Namanya siapa? Panggilannya siapa? Dipanggil siapa?
Demikian pertanyaan yang nyaris selalu muncul dalam obrolan tentang si bayi atau ketika si bayi tengah turut serta dalam perjumpaan dengan orang-orang baru. Dalam keadaan demikian, spontan saya menjawab ‘RAUHIA’ dengan pelafalan sedikit articulate karena hampir semua lawan bicara tidak langsung ngeh dengan nama si bayi sa’ spelling2nya. Paling sering dianggap Ruhia, Raudia bahkan ada yang menduga Claudia. Di situ saya seringkali melakukan pengulangan dengan volume suara lebih tinggi dan bentuk mulut lebih jelas, bahkan dengan mengeja. R-A-U-H-I-A.
Mengapa RAUHIA menjadi pilihan nama panggilan si bayi sebenarnya sederhana saja. Nama tengahnya memang Rauhia dan as far as I can tell you, belum banyak—kalau bilang belum ada koq kaya sombong banget—saya mendengar nama Rauhia. Alternatif lain yang terpikir atau diusulkan seperti Gita, Gigi, Anjali, Ruhi, Angel atau juga Intan sepertinya sudah banyak yang pakai. Tak seperti nama lengkapnya yang sudah fixed ketika si bayi masih berenang dalam perut, proses penentuan nama panggilan belumlah selesai bahkan ketika si bayi sudah berusia sekian hari.
Selain menerima banyak usul dari beberapa pihak, kami sendiri juga belum sure soal panggilan, atau lebih tepatnya belum bersepakat penuh tentang skala prioritas kriteria panggilan yang asyik saat dihadapkan pada beberapa pertimbangan berikut.
Pertama, nama panggilan yang baik harus tidak mudah di-convert ke huruf lain atau dialek daerah yang sedikit banyak ‘merusak’ estetika nama dan keutuhan artinya. Ini misalnya terjadi ketika f atau v menjadi p, dha menjadi dhe, z menjadi s, sa menjadi se, u menjadi o, i menjadi e dan seterusnya. Opsi ini utamanya semakin menguat di pikiran setelah melewati proses pembuatan nama Rasikhan.
Kedua, nama panggilan yang baik harusnya mudah diucapkan. Umumnya, nama panggilan terdiri dari dua suku kata dan terdiri dari gabungan huruf dengan pelafalan yang tidak ribet. Masih menurut Ummi Rasikhan, nama panggilan dengan tiga suku kata juga berpotensi menimbulkan kerusakan ketika ada orang lain yang sembarangan memotong satu suku kata di depan atau di belakang tanpa memikirkan enak tidaknya panggilan tersebut mampir di telinga, apalagi soal arti.
Ketiga, dan masih dari sumber yang sama alias ibid atau sda, nama panggilan yang baik susah diplesetkan dengan kata lain yang tidak sama sekali berhubungan namun terpaksa dijodohkan untuk tujuan mengolok-olok. Contohnya, anak lelaki yang bernama Excel akan berpotensi dipanggil XL which is nama provider layanan telomunikasi. Anak perempuan yang bernama La’a Li’u akan berpotensi dipanggil Liya Liyu.
Keempat, dan ini adalah dari sumber yang berbeda, adalah kepantasan untuk menjadi nama panggilan atau label dalam berbagai kesempatan. Mbak Ida Jahrun yang mengenalkan teori ini menyontohkan nama yang kecadelan dan menurutnya hanya pantas diatributkan di masa kecil si anak. Ketika si anak sudah dewasa, masuk dunia kerja dan atau dunia formal administratif lain, panggilan cadel tersebut akan menjadi kurang pantas. Jadi menurutnya, untuk menentukan bagian mana dari sebuah nama lengkap yang akan menjadi panggilan, caranya adalah mengimbuhkan adik, kakak, ibu, nenek dan seterusnya sebelum kandidat nama panggilan. Misal: Adik Rauhia, Kakak Rauhia, Ibu Rauhia, Nenek Rauhia. (Kata Mb Ida, Rauhia memenuhi kriteria satu ini. She prefers Rauhia over Anjali ketika opsi tersisa tinggal dua nama itu).
Keempat adalah versi suami bahwa nama (panggilan) yang bagus adalah nama yang sesuai dengan (kultur) tempat di mana si anak tinggal. Menurutnya, pertimbangan soal ini juga harus masuk di list sebab nama yang mekso untuk antimainstream tapi menabrak nilai kelumrahan lokal juga tak elok. Ini jugalah yang menjadi alasan mengapa si bayi tak jadi dipanggil Anjali atau angle meski saya pribadi welcome saja jika ada yang memanggilnya demikian.
***
Lalu entah kenapa dan bagaimana ceritanya, di hari pertama si bayi lahir, kalau tidak salah sorenya, sudah terdengar ada yang memanggilnya RUHI. Sontak saya sedikit terkejut sebab meski nama itu masuk dalam salah satu list opsi, belum ada kata deal antara saya dan suami. Belakangan saya malah kurang suka dengan nama itu karena terkesan mengikuti trend karakter anak perempuan bernama Ruhi di serial India berseri yang saat itu sedang booming. FYI saya bukan penikmat drama berseri tersebut.
Soal ini, saya sempat melayangkan protes ‘kultural’ (meski tak tepat sasaran) pada suami dan seperti biasa dia tidak terlalu reaktif. Akhirnya saya juga jadi cooling down karena sibuk dengan hal-hal baru yang serba challanging yet exciting tapi tetap aja kepikiran soal nama panggilan. Ketika itu belum ada pikiran untuk memilih ‘Rauhia’ (utamanya karena pertimbangan kriteria kedua dan ketiga) sehingga bawaannya masih let it flow. Usul dan komentar dari kerabat dan sahabat hilir mudik di telinga tapi tetap aja pada prinsipnya, saya dan suamilah yang akhirnya (paling berwenang) menentukan.
Hingga... dalam salah satu edisi open house, ada salah satu tamu yang bercerita bahwa cucunya bernama (dan dipanggil) RUHI. Saat itu saya langsung yakin untuk tak memanggil si bayi dengan nama tersebut sebab ketika sudah ada yang punya, maka yang berpotensi dianggap sebagai peniru adalah yang datang belakangan. Tambah, tak ada alat bukti ataupun saksi yang dapat meyakinkan bahwa informasi perihal nama cucu tamu tersebut tidak berkontribusi dalam proses pencarian nama si bayi. Tapi anyway, dari awal yang saya sasar adalah ra’ fathah ra, bukan ra’ dhammah ru.
Di luar itu, pikiran untuk memilih Rauhia muncul dari kebiasaan adik kelas saya semasa di Jogja, Dwi Rahayu, yang suka menyebut si bayi dengan panggilan RAUHI. Saya pikir koq not bad, bagus juga. Mewakili namanya, dua suku kata sehingga mudah diucapkan dan yang juga penting, mewujudkan keinginan saya untuk memiliki anak dengan unsur diftong di dalam namanya. Diftong itu kalau tidak salah pertemuan dua vokal dengan syarat dan ketentuan berlaku, saya tahu istilah ini di kelas Pronounciation-nya Miss Frida.
Dari kemantapan akan RAUHI, saya berpikir mengapa tidak dituntaskan saja menjadi Rauhia sebab pelafalan HIA bisa disingkat menjadi satu suku kata (atau maksimal satu setengah suku kata). Sepertinya akan lebih sempurna secara makna, estetika dan kesesuaian dengan nama lengkap si bayi. Beruntungnya suami cukup koperatif dan mau menyetujui pilihan serta usul saya tersebut. Dari awal memang dia lebih banyak menyilakan saya berkesplorasi dan maunya hanya pilih antara yes dan no.
Sementara itu, sudah banyak yang terlanjur memanggil si bayi dengan sebutan Ruhi. Alasannya kebanyakan demi kemudahan pengucapan. Meski kecewa dan sempat ciut, saya tetap optimis sebab menurut seorang saudara, pada akhirnya, panggilan (pilihan) orang tua yang akan menjadi brand paten seorang anak. Terlebih dalam hal ini saya dan suami kompak memanggilnya Rauhia. Saya menghilangkan sebutan Ruhi dari mulur saya dan tetap menggunakan Rauhia bahkan ketika berkomunikasi dengan mereka yang terlanjur memanggilnya Ruhi. Tak jarang juga, saya menegaskan secara verbal bahwa nama (panggilan) si bayi adalah RAUHIA instead of RUHI. Yang terakhir ini biasanya terjadi dalam percakapan dengan anak-anak usia SD-SMP yang biasa menyapa si bayi di sela-sela sesi terakhir full day school ala Madura yang mereka habiskan di surau dekat rumah.
Sampai catatan ini ditulis, saya masih membayangkan dan bertanya-tanya apakah suatu saat, ketika si bayi sudah bisa semakin berpikir dan memilih, ia akan menyukai nama yang kami berikan kepadanya. Apakah ia setuju kami memanggilnya RAUHIA dan bukan yang lain. Atau, yang jaraknya lebih dekat, dengan bahasa apa si bayi akan memanggil atau menyebut dirinya sendiri. Nama kecil atau nickname pertama apa yang akan keluar dari mulutnya.Beberapa hari yang lalu ibu mertua bercerita bahwa ia suka bergumam 'IYA' 'IYA' ketika menirukan orang lain memanggil/menyebut namanya.
Hari ini si bayi genap berumur 11 bulan dalam perhitungan kalender Masehi. Bulan depan, di tanggal yang sama, adalah ulangtahunnya yang pertama. Kemarin seharian saya membawanya ke kampus dan saya merasa jiwa saya lengkap tak berceceran seperti biasa. Diajak main ke manapun ok, pulang sepetang apapun ga masalah, melakukan apapun juga burdenless karena tak ada pikiran yang melayang ke rumah bertanya-tanya si bayi sedang apa dan bagaimana kabarnya. Rasanya menyenangkan sekali, meski belakangan saya sadar bahwa pundak kiri saya terasa lebih berat dari biasanya.
Grow up Better, Rauhia! I love you!
Posting Komentar