Setelah beberapa tahun merantau di luar Madura dan menghabiskan beberapa kali momentum Maulid Nabi di pulau seberang, dua tahun belakangan saya merayakan bulan Maulid di tanah kelahiran. Maulid Nabi di Madura ternyata menawarkan nuansa yang cukup berbeda dibanding tempat-tempat lain. Daerah yang saya kenal dan singgahi memang belum seberapa banyak, akan tetapi sangat mungkin penghayatan Maulid Nabi dengan kemasan ala Madura memang hanya ada di Madura.
Bagi kami yang tinggal di Madura, berdarah Madura atau berstatus sebagai “Madura swasta”, Maulid Nabi tak ubahnya lebaran lain setelah Idul Fitri dan Idul Adha. Ia bahkan lebih istimewa karena jika dua hari raya lain hanya berlangsung dalam hitungan hari, Maulid Nabi dapat terlaksana sepanjang bulan. Sebagian masyarakat bahkan tak ragu merayakan momentum ini sebelum atau setelah bulan Rabi’ul Awwal.
Dalam beberapa hal, maulid di Madura cukup berbeda dengan perayaan-perayaan lain atau event serupa di tempat lain sebab ia bisa di-tanggap oleh siapapun, baik individu maupun komunitas. Ini menjadikan Bulan Maulid begitu semarak sehingga dalam sehari, seorang warga (umumnya laki-laki) bisa menghadiri undangan Maulid Nabi di tiga tempat yang berbeda. Run down acara biasanya terdiri dari pembacaan shalawat, diba’, Barzanji, ceramah keagamaan serta makan bersama dan ramah-tamah.
Hidangan yang disajikan di acara maulid tidaklah jauh berbeda dengan perayaan-perayaan lain. Minuman ringan, rokok, kue-kue serta makanan besar disajikan secara dine in dan atau take away sesuai pilihan tuan rumah. Bedanya, perayaan maulid hampir tidak lepas dari suguhan berbagai macam buah. Kebiasaan ini konon didasarkan pada pertimbangan bahwa Rasulullah ibarat oase yang menyuburkan tanah gersang baik dalam makna metafor maupun nyata.
Hal lain yang membedakan Maulid Nabi dengan perayaan-perayaan serupa adalah sistem ‘sedekah’ di dalamnya. Jika tuan rumah dalam acara-acara lain biasa menerima ‘buah tangan’ dari para tamu, maka tidak demikian halnya dengan perayaan maulid. Para tamu (biasanya diwakili perempuan) datang tanpa menenteng tas berisi oleh-oleh namun akan pulang membawa taker atau sepaket souvenir berisi makanan take away untuk keluarga di rumah.
***
Dengan sistem kultural yang demikian, kekhawatiran memberatkan para tamu/undangan tak perlu terjadi sehingga tak sedikit warga Madura yang menghelat maulid secara rutin sebagai tak ubahnya momen bersedekah dan silaturrahim tahunan. Perayaan ini juga nyaris menjadi sebuah kewajiban sosial bagi sebagian warga, termasuk mereka yang baru mendapat kabar gembira, pekerjaan baru, keuntungan bisnis, panen hasil bumi, pulang merantau dan hal-hal serupa.
Tak sedikit pula yang memanfaatkan momen ini untuk perayaan lain, semisal selametan rumah, khatam Al-Qur’an, peringatan kematian, forum rutin bulanan, selametan kelahiran, pelet kandung dan lain-lain. Apresiasi terhadap momentum serta alasan efekivitas menjadi pertimbangan utama dari kebiasaan menyukuri/merayakan dua hal dalam satu perayaan semacam ini. Ada juga yang bahkan sengaja menunggu momentum Maulid Nabi untuk menghelat sebuah perayaan tertentu.
Beberapa hal di atas cukup menunjukkan betapa bagi masyarakat Madura, maulid masih memiliki nilai sakral yang amat dalam. Jika individu memandang momentum ini nyaris sebagai sebuah kewajiban sosial, maka lembaga-lembaga pendidikan, komunitas dan organisasi serupa nyaris tak pernah melewatkan perayaan Maulid Nabi dari daftar agenda tahunan yang rutin diselenggarakan. Tak heran beberapa surat undangan seringkali harus berebut “jadwal” saking seringnya acara ini digelar.
Selain perihal sakralitas yang dalam beberapa hal identik dengan relijiusitas, terjaganya tradisi Maulid Nabi merupakan bukti lain yang cukup jelas menunjukkan solidaritas masyarakat Madura yang kuat. Ini dapat dilihat dari komposisi undangan yang terdiri dari tetangga, keluarga, saudara, rekan kerja hingga kolega serta para koki dan pramusaji yang secara suka rela bekerja gotong royong menyukseskan acara.
***
Masyarakat Madura agaknya tidak ‘terganggu’ dan berhasrat menggubris kontroversi seputar Maulid Nabi yang kerap disebut bid’ah oleh sebagian kalangan. Dari waktu ke waktu, tradisi ini bukannya pudar, akan tetapi semakin berkembang dan bahkan mengalami berbagai modifikasi yang semakin menonjolkan ciri khas kemaduraannya. Ia menjadi kebanggaan dan kekayaan lokal sekaligus satu hal yang selalu membuat rindu kampung halaman.
~Tulisan lama, lumayan dibanding terbuang :)
Posting Komentar