Penerjemah: Masyithah Mardhatillah
Penyelaras Bahasa: Hamdani
"Badai ini akan berlalu, namun pilihan yang kita buat hari ini dapat mengubah hidup kita di masa depan."
"Badai ini akan berlalu, namun pilihan yang kita buat hari ini dapat mengubah hidup kita di masa depan."
Bangsa manusia kini tengah mengalami krisis global. Mungkin krisis terbesar
di generasi kita. Keputusan yang diambil pemerintah dan masyarakat dalam
pekan-pekan mendatang mungkin akan menentukan bentuk dunia di masa depan. Tidak
hanya sistem kesehatan, berbagai keputusan tersebut juga akan mempengaruhi kehidupan
politik, ekonomi dan budaya. Kita harus bertindak cepat dan tegas. Kita juga
mesti mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari tindakan kita hari ini. Di
hadapan dua alternatif, kita tidak bisa hanya berpikir bagaimana mengatasi
ancaman di depan mata, tetapi juga soal dunia seperti apa yang akan kita
tinggali setalah badai ini berlalu. Ya, badai ini akan berlalu, manusia akan
bertahan, sebagian besar kita akan tetap hidup, tapi kita akan mendiami dunia yang
berbeda.
Beberapa tindakan darurat jangka pendek yang dilakukan hari ini akan
menjadi standar di kehidupan mendatang.
Demikianlah sifat keadaan darurat. Ia mampu mempercepat laju sejarah.
Keputusan yang dalam situasi normal membutuhkan waktu bertahun-tahun akan
diambil dalam hitungan jam. Teknologi yang prematur bahkan berbahaya juga akan digunakan,
sebab risiko tidak melakukan apa-apa jauh lebih besar. Semua negara menjadi
kelinci eksperimen sosial berskala luas. Apa yang terjadi jika setiap orang
bekerja dari rumah dan hanya berkomunikasi jarak jauh? Apa yang terjadi jika
semua sekolah dan kampus hanya bisa diakses lewat jalur daring? Pada situasi normal,
pemerintah, pebisnis dan dewan pendidikan tidak akan bersepakat menjajal percobaan
demikian. Tapi sekali lagi, saat ini bukanlah keadaan normal.
Di saat krisis semacam ini, kita dihadapkan pada dua pilihan penting.
Pertama adalah antara pengintaian totaliter dan pemberdayaan masyarakat. Kedua
adalah antara isolasi nasionalis dan solidaritas global.
PENGINTAIAN 'DI BAWAH KULIT'
Untuk menghentikan epidemi, seluruh populasi harus menaati pedoman-pedoman khusus. Ada dua cara utama untuk
mencapai hal tersebut. Pertama adalah melalui pengawasan pemerintah
dengan memberi hukuman pada warga negara yang melanggar aturan. Dewasa ini,
untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, teknologi memungkinkan pengintaian
terhadap setiap orang. Lima puluh tahun yang lalu, KGB tidak bisa mengintai 240.000.000
masyarakat Soviet dalam 24 jam sehari. KGB pun tidak mampu memproses semua
informasi yang didapat dengan efektif. Ia bergantung pada agen dan analis, tapi
keduanya juga tidak bisa menggantikan agen manusia yang mampu menguntit setiap
warga negara. Akan tetapi saat ini, pemerintah bisa mengandalkan sensor yang
tersebar di mana-mana serta algoritma yang demikian kuat, bukan lagi dengan agen
rahasia.
Dalam perang melawan epidemi Corona, beberapa negara telah menggunakan
perangkat pengintaian. Contoh paling kentara adalah Tiongkok yang dengan teliti
mengawasi ponsel warganya, menggunakan ratusan juta kamera pengenal wajah serta
mengharuskan warganya mengecek dan melaporkan suhu tubuh dan kondisi
kesehatan mereka. Dari situ, pemerintah Tiongkok tidak hanya dapat mengenali
pasien Corona dengan cepat, tetapi juga bisa melacak pergerakan dan mengenali
orang-orang yang berkontak dengan si pasien. Sederet aplikasi ponsel canggih
juga dapat memperingatkan
orang-orang tertentu perihal kemungkinan menjadi pasien
Corona berikutnya.
Teknologi semacam ini tidak terbatas di Asia Timur. Dalam rangka melacak
pasien-pasien Corona, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, baru-baru ini
mengeluarkan izin bagi agen keamanan negaranya untuk menggunakan
teknologi pengawasan yang biasanya dipakai memerangi teroris. Ketika tindakannya ditolak parlemen, Netanyahu
balik membalasnya dengan "dekrit darurat."
Anda mungkin berpikir bahwa tidak ada yang baru mengenai ini semua. Pada
tahun-tahun belakangan, pemerintah dan perusahaan-perusahaan bahkan telah menggunakan
teknologi yang jauh lebih unggul untuk melacak, mengawasi dan memanipulasi manusia.
Namun demikian jika kita tidak berhati-hati, epidemi ini mungkin akan menandai
sebuah babak penting dalam sejarah teknologi pengintaian. Bukan hanya karena ia
berpotensi membenarkan penggunaan perangkat pengintaian massa di negara-negara
yang pernah menolaknya, namun juga karena menandai transisi dramatis dari pengintaian ‘di
atas kulit’ menuju ‘di bawah kulit’.
Sebelum masa darurat ini, ketika jari Anda menyentuh layar ponsel dan
mengklik sebuah tautan, pemerintah hanya ingin tahu bagian mana yang Anda
klik. Namun demikian, virus Corona mampu menggeser fokus ketertarikan mereka. Pemerintah
saat ini lebih ingin tahu suhu tubuh melalui jari Anda dan tekanan darah di
bawah kulit Anda.
PUDING DARURAT
Salah satu masalah terkait teknologi pengintaian dalam kondisi semacam ini adalah fakta bahwa tidak ada seorangpun dari kita yang mengetahui bagaimana kita semua diintai dan apa yang akan terjadi di tahun-tahun mendatang. Teknologi pengintaian tengah berkembang luar biasa cepat, hingga apa yang sepuluh tahun lalu hanya tampak dalam fiksi-ilmiah saat ini terasa seperti berita usang. Sebagai eksperimen kecil, bayangkan jika pemerintah meminta setiap warganya mengenakan gelang biometrik yang dapat memonitor suhu tubuh dan tekanan darah pemakainya dalam 24 jam sehari. Data yang diperoleh dari teknologi tersebut kemudian ditimbun dan dianalisis dengan algoritma pemerintah. Dengan begitu, algoritma tersebut dapat mengetahui bahwa Anda sedang sakit bahkan sebelum Anda sendiri menyadarinya, termasuk dari mana saja Anda datang dan siapa saja yang Anda temui. Dengan begini, mata rantai penyebaran virus memang dapat ditekan sedemikian rupa, bahkan dihilangkan sama sekali. Ia juga sangat berpotensi menghentikan jangkauan epidemi ini hanya dalam hitungan hari. Terdengar menakjubkan, bukan?
Kelemahannya, tentu saja, sistem ini akan memunculkan legitimasi penggunaan
sistem pengintaian yang mengerikan. Jika Anda mengetahui bahwa saya lebih suka
membaca berita di FoxNews dibanding CNN, Anda hanya akan dapat menakar pandangan
politik atau kepribadian saya. Namun jika Anda dapat memonitor perkembangan suhu
tubuh, tekanan darah bahkan degup jantung saat saya menonton video klip
tertentu, Anda akan mengetahui lebih jauh apa saja yang bisa membuat saya tertawa,
menangis, bahkan marah.
Penting diingat bahwa kemarahan, kebahagiaan, kebosanan dan cinta merupakan
fenomena biologis seperti halnya demam dan batuk. Teknologi yang dapat
mengenali batuk juga dapat mengidentifikasi tawa. Jika perusahaan dan
pemerintah mulai memanen data biometrik kita, mereka akan dapat mengenali kita
lebih baik dari bagaimana kita mengenal diri sendiri. Lebih jauh, mereka tidak
hanya akan dapat memperkirakan perasaan kita, akan tetapi juga memanipulasinya
dan mengarahkan, misalnya, untuk membeli sesuatu yang mereka inginkan, baik
dalam bentuk produk maupun pandangan politik. Sistem biometrik ini membuat
taktik penyadapan data ala Cambridge Analytica tampak
seperti sesuatu dari Zaman Batu. Bayangkan pada 2030, Korea Utara mewajibkan
warganya mengenakan gelang biometrik selama 24 jam sehari. Jika Anda mendegar ceramah
presiden dan gelang tersebut menangkap sinyal kemarahan, habislah Anda.
Tentu saja, Anda boleh menganggap bahwa pengintaian biometrik ini merupakan
tindakan sementara selama masa darurat saja. Ia tidak akan lagi dipakai begitu
masa sulit ini berakhir. Namun demikian, tindakan sementara semacam ini biasanya
tetap dilakukan meski masa darurat berlalu, utamanya karena selalu ada kekhawatiran
munculnya keadaan darurat lain di masa yang akan datang. Negara asal saya,
Israel, mendeklarasikan keadaan darurat selama Perang Kemerdekaan pada 1948 dan
karenanya membolehkan beberapa tindakan tertentu dalam masa-masa tersebut mulai
dari sensor pers, pengambilalihan lahan hingga aturan khusus untuk membuat
puding (saya tidak sedang bercanda). Hari ini, Perang Kemerdekaan telah lama
dimenangkan, tetapi Israel tak pernah mendeklarasikan berakhirnya
keadaan darurat dan gagal mencabut izin dan mengakhiri beberapa tindakan
‘sementara’ ala tahun 1948 tersebut (dekrit puding darurat dicabut pada
2011).
Bahkan ketika infeksi Virus Corona melandai hingga angka 0, pemerintah yang kelaparan data dapat
beralasan bahwa mereka harus tetap menjalankan sistem pengintaian biometrik
karena khawatir akan datangnya Virus Corona jilid dua, atau Ebola versi baru di
Afrika Tengah, atau alasan lainnya yang, Anda tahu sendiri maksudnya. Sebuah
pertempuran besar untuk merongrong privasi kita tengah terjadi pada tahun-tahun
belakangan dan Virus Corona seakan menjadi titik balik pertempuran tersebut.
Ini utamanya karena ketika masyarakat disuguhi pilihan antara kesehatan dan
privasi, mereka cenderung lebih mengutamakan kesehatan.
POLISI SABUN
Meminta masyarakat memilih antara privasi dan kesehatan sebenarnya
merupakan akar masalah yang paling utama. Tak seharusnya dua pilihan tersebut
diberikan. Kita harusnya bisa menikmati keduanya dalam waktu yang bersamaan.
Kita bisa melindungi diri dan menghentikan virus Corona tanpa harus melegitimasi
rezim dengan sistem pengintaian totaliter, tetapi dengan cara memberdayakan masyarakat. Di
pekan-pekan terakhir, kita menyaksikan bagaimana Korea Selatan, Taiwan dan
Singapura dengan menakjubkan berupaya mengenali virus ini. Meski menggunakan
aplikasi pengintaian, negara-negara tersebut lebih mengandalkan uji coba
ekstensif, pelaporan yang jujur dan kemauan untuk bekerjasama dalam rangka menyajikan
informasi memadai bagi masyarakat.
Pengawasan terpusat dan penjatuhan sanksi bukanlah
satu-satunya cara untuk membuat masyarakat mematuhi petunjuk keselamatan. Saat
mereka diberitahu perihal fakta-fakta saintifik dan mempercayai apa yang
disampaikan otoritas publik, mereka akan melakukan hal yang benar meski tanpa Big
Brother menguntit pundak mereka. Populasi yang memiliki motivasi tinggi dan
cukup menyerap informasi biasanya lebih kuat dan kooperatif dibanding mereka
yang takut polisi namun sebenarnya bodoh.
Bayangkan, misalnya, praktik mencuci tangan dengan sabun. Ide ini merupakan
salah satu capaian besar dalam diskursus higienitas manusia. Tindakan sederhana
ini berhasil menyelamatkan jutaan nyawa tiap tahunnya. Padahal, baru pada abad
ke-19 para ilmuwan mengetahui sesuatu yang kita terima begitu saja ini.
Sebelumnya, para dokter dan perawat menjalani berbagai tahapan dalam operasi
bedah tanpa mencuci tangan. Hari ini, milyaran orang secara rutin mencuci tangan
dengan sabun bukan karena mereka takut akan polisi sabun, akan tetapi karena
mereka mengetahui fakta sebenarnya; saya mencuci tangan dengan sabun karena
saya pernah mendengar bahwa virus dan bakteri dapat menyebabkan penyakit dan
sabun dapat membunuh organisme kecil tersebut.
Namun demikian, untuk mencapai level kepatuhan dan kerja sama demikian, Anda
membutuhkan kepercayaan. Warga negara harus mempercayai ilmu pengetahuan,
otoritas publik, juga media. Selama tahun-tahun belakangan, politisi yang tak bertanggung jawab telah dengan sengaja meruntuhkan kepercayaan
publik terhadap ilmu pengetahuan, otoritas publik juga media. Dan saat ini,
politisi-politisi jenis itu mungkin juga tergoda untuk memilih jalan otoritarianisme
dengan dalih bahwa untuk melakukan hal yang benar, siapa pun tidak bisa begitu saja percaya pada publik.
Biasanya, kepercayaan yang sudah hilang tidak begitu saja dapat dibangun
kembali dalam waktu satu malam. Akan tetapi, sekali lagi, sekarang bukanlah saat-saat normal.
Di periode krisis saat ini, pikiran juga bisa berubah sangat cepat. Anda yang
mengalami keretakan hubungan dengan saudara selama bertahun-tahun dapat seketika
menemukan oase tersembunyi berisi kepercayaan dan harmoni sehingga ketika itu
juga akan saling membantu tanpa berpikir panjang. Dibanding membangun rezim pengintaian,
belum terlalu terlambat untuk kembali membangun kepercayaan masyarakat terhadap
ilmu pengetahuan, otoritas publik dan media. Kita tentu dan pasti akan menggunakan teknologi baru tersebut,
namun ia harus bisa memberdayakan masyarakat. Saya sepenuhnya tidak keberatan jika
suhu tubuh dan tekanan darah saya dipantau, namun data tersebut seharusnya
tidak dipakai untuk membentuk pemerintah yang mutlak berdigdaya dalam konotasi
yang negatif. Data tersebut seharusnya juga memungkinkan warga untuk lebih
pandai memilih setiap keputusan yang diambil dan memungkinkan pemerintah lebih
bertanggungjawab terhadap setiap kebijakannya.
Jika saya dapat mengikuti perkembangankondisi medis saya 24 jam sehari,
saya tentu tidak hanya dapat mengetahui apakah saya membahayakan kesehatan
orang lain, tapi juga kebiasaan mana yang berpengaruh terhadap kesehatan saya. Selain
itu, jika saya dapat mengakses dan menganalisis statistik penyebaran virus
Corona yang bisa percaya, saya juga akan dapat menilai apakah pemerintah
benar-benar memberikan informasi yang akurat dan apakah mereka telah mengambil
langkah tepat dalam memerangi epidemi tersebut. Kapan pun diskusi soal sistem pengintaian ini digelar, perlu
diingat bahwa teknologi yang sama tidak hanya dapat digunakan pemerintah untuk
mengawasi rakyat, tetapi juga
sebaliknya, digunakan rakyat untuk mengawasi pemerintah.
Dari situ, Virus Corona sebenarnya merupakan ujian besar bagi
kewarganegaraan kita. Di hari-hari mendatang, masing-masing kita harus lebih
percaya pada data ilmiah dan ahli kesehatan dibanding teori konspirasi yang
tidak jelas ataupun politisi yang mementingkan dirinya sendiri. Jika kita gagal
menentukan pilihan yang tepat, kita mungkin akan dengan sukarela menyerahkan
kemerdekaan kita yang paling berharga, berpikir bahwa sistem pengintaian
totaliter adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan kesehatan kita.
KITA MEMBUTUHKAN
RENCANA GLOBAL
Pilihan penting kedua yang kita hadapi adalah antara isolasi nasionalis dan solidaritas global. Baik penyakit maupun krisis ekonomi yang ditimbulkan Virus Corona sama-sama merupakan masalah global. Keduanya bisa diselesaikan secara efektif hanya dengan kerjasama global.
Yang pertama dan
terutama, untuk dapat melawan virus ini, kita harus berbagi informasi secara
global. Inilah kelebihan utama manusia dibanding virus. Virus Corona di Tiongkok
dan di Amerika
Serikat tidak dapat bertukar tips
bagaimana caramenyerang manusia. Akan tetapi, Tiongkok dapat memberi
pelajaran-pelajaran berharga kepada Amerika Serikat seputar virus ini dan bagaimana menjinakkannya.
Apa yang ditemukan seorang dokter di Italia pada pagi hari sangat mungkin dapat
menyelamatkan nyawa pasien di Tehran pada malam harinya. Saat pemerintah
Inggris ragu akan mengambil kebijakan yang mana, nasihat dari Korea yang sudah
pernah mengalami dilema ini beberapa bulan sebelumnya layak dipertimbangkan.
Namun untuk memungkinkan ini semua terjadi, kita memerlukan spirit kerjasama
dan kepercayaan global.
Negara-negara seluruh
dunia harus mau saling berbagi informasi secara terbuka dan meminta nasihat dengan rendah hati serta mempercayai data serta informasi yang mereka
terima. Lain dari itu, kita juga membutuhkan sebuah upaya global untuk
menciptakan dan menyalurkan alat-alat medis, utamanya alat uji dan alat bantu
pernapasan. Daripada harus melakukannya sendiri-sendiri di tiap negara dan
menimbun peralatan apa
pun yang bisa didapatkan, upaya
global yang terpadu dapat dengan menakjubkan mempercepat proses produksi dan
distribusi alat medis secara merata. Seperti halnya tindakan negara-negara yang
menasionalisasi industri-industri penting selama masa perang, perang melawan
Corona mungkin mengharuskan kita ‘memanusiakan’ produksi barang-barang krusial.
Negara kaya dengan kasus Corona yang sedikit harus mau mengirim peralatan medisnya untuk membantu
negara miskin yang kasus Corona-nya lebih banyak sembari meyakini bahwa jika tiba gilirannya ia membutuhkan bantuan, negara
lain juga akan datang membantu.
Kita juga mungkin
berpikir soal usaha global untuk menyatukan para awak medis seluruh dunia. Negara yang sedikit terdampak dapat mengirim
staf medisnya ke negara lain yang lebih banyak terdampak, baik untuk memberi bantuan
yang dibutuhkan maupun menimba pengalaman berharga. Jika keadaannya berbalik,
arus bantuan juga akan berubah arah.
Kerjasama global juga
sangat dibutuhkan dalam sektor ekonomi. Berdasarkan watak dasar ekonomi dan
mata rantai persediaan barang, jika masing-masing negara hanya memikirkan
kepentingan rakyatnya dan mengabaikan rakyat di negara lain, yang akan terjadi
selanjutnya adalah kekacauan dan krisis yang semakin memburuk. Kita membutuhkan
sebuah tindakan global yang terencana, dan kita harus segera melakukannya.
Hal lain yang juga dibutuhkan
adalah membuat kesepakatan global soal perjalanan antarnegara. Melarang
perjalanan internasional selama beberapa bulan akan menimbulkan derita luar
biasa dan justru menghambat perang melawan Corona. Negara-negara harus
bekerjasama untuk membolehkan segelintir pelancong penting bepergian
antarnegara seperti ilmuwan, dokter, wartawan, politisi dan pebisnis. Ini dapat
dilakukan dengan merancang kesepakatan global dan memberlakukan protolol penyaringan
(screening) bagi para pelancong di negara asalnya. Begitu Anda
mengetahui tahu bahwa hanya pelancong yang telah melewati protokol tersebutlah yang
dibolehkan masuk pesawat, Anda tentu akan lebih welcome menerima
pelancong tersebut di negara Anda.
Sayangnya saat ini,
negara mana
pun sangat sulit melakukan hal-hal
tersebut. Sederet kelumpuhan telah nyata menyerang komunitas internasional.
Seperti tidak ada satu pun
orang dewasa di kamar sempit
bernama bumi. Orang-orang hanya bisa berharap kosong perihal pertemuan para
pemimpin tertinggi dunia untuk membahas rencana tindakan global. Sementara itu,
para pimpinan G7 yang berencana menyelenggarakan pertemuan daring pekan ini tak
jadi melakukan apa-apa.
Dalam krisis global
sebelumnya—semisal pada krisis finansial 2008 dan epidemi Ebola 2014—Amerika Serikat
mendaulat dirinya sebagai pimpinan dunia global. Akan tetapi, tata laksana
Amerika terbaru telah melepaskan tahta pemimpin tertinggi tersebut. Sangat
jelas bahwa dalam konteks ini, Amerika Serikat jauh lebih peduli pada kejayaan
negaranya dibanding masa depan kemanusiaan.
Tata laksana tersebut
bahkan telah memutus ikatan dengan sekutu-sekutu terdekat. Pelarangan semua perjalanan
dari Eropa ke Amerika Serikat menandakan keengganannya untuk berembuk dengan
Uni Eropa perihal tindakan tegas yang akan diambil. Apalagi, Amerika Serikat juga
menyinggung Jerman dengan menawar vaksin Covid 19 terbaru di sebuah perusahaan
farmasinya seharga 1 milyar dolar. Meski kemudian akhirnya tata laksana ini
dicabut dan diganti dengan rencana tindakan yang sifatnya global, segelintir warga
Amerika Serikat tetap mengikuti pemipin mereka yang tak pernah bertanggung jawab,
tidak mau mengakui kesalahan dan
gemar memuji diri sendiri serta menyalahkan orang lain.
Jika kekosongan posisi
yang ditinggalkan Amerika Serikat tidak jua diisi oleh negara-negara lain,
epidemi ini tidak hanya akan sangat sulit dihentikan, akan tetapi juga meninggalkan ‘warisan’ yang akan terus meracuni hubungan internasional
di tahun-tahun mendatang. Namun demikian, setiap krisis sebenarnya merupakan kesempatan.
Kita semua layak dan harus berharap bahwa epidemi ini
akan membantu umat manusia memahami perihal bahaya perpecahan global yang tidak
main-main.
Kemanusiaan harus
membuat pilihan. Kita akan menempuh jalan menuju perpecahan, atau kita akan
meniti jalan menuju solidaritas global? Jika kita memilih perpecahan, ia tak
hanya akan memperpanjang krisis, namun sangat mungkin menciptakan bencana yang
lebih besar di masa mendatang. Sebaliknya jika kita memilih solidaritas global,
ia tak hanya akan mengantarkan kita pada kemenangan melawan Virus Corona, tetapi
juga terhadap berbagai epidemi dan krisis lain yang mungkin menyerang manusia
di abad 21.
English version is available at https://www.ft.com/content/19d90308-6858-11ea-a3c9-1fe6fedcca75?segmentid=acee4131-99c2-09d3-a635-873e61754ec6
we can win this in the name of Allah. Aamiin.
BalasHapus