeli belakangan. Alternatif botol dengan sedotan yang kubeli bersamaan digunakan untuk dia mik air, sehingga dua-duanya berfungsi. Ini sekaligus jadi media yang tepat untuk memastikan dia terhidrasi cukup dan penyaluran hobinya mik banyak, persis seperti romo-nya. Masalah selesai dan terurai. Aku tidak perlu pulang ke rumah setiap jam istirahat kecuali pada Hari Jumat atau ketika ada keperluan lain.
***
Episode selanjutnya terjadi ketika rilis pengumuman Prajab atau, istilah barunya, Latsar. Aku harus belajar di luar kota selama 33 hari dan keberlanjutan ASI terancam. Did I need to take a part with her? She could be ok but I am totally no. Big no! Aku ngotot aku harus membawa Rauhia serta demi program ASI dua tahun dan yang juga penting, demi ketenangan batinku. Jauh darinya benar-benar tak terbayangkan. Sayangnya, tak sedikit yang mementahkan ke-ngotot-anku dan justru menyarankanku untuk menyapihnya.
Sakit rasanya hatiku, apalagi itu datang tak hanya dari satu dua orang, dari kalangan orang terdekat pula. Namun, barangkali komentar mereka memang beralasan sebab ketika itu, aku tak jua menemukan rewang untuk membantuku mengurus Rauhia. Tentu tidak mungkin aku membawa serta Rauhia ke sana sebab aku tak akan leyeh-leyeh selama lima pekan itu. Jadilah aku frustrasi berat dan setiap ngomongin ini, aku biasanya akan brambang tak peduli di depan orang yang baru kukenal.
Keajaiban kembali terjadi ketika H minus 4, aku menemukan rewang. Jadilah pagi, 30 April kemarin, dengan bawaan seperti orang mau pindah rumah, kami bertiga plus rombongan berangkat menuju BDK Surabaya sambil ketar-ketir takut telat pendaftaran dan pembukaan dan ternyata emang telat. Proses berjalan rasanya seperti di sinetron. Terasa dunia ini sempit, segala-galanya mudah dan semua urusan lancar. Meski harus menjadi korban kesalahan komunikasi dan ada adegan pengusiran Rauhia dan rewang dari Kamar E9 BDK, mereka berdua akhirnya tinggal di kos—atau semacam homestay—di seberang BDK, nganan dikit. Tempat yang cukup layak buat anak kecil yang belum genap berumur setahun dan tidak suka dengan panasnya Surabaya sehingga untuk menjaminnya nyenyak tidur, dibutuhkan alat Doraemon bernama Air Conditioner.
Dengan jarak tempuh sekian ratus puluh langkah dari kamarku di BDK ke kosnya, aku mengunjungi Rauhia sedikitnya lima kali sehari. Program ASI lancar jaya sebab intensitasku dengannya bahkan lebih tinggi dibanding pas hari kerja aku di rumah. Otomatis, dia kembali emoh botol dan hanya mau nempel sama kulit mama. Padahal, aku sudah menyiapkan alat perang cukup banyak untuk sesi pumping kali itu, termasuk cooling bag, ice gel dan botol tambahan pinjaman serta bottle sterilizer yang baru aku tau cara pemakaiannya. Meski kecewa, aku tetap bahagia karena merasa Tuhan mempermudah jalanku dan mengamini usahaku yang meski tak maksimal, kadang harus dibumbui tetesan air mata. Apalagi, Rauhia juga semakin dinamis mengASI tidak hanya dengan posisi tidur dan duduk, akan tetapi juga berdiri sambil berjalan ke sana ke mari dengan satu atau dua tangan sibuk melakukan sesuatu.
***
Dan setelah semua itu, Rauhia hari ini, jika ada iklan SGM lewat dengan lagu ‘kalau Kau anak SGM tunjuk tangan’, dia akan acungkan tangannya dengan memasang ekspresi wajah selucu mungkin. Aku sudah memberitahunya bahwa 'dia bukan anak SGM', tapi dia tak peduli. Baiklah, Nak, asal Kau bahagia dan sehat ya. :)
Posting Komentar