Hidup dalam Himpitan Indoma*t dan Alfama*t

Terbiasa hidup di (pinggiran) kota kecil dan berbagai kesederhanaannya mau tak mau memberi cultural shock tersendiri ketika harus berpindah ke kota metropolis dalam waktu yang relatif tak sebentar. Hari-hari pertama di Surabaya penuh dengan proses adaptasi yang terbilang sulit, termasuk bagi Rauhia. Ia yang ketika itu belum genap setahun harus pindah ke lingkungan yang sama sekali baru, berinteraksi dengan wajah-wajah asing dan seakan memasuki timezone yang berbeda.

Untungnya, tak sampai sepekan, Rauhia menunjukkan perkembangan menggembirakan. Ia mulai terbiasa tidur tanpaku, mandi tidak bersamaku, makan, bermain dan menghabiskan waktu bersama rewang serta membiarkanku berangkat tanpa drama tangisan atau jeritan yang menggema ke mana-mana. Tentu ini terjadi setelah rentetan adegan dan drama perpindahan kamar yang bukan hanya baperable, tapi juga insecurable. Saat aku mulai pasrah, nerima dan berangsur tenang, seperti kata orang-orang, Rauhia mulai kooperatif.

Aku sendiri yang seringkali tiba-tiba merasa kembali ke jaman kuliah—meski ada beberapa scene dan peran yang sama sekali baru—juga tak lepas dari gejala itu. Ini misalnya terjadi ketika berburu kebutuhan harian. Seperti kebanyakan perempuan, aku gemar berbelanja di tempat yang murah dan lengkap demi efisiensi dan efektivitas. Beda harga lima ratus rupiah aja bisa jadi bahan pertimbangan untuk memilih toko ini dan bukan toko itu.

Nah di Surabaya, dua-tiga mingguan terakhir ini, aku yang terbiasa memerhatikan price tag atau struck belanja dengan seksama harus calm down dan legowo ketika tinggal di antara himpitan Indoma*t di kanan dan Alfama*t di kiri. Selain dua toko waralaba yang masyaAllah masif betul ekspansinya itu, ada dua penyedia kelontong yang bisa jadi alternatif. Satu di depan gerbang balai dan satu lagi koperasi di area balai. Sayangnya, dua yang kusebut terakhir ini tidak menyediakan barang selengkap di Basm*lah, toko bi Yuk atau nom Slihe. Otomatis, dua mart itu menjadi satu-satunya pilihan yang available.

***

Jadilah aku (sedikit) kerepotan. Untuk membeli popok yang biasa Rauhia pakai saja, aku harus memesan ke koperasi (ketika akan kulakan barang) dan ternyata tidak dapat. Menurut penjaganya, supplier tidak menjual popok dengan kemasan biru bergambar bayi anjing itu. Aku belum menyerah dan masih berusaha mendapatkan popok Flu*fy itu ketika izin pesiar ke rumah omku di Gerungan, Sidoarjo. Alih-alih menemukan yang kucari, dua penjaga toko kelontong—di area perumahan—yang aku kunjungi malah mengaku belum pernah mendengar merk popok itu. Oh tuhan. Untuk urusan popok sekali pakai ini, oke-lah aku berlindung kepada promo di dua mart itu.

Sekali waktu yang lain, aku merasa alarm tubuhku mulai berbunyi setalah adegan kehujanan tengah malam ketika Rauhia rewel dan hanya bisa diam setelah melihatku. Ketika sudah begitu, imunku perlu diperkuat dan satu-satunya pilihan yang mungkin adalah y*ci1000, suplemen vitamin C berkaleng beling yang memiliki dua varian rasa. Terakhir kali membeli di toko kelontong tetangga beberapa waktu yang lalu, harganya masih 6k. Ketika kucek di kulkas salah satu mart itu, harganya sedikit lebih tinggi karena masuk dalam salah satu list barang yang sedang didiskon. Nah, didiskon aja masih lebih mahal dari harga pasaran.

***
Lain aku, lain pula ibuku. Ibuku cukup senang berbelanja dia salah satu mart tersebut dengan iming-iming promonya. Kebetulan, 2 kilometer-an dari rumah, ada salah satu mart yang beroperasi dan berseberangan persis dengan swalayan murah meriah milik salah satu pesantren salaf di Pasuruan. Hampir tiap akhir pekan, ia memanfaatkan networking-nya untuk mengetahui apa saja barang yang tengah didiskon harganya. Jika tidak demikian, maka ibuku akan dengan sengaja menyempatkan mampir ke situ untuk mengecek barang apa saja yang tengah promo.

Barang-barang yang dibeli ibuku cukup beragam, mulai dari perlengkapan rumah tangga seperti sabun cuci piring, deterjen dan amunisi lain di kamar mandi hingga tissue dan makanan ringan. Harganya memang sering di bawah harga pasar, tapi ya itu, harus nunggu promo. Biasanya, ibuku membeli barang-barang tersebut untuk nyetok alias tidak tengah butuh ketika membelinya. Barang yang ia beli biasanya akan ngetem lama sebelum dipakai atau dijual kembali ke pembeli terakhir. 

Sementara itu, aku—bisa dibilang—hanya akan mampir ke situ jika tengah kepepet tidak menemukan swalayan lain atau toko kelontong tradisional. Bagaimana tidak, ia ada di mana-mana dan sering juga satu atap dengan mesin ATM. Jadi sekalian ambil uang, sekalian belanja. Seringnya aku mampir ketika perut lapar dan harus diganjel dengan Sa*i Roti dalam perjalanan pulang dari kampus ke rumah. Jika sudah begitu, perasaan malas menanggapi sapaan default dari kasir dan pramuniaga biasanya tak terhindarkan.

Dari pengamatan gaya belanja ibuku, teman-teman, orang yang tak jumpai ketika kunjungan ke dua mart itu, termasuk aku sendiri, aku melihat gejala yang sama: Konsumen seringkali lebih memertimbangkan potongan harga aka diskon dibanding mendesak tidaknya sebuah kebutuhan. Pilihan mengejar diskon jadi lebih diprioritaskan dibanding pertimbangan urgen tidaknya membeli barang tertentu. Dan yang juga kurasa, harga setelah diskon terasa beneran murah meski belum mengecek harga normal di pasaran.

Apalagi, taktik marketing dua mart tersebut seringkali benar-benar melenakan, seperti sistem kuantitas barang dan jumlah transaksi. Kalau beli dua atau tiga barang yang sama, maka diskon baru berlaku. Konsumen jadi ‘terpaksa’ membeli dua pcs padahal kebutuhannya cuma satu. Ini kualami biasanya ketika membeli minuman. Yang masih tak inget adalah ketika membeli susu Beruang di Alfama*t Ganding, Minute Maid Pulpy di perjalanan menuju Solo bersama Ayis Mukholik dan (lagi-lagi) Yuc* 1000 di Indoma*t sebelah.

Jika tidak demikian, maka diskon hanya berlaku di atas jumlah transaksi tertentu sehingga barang yang sebenarnya tak ingin dibeli jadi dicomot. Semua demi mengejar diskon. Kebutuhan yang sebenarnya dan rencana dari rumah buyar seketika saat sampai di tempat yang memanjakan konsumen dengan berbagai fasilitas itu sehingga mereka seolah memiliki pengalaman berbelanja yang menyenangkan dan melupakan banyak hal termasuk itung-itungan harga yang meski kacek-nya sedikit, tetap bisa menjadi bukit. Buaian fasilitas semacam itu juga sangat mungkin membuat pengunjung tiba-tiba merasa butuh--atau ingin--membeli barang karena tampilan yang menarik dan seolah-olah harus dibeli saat itu.

***

Mumpung diskon atau mumpung lagi di TKP adalah alasan yang suka terngiang di kepala ketika berkunjung ke situ. Ini juga kualami ketika membeli popok Rauhia dan beras untuk konsumsi harian di kos. Bertiga dengan Rauhia dan rewang, aku berkunjung ke situ dengan niat mengejar popok harga diskon. Sesampainya di situ dan memastikan bahwa popok yang diincar masih tersedia di area khusus diskon, aku yang niatnya tidak ingin membeli beras jadi teringat bahwa persediaan beras sudah menipis sehingga berpikir tak ada salahnya sekalian beli di situ, biar tidak bolak-balik dan ribet ngurus perizinan lagi. Niat itu juga diperkuat dengan adanya beras yang tengah masuk list promo.

Jadilah demikian. Dari kunjungan itu aku juga baru mengerti—setelah diwarai mbak rewang—bahwa label harga atau price tag untuk barang yang didiskon berbeda warna dengan barang dengan harga normal. Jadi, selain memerhatikan umbul-umbul di beranda depan, brosur daftar diskon atau di plang-plang kecil di area barang diskon, warna dalam label harga juga bisa diperhatikan. Setidaknya, jika kasir tidak menghitungnya diskon, konsumen bisa complain atau meng-cancel pembelian tanpa merasa sungkan atau takut dikira kere.

Di sebuah kunjungan lain, aku mendapati bapak-bapak yang membeli sebungkus rokok dan ngomel-ngomel setengan complain karena harga yang harus dibayarnya jauh di atas harga normal. Si kasir dengan dandanan default hanya senyum-senyum dan terlihat tak sama sekali baper dengan aksi si bapak. Barangkali karena sudah terbiasa mendapati complain serupa atau di pikirannya, dia tengah bergumam semacam ini, “kalau ga mau mahal ya jangan beli di sini.”

Mahalnya harga di dua mart itu sebenarnya bisa dimengerti. Selain operasional berbagai fasilitas, gaji karyawan dan pajak juga menjadi komponen lain yang harus dihitung selain harga beli barang dari produsen atau supplier di atasnya. Belum biaya lain-lain semisal pembebasan lahan dan administrasi idzin atau yang semacamnya. Jadi, wajar saja jika harga barang yang dijual jadi di atas rata-rata.

Akan tetapi, sampai tulisan ini dibuat, aku belum bisa mengurai atai sekadar memerkirakan penjelasan mengapa dua mart itu terkesan pilih-pilih barang jualan. Barang-barang murah (meriah) atau yang ukuran kecil nyaris tak didapatkan di situ. Salah satu contohnya ya popok Fluf*y yang biasa dipakai Rauhia. Aku juga pernah kecele karena terlanjur masuk ke Indoma*t Trasak untuk membeli pasta gigi sembari nunggu bus antarkota. Ternyata pasta gigi yang tersedia hanya ukuran raksasa sehingga aku harus banting setir ke paket sikat dan pasta gigi khusus travel yang harganya out of prediction.

Pernah juga mau ngisi pulsa di kasir tapi akhirnya ga jadi karena nominal pengisian pulsa lebih besar dari rencana semula. Aku lupa berapa dan kapok gamau lagi ngisi pulsa di situ, meski setiap bayar ke kasir selalu ditanya, ‘mau sekalian pulsanya, Kak?’ Beberapa barang tertentu—semisal Ad*m Sari dan Vita*imin—juga tidak dijual eceran dan mengharuskan pembeli membeli barang dengan kuantitas yang seringkali melampaui kebutuhan mereka yang sebenarnya.

***

Dari beberapa hal di atas, jika tidak sedang pingin ngadem, memanfaatkan fasilitas parkir gratis, berada di waktu dan tempat yang tak biasa (seperti dini hari atau di kota orang) atau menggunakan mesin ATM dan berburu barang promo, warung tetangga dan pasar tradisional masih patut menjadi pilihan nomor satu. Memang benar dua mart itu lumayan menyerap tenaga kerja lokal, tapi untuk menjadi tujuan dan pilihan berbelanja, sepertinya masih jauh dari kriteria ideal.

Gambar: magazine.job-like.com