Penerjemah: Masyithah Mardhatillah
Pandemi COVID-19 memberi tantangan
yang sama sekali baru bagi Muslim Indonesia bersamaan dengan Ramadhan yang
sudah di depan mata. Muhammadiyah merupakan satu di antara organisasi-organisasi
Muslim yang melakukan persiapan menghadapi bulan puasa di tengah wabah ini.
Sejak awal merebaknya pandemi ini, pimpinan Muhammadiyah telah menegaskan dua
hal: Pertama bahwa isolasi sosial atau al-taba’ud al-ijtima’i
dalam Bahasa Arab—untuk menguatkan legitimasinya—merupakan satu-satunya
tindakan yang dapat dilakukan untuk menahan persebaran virus ini. Kedua adalah
keharusan masyarakat Muslim mengubah perilaku keberagamaannya.
Muslim Indonesia menghadapi
situasi sulit sebab ketentuan beribadah harus tetap mereka penuhi ketika pada waktu
yang sama mereka juga harus melindungi diri serta orang lain dari penularan virus.
Biasanya, begitu Ramadan menjelang, para pemimpin Muslim akan menyiapkan berbagai
perlengkapan yang dibutuhkan untuk acara-acara sosial maupun keagamaan. Ramadan
menjadikan agenda pembatasan sosial sangat sulit. Mustahil menahan laju pandemi
ini jika umat Muslim tetap dengan suka cita melaksanakan ibadah Ramadhan
seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Padahal, masih banyak yang meyakini bahwa
mengabaikan kewajiban-kewajiban yang demikian akan menggiring pada dosa ahkan azab.
Ada juga kecenderungan mengaburkan
perilaku-perilaku keagamaan antara mana yang wajib dan mana yang sunnah
karena sebagian merupakan praktik yang dilakukan Rasulullah sedang yang lain
merupakan bagian dari Islamicate yang sangat melekat dengan kultur
setempat. Masyarakat juga enggan membatalkan acara-acara yang sifatnya
opsional, semisal buka bersama, bazar Ramadhan harian, Tabligh Akbar, pawai,
pesta, anjangsana keluarga, perayaan lebaran hingga tradisi mudik di akhir
Ramadhan yang mampu seketika menyulap kota-kota menjadi sepi. Praktik-praktik
tersebut bukanlah kewajiban agama, akan tetapi lebih merupakan bagian dari
budaya Muslim Indonesia yang populer dan digemari.
Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi modern Islam Indonesia terbesar dan paling berpengaruh. Ia didirikan pada 1912 oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan, seorang pejabat agama di Kesultanan Yogyakarta. Ahmad Dahlan memiliki dua tujuan: Untuk ‘memurnikan’ Islam Jawa dari apa yang dipercayanya sebagai bid’ah (inovasi yang tidak tepat) dan politeisme (menyekutuhkan Tuhan) serta mempromosikan modernitas.
Muhammadiyah adalah organisasi modern Islam Indonesia terbesar dan paling berpengaruh. Ia didirikan pada 1912 oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan, seorang pejabat agama di Kesultanan Yogyakarta. Ahmad Dahlan memiliki dua tujuan: Untuk ‘memurnikan’ Islam Jawa dari apa yang dipercayanya sebagai bid’ah (inovasi yang tidak tepat) dan politeisme (menyekutuhkan Tuhan) serta mempromosikan modernitas.
Muhammadiyah merupakan gerakan
Salafi moderat yang dipengaruhi oleh ajaran tokoh modernis Muslim abad 19,
Muhammad Abduh, dan ahli hukum abad ke-14, Ibnu Taimiyyah. Pendekatan yang
digunakan Muhammadiyah dalam bidang teologi, ritual dan logika berpikir murni
didasarkan pada Al-Qur’an dan hadist (tradisi terkait Nabi Muhammad). Seperti
halnya gerakan Salafi lain, ia menentang Sufisme (mistisme Islam) dan praktik kebaktian
yang didasarkan padanya. Namun demikian, berbeda dengan gerakan Salafi lain,
Muhammadiyah terbuka kebudayaan lokal termasuk teater, musik dan tari. Ia bahkan
menolak berbagai gerakan Wahhabisme Arab Saudi yang menerapkan Arabisasi/Saudisasi
dalam kehidupan sosial Muslim Indonesia.
Agenda para tokoh modernis
Muhammadiyah berpusat di wilayah pendidikan dan layanan kesehatan. Organisasi
ini memiliki jaringan sekolah dan kampus yang demikian luas untuk menyediakan
akses pendidikan modern, selain juga pusat layanan kesehatan serta rumah sakit.
Dewasa ini secara formal, ia memiliki 30 juta pengikut yang sebagian besarnya
adalah kaum urban dan kelas menengah, menjadikannya organisasi Muslim terbesar
kedua di Indonesia. Secara rutin, Muhammadiyah memberi arahan pada para anggota
dan pengikutnya perihal berbagai topik pembahasan melalui khutbah, pengajian atau
ceramah agama yang digelar di masjid, serta publikasi termasuk Suara
Muhammadiyah, portal web dan media sosial.
Imbauan Keagamaan dan Pandemi Virus Corona
Pada
waktu-waktu seperti ini, imbauan keagamaan dapat mendukung praktik dan kebijakan
kesehatan publik. Respon Muhammadiyah terhadap pandemi virus Corona memadukan logika
berpikir Salafi dengan pragmatisme medis. Seperti negara-negara lain, Indonesia
tampak kurang bersiap diri menghadapi pandemi virus ini. Kasus-kasus pertama
dialaporkan pada pertengahan Maret. Sebelumnya pada 10 Maret, Muhammadiyah telah
memfokuskan sistem layanan kesehatannya pada pencegahan dan perawatan pasien
yang terinfeksi virus ini. Dua puluh Rumah Sakit di Pulau Jawa, Kalimantan dan
Sumatra didaulat sebagai pusat rujukan Covid-19. Tak hanya itu, lebih dari
30.000 kantor cabang Muhammadiyah Philantropic Initiative dan puluhan
masjid mulai menggencarkan kampanye kesadaran publik.
Muhammadiyah mulai memasifkan
imbauan keagamaannya begitu pandemi ini semakin tampak dan menyebar. Pada 19
Maret, Pusat Komando Covid-19 Muhammadiyah mengeluarkan edaran khutbah Jum’at
berjudul ‘Merespon Wabah Virus Corona (Covid-19)’
Khutbah tersebut dimulai
dengan menyebutkan data obyektif skala global pandemi seperti berikut:
Saat ini, kita semua tengah
menghadapi wabah Covid-19 atau yang juga disebut dengan virus Corona. WHO menyebut
wabah virus ini sebagai masalah dan pandemi global, sementara Pemerintah
Indonesia juga menyatakan ia sebagai bencana nasional. Virus baru ini pertama
kali muncul di Wuhan, China, pada akhir 2019 dan saat ini sudah menyebar ke
lebih dari 140 negara dan wilayah. Wabah virus ini bukanlah bencana alam.
Khutbah kemudian berlanjut
dengan refleksi teologis perihal determinisme ilahiah dan peran manusia dalam
merespon bencana yang saling berpengaruh. Manusia diimbau untuk memadukan
kesabaran, sikap nrimo, iman dan tindakan yang berangkat dari kebulatan
tekad. Ada beberapa dasar dalam pemikiran keagamaan Muhammadiyah. Di beberapa
khutbah Muhamadiyah lebih dari empat dasawarsa, saya pernah mendengar bahwa kesulitan-kesulitan
duniawi sebenarnya merupakan ujian keimanan yang menuntut tindakan nyata dan
kebulatan tekad. Bagian khutbah ini merupakan penafsiran dari ayat Al-Qur’an
berikut;
Dan kami pasti akan
mengujimu dengan ketakutan dan kelaparan serta kekurangan harta, jiwa serta
buah-buahan, akan tetapi berilah berita gembira bagi mereka yang sabar
(Al-Baqarah 155).
Ayat ini mengajarkan bahwa
bencana merupakan sesuatu yang pasti dihadapi siapapun. Bencana, dalam bentuk
apapun, adalah ekspresi cinta Tuhan terhadap manusia. Apapun yang menimpa
manusia sebenarnya merupakan cobaan dan ujian keimanan sekaligus akibat dari perbuatannya
di masa lalu. Namun begitu, orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah meyakinkani
bahwa apapun yang melanda manusia bukanlah hal yang luar biasa, sebab manusia
pasti akan diuji dengan berbagai macam masalah. Kejadian-kejadian yang penuh malapetaka
sudah ditakdirkan oleh Allah. Ini juga berarti bahwa Allah telah menentukan apa
yang tengah kita hadapi saat ini. Hanya Allah yang mengetahui apa yang sudah
ditetapkan-Nya. Manusia hanya bisa mengetahui begitu suatu hal tertentu terjadi.
Mereka tidak punya akses untuk mengetahui semua itu sebab Allah-lah yang maha
mengetahui. Karena itu, manusia diperintakan memohon petunjuk kepada Allah dan
menghadapi situasi apapun dengan sabar sehingga kondisi yang mereka hadapi akan
berangsur membaik.
Teks khutbah tersebut
diakhiri dengan arahan perihal bagaimana Muslim seharusnya merespon pandemi
ini. Pertama, menguatkan iman pada Allah karena mereka yang beriman
tidak akan merasa takut. Kedua, menerapkan isolasi sosial termasuk
mengurangi aktivitas di masjid selama waktu Shalat Jum’at dan pengajian. Ketiga
adalah membantu mereka yang benar-benar membutuhkan.
Pada 24 Maret, Muhammadiyah
mengedarkan fatwa yang menyebutkan bahwa perjuangan melawan pandemi ini adalah
kewajiban agama seperti halnya jihad. Ia
menegaskan bahwa pandemi ini bukan merupakan
balasan atau azab, akan tetapi ujian bagi umat manusia secara umum dan Muslim
secara khusus. Perjuangan melawan pandemi juga dinpadang berkorelasi dengan ayat
yang mengatakan, “Siapa yang menyelamatkan hidup seorang saja, maka sesungguhnya
ia menyelamatkan hidup seluruh manusia. (Al-Ma’idah: 32)”. Lebih jauh, fatwa tersebut
juga sementara kewajiban Salat Jumat berjama’ah dan mengimbau Muslim melaksanakan
Salat Dzuhur di rumah sebagai gantinya. Bagian fatwa yang ini begitu menekankan
bahwa di tengah situasi semacam ini, tidak mungkin melaksanakan shalat Juma’t
berjamaah di masjid.
Jihad Melawan Pandemi
Sebuah surat edaran
bertanggal 26 Maret memberikan arahan yang lebih spesifik dalam menjalani
Ramadhan. Point-point dasarnya adalah sebagai berikut;
- Tarawih, salat sunnah yang dikerjakan hanya pada malam Bulan Ramadhan, yang biasanya dilaksanakan di masjid, harus dipindah ke rumah. Pertemuan keagamaan yang disponsori Muhammadiyah setiap malam Bulan Ramadhan tahun ini tidak diselenggarakan.
- Puasa berlaku wajib bagi Muslim kecuali mereka yang tengah sakit. Orang sakit harus mengikuti aturan syari’ah yang berlaku dengan mengganti puasa di hari-hari yang dilewatkan.
- Petugas kesehatan tidak diwajibkan berpuasa ketika tengah bertugas. Mereka juga harus mengganti hari-hari puasa yang terlewat di hari lain.
- Tidak perlu melaksanakan Salat idul Fitri dan salat jama’ah di akhir Ramadhan. Masyarakat tidak boleh terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang melibatkan banyak orang, termasuk buka bersama, mudik, juga mengunjungi saudara dan keluarga di akhir Ramadhan, atau menggelar pawai dan perhelatan-perhelatan sosial lain.
Semua rekomendasi ini
didukung dalil dari Al-Qur’an dan hadis dan sebagian di antaranya mengharuskan
pengorbanan yang tidak kecil.
Puluhan juta orang
Indonesia biasanya mudik untuk merayakan lebaran. Bagi mereka yang tinggal di
kota, inilah satu-satunya kesempatan mempererat silaturrahmi dengan
keluarga di pelosok-pelosok desa. Adat lain yang menarik dan dirindukan banyak
orang adalah prosesi Takbir Keliling di malam lebaran dengan pawai para pemuda
yang sepanjang jalan melantunkan takbir. Beberapa merakayannya dengan
menyalakan dan membawa obor sambil berarak. Muhammadiyah biasanya
menyelenggarakan perhelatan demikian di Yogyakarta dengan kendaraan besar penuh
hiasan diiringi ribuan pemuda berpakaian tradisional berarak sepanjang jalan.
Pimpinan Muhammadiyah tidak
akan mengimbau masyarakat untuk tetap di rumah tanpa melalui pertimbangan
matang terhadap risiko yang mungkin ditimbulkan wabah ini, termasuk juga arti
penting festival-festival lebaran dalam aspek sosial, budaya dan agama. Menunda
atau membatalkan serentatan acara tersebut, barangkali, merupakan hal
terpenting yang bisa dilakukan rakyat Indonesia untuk memperlambat laju
penyebaran wabah Covid-19. Ini juga berarti bahwa orang-orang yang selamat dari
wabah ini akan dapat menyaksikan dan menyemarakkan Ramadhan di tahun mendatang.
Pamekasan, 22-23 April 2020
Mark Woodward, peneliti,
profesor di Centre for the Study of Religion and Conflict, Arizona State
University.
Versi Bahasa Inggris, https://www.insideindonesia.org/ramadan-in-the-time-of-covid-19
Versi Bahasa Inggris, https://www.insideindonesia.org/ramadan-in-the-time-of-covid-19
kelihatan menikmati trnalatw english-->Indonesia he...
BalasHapusYou are soo wonderful,
BalasHapusThanks transletenya Bu Ita... menambah wawasan