Dunia Pasca Covid 19 oleh Yuval Noah Harari (Terjemah Indonesia)


Penerjemah: Masyithah Mardhatillah
Penyelaras Bahasa: Hamdani

"Badai ini akan berlalu, namun pilihan yang kita buat hari ini dapat mengubah hidup kita di masa depan."

Bangsa manusia kini tengah mengalami krisis global. Mungkin krisis terbesar di generasi kita. Keputusan yang diambil pemerintah dan masyarakat dalam pekan-pekan mendatang mungkin akan menentukan bentuk dunia di masa depan. Tidak hanya sistem kesehatan, berbagai keputusan tersebut juga akan mempengaruhi kehidupan politik, ekonomi dan budaya. Kita harus bertindak cepat dan tegas. Kita juga mesti mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari tindakan kita hari ini. Di hadapan dua alternatif, kita tidak bisa hanya berpikir bagaimana mengatasi ancaman di depan mata, tetapi juga soal dunia seperti apa yang akan kita tinggali setalah badai ini berlalu. Ya, badai ini akan berlalu, manusia akan bertahan, sebagian besar kita akan tetap hidup, tapi kita akan mendiami dunia yang berbeda.

Beberapa tindakan darurat jangka pendek yang dilakukan hari ini akan menjadi standar di kehidupan mendatang.  Demikianlah sifat keadaan darurat. Ia mampu mempercepat laju sejarah. Keputusan yang dalam situasi normal membutuhkan waktu bertahun-tahun akan diambil dalam hitungan jam. Teknologi yang prematur bahkan berbahaya juga akan digunakan, sebab risiko tidak melakukan apa-apa jauh lebih besar. Semua negara menjadi kelinci eksperimen sosial berskala luas. Apa yang terjadi jika setiap orang bekerja dari rumah dan hanya berkomunikasi jarak jauh? Apa yang terjadi jika semua sekolah dan kampus hanya bisa diakses lewat jalur daring? Pada situasi normal, pemerintah, pebisnis dan dewan pendidikan tidak akan bersepakat menjajal percobaan demikian. Tapi sekali lagi, saat ini bukanlah keadaan normal.

Di saat krisis semacam ini, kita dihadapkan pada dua pilihan penting. Pertama adalah antara pengintaian totaliter dan pemberdayaan masyarakat. Kedua adalah antara isolasi nasionalis dan solidaritas global.

PENGINTAIAN 'DI BAWAH KULIT'
Untuk menghentikan epidemi, seluruh populasi harus menaati  pedoman-pedoman khusus. Ada dua cara utama untuk mencapai hal tersebut. Pertama adalah melalui pengawasan pemerintah dengan memberi hukuman pada warga negara yang melanggar aturan. Dewasa ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, teknologi memungkinkan pengintaian terhadap setiap orang. Lima puluh tahun yang lalu, KGB tidak bisa mengintai 240.000.000 masyarakat Soviet dalam 24 jam sehari. KGB pun tidak mampu memproses semua informasi yang didapat dengan efektif. Ia bergantung pada agen dan analis, tapi keduanya juga tidak bisa menggantikan agen manusia yang mampu menguntit setiap warga negara. Akan tetapi saat ini, pemerintah bisa mengandalkan sensor yang tersebar di mana-mana serta algoritma yang demikian kuat, bukan lagi dengan agen rahasia.

Dalam perang melawan epidemi Corona, beberapa negara telah menggunakan perangkat pengintaian. Contoh paling kentara adalah Tiongkok yang dengan teliti mengawasi ponsel warganya, menggunakan ratusan juta kamera pengenal wajah serta mengharuskan warganya mengecek dan melaporkan suhu tubuh dan kondisi kesehatan mereka. Dari situ, pemerintah Tiongkok tidak hanya dapat mengenali pasien Corona dengan cepat, tetapi juga bisa melacak pergerakan dan mengenali orang-orang yang berkontak dengan si pasien. Sederet aplikasi ponsel canggih juga dapat memperingatkan orang-orang tertentu perihal kemungkinan menjadi pasien Corona berikutnya.

Teknologi semacam ini tidak terbatas di Asia Timur. Dalam rangka melacak pasien-pasien Corona, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, baru-baru ini mengeluarkan izin bagi agen keamanan negaranya untuk menggunakan teknologi pengawasan yang biasanya dipakai memerangi teroris.  Ketika tindakannya ditolak parlemen, Netanyahu balik membalasnya dengan "dekrit darurat."

Anda mungkin berpikir bahwa tidak ada yang baru mengenai ini semua. Pada tahun-tahun belakangan, pemerintah dan perusahaan-perusahaan bahkan telah menggunakan teknologi yang jauh lebih unggul untuk melacak, mengawasi dan memanipulasi manusia. Namun demikian jika kita tidak berhati-hati, epidemi ini mungkin akan menandai sebuah babak penting dalam sejarah teknologi pengintaian. Bukan hanya karena ia berpotensi membenarkan penggunaan perangkat pengintaian massa di negara-negara yang pernah menolaknya, namun juga karena menandai transisi dramatis dari pengintaian ‘di atas kulit’ menuju ‘di bawah kulit’. 

Sebelum masa darurat ini, ketika jari Anda menyentuh layar ponsel dan mengklik sebuah tautan,  pemerintah hanya ingin tahu bagian mana yang Anda klik. Namun demikian, virus Corona mampu menggeser fokus ketertarikan mereka. Pemerintah saat ini lebih ingin tahu suhu tubuh melalui jari Anda dan tekanan darah di bawah kulit Anda.
    
PUDING DARURAT

Salah satu masalah terkait teknologi pengintaian dalam kondisi semacam ini adalah fakta bahwa tidak ada seorangpun dari kita yang mengetahui bagaimana kita semua diintai dan apa yang akan terjadi di tahun-tahun mendatang. Teknologi pengintaian tengah berkembang luar biasa cepat, hingga apa yang sepuluh tahun lalu hanya tampak dalam fiksi-ilmiah saat ini terasa seperti berita usang. Sebagai eksperimen kecil, bayangkan jika pemerintah meminta setiap warganya mengenakan gelang biometrik yang dapat memonitor suhu tubuh dan tekanan darah pemakainya dalam 24 jam sehari. Data yang diperoleh dari teknologi tersebut kemudian ditimbun dan dianalisis dengan algoritma pemerintah. Dengan begitu, algoritma tersebut dapat mengetahui bahwa Anda sedang sakit bahkan sebelum Anda sendiri menyadarinya, termasuk dari mana saja Anda datang dan siapa saja yang Anda temui. Dengan begini, mata rantai penyebaran virus memang dapat ditekan sedemikian rupa, bahkan dihilangkan sama sekali. Ia juga sangat berpotensi menghentikan jangkauan epidemi ini hanya dalam hitungan hari. Terdengar menakjubkan, bukan?

Kelemahannya, tentu saja, sistem ini akan memunculkan legitimasi penggunaan sistem pengintaian yang mengerikan. Jika Anda mengetahui bahwa saya lebih suka membaca berita di FoxNews dibanding CNN, Anda hanya akan dapat menakar pandangan politik atau kepribadian saya. Namun jika Anda dapat memonitor perkembangan suhu tubuh, tekanan darah bahkan degup jantung saat saya menonton video klip tertentu, Anda akan mengetahui lebih jauh apa saja yang bisa membuat saya tertawa, menangis, bahkan marah.

Penting diingat bahwa kemarahan, kebahagiaan, kebosanan dan cinta merupakan fenomena biologis seperti halnya demam dan batuk. Teknologi yang dapat mengenali batuk juga dapat mengidentifikasi tawa. Jika perusahaan dan pemerintah mulai memanen data biometrik kita, mereka akan dapat mengenali kita lebih baik dari bagaimana kita mengenal diri sendiri. Lebih jauh, mereka tidak hanya akan dapat memperkirakan perasaan kita, akan tetapi juga memanipulasinya dan mengarahkan, misalnya, untuk membeli sesuatu yang mereka inginkan, baik dalam bentuk produk maupun pandangan politik. Sistem biometrik ini membuat taktik penyadapan data ala Cambridge Analytica tampak seperti sesuatu dari Zaman Batu. Bayangkan pada 2030, Korea Utara mewajibkan warganya mengenakan gelang biometrik selama 24 jam sehari. Jika Anda mendegar ceramah presiden dan gelang tersebut menangkap sinyal kemarahan, habislah Anda.

Tentu saja, Anda boleh menganggap bahwa pengintaian biometrik ini merupakan tindakan sementara selama masa darurat saja. Ia tidak akan lagi dipakai begitu masa sulit ini berakhir. Namun demikian, tindakan sementara semacam ini biasanya tetap dilakukan meski masa darurat berlalu, utamanya karena selalu ada kekhawatiran munculnya keadaan darurat lain di masa yang akan datang. Negara asal saya, Israel, mendeklarasikan keadaan darurat selama Perang Kemerdekaan pada 1948 dan karenanya membolehkan beberapa tindakan tertentu dalam masa-masa tersebut mulai dari sensor pers, pengambilalihan lahan hingga aturan khusus untuk membuat puding (saya tidak sedang bercanda). Hari ini, Perang Kemerdekaan telah lama dimenangkan, tetapi Israel tak pernah mendeklarasikan berakhirnya keadaan darurat dan gagal mencabut izin dan mengakhiri beberapa tindakan ‘sementara’ ala tahun 1948 tersebut (dekrit puding darurat dicabut pada 2011).

Bahkan ketika infeksi Virus Corona melandai hingga angka 0,  pemerintah yang kelaparan data dapat beralasan bahwa mereka harus tetap menjalankan sistem pengintaian biometrik karena khawatir akan datangnya Virus Corona jilid dua, atau Ebola versi baru di Afrika Tengah, atau alasan lainnya yang, Anda tahu sendiri maksudnya. Sebuah pertempuran besar untuk merongrong privasi kita tengah terjadi pada tahun-tahun belakangan dan Virus Corona seakan menjadi titik balik pertempuran tersebut. Ini utamanya karena ketika masyarakat disuguhi pilihan antara kesehatan dan privasi, mereka cenderung lebih mengutamakan kesehatan.

POLISI SABUN

Meminta masyarakat memilih antara privasi dan kesehatan sebenarnya merupakan akar masalah yang paling utama. Tak seharusnya dua pilihan tersebut diberikan. Kita harusnya bisa menikmati keduanya dalam waktu yang bersamaan. Kita bisa melindungi diri dan menghentikan virus Corona tanpa harus melegitimasi rezim dengan sistem pengintaian totaliter, tetapi dengan cara memberdayakan masyarakat. Di pekan-pekan terakhir, kita menyaksikan bagaimana Korea Selatan, Taiwan dan Singapura dengan menakjubkan berupaya mengenali virus ini. Meski menggunakan aplikasi pengintaian, negara-negara tersebut lebih mengandalkan uji coba ekstensif, pelaporan yang jujur dan kemauan untuk bekerjasama dalam rangka menyajikan informasi memadai bagi masyarakat.

Pengawasan terpusat dan penjatuhan sanksi bukanlah satu-satunya cara untuk membuat masyarakat mematuhi petunjuk keselamatan. Saat mereka diberitahu perihal fakta-fakta saintifik dan mempercayai apa yang disampaikan otoritas publik, mereka akan melakukan hal yang benar meski tanpa Big Brother menguntit pundak mereka. Populasi yang memiliki motivasi tinggi dan cukup menyerap informasi biasanya lebih kuat dan kooperatif dibanding mereka yang takut polisi namun sebenarnya bodoh.

Bayangkan, misalnya, praktik mencuci tangan dengan sabun. Ide ini merupakan salah satu capaian besar dalam diskursus higienitas manusia. Tindakan sederhana ini berhasil menyelamatkan jutaan nyawa tiap tahunnya. Padahal, baru pada abad ke-19 para ilmuwan mengetahui sesuatu yang kita terima begitu saja ini. Sebelumnya, para dokter dan perawat menjalani berbagai tahapan dalam operasi bedah tanpa mencuci tangan. Hari ini, milyaran orang secara rutin mencuci tangan dengan sabun bukan karena mereka takut akan polisi sabun, akan tetapi karena mereka mengetahui fakta sebenarnya; saya mencuci tangan dengan sabun karena saya pernah mendengar bahwa virus dan bakteri dapat menyebabkan penyakit dan sabun dapat membunuh organisme kecil tersebut.

Namun demikian, untuk mencapai level kepatuhan dan kerja sama demikian, Anda membutuhkan kepercayaan. Warga negara harus mempercayai ilmu pengetahuan, otoritas publik, juga media. Selama tahun-tahun belakangan, politisi yang tak bertanggung jawab telah dengan sengaja meruntuhkan kepercayaan publik terhadap ilmu pengetahuan, otoritas publik juga media. Dan saat ini, politisi-politisi jenis itu mungkin juga tergoda untuk memilih jalan otoritarianisme dengan dalih bahwa untuk melakukan hal yang benar, siapa pun tidak bisa begitu saja percaya pada publik.

Biasanya, kepercayaan yang sudah hilang tidak begitu saja dapat dibangun kembali dalam waktu satu malam. Akan tetapi, sekali lagi, sekarang bukanlah saat-saat normal. Di periode krisis saat ini, pikiran juga bisa berubah sangat cepat. Anda yang mengalami keretakan hubungan dengan saudara selama bertahun-tahun dapat seketika menemukan oase tersembunyi berisi kepercayaan dan harmoni sehingga ketika itu juga akan saling membantu tanpa berpikir panjang. Dibanding membangun rezim pengintaian, belum terlalu terlambat untuk kembali membangun kepercayaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan, otoritas publik dan media. Kita tentu dan pasti  akan menggunakan teknologi baru tersebut, namun ia harus bisa memberdayakan masyarakat. Saya sepenuhnya tidak keberatan jika suhu tubuh dan tekanan darah saya dipantau, namun data tersebut seharusnya tidak dipakai untuk membentuk pemerintah yang mutlak berdigdaya dalam konotasi yang negatif. Data tersebut seharusnya juga memungkinkan warga untuk lebih pandai memilih setiap keputusan yang diambil dan memungkinkan pemerintah lebih bertanggungjawab terhadap setiap kebijakannya. 

Jika saya dapat mengikuti perkembangankondisi medis saya 24 jam sehari, saya tentu tidak hanya dapat mengetahui apakah saya membahayakan kesehatan orang lain, tapi juga kebiasaan mana yang berpengaruh terhadap kesehatan saya. Selain itu, jika saya dapat mengakses dan menganalisis statistik penyebaran virus Corona yang bisa percaya, saya juga akan dapat menilai apakah pemerintah benar-benar memberikan informasi yang akurat dan apakah mereka telah mengambil langkah tepat dalam memerangi epidemi tersebut. Kapan pun diskusi soal sistem pengintaian ini digelar, perlu diingat bahwa teknologi yang sama tidak hanya dapat digunakan pemerintah untuk mengawasi rakyat, tetapi juga sebaliknya, digunakan rakyat untuk mengawasi pemerintah.

Dari situ, Virus Corona sebenarnya merupakan ujian besar bagi kewarganegaraan kita. Di hari-hari mendatang, masing-masing kita harus lebih percaya pada data ilmiah dan ahli kesehatan dibanding teori konspirasi yang tidak jelas ataupun politisi yang mementingkan dirinya sendiri. Jika kita gagal menentukan pilihan yang tepat, kita mungkin akan dengan sukarela menyerahkan kemerdekaan kita yang paling berharga, berpikir bahwa sistem pengintaian totaliter adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan kesehatan kita.

KITA MEMBUTUHKAN RENCANA GLOBAL

Pilihan penting kedua yang kita hadapi adalah antara isolasi nasionalis dan solidaritas global. Baik penyakit maupun krisis ekonomi yang ditimbulkan Virus Corona sama-sama merupakan masalah global. Keduanya bisa diselesaikan secara efektif hanya dengan kerjasama global.

Yang pertama dan terutama, untuk dapat melawan virus ini, kita harus berbagi informasi secara global. Inilah kelebihan utama manusia dibanding virus. Virus Corona di Tiongkok dan di Amerika Serikat tidak dapat bertukar tips bagaimana caramenyerang manusia. Akan tetapi, Tiongkok dapat memberi pelajaran-pelajaran berharga kepada Amerika Serikat seputar virus ini dan bagaimana menjinakkannya. Apa yang ditemukan seorang dokter di Italia pada pagi hari sangat mungkin dapat menyelamatkan nyawa pasien di Tehran pada malam harinya. Saat pemerintah Inggris ragu akan mengambil kebijakan yang mana, nasihat dari Korea yang sudah pernah mengalami dilema ini beberapa bulan sebelumnya layak dipertimbangkan. Namun untuk memungkinkan ini semua terjadi, kita memerlukan spirit kerjasama dan kepercayaan global.

Negara-negara seluruh dunia harus mau saling berbagi informasi secara terbuka dan meminta nasihat dengan rendah hati serta mempercayai data serta informasi yang mereka terima. Lain dari itu, kita juga membutuhkan sebuah upaya global untuk menciptakan dan menyalurkan alat-alat medis, utamanya alat uji dan alat bantu pernapasan. Daripada harus melakukannya sendiri-sendiri di tiap negara dan menimbun peralatan apa pun yang bisa didapatkan, upaya global yang terpadu dapat dengan menakjubkan mempercepat proses produksi dan distribusi alat medis secara merata. Seperti halnya tindakan negara-negara yang menasionalisasi industri-industri penting selama masa perang, perang melawan Corona mungkin mengharuskan kita ‘memanusiakan’ produksi barang-barang krusial. Negara kaya dengan kasus Corona yang sedikit harus mau mengirim peralatan medisnya untuk membantu negara miskin yang kasus Corona-nya lebih banyak  sembari meyakini bahwa jika tiba gilirannya ia membutuhkan bantuan, negara lain juga akan datang membantu.

Kita juga mungkin berpikir soal usaha global untuk menyatukan para awak medis seluruh dunia.  Negara yang sedikit terdampak dapat mengirim staf medisnya ke negara lain yang lebih banyak terdampak, baik untuk memberi bantuan yang dibutuhkan maupun menimba pengalaman berharga. Jika keadaannya berbalik, arus bantuan juga akan berubah arah.

Kerjasama global juga sangat dibutuhkan dalam sektor ekonomi. Berdasarkan watak dasar ekonomi dan mata rantai persediaan barang, jika masing-masing negara hanya memikirkan kepentingan rakyatnya dan mengabaikan rakyat di negara lain, yang akan terjadi selanjutnya adalah kekacauan dan krisis yang semakin memburuk. Kita membutuhkan sebuah tindakan global yang terencana, dan kita harus segera melakukannya.

Hal lain yang juga dibutuhkan adalah membuat kesepakatan global soal perjalanan antarnegara. Melarang perjalanan internasional selama beberapa bulan akan menimbulkan derita luar biasa dan justru menghambat perang melawan Corona. Negara-negara harus bekerjasama untuk membolehkan segelintir pelancong penting bepergian antarnegara seperti ilmuwan, dokter, wartawan, politisi dan pebisnis. Ini dapat dilakukan dengan merancang kesepakatan global dan memberlakukan protolol penyaringan (screening) bagi para pelancong di negara asalnya. Begitu Anda mengetahui tahu bahwa hanya pelancong yang telah melewati protokol tersebutlah yang dibolehkan masuk pesawat, Anda tentu akan lebih welcome menerima pelancong tersebut di negara Anda.

Sayangnya saat ini, negara mana pun sangat sulit melakukan hal-hal tersebut. Sederet kelumpuhan telah nyata menyerang komunitas internasional. Seperti tidak ada satu pun 
orang dewasa di kamar sempit bernama bumi. Orang-orang hanya bisa berharap kosong perihal pertemuan para pemimpin tertinggi dunia untuk membahas rencana tindakan global. Sementara itu, para pimpinan G7 yang berencana menyelenggarakan pertemuan daring pekan ini tak jadi melakukan apa-apa.

Dalam krisis global sebelumnya—semisal pada krisis finansial 2008 dan epidemi Ebola 2014—Amerika Serikat mendaulat dirinya sebagai pimpinan dunia global. Akan tetapi, tata laksana Amerika terbaru telah melepaskan tahta pemimpin tertinggi tersebut. Sangat jelas bahwa dalam konteks ini, Amerika Serikat jauh lebih peduli pada kejayaan negaranya dibanding masa depan kemanusiaan.

Tata laksana tersebut bahkan telah memutus ikatan dengan sekutu-sekutu terdekat. Pelarangan semua perjalanan dari Eropa ke Amerika Serikat menandakan keengganannya untuk berembuk dengan Uni Eropa perihal tindakan tegas yang akan diambil. Apalagi, Amerika Serikat juga menyinggung Jerman dengan menawar vaksin Covid 19 terbaru di sebuah perusahaan farmasinya seharga 1 milyar dolar. Meski kemudian akhirnya tata laksana ini dicabut dan diganti dengan rencana tindakan yang sifatnya global, segelintir warga Amerika Serikat tetap mengikuti pemipin mereka yang tak pernah bertanggung jawab, tidak mau mengakui kesalahan dan gemar memuji diri sendiri serta menyalahkan orang lain. 

Jika kekosongan posisi yang ditinggalkan Amerika Serikat tidak jua diisi oleh negara-negara lain, epidemi ini tidak hanya akan sangat sulit dihentikan, akan tetapi  juga meninggalkan ‘warisan’ yang akan terus meracuni hubungan internasional di tahun-tahun mendatang. Namun demikian, setiap krisis sebenarnya merupakan kesempatan. Kita semua layak dan harus berharap bahwa epidemi ini akan membantu umat manusia memahami perihal bahaya perpecahan global yang tidak main-main.

Kemanusiaan harus membuat pilihan. Kita akan menempuh jalan menuju perpecahan, atau kita akan meniti jalan menuju solidaritas global? Jika kita memilih perpecahan, ia tak hanya akan memperpanjang krisis, namun sangat mungkin menciptakan bencana yang lebih besar di masa mendatang. Sebaliknya jika kita memilih solidaritas global, ia tak hanya akan mengantarkan kita pada kemenangan melawan Virus Corona, tetapi juga terhadap berbagai epidemi dan krisis lain yang mungkin menyerang manusia di abad 21.