By Masyithah Mardhatillah
Kehamilan adalah fase alamiah yang menyempurnakan status seorang perempuan. Terlahir sebagai putri lalu menjadi istri, predikat seorang ibu menjadi gerbang paripurna dari siklus kehidupannya. Gelar tersebut bahkan sudah ia sandang sebelum tangis pertama sang bayi pecah. Bagaimana tidak, yang ditanggung dan dipanggulnya tak hanya nyawa, akan tetapi juga jiwa. Keduanyapun terhubung secara biologis, psikologis juga spiritual-esoteris.
Itulah mengapa, pembentukan karakter dan kecenderungan seorang anak terjadi sejak dirinya masih meringkuk di rahim hangat ibu. Sesekali, meski tak sering, jabang bayi ikut menyicipi makanan yang dikonsumsi ibunya. Ini tentu tak hanya soal asupan yang ia dan ibunya butuhkan, akan tetapi juga soal selera. Apa yang biasa dimakan ibu selama kehamilan cenderung akan menjadi makanan kesukaannya.
Sebagian besar ibu hamil mengalami apa yang disebut ngidam. Ngidam identik dengan keinginan mengonsumsi makanan, minuman atau kudapan yang tiba-tiba diidamkan, seringkali tanpa alasan jelas atau di waktu-waktu tak terduga dan dipercaya berasal dari request jabang bayi. Skalanya pun beragam. Ada yang ngebet harus kesampaian, sekadar keinginan yang numpang lewat hingga yang tak pernah sekalipun mengalami. Gejala ini, tentu saja, tak bisa diremehkan sebab ia juga berpotensi ikut andil membentuk pola makan hingga perilaku bahkan karakter bayi di kemudian hari.
Jika seluruh hasrat ngidam dituruti hingga dalam skala yang tidak wajar, misalnya, bukan tak mungkin pola demikian akan ‘nurun’ pada bayi. Ini tentu berbeda dengan ibu hamil yang dapat mengontrol keinginan konsumsinya tak hanya karena pertimbangan gizi, higienitas atau kandungan makanan, akan tetapi juga sebagai ikhtiar memberi uswatun hasanah bagi bayinya. Pendidikan kultural soal pola makan ini, dengan demikian, nyaris dinahkodai tunggal oleh sang ibu. Tak salah jika ibu disebut sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya.
Selain menjadi sekolah, dalam waktu yang sama ibu senyatanya tengah bersekolah. Sejak kehamilan, persalinan, menyusui hingga proses-proses setelahnya, secara naluriah ia akan menggali sebanyak mungkin informasi untuk memastikan seluruh proses berjalan lancar. Salah satu yang tak boleh luput dari penelusurannya adalah perihal 1000 hari pertama bayi, yakni sejak kehamilan hingga usia dua tahun. Selain soal pembentukan karakter termasuk pola makan, golden period tersebut menjadi penting karena secara ilmiah terbukti sebagai periode yang begitu menentukan kesehatan bahkan masa depan anak, khususnya terkait dengan
ancaman stunting.
Stunting kurang lebih adalah gejala gagal tumbuh yang menyebabkan tumbuh kembang fisik, emosi bahkan intelektual penderitanya tidak maksimal. Ia adalah penyakit jangka panjang sebab efeknya akan terasa hingga dewasa. Uniknya, penyakit ini hanya bisa dicegah namun tak bisa disembuhkan jika terlanjur menyerang. Nah, pencegahan terhadap stunting bisa dimaksimalkan dalam periode 1000 hari tersebut sehingga para orang tua tidak bisa mengentengkan hal ini. Apalagi pada 2017, Indonesia menempati urutan ke-5 dunia sebagai Negara dengan penderita stunting terbanyak.
***
Lain kehamilan, lain pula fase setelah melahirkan. Selama hamil, ibu memiliki otoritas penuh atas apa yang dikonsumsinya, termasuk variasi dan kombinasi menu, higienitas, frekuensi maupun teknik konsumsi. Ia bisa dengan mudah mengajarkan pola makan yang baik melalui perilakunya sendiri. Namun demikian, pasca persalinan, keadaan mulai berbeda. Cita-cita melakukan IMD dan memberi ASI eksklusif selama 6 bulan bisa jadi tak senada dengan keyakinan keluarga atau mitos yang terlanjur mengakar.
Tak jarang, ada ‘tangan-tangan perhatian’ yang justru memberi minum air gula untuk mencegah bayi dari penyakit kuning, mencekoki pisang, susu formula kental bahkan bubur agar ia tidur nyenyak, hingga menyuapi kurma, madu dan air zam-zam untuk mengikuti sunnah Nabi. Di sini, ibu harus ngotot dan asertif meyakinkan semua anggota keluarga untuk menyukseskan IMD dan program ASI eksklusif. Ia juga harus membiasakan diri dengan manajemen ASI perah ketika cuti melahirkan sudah berakhir.
Pada masa ini pula, dampak makanan yang dikonsumsi ibu akan lebih terasa pada bayi. Ada kalanya, ibu harus mengonsumsi makanan yang tak disukainya, semisal jamu pahit, yang tengah dibutuhkan bayi. Begitu juga, ibu terkadang harus menjauhi makanan kesukaannya karena memicu alergi pada bayi kecil yang hanya mendapat asupan dari air susunya. Ini tentu tak mudah dan membutuhkan kerja sama serta pengorbanan yang meski terlihat spele, tidak bisa begitu saja dianggap remeh.
Selanjutnya, fase MPASI menghadirkan tugas lain yang tak kalah menantang. Ibu kali ini harus pandai-pandai menyeleksi dan mengenalkan berbagai macam makanan sesuai ‘madzhab’ MPASI yang dipilihnya. Buah, karbohidrat, protein hewani maupun nabati, serta sayur adalah menu utama yang idealnya diperkenalkan sehingga lidah anak akan terbiasa dengan aroma maupun rasanya. Tak hanya itu, varian menu dan teknik penyajian juga harus diatur sedemikian rupa untuk menjaga mood dan selera makan anak sehingga pola makannya tetap terjaga.
Tantangan terberat pada masa ini adalah menghindarkan makanan dan minuman instant yang bisa jadi sangat menarik perhatian bayi. Bayi juga sudah mulai belajar berkomunikasi sehingga ketika teman sebayanya mengonsumsi makanan yang dilarang untuknya, ia akan complain. Beberapa orang tua juga memiliki aturan cukup strict dengan menjauhkan makanan bergula-garam sebelum bayi berumur setahun. Lagi-lagi, ini membutuhkan kerjasama banyak pihak dan persoalan teknis yang tidak sederhana karena makanan untuk si kecil harus dimasak secara eksklusif.
Fase ini akan terus berjalan hingga proses penyapihan pada usia 2 tahun. Semakin banyak gigi yang tumbuh, semakin beragam pula makanan yang bisa dicerna bayi. Seiring dengan itu, orang tua semakin dituntut untuk aktif mengontrol pola makan bayi. Fondasi yang dibangun susah payah pada bulan-bulan pertama MPASI, utamanya perihal kombinasi menu yang sehat, lengkap dan variatif, harus tetap dipertahankan agar kebiasaan dan pola makan tersebut tetap terjaga. Hasilnya, kesehatan bayi dapat terjaga dan hal-hal tak diinginkan semacam stunting bisa dicegah dan dihindari.
***
Demikianlah, 1000 hari pertama merupakan kurikulum pembelajaran dengan skala tantangan dan kesulitan yang berbeda di tiap tahapannya. Orang tua dan keluarga tetap berperan sebagai aktor utama yang mengarahkan bahkan membentuk pola hidup si bayi, termasuk pola makannya. Seperti salah satu nama lainnya, windows of opportunities, periode ini adalah kesempatan untuk menentukan masa depan bayi tidak hanya dalam hal-hal yang sifatnya fisik, akan tetapi juga kebiasaan, karakter hingga cara pandangnya, termasuk terhadap pola makan. Karenanya, jika diarahkan dengan baik, aktivitas dan pola menyantap makanan akan ia lihat tidak hanya sebagai rutinitas fisik, akan tetapi juga investasi jangka panjang untuk kesehatan, tercapainya target dan cita-cita hidup serta komitmen pada diri sendiri dan orang-orang terkasih.
Posting Komentar