Pengolahan Buku dan Selipan Cerita di Antaranya

Sewaktu menjadi mahasiswa, aku cukup sering mengunjungi perpustakaan. Tuntutan tugas dari dosen, mulai makalah hingga skripsi dan tesis, mengharuskanku tak jauh dari bangunan berlantai empat yang buka hingga malam itu. Sementara itu, kemauan untuk membeli buku sama minimnya dengan budget yang harus tak afford. Jadilah demikian. Karena seringnya berkunjung, aku jadi mengerti sedikit hal mengenai manajemen perpustakaan. Dulu sekali ketika masih MTs, pernah juga ikut diklat kepustakaan. Masih samar-samar ingat beberapa kata kunci.

Selang beberapa tahun kemudian, aku ditempatkan untuk bekerja--barangkali semacam magang--di perpustakaan kampus sebelum mendapat tugas penuh untuk mengajar, meneliti dan mengabdi pada masyarakat. Pada bulan-bulan pertama di situ, aku banyak belajar hal baru mulai dari teknis hingga yang lebih esensial. Tentu saja aku bahagia karena mengetahui hal yang selama ini tak terlalu jauh dari kehidupanku tapi tak kupahami makna dan simbolnya. Tak hanya itu, aku juga banyak belajar dari aktivitas baru yang tampak monoton tapi sebenarnya menyimpan banyak hal lucu dan asyik untuk diceritakan.

***

Nah, beberapa pekan belakangan, bersamaan dengan libur panjang mahasiswa, aku turut merayakannya dengan masuk kampus tiap hari terlibat dalam proses pengolahan buku di perpustakaan. Jika sebelumnya tugasku tak jauh-jauh dari desk pengembalian dan menunggui computer di ruang terbitan berkala dan referensi, maka aku mulai belajar hal baru yang lebih teknis-prosedural. Pengolahan buku itu kurang lebih adalah proses mengolah buku yang baru dibeli untuk bisa disajikan di rak perpustakaan dan ready untuk dibaca, dipantengi maupun dipinjam pengunjung.

Selama masa pengolahan buku ini berlangsung, nyaris seluruh layanan perpustakaan ditutup sebab semua anggota pasukan terlibat langsung dalam proses tersebut. Jika layanan perpustakaan dibuka seperti biasa, jatuhnya ga akan maksimal dan justru memperlambat proses pengolahan. FYI, jumlah pasukan kami tidak seberapa, apalagi dibanding jumlah terbaru mahasiswa yang, kabarnya, berbelas-belas ribu itu. Finally, memakan waktu kurang lebih 10 hari kerja, inilah proses pengolahan buku yang aku dan teman-teman kerjakan.

Pertama adalah membuka plastik sampul depan buku serta mengisi lembar kerja. Setiap buku yang dibeli masih terbungkus plastik dan untuk bisa mengolahnya, plastik tersebut harus dilucuti. Setelah itu, petugas akan mengisi lembar kerja buram yang berisi identitas buku mulai dari penulis, tahun terbit, tempat terbit, deskripsi fisik, nomor ISBN (dan e-ISBN) dan lain sebagainya.

Di antara beberapa kolom yang harus diisi, ada kolom bernama nomor panggil dan nomor kelas (atau nomor klasifikasi, entah,) yang tidak bisa sembarang diisi dan harus dikonsultasikan pada yang lebih tau. Selain bertanya pada (bahasa kerennya consult with) buku, alternatif yang lebih mudah adalah bertanya pada mereka yang memiliki otoritas keilmuan dan akrab dengan angka serta kode semacam itu, yakni Bu Neli dan atau Pak Hairul. Itulah mengapa dalam tahap ini, aku menerapkan prinsip posisi menentukan prestasi sehingga aku tak membiarkan Bu Neli jauh dariku. Jadi teknisnya, aku menyelesaikan seluruh kolom selain dua bagian itu, lalu aku serahkan langsung kepada Bu Neli.

Setiap judul biasanya tak hanya terdiri dari satu eksemplar, akan tetapi 10. Kabar baiknya adalah bahwa satu lembar kerja berlaku untuk satu judul yang sama, sehingga tidak masing-masing buku harus diisi lembar kerjanya. Yang tak temukan dari aktivitas ini adalah bahwa tidak semua buku mencantumkan nama penyuntingnya, padahal peran penyunting itu luar biasa. Ada juga kebingungan saat harus mencantumkan nama penerbit, biasanya karena ada dua nama yang berbeda antara yang tercantum di sampul dan di lembar, apa ya namanya, yang memuat informasi dasar buku di halaman kedua dari depan . Satu dengan embel-embel PT atau Group dan yang lain tidak. Atau, ada juga buku yang tidak mencantumkan deskripsi fisik jumlah halaman dan atau panjang dan lebar buku, sehingga petugas harus ketambahan tugas.

Ohya, ada satu perangkat lain yang harus dipegang masing-masing petugas dan belum aku sebutkan, yakni daftar judul buku. Daftar tersebut adalah kertas fotokopi-an berisi informasi singkat tentang buku-buku yang sedang diolah plus, yang paling penting, nomor induk, atau nomor kontrak. Ketika satu buku sudah dilucuti sampulnya dan ditulis identitasnya, maka nomor urut buku tersebut di daftar tadi harus dilingkari atau dikasih tanda yang menunjukkan bahwa, the book has been proceeded. Pekerjaan ini selesai, kalau aku tak salah ingat, dalam waktu tak lebih dari 2-3 hari.

Kedua adalah menytempel buku. Ada beberapa stempel yang harus dibubuhkan di bagian-bagian tertentu. Bagian tersebut adalah, bagian sampul depan, bagian lembar belakang, bagian tengah buku, serta di punggung kanan buku—bagian samping buku yang bukan tempat jilidan itu maksudnya. Stempel yang didaratkanpun berbeda-beda. Stempel label kepemilikan di bagian depan, belakang, tengah dan punggung serta stempel identitas buku di bagian depan. Nah, di stempel identitas ini, ada dua stempel lagi yang dibutuhkan, yakni tanggal pembelian dan sumber dana pembelian buku.

Catatan lain dari tahap ini adalah aktivitas menunggu stempel baru. Jadi tahap ini baru bisa dilaksnakan setelah stempel baru ready dan bisa digunakan. Jadi stempel ini berkait dengan perubahan status kampus dari Sekolah Tinggi menjadi Institut. Ada sedikitnya tiga stempel baru yang baru kami reyen, dunya terkait perubahan nama dan satunya adalah sumber dana, DIPA 2018. Kalau stempel tanggal, sepertinya masih barang lama.

Tahap ini terbilang mudah karena tak membutuhkan keahlian khusus, hanya ketahanan stamina dan ketelitian. Meski demikian, tak berarti ini bisa dilakukan tanpa konsentrasi. Meski bisa di-sambi dengan hal-hal lain, hilang fokus sepersekian detik bisa berakibat buruk juga, semisal arah stempel yang salah (ketuker atas bawah atau kanan kiri) atau tinta yang terlalu basah dan terlalu kering. Lesson learnt-nya adalah jangan mudah meremehkan hal yang tampak remeh.

Ketiga adalah mengentri data buku. Tahapan ini juga menandai berpindahnya lokasi pengolahan buku dari ruang pengembangan ke ruang multimedia. Di ruang tersebut, sudah disiapkan beberapa unit computer untuk proses pengentrian data. Aku ingat sekali di hari pertama proses ini , aku bisa pulang pas istirahat karena secara tak dikordinir, karyawan wanita meng-handle kerjaan sebelum jam istirahat sehingga karyawan laki-laki diharuskan mengambil giliran setelah istirahat. Ketika itu unit computer masih terbatas dan belum semuanya digotong ke lokasi, sehingga alasan untuk tak kembali setelah istirahat jadi semakin kuat.

Nah untuk bisa mengentri informasi ke database perpustakaan, diperlukan wewenang khusus. Aku dan temen2 CPNS yang awalnya hanya punya otoritas mengakses bagian sirkulasi diberi lampu hijau mengakses bagian bibliografi. Ada beberapa item yang harus dientri dan semua data tersebut sudah ada di lembar kerja yang diisi pada tahap pertama tadi. Kasarannya, tinggal masukan data dari kertas ke computer. Pada tahap ini aku juga baru tahu bahwa ada kode C untuk setiap eksemplar buku. Jika satu judul memiliki 10 eksemplar, misalnya, maka akan ada C1 hingga C10. C1 disimpan di rak khusus, entah apa namanya, sedang C9 hingga C10 ditaruh di rak yang bisa diakses pengunjung, baik dipinjam dan dibaca atau dibaca saja. C barangkali stands for copy, entah.

Selama proses ini, aku banyak terbantu oleh kebaikan Ibu Enni yang mengajariku beberapa hal teknis pun secara langsung membantuku menambahkan label yang belum terindex di sistem. Secara tak sengaja pula, aku selalu duduk di tempat yang sama, yakni di computer sebelah utara, nomor dua dari barat. Alunan musik dari salah satu computer atau ponsel pribadi kerap melengkapi suasana pengolahan buku dan bagiku, itu bisa dalam waktu yang sama menambah sekaligus menghancurkan fokus. Buktinya, ada beberapa kesalahan entri data yang kulakukan dan itu dengan mudah terlacak tanpa harus ada penyidikan siapa tersangkanya. Yah namanya aja sistem computer. Semuanya otomatis.

Sama seperti tahap-tahap sebelumnya, tahapan ini juga lebih membutuhkan ketelitian. Namun, harusnya, akurasi dalam tahap ini lebih ditekankan karena apa yang dientri ke computer akan secara otomatis tercetak di label yang akan ditempel di punggung depan dan backcover buku. Artinya, jika salah mengentri, maka cetakan juga akan salah dan ini berarti mengharuskan kerja ulang dan atau koreksi manual menggunakan pulpen dan atau tip-ex. Kaidah untuk entri masih tetap sama; satu entri untuk satu judul buku. Jumlah eksemplar hanya dibedakan dengan kode C.

Keempat adalah mencetak data entri kemudian menempel label nomor panggil serta kode batang. Setelah dicetak di kertas sticker, nomor panggil serta kode batang harus digunting kemudian ditempel di tempatnya masing-masing. Tentu ini berlaku untuk semua eksemplar buku, tak ada sistem keterwakilan. Ketika mengerjakan ini, aku lebih memilih menggunting dibanding menempel karena beberapa tempelan percobaan yang kulakukan ternyata asimetris dan tak enak dipandang.

Kesalahan teknis dalam tahap ini biasanya terjadi ketika potongan kertas (yang jumlahnya 20. 10 untuk label dan 10 lain untuk nomor panggil) yang sudah siap digunting ketlisut sehingga harus dicari dan melibatkan teman di samping kanan kiri. Lokasi masih di ruang multimedia, akan tetapi pemandangan sedikit berbeda. Hanya ada dua unit computer serta satu unit printer setelah beberapa unit lain dipindah ke tempat asalnya. Perpindahan ini juga yang mengharuskanku melakukan kerja ulang terhadap garapan kecil yang sudah nyaris selesai karena tak tahu computer yang biasa kupakai sudah dipindah ke mana.

Setelah distempel, label akan dilindungi dengan isolasi besar atau yang biasa disebut dengan lakban. Yang kupahami, dua label ini memiliki fungsi berbeda. Label di punggung kiri untuk memudahkan proses klasifikasi, shelving atau identifikasi buku, sedang label di belakang adalah untuk keperluan pemindaian. Nah penempelan lakban tadi dimaksudkan, mungkin, untuk memastikan label tertempel di situ dengan baik tanpa adanya ancaman kerusakan. Ya meski nanti masih disampul pakai plastik mika si.

Ohya, yang tidak boleh dilupakan karena aku tak ikut terlibat, adalah proses penulisan identitas buku di stempel depan dengan manual alias pulpen. Ada dua kolom yang diisi di tahapan ini, yakni nomor induk dan nomor klasifikasi. Untuk menulisnya, petugas hanya tinggal mencontoh alias menempel salin dua data itu label yang ditempel di belakang dan di punggung buku. Tampaknya tak sulit. Lalu, apakah sudah selesai di situ? Oh, beluuumm… .masih ada beberapa.

Kelima adalah menyampul buku dengan plastik mika. Sebelum sampai pada tahap ini, aku sudah terlebih dahulu mendengar info perihal menyampul buku dengan plastik mika. Merasa tidak memiliki tangan yang terampil dan terlatih untuk urusan semacam itu, aku buru-buru mengatakan bahwa jika sampai saatnya penyampulan, aku akan melakukan kerjaan lain. Dan, benar saja, meski penyampulannya tidak sama dengan penyampulan buku seperti biasa karena jauh lebih simple, aku tetap memilih kerjaan yang aman dan tidak memiliki efek merusak yang besar. Kerjaan itu adalah menggunting plastik mika sesuai ukuran buku. Alatnya hanya gunting dan bisa dikerjakan dengan cepat.

Keenam adalah menaruh pengaman di buku. Bagian ini confidential ya, teknis maupun materialnya. Intinya tahap ini, sejauh yang kupahami, ditujukan untuk memastikan para kleptomania tidak beraksi di ruangan sakral seperti perpustakaan. Tentu, material ini hanya satu dari sistem security perpustakaan selain pemindaian, CCTV dan lain sebagainya. Sayang, hanya ‘sistem’ Tuhan yang tidak bisa diakali. Alat dan prosedur ini tidak berlaku untuk menangkap adegan pengunjung yang dengan sengaja menyelipkan buku di rak lain dengan niat monopoli akses.

Tahap ini, aku bekerjasama dengan Mba Ria yang sebenarnya juga masih rada oneng dan kaku untuk memasang pengaman tersebut. Dipasangnya juga di setiap buku sehingga lumayan time consuming untuk orang baru seperti kami. Untungnya, juga, kami ketika itu banyak dibantu oleh Bu Enni dan Pak Iyadz yang tampak lebih akrab dan terlatih bergaul dengan si alat pengaman. Pada bagian ini pula, buku-buku yang berlabel C1 dipisahkan dari teman-temannya. Laluuuu.. Apakah sudah selesai? Oh, ternyata masih belum..

Ketujuh adalah, memindai sampul buku lalu mengintegrasikannya ke sistem. Tahapan ini tidak melibatkan banyak person karena hanya ada satu unit alat pindai—bentuknya asing buatku—yang digunakan. Aku sendiri ikut nimbrung di proses ini tidak dari awal, dengan Pak Faruq dan Pak Udin. Jadi, teknisnya, aku meletakkan buku yang akan dipindai sampulnya di bawah semacam shade alat pindai, lalu Pak Faruq akan memastikan data sudah masuk sistem. Setelah itu aku akan menyebut nomor urut buku agar Pak Udin memberi tanda centang di potokopian daftar buku baru yang dipegangnya. Begitu seterusnya sampai buku terakhir. Dan.. sayangnya,,

Kedelapan, adalah tahapan terakhir yang tak sengaja kulewatkan. Jadi ceritanya, setelah tahap ketujuh selesai, ada semacam pembagian ‘jatah’ untuk memroses sekian eksemplar buku. Aku kebagian nomor sekian hingga sekian. Kami sepakat mengerjakannya sepulang jam kantor, yakni sejak jam 16.00. Ketika itu, jam 4 sore, aku masih di rumah menunggu Rauhia benar-benar tidur sehingga bisa ditinggal dan sesampainya di depan perpustakaan, aku sudah diinstruksikan agar pulang karena kerjaan telah selesai. Lalu dengan muka tak bersalah, aku bubar jalan tanpa penghormatan.

***

Dari proses awal hingga akhir, kami para petugas benar-benar dimanjakan dengan fasilitas yang diupayakan suportif terhadap kerjaan yang digarap. Fasilitas yang dimaksud meliputi, tapi tak terbatas pada, ruangan ber-AC, alunan musik, cemilan dan minuman, hingga obrolan santai lucu-lucuan dengan sesama petugas. Ibarat kata pepatah, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Ketika kampus kami kedatangan menteri agama lalu secara kompak dan bersamaan kami tidak dapat jatah dan terlambat makan siang, kami kelaparan berjama’ah lalu makan siang telatpun berjama’ah.

Closing Statement-nya adalah.. seringkali kita ditakdirkan masuk pada keadaan agar dapat merenung dan mendulang pelajaran hidup darinya. Dulu semasa mahasiswa, aku gampang sekali complain pada petugas perpustakaan dan menuduh layanan mereka kurang optimal dan flawful di sana-sini. Saat ini, ndilalah aku tau rasanya jadi karyawan perpustakaan dan proses ‘perjuangan’ sebuah eksemplar buku bisa sampai ke tangan pengunjung, rasanya kok malu banget dulu pernah ‘sekritis’ itu sama pegawai dan sistem perpustakaan. Duh Tuhan, terimakasih atas pelajaran berharga ini. I am ready to learn much more!

Gambar: Dokumentasi Pribadi, dipoto dari Samsung J2 Pro gone dewe