Checklog dan Upaya Menjadi Disiplin

Di antara sekian banyak pesan broadcast, meme atau postingan yang viral di dunia maya baru-baru ini, sebuah meme perihal kesulitan—baca: tantangan—menjadi pegawai menarik perhatianku. Di situ tertulis bahwa salah satu flaw terbesar menjadi pegawai adalah sulitnya mengembangkan diri. Harusnya aku tak perlu iseng merenungkan meme itu jika saja tidak merasa bersangkut paut dengan status yang baru aku punya sejak beberapa bulan terakhir.

Dari situ, muncul keisengan berikutnya untuk berbagi cerita perihal secuil hal dari keseharian pegawai yang barangkali belum banyak diketahui. To be short, sependek yang kupahami, pegawai sebenarnya hidup dengan berbagai sistem dan prosedur yang dirancang sedemikian rupa agar mengondisikan segala hal untuk bisa kondusif dan suportif meningkatkan kinerja dan produktivitasnya (bahasanya teknis banget sih). Salah satu di antaranya adalah sebuah sistem, prosedur atau mungkin instrument yang bernama checklog.

Entah spelling-nya benar atau tidak, mudahnya kata itu adalah prosedur absen digital bagi seluruh karyawan yang sifatnya harian. Ia memiliki dua varian, yakni check in dan check out. Dalam penggunaan keseharian ia bisa menjadi kata kerja sekaligus kata benda. Bagi para karyawan, mesin checklog tak ubahnya hajar aswad yang disambangi setiap mengunjungi Ka’bah. Setiap mereka datang ke kampus, mereka akan check in dan begitu juga ketika akan meninggalkan kampus, mereka akan check out. Idealnya sih begitu, meski ada juga kasus lupa checklog karena satu dan lain hal.

Jadi prosedurnya, tiap pegawai akan menampakkan wajah ke semacam cermin digital dan memastikan seluruh bagian inti wajahnya terlihat. Karena itu kalau pakai masker, maskernya harus dicopot dulu. Setelah itu, selama sekian detik, mesin akan mencocokkan wajah dengan database yang dia punya menggunakan barometer semacam kesamaan wajah—aku lupa istilahnya apa—yang diskalain pakai angka lalu tak lama, akan muncul data inti—pas ceklog pertama kali—serta ucapan ‘terimakasih’ yang khas sekali dari seorang perempuan yang entah siapa. Ucapan ini adalah salam default yang akan terdengar pada jam berapapun checklog dilakukan. Mau ontime, sregep atau terlambat, responnya sama.

***

Di kampus tempat aku bekerja, ada dua unit mesin checklog yang terletak dan berjejer di Kantor Pusat. Ini tentu semakin meneguhkan kantor pusat sebagai tempat yang benar-benar sentral karena minimal, ia akan dikunjungi karyawan dua kali sehari untuk keperluan checklog. Jumlah dan lokasi tersebut sangat cocok dengan demografi kampus dan (barangkali) kuantitas karyawan. Additionally, tidak tersebarnya mesin checklog
di tempat yang berbeda juga dapat mempererat silaturrahim antarkaryawan mulai dari ketua hingga yang bawah-bawah sepertiku. Ketika bertemu di area si mesin, minimal kami akan bertukar senyum, bersalaman hingga beramah tamah duduk dan ngobrol.

Check in paling akhir adalah jam 07.30 WIB berdasarkan itungan jam di mesin checklog. Tentu waktu istiwa’ tidak dipakai di sini dan jika ada perbedaan menit hingga second dengan jam tangan yang dikenakan atau jam di gawai masing-masing, maka yang dimenangkan adalah versi mesin checklog. Sementara itu, check out paling awal adalah jam 16.00 WIB (untuk Senin hingga Kamis) dan 16.30 (untuk Jum’at). Informasi perihal checklog paling awal dan akhir jam berapa awalnya belum bisa aku pastikan sebelum membaca selebaran pengumuman libur lebaran kemarin.

Sependek yang aku amati, ada beberapa karyawan yang checklog dengan sidik jari dan ada yang dengan wajah. Aku tidak tahu bedanya apa. Aku sendiri biasanya dengan wajah, sekalian ngaca di mesin checklog untuk memastikan whether I look ok already, utamanya di pagi hari dan di mesin sebelah kiri yang kacanya lebih bening. Pernah satu kali aku mencoba menggunakan sidik jari tapi ditolak oleh sistem. Ketika mendaftar data wajah untuk keperluan ini bersama Pak Ipul, aku memang tidak diminta menunjukkan sidik jari. Sayangnya ketika itu aku sedikit nervous sehingga data record yang menampakkan wajahku dalam ekspresi flat tanpa senyum seperti sedang poto session untuk keperluan bikin pasport. Tak kusangka rekam data pertama kali itu akan selalu muncul setiap kali aku checklog bersama semacam user name dan beberapa informasi lain.

***

Ngomong-ngomong soal waktu checklog, ada sedikitnya dua kaidah dasar yang berlaku. Pertama adalah bahwa checklog menerapkan sistem qadha’ dan kedua adalah bahwa checklog hanya memberlakukan sistem punishment tanpa diimbangi dengan reward. Jika seorang pegawai checklog jam delapan dan itu artinya dia terlambat 30 menit, maka ia baru boleh pulang setengah jam setelah jam awal ceklog pulang, yakni jam 16.30 untuk Senin-Kamis dan 17.00 untuk Jumat. Sebaliknya, jika seorang pegawai checklog datang jam 7, misalnya, maka ini tidak berarti bahwa yang bersangkutan dapat pulang 30 menit sebelum jam 16.00 alias jam 15.30. Aturan yang sama berlaku bagi pegawai yang pulang keri selepas jam 16.00 meski yang bersangkutan tidak memiliki hutang yang harus disaur. S/he deserves just the same.

Well, anyway, mengapa harus diatur sedemikian rupa dan terkesan sangat detail serta prosedural sekali? Sejauh yang kuamati, checklog memberi dampak prosedural dan eksistensial. Seorang pegawai yang datang ke kampus tapi tidak checklog, maka yang bersangkutan dianggap tidak masuk pada hari tersebut betapapun ia stay di situ dan do the job. Jika dia checklog datang saja dan tidak checklog pulang, maka ia akan dianggap hadir tapi tidak dijatah uang makan (ada yang bilang uang lauk-pauk dan uang transport) harian yang dicairkan tiap bulan. Sementara itu, jika checklog datang dan pulang, dengan jam yang sesuai, maka ia akan dianggap hadir dan dijatah uang makan. Nah semisal ada beberapa menit yang missing, aku belum tau pasti bagaimana dampaknya. Jatah makan dikurangi atau dianggap tidak hadir, entahlah.

Dampak eksistensialnya adalah bahwa checklog merupakan perangkat yang menjadi bagian dari sistem untuk mendisiplinkan pegawai. Idealnya begitu. Itulah mengapa ketentuannya diatur sedetail itu. Ia meniscayakan bahwa dalam jangka waktu sekian jam sehari, seorang pegawai berkesempatan sama untuk benar-benar melakukan tugas dan fungsinya sehingga—idealnya—tidak ada pekerjaan yang keteteran, jadwal yang terbengkalai atau hal-hal lain di luar kehendak sistem. Sampai di sini, checklog masih sempurna sebagaia sistem, aturan atau perangkat untuk menciptakan suasana kerja disiplin.

Namun demikian, checklog menjadi problematis sedikitnya karena beberapa alasan berikut.

Satu, tidak semua pegawai ‘bertugas’ di lingkungan kampus. Ada beberapa di antara mereka yang dalam kesehariannya bertugas di luar, semisal ketika dinas luar, lagi ngumpulin data di lapangan, menjadi delegasi kampus untuk agenda tertentu dan lain sebagainya. Karena tidak ada checklog daring yang bisa diakses kapan dan di manapun, maka sebagian dari mereka ini harus menambah rute ke kampus untuk checklog dua kali sehari, selama memungkinkan dan mau nyempetin. Kalau dinasnya di luar kota ya kejauhan.

Dua, seperti semua sistem yang bisa dipastikan memiliki flaw sesuai dengan karakternya masing-masing, checklog juga sangat potensial untuk diakali. Ini, satu sisi menjadikan aturan lebih fleksibel, namun di sisi lain juga seperti permisif terhadap indisiplin pegawai. Yang kualami dan kuamati, checklog terkadang kehilangan tupoksinya ketika ia hanya menjadi formalitas seperti dalam kasus berikut; checklog datang lalu—cepat atau lambat—ke luar kampus untuk urusan pribadi dan atau di luar kedinasan, checklog datang lalu berada di lingkungan kampus tapi disorientasi alias tidak (langsung) menggarap pekerjaan dan memrioritaskan hal-hal yang seharusnya tidak menjadi prioritas.

Tak heran, pemandangan checklog lalu pulang adalah hal yang sangat biasa dan tampak sengaja dimaklumi untuk menghormati kesibukan lain para pegawai di luar tugas-tugas kantor. Kesibukan dimaksud meliputi, namun tidak terbatas pada, urusan keluarga, mengantar-jemput anak ke sekolah, ke RS/atau public service center yang hanya buka di weekdays, merawat anggota keluarga yang sakit dan keperluan-keperluan lain. Ketika +7 lebaran kemarin, aka tellasan topak, pimpinanku bahkan membolehkan bawahannya untuk checklog saja tanpa masuk kantor demi merayakan hari lebaran ketujuh bersama keluarga. Kebijakan yang populis kupikir, sebab selain memang belum ada pekerjaan mendesak, masuk kerja di hari itu sangat tidak kondusif.

Dari situlah, checklog, meksi merupakan instrumen formal, memainkan secondary role sebagai semacam pelengkap prosedur perizinan kultural ketika ada keperluan yang memang benar-benar mendesak. Saat seorang pegawai harus menyelesaikan urusan urgent di luar kampus, termasuk urusan tengka, maka yang bersangkutan bisa checklog lalu idzin secara kulural pada pimpinan. Ini menjadikan aturan perihal absensi pegawai lebih fleksibel dan memudahkan, meski di sisi lain juga membuka potensi lain untuk diakali.

***

Di luar hal-hal teknis dan prosedural di atas, checklog sebenarnya tak lebih dari perangkat mekanis yang bekerja secara otomatis dan tak berinstink. Beda sekali dengan manusia yang tak hanya beruntung karena memiliki akal—untuk mengakali apapun yang tampak tak bisa diakali—akan tetapi juga perasaan untuk mengontrol kerja akal yang kadang tak mau ikut aturan. Seorang pegawai bisa mengakali sistem dengan setor muka di mesin checklog sebelum atau sesudah ngluyur untuk urusan pribadi, di dalam maupun di luar kampus, namun pastinya ia tak bisa berbohong dari dirinya sendiri. Ia juga tidak akan terbebas dari rasa sungkan kepada pimpinan, rekan kerja atau siapapun yang secara sengaja maupun tidak mengetahui aksi pseudo checklog-nya karena berbanding terbalik dengan kinerja dan atau produktivitasnya.