Beberapa pekan belakangan jagat media sosial kita dihiasi sejumlah meme (gambar ringan dengan sindiran dan kritik sosial) tentang Wisata Jalan Rusak. Meme tersebut pertama kali menampilkan spot di wilayah Nambakor, Saronggi, Sumenep, dengan kondisi jalan yang rusak, berlubang dan mengganggu sekaligus membahayakan. WJB (Wisata Jalan Berlubang) tersebutpun menjadi buah bibir dunia maya yang mengundang beragam komentar serta reaksi netizen.
Tak lama, gagasan segar yang dikemas kreatif ini menjalar ke kabupaten Pamekasan, tepatnya di Kecamatan Pademawu. Tidak jauh berbeda dengan kasus pertama, titik yang digunakan dan disulap sebagai lokasi pengambilan gambar adalah badan jalan yang rusak dan berlubang serta plang/papan/tulisan sederhana bertuliskan ucapan selamat datang di lokasi wisata berikut beberapa model dan properti.
Dua kasus tersebut menunjukkan bahwa fenomena ini sangat mungkin akan semakin menyebar dan menjadi trend sekaligus ajang kreativitas dan kanal kritik sosial. Menemukan jalan rusak di Madura, utamanya di wilayah pedesaan, tentu bukan hal yang sulit. Sementara itu, perlengkapan dan aksesoris yang dibutuhkan relatif mudah didapaatkan.
***
Ide cemerlang demikian sebenarnya bukan merupakan hal yang sama sekali baru. Di beberapa daerah lain, sebut saja Lampung, Sragen, Bogor dan Ngawi, obyek-obyek semacam ini sudah lama menjadi dagelan publik dengan nama yang juga unik dan penuh satire, semisal Jeglongan Sewu (seribu lubang). Jika saat ini Madura memodifikasi ide tersebut dalam dua contoh kasus di atas, sedikitnya hal demikian menunjukkan tiga hal;
Pertama adalah kepedulian masyarakat terhadap kondisi fasilitas umum yang tidak hanya penting, akan tetapi juga mendasar. Di luar faktor-faktor sekunder semisal keinginan untuk eksis, menonjolkan diri sendiri dan komunitas serta ikut-ikutan trend, tindakan yang demikian senyatanya menyiratkan keprihatinan sekaligus harapan. Karena itu, sudah selayaknya aksi semacam ini dapat lebih menggugah pengambil kebijakan untuk tidak lagi menutup mata terhadap keadaan riil di lapangan.
Ini tentu tidak hanya berkait dengan proyek-proyek fisik semisal pelebaran, peremajaan maupun perbaikan jalan yang ditemui nyaris setiap menjelang lebaran. Hal lain yang tak kalah penting adalah monitoring dan evaluasi terhadap akuntabilitas dan integritas para eksekutor di lapangan, pemeliharaan (maintenance), serta kebijakan-kebijakan terkait regulasi beban maksimal kendaraan dan optimalisasi fungsi jembatan timbang.
Kedua adalah gejala ketakberdayaan serta keputusasaan masyarakat dalam menyalurkan aspirasi. Dibanding menyampaikan aspirasi pada para wakil rakyat dengan alur birokrasi dan prosedur yang cukup njelimet, media sosial tentu lebih efektif. Ia menawarkan kemudahan akses dan publikasi yang demikian luas, sehingga dipandang cocok menjadi instrument untuk mengangkat isu ini ke permukaan.
Persoalan jalan rusak menjadi krusial sebab ia berpengaruh terhadap banyak faktor, mulai dari soal kenyamanan hingga keselamatan. Keberadaannya tidak hanya merusak pemandangan serta menghambat mobilitas, akan tetapi juga merupakan salah satu pemicu utama terjadinya kecelakaan. Ia juga menjadi arena favorit terjadinya berbagai pelanggaran lalu lintas serta sangat tidak ramah bagi pengendara newbie yang belum mengenal medan.
Ketiga adalah semakin sensitif dan responsifnya masyarakat Madura terhadap ide-ide kreatif pariwisata dan pengembangan potensi lokal. Di luar dua hal pertama, munculnya inisiatif untuk me-launching wisata semacam ini senyatanya merupakan imbas positif dari semakin maju dan masifnya geliat pariwisata daerah, termasuk Madura. Jika ghirah demikian diseriusi dan diberdayakan, bukan tak mungkin industri pariwisata Madura akan semakin kompetitif.
Apalagi, sejauh ini masyarakat lokal baru menjadi konsumen—pengunjung—, karyawan dan endorser sukarela. Posisi sebagai aktor, eksekutor, terlebih konseptor dan investor belum banyak dipegang. Wisata Jalan Rusak, dalam konteks ini, tidak hanya menunjukkan kegamangan perihal jalan rusak, akan tetapi secara tidak langsung juga mengenai industri pariwisata yang belum menjadi ‘milik’ masyarakat.
***
Wisata Jalan Rusak mencerminkan dualisme harapan di satu sisi dan keputusasaan di sisi lain. Barangkali rakyat belum memiliki sandaran harapan lain setelah pemerintah, akan tetapi pada saat yang sama juga terlanjur lelah kondisi yang belum banyak berubah. Meski demikian, aksi pembukaan Wisata Jalan Rusak adalah bentuk nyata swadaya masyarakat yang tak hanya reflektif dan kreatif, akan tetapi juga patriotik.
Firstly published at Jawa Pos Radar Madura, Ahad, March 19, 2017
Posting Komentar