1. Lahir dan Semakin Suburnya Generasi Copy Paste atau Salin Tempel
Sebagian dari percakapan yang terjadi di WAG biasanya bermula dari kiriman (teks/gambar/videao) salah seorang pengguna perihal sesuatu yang tengah viral, dianggap in atau timeless. Varian teks identik dengan pesan broadcast yang biasanya berakhir dengan keterangan semacam; copy paste dari group sebelah. Informasi yang disajikanpun beragam. Mulai dari salinan konten laman, informasi dari anonim, tulisan lain yang tak bertuan, hingga tulisan yang bisa dipertanggungjawabkan karena jelas sumber ataupun penulisnya. Pesan-pesan semacam inilah yang pelan namun pasti melahirkan dan menyuburkan generasi copy paste atau salin tempel.
Dalam taraf tertentu, tidak ada problem dalam gejala ini, apalagi jika diniatkan sebagai upaya berbagi informasi, pembuka diskusi ataupun pencair suasana. Namun di balik itu, kita para pengguna kemudian memiliki kecenderungan untuk tempel salin dalam frekuensi dan keperluan di luar kebiasaan—atau kewajaran. Seringkali, baik yang tak alami maupun tak amati, kita menempel salin informasi dari sebuah WAG ke WAG lain sebelum selesai membaca atau teliti menyerap informasi di dalamnya, termasuk melakukan penelusuran sumber dan atau memastikan validitas informasi.
Asal salin tempel semacam itu menjadi menarik untuk dilakukan sebab aktivitas tersebut kurang lebih menunjukkan ketidatertinggalan seorang pengguna atas informasi terbaru, keaktifannya di media sosial ataupun sikapnya terhadap isu tertentu. Sayangnya, seperti yang sudah jamak diperbincangkan, masifnya aktivitas sharing seringkali tidak diimbangi dengan filtering atau penyaringan sehingga tak sedikit yang tidak dapat memertanggungjawabkan pesan berantai yang terlanjur disebarnya. Bersama teman-temannya, WAG membuat arus informasi menjadi tak terbendung sehingga problem yang kita hadapi saat ini bukan lagi kelangkaan informasi, akan tetapi justru, adalah melimpahnya informasi sehingga kebenaran menjadi semakin relatif dan siapapun bisa mengkalim diri sebagai tuannya, meski hanya bermodal pesan berantai di dunia maya. Ini yang dimaksud zaman post-truth kali ya
Ini tentu belum merembet pada minimnya produktivitas dan kreativitas menuangkan ide dalam tulisan. Perlahan, kebiasan tempel salin tak hanya berlaku bagi informasi yang biasa disebar luas, akan tetapi juga percakapan di WAG Seorang pengguna yang pertama kali mengucapkan selamat atas kelulusan pengguna lain, misalnya, sangat mungkin menmroduksi pesan yang kemudian ditempel salin oleh sekian pengguna lain yang turut memberikan greeting namun dengan jalan yang berbeda. Jika Anda adalah penerima ucapan tersebut, kira-kira Anda pilih mendapat ucapan demikian atau tidak mendapat ucapan sekalian?
2. Bekerjanya Mesin Iklan Otomatis
Tidak seperti WAG-WAG lain yang mewadahi mereka yang tiap hari bertemu, semisal WAG kantor, tempat kerja, sekolah atau tetangga, WAG alumni, keluarga atau komunitas yang tidak secara rutin bertemu di darat biasanya memiliki semacam musim ramai dan musim sepi. Sekalinya ramai, percakapan menjadi ramai sekali dan begitu juga sebaliknya. Jika musim sepi telah datang, satu atau segelintir anggota grup biasanya akan mulai memancing perbincangan baru atau sekadar berkomentar ini grup atau kuburan? Kok sepi amat? Dari situ, biasanya, akan kembali muncul percakapan meski tak semua anggota yang tergabung ikut nimbrung.
Gejala ini sedikitnya menunjukkan dua kecenderungan. Pertama, bahwa intensitas pertemuan darat seringkali berbanding lurus dengan frekuensi komunikasi udara dan kedua adalah bahwa WAG semakin meneguhkan posisi media sosial, apapun
3. Munculnya Sebab-Sebab Baru untuk Baper
Jika dijabarkan, point ini mungkin akan memakan banyak sekali space. Untuk itu, saya hanya ingin mengulasnya sesingkat mungkin. Jadi, ada banyak sekali hal yang bisa bikin baper alias bawa perasaan dalam lalu lintas di WAG. Kasus paling kecilnya adalah saat obrolan salah seorang anggota tidak mendapat respon apapun dari siapapun di dalam sebuah WAG tertentu.
Cerita lainnya, di salah satu WAG yang saya ikuti, ada anggota lama yang baru bergabung kembali setelah rampung menyelesaikan urusan teknis ponselnya. Setelah si anggota ini masuk, tiba-tiba ada seorang anggota lain yang keluar. Beberapa hari kemudian, si anggota baru tersebut tiba-tiba ikut keluar dari group setelah—menurut pengakuannya—menemukan fakta kecil di lapangan. Kurang lebih, ia menuturkan bahwa sebab si anggota kedua keluar adalah karena dirinya baru bergabung kembali. Ia juga mencium komunikasi yang tidak sehat antaranggota grup yang membuat dirinya seolah-olah sebagai api dalam sekam. Dari situ ia memutuskan untuk keluar dari grup setelah pamit dan memberi klarifikasi semu karena terkesan tidak ingin lagi membicarakan hal tersebut. Barangkali terlalu kebawa perasaan.
Cerita tak berhenti di situ sebab tak lama, si admin kembali memasukkan anggota kedua yang keluar tadi. Si anggota pertama secara permanen keluar dari grup dan membatasi komunikasi yang awalnya sangat intens dan intim dengan masing-masing anggota grup. FYI, grup tersebut berisi komunitas yang sering keluar, main dan nongkrong bareng karena kesamaan kultur dan hobi. Keadaan kembali seperti biasa meski satu orang tidak pernah lagi muncul dalam kapasitasnya seperti biasa.
Kasus ini barangkali hanya secuil dari cerita-cerita lain di WAG yang seperti menandai gaya baru komunikasi zaman ini. Seperti pertemenan yang bisa dipererat dengan sosial media, sosial media pulalah yang bisa berandil merenggangkan sebuah hubungan. Banyak yang menjadi asosial justru karena terlalu keranjingan media sosial. Apalagi, kini, tak hanya mulut yang menjadi harimau, jaripun bisa menjelma singa.
Selain soal exit group, ke-emoh-an berada dalam satu grup dengan orang yang tidak disukai hingga renggangnya pertemanan seperti cerita di atas, kasus yang barangkali jamak ditemui adalah perihal jualan di WAG yang sedikit banyak mengganggu beberapa anggota. Ini utamanya terjadi ketika aktivitas marketing tersebut dilakukan di grup non-marketing, semisal grup keluarga, alumni, kantor dan lain sebagainya dalam intensitas yang demikian tinggi.
Belum jika setting-an hape tidak diubah sehingga setiap kali terhubung dengan paket data atau wifi, semua gambar dagangan akan terunduh otomatis.
Ketika grup non-marketing sementara beralih kepada grup marketing, anggota yang merasa tidak berkepentingan terhadap barang atau jasa yang ditawarkan atau tertarik tapi tak bisa afford harganya akan gerah dan menggerutu. Sebab terkadang, saking semangatnya jualan, tidak sedikit bakul yang terlalu menghayati perannya sehingga abai bahwa dalam waktu yang sama, ia berkewajiban menghargai privasi dan kepentingan orang lain, termasuk orang yang tidak berkepentingan. Karena itulah, tidak sedikit group yang memiliki aturan internal, utamanya terkait soal jualan semacam ini.
Meski demikian, bukan tak ada pengguna yang tetap bisa buka lapak dengan santun dan wajar di WAG, misalnya dengan jualan dalam intensitas kecil ataupun melayani pembeli atau calon pembeli viajapri (jalur pribadi) dan tidak jarkom (jalur komunitas/komunal). Jika tidak demikian, maka yang bersangkutan biasanya akan woro-woro agar menghubunginya secara japri jika ada anggota lain yang tertarik membeli barang/menggunakan jasanya. Atau, yang lebih simpel, ya ngiklan di WA Story sehingga semua kontak yang dimiliki, baik yang tergabung dalam WAG atau tidak, bisa lebih leluasa memilih untuk nonton atau skip the running ad.
Gambar: www.as.com
Posting Komentar