Media Sosial dan Hilangnya Privasi Individu

Baru-baru ini adik saya membeli telepon seluler keluaran terbaru dengan fitur andalan anti air. Seluler lamanya yang belum genap berumur dua tahun dan masih baik-baik saja dialihpakaikan pada umik saya yang sudah lama menginginkan seluler layar sentuh alias seluler pintar.

Keinginan umik sempat mengherankan kami anak-anaknya. Usut punya selidik, hasrat tersebut muncul karena teman-teman seprofesinya—guru TK swasta—sudah mulai menggunakan aplikasi Whassap sehingga umik merasa tak ada salahnya memensiunkan seluler lawas ‘nutninut’ berkartu ganda yang dipakainya sejak tiga-empat tahunan yang lalu.

***

Kisah di atas hanyalah contoh kecil betapa media sosial nyaris menjadi kebutuhan primer dewasa ini. Tak ada lagi segmentasi usia, gender, pekerjaan, suku, geografis atau stratifikasi sosial-ekonomi lain yang mampu mempolarisasi mana pengguna dan non-pengguna.
Media sosial sukses menjadi ‘raja’ dengan daya paksa demikian kuat yang menyulap pulsa, paket atau kuota internet, wifi dan fasilitas sejenis terasa sama mengenyangkan dengan nasi bagi perut orang Indonesia. Ia tidak hanya memudahkan komunikasi, penyebaran-penyerapan informasi hingga pemasaran barang dan jasa, akan tetapi juga menjadi ajang ‘berkreasi’ dan memperluas jaringan.

Namun demikian di balik itu, hal lain yang tak bisa dipisahkan dari media sosial adalah hilangnya sekat privasi individu para penggunanya. Begitu seorang pengguna bergabung, ia akan tergerak untuk memerhatikan kemudian meniru aktivitas pengguna lain, termasuk ‘menggerus’ privasinya sedikit demi sedikit. Ini misalnya dilakukan dengan memublikasi foto diri, informasi diri, status, pesan kilat dan yang semacamnya dalam frekuensi di luar batas kewajaran serta konten yang bersifat pribadi.

Sekilas, tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan gejala semacam ini, apalagi media sosial memang menjanjikan jejaring dan keterhubungan antarorang, komunitas hingga negara. Hanya saja, tak banyak yang menyadari bahwa bersamaan dengan semarak pertemanan dan lalu lintas informasi yang tanpa batas tersebut, privasi yang dulunya sedemikian mahal menjadi nyaris tak berharga sama sekali.

Dahulu, untuk mengetahui aktivitas detail seseorang, kita harus menggunakan semacam ‘mata-mata’ atau mencari informasi dari sumber terpercaya yang tak mudah didapat. Namun demikian hari ini, siapapun dari belahan dunia manapun bisa mengetahui informasi personal seseorang hanya dengan melacak akun media sosialnya.

Tak hanya itu, ia bahkan bisa dengan mudah mengetahui—bahkan mengikuti—apa yang baru saja dipikirkan, dilakukan dan dialami. Tak ketinggalan juga informasi-informasi lain seperti jaringan pertemanan, orang yang baru ditemui/dihubungi, rumah yang ditinggali, kantor tempat bekerja, jadwal keseharian dan lain sebagainya.

Tentu hal demikian tidak menjadi masalah jika stalker atau yang bersangkutan adalah saudara, teman, sahabat atau sekadar kenalan. Akan tetapi, cerita akan berbeda jika aktivitas tersebut dilakukan orang asing, mereka yang memiliki niat jahat atau katakanlah, hater yang tidak bertanggungjawab.

Informasi berlebihan yang dibagikan akan menjadi hidangan lezat untuk diolah kembali sesuai keinginan yang bersangkutan. Kasus-kasus nyata dengan alur demikian tentu tidak sulit kita temukan di kehidupan sehari-hari atau, paling jauh, di siaran berita kriminal, infotainment dan politik menjelang Pilkada.

Sayangnya, berbagai kasus tersebut tak banyak mengubah pola bermedia sosial sebagian besar kita. Kita tetap menggemari—bahkan merasa bangga dan ‘lengkap’—setelah menceritakan hal-hal pribadi pada masyarakat dunia maya. Tempat yang kita kunjungi, makanan yang kita santap, acara yang kita hadiri, film yang kita tonton, mood yang kita rasakan, keinginan yang kita dambakan, kecewa yang kita derita, hingga hal-hal pribadi seperti kehidupan rumah tangga, tempat kerja, dan keluarga kita informasikan secara cuma-cuma.

Tak salah jika kemudian ada yang mengatakan bahwa media sosial kini menjadi semacam diari publik yang menyimpan segala hal pribadi para penggunanya. Tentu saja ini tidak kemudian menafikan adanya sebagian pengguna yang rajin dan aktif bermedia sosial namun cerdas menjaga privasinya. Mereka bukan tak sering ‘berbagi’, hanya saja memberi nilai guna bagi pengguna lain karena membagikan semangat, inspirasi, kreativitas, informasi publik, wawasan, pengalaman serta hal-hal bermanfaat lain.

***

Sedikitnya, ada beberapa hal yang bisa menjelaskan mengapa pengguna media sosial memiliki kecenderungan bahkan kegemaran memublikasikan hal-hal pribadinya di laman publik.

Pertama, respon pengguna lain. Menampilkan apapun di publik media sosial memungkinkan seorang pengguna menerima komentar atau reaksi pengguna lain. Bagi sebagian besar kita, respon atau komentar semacam ini menjadi hal yang menyenangkan. Sebuah tampilan yang disukai sekian pengguna dan mendapat banyak komentar akan lebih ‘membahagiakan’ dibanding yang sepi respon. Luapan kebahagiaan tersebut bahkan seringkali membuat ‘kecanduan’.

Kedua, mindset bahwa menceritakan hal-hal pribadi di media sosial adalah hal yang wajar, menyenangkan dan tak perlu dipikir ulang. Anggapan bahwa segala hal yang kita bagikan di laman media sosial tidak akan membawa dampak buruk apa-apa adalah faktor lain yang memicu aktivitas semacam ini terjadi dan terjadi lagi. Hal-hal tidak menyenangkan yang berawal dari media sosial seringkali hanya tampak sebagai adegan di televisi semata.

Ketiga, meniru pengguna lain. Beberapa gaya dan kebiasaan kita bermedia sosial sedikit banyak dipengaruhi oleh pengguna yang terhubung dengan kita. Jika kita sering melihat tampilan yang mengungkap hal-hal pribadi berupa unggahan foto, curhat-an, screenshot percakapan atau hal-hal pribadi lain, kita akan memiliki kecenderungan untuk melakukan hal serupa. Meski demikian, tak sedikit pengguna yang justru tidak suka mengumbar hal-hal pribadinya karena terlalu sering melihat hal serupa di layar seluler pintarnya.

Keempat, gaya baru berkomunikasi dan dokumentasi pribadi. Selain mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat, media sosial ternyata juga menjadi sarana mendekatkan yang dekat. Ini misalnya tampak dari ungkapan sayang, ucapan selamat, ucapan terimakasih, atau komunikasi ‘intim’ lain antarpasangan, orang tua dan anak, saudara, keluarga hingga teman yang ‘disiarkan’ melalui media sosial. Daya jangkau yang demikian luas ini lebih diminati dibanding komunikasi lisan dan japri (jalur pribadi, pesan langsung pada yang bersangkutan).

Ada juga beberapa pengguna yang memilih memublikasikan foto, video, status atau catatan lain di media sosial dengan maksud menyimpan file dokumen tersebut agar suatu saat bisa diakses dan dinikmati lagi. Cara demikian dianggap solutif dalam mengantisipasi rusaknya file, hilangnya media penyimpanan (hardisk, laptop, kartu memori dan lain sebagainya) atau hal-hal lain yang tak diinginkan. Dalam konteks ini, perihal tereksposnya dokumen pribadi ke khalayak media sosial atau pengaturan visibilitas tampilan nyaris luput dari perhitungan.

Hal lain yang juga dapat menjelaskan kegemaran kita untuk berbagi melalui media sosial adalah intensitas interaksi kita dengan gawai. Semakin kita ‘hidup’ di dunia maya dan merasakan berbagai fasilitas dan kenikmatan di dalamnya, semakin kita merasa benar-benar tinggal di situ. Jika sudah demikian, otomatis, hal-hal yang awalnya terbiasa kita lakukan di dunia nyata akan perlahan berpindah tempat ke dunia maya. Ini misalnya tampak dalam aktivitas mencari teman curhat serta solusi atau jawaban atas masalah keseharian.

***

Pada akhirnya, perihal skala menjaga dan ‘mengumbar’ hal-hal privasi di media sosial sangat bergantung pada pilihan dan kecenderungan masing-masing pengguna. Namun demikian, seperti dalam beberapa keadaan, kita bisa menilai diri sendiri menggunakan ‘cerminan’ orang lain. Bagaimana kita menilai teman daring yang dengan skala berbeda membagi kehidupan pribadinya di laman media sosial dapat kita ‘bias’kan pada diri sendiri dalam hal yang sama.

Selain hal-hal yang lekat dengan mindset seperti tersebut di atas, pengaturan akun media sosial serta visibilitas ‘cerita’ yang kita bagikan layak mendapat perhatian. Jika kita sulit mengurangi kebiasaan mengeskpos hal-hal pribadi di dunia maya, minimal, kita lebih selektif berteman dan lebih waspada dalam berkomunikasi serta bertukar informasi. Tak ada salahnya pula kita meluangkan waktu untuk memastikan semua bagian pengaturan, utamanya keamanan akun, telah sesuai dengan keinginan. Pengetahuan umum soal literasi media serta hal-hal teknis lain juga perlu kita kuasai agar aktivitas di media sosial dapat bernilai lebih dari sekadar pertemanan dan pertukaran informasi.

Mari bermedia sosial dengan cerdas dan bijak!