Madura Punya Tengka (1-habis)

Saya merasa kesulitan saat harus mencari padanan kata dari bahasa lain untuk bisa menggambarkan apa yang oleh Orang Madura disebut tengka. Dipadankan dengan kata tingkah yang seringkali disandingkan dengan ‘laku’ tidaklah cukup karena hanya mewakili satu dari sekain maknanya. Konotasinyapun seringkali negatif, seperti ketika mengatakan ‘jha’ aka-tengka’ yang kurang lebih berarti ‘jangan bertingkah laku yang negatif (neko-neko) dan atau tidak wajar’.

Dalam beberapa kesempatan atau penggunaan lain (dan tertentu), kata tengka juga bisa disepadankan dengan suatu kewajiban sosial yang umum berlaku di masyarakat Madura. Ini berlaku ketika seorang anggota masyarakat mengadakan kunjungan resmi ke kediaman tetangga/saudaranya yang tengah nanggap gawe (menggelar hajatan) atau mengalami musibah tertentu.

Tulisan ringan ini akan mengulas perihal tengka dalam pengertian terakhir, yang kurang lebih berarti partisipasi anggota masyarakat dalam hajatan sebagai tamu atau undangan. Hajatan dimaksud bisa berbentuk pernikahan, kelahiran, peringatan kematian, aqiqah, pelet kandung, dan lain sebagainya, termasuk menjenguk orang sakit dan atau korban kecelakaan.

Ulasan yang demikian menjadi penting sebab di satu sisi, ia begitu mengakar di masyarakat sehingga dalam keadaan apapun, baik tuan rumah maupun tamu harus menunaikan kewajiban sosial tersebut. Di sisi lain, keberlanjutan tradisi ini berjalan bukan tanpa kritik dan kegelisahan dari para pelakunya sendiri.

Tak Pernah Surutnya Tengka

Hal pertama yang identik dengan tengka adalah ‘jadwal main’ yang bisa datang kapan dan dalam keadaan apa saja. Pada musim uang—yang sering diidentikkan dengan musim panen tembakau—atau bukan, tengka tak pernah surut. Tak heran, sudah menjadi rahasia umum bahwa kebutuhan material untuk tengka bukan tak melebihi kebutuhan (konsumsi) sehari-hari.

Bagaimana tidak, sekali berangkat menunaikan tengka, para tamu/undangan akan datang membawa se-gantang (sekitar 2,5-3 kg) beras, amplop berisi sumbangan/santunan (dan atau salam tempel) atau buah tangan lain yang sepadan dan atau dianggap wajar. Tak hanya itu, beberapa hajatan tertentu memiliki durasi batas waktu sehingga para tamu/undangan tidak memiliki banyak kesempatan untuk mengulur dan menunda kunjungan. Ini menjadikan kebutuhan untuk tengka menjadi mendesak dan harus segera dipenuhi.

Meski tak ada jadwal rutin kapan tengka—dalam pengertian ini—harus ditunaikan, musim nikah (pada Bulan Syawal dan Rajab) adalah salah satu momen di mana keharusan sosial yang demikian akan lebih menjamur. Karenanya, alih-alih merasa tak dianggap, tiadanya undangan (lisan maupun tulisan) yang diterima warga kadang kala dianggap sebagai kebahagiaan tersendiri sebab yang bersangkutan tidak berkewajiban hadir dan menunaikan tengka.

Keadaan yang sama dialami tuan rumah di mana kewajiban untuk memperlakukan tamu/undangan dalam ‘kewajaran’ mengharuskan anggaran khusus yang terkadang tidak sedikit. Ini berkisar mulai dari hidangan ringan, berat hingga perlengkapan lain semisal makanan siap santap sebagai buah tangan, souvenir dan lain sebagainya. Tak hanya itu, dalam momen-momen seperti (peringatan) kematian, keadaan sakit atau musibah lain, timing-nya tidak bisa diperkirakan sehingga terlaksana otomatis tanpa persiapan mental pun material.

Serba-Serbi Tengka

Terlepas dari tinjauan sebelumnya perihal tengka yang dalam satu sisi cukup memberatkan, tradisi ini sebenarnya tidak lepas dari beberapa nilai dan kearifan lokal yang masih demikian terjaga. Beberapa di antaranya menjadi sistem baku meski terealisasi dalam format beragam di wilayah yang berbeda. Serba-serbi tersebut di antaranya adalah sebagai berikut;

Pertama, klasifikasi tengka ompangan dan tengka non-ompangan. Ragam pertama merupakan solidaritas sosial di mana tamu/undangan meringankan beban material si tuan rumah dengan sumbangan atau buah tangan di atas ukuran normal, semisal sekian ton beras, sekian puluh kilogram gula dan lain sebagainya. Jika sudah demikian, tuan rumah akan mencatatnya sebab ia berkewajiban ‘mengembalikan’ saat si tamu/undangan memiliki hajat serupa.

Uniknya, sumbangan yang demikian bisa muncul dari inisiatif si tamu ataupun permintaan si tuan rumah. Tuan rumah bahkan tak jarang menyebutkan besaran ‘bantuan’ yang dibutuhkannya secara lisan atau melalui kode tertentu, biasanya melalui rokok kemasan. Sistem yang demikian menjadi semacam cicilan atau tabungan untuk melaksanakan hajat-hajat tertentu—umumnya pernikahan—dengan perencanaan dan pengelolaan keuangan yang lebih matang.

Sementara itu, ragam kedua adalah tengka non-ompangan yang kurang lebih sama dengan tengka dalam ukuran kewajaran. Buah tangan yang dibawa umumnya berbentuk bahan makanan pokok (beras) yang dibawa dalam sebuah tas jinjing sederhana. Tas jinjing tersebut akan ‘berganti’ isi dengan makanan (nasi dan lauk seadanya) siap santap sebagai ucapan terimakasih dari tuan rumah.
Jika memilih opsi yang lebih praktis, atau dalam keadaan-keadaan tertentu, tamu/undangan bisa menggunakan amplop berisi sejumlah uang. Adapun besarannya disesuaikan dengan kebiasaan setempat, kemampuan si tamu atau dekatnya hubungan kekeluargaan/pertemanan. Meski memilih opsi ini, si tamu biasanya juga akan pulang dengan souvenir yang sama seperti mereka yang datang dengan membawa tas jinjing.

Persoalan buah tangan atau santunan dari tamu yang demikian hampir menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dalam praktik tengka. Buktinya, meski ada mekanisme pengumuman/pemberitahuan baik secara kultural maupun tertulis—di surat undangan—bahwa pihak tuan rumah tidak menerima sumbangan apapun selain doa, keadaan tak banyak berubah. Selain perihal sedikitnya masyarakat—umumnya tuan rumah dengan tingkat ekonomi menengah ke atas—yang memilih ‘mekanisme’ ini, datang dengan tangan kosong ke sebuah hajatan masih dianggap hal tabu.

Cara lain yang dilakukan tuan rumah untuk tidak menerima sumbangan material dari tamu/undangan/saudara/tetangga adalah dengan hanya mengundang laki-laki (suami) baik secara lisan maupun tertulis. Ini biasanya berlaku dalam forum-forum insidental yang sudah direncanakan jauh-jauh hari semisal syukuran memiliki kendaraan baru, rumah, tanah, jabatan aqiqah bayi, peringatan 40-1000 hari kematian dan termasuk juga pernikahan. Mekanisme yang demikian berhubungan erat dengan serba serbi kedua di bawah ini:

Kedua, pembagian kerja laki-laki dan perempuan. Hampir dalam setiap undangan atau kesempatan menghadiri tengka, terdapat pembagian kerja yang ‘paten’ dalam struktur masyarakat Madura. Urusan membawa tas jinjing (dalam tengka non-ompangan) hampir selalu menjadi tugas perempuan (istri) dan tidak demikian halnya dengan instrumen amplop yang bisa menjadi wilayah keduanya. Ini senada dengan forum-forum yang berbalut nuansa keagamaan—tahlil, bacaan Al-Qur’an, istighasah atau doa bersama—serta acara seremonial yang menjadi wilayah utama laki-laki sementara forum ramah tamah dengan tuan rumah menjadi ‘tugas utama’ perempuan.

Ketiga adalah mekanisme ‘beda dapur-beda tengka’. Ini berlaku dalam relasi orang tua-anak atau menantu dalam sebuah keluarga besar. Ketika si anak dan atau menantu memutuskan untuk mandiri dalam hal belanja dapur, proses memasak hingga konsumsi—tidak bergantung pada dan atau bergabung dengan orang tua/mertua—maka secara otomatis beban tengka dikenakan baik bagi orang tua maupun si anak/menantu. Kebiasaan ini menjadi salah satu pertimbangan utama untuk mandiri secara material dalam urusan konsumsi sehari-hari karena beban residual tengka—bagi pasangan muda—yang terbilang tidak kecil.

TBC