Ketika membuat last year
errand, two top lists-ku adalah quit breastfeeding dan toilet
training Rauhia. Sayang yang terlaksana hanyalah penyapihan,
sementara yang lain harus antri ikutan errand tahun ini. Frase teknis
ini pertama kali aku denger dari temenku yang berprofesi sebagai bidan. Pas itu
kami sedikit menyinggung soal ini ini dan dia berujar bahwa salah satu mata
kuliah yang diambilnya semasa bersekolah adalah ‘toilet training’. “Oh,
jadi ada teorinya,” longoku ketika itu. Di beberapa WAG yang aku ikuti, ibu-ibu
muda yang dulu adalah teman satu sekolah dan satu kelas juga kerap bercerita
soal ups and downs pengalaman pun perjuangan mereka melakukan toilet
training.
FYI sejak lahir ke dunia ini,
Rauhia adalah konsumen popok sekali pakai kelas menengah ke bawah. Aku yang
sejak kandungan berusia 7 bulan sudah menyediakan keperluan persalinan plus popok
pertama yang akan ia pakai sedari awal diwanti-wanti agar tidak membiasakan
bayiku menggunakan popok yang harga belinya mahal. Selain karena popok pada
akhirnya akan dibuang, menurut umik, popok yang harganya mahal dan murah tidak
jauh berbeda. Asal cocok di kulit dan rutin diganti, soal kualitas dan merk
jadi prioritas terakhir.
Ok aku manut umik meski
ketika itu aku cukup intens mengonsumsi informasi soal perpopokan dan mulai
mengenal istilah cloth diaper yang katanya jauh lebih ramah lingkungan
dan kalau ditotal sakjane lebih murah dibanding pospak, meski memang
lebih ribet dikit utamanya bagi mereka yang belum terbiasa. Aku bahkan juga
sudah membeli selembar inner clodi yang sampai sekarang belum pernah tak
pakaikan ke Rauhia. Aku akhirnya tak jadi menggunakan clodi karena tidak
punya modal yang banyak di awal, ngejar praktis dan efisien dan yang pasti technically,
hari-hari pertama setelah melahirkan tak memberiku banyak kesempatan dan
ruang gerak seleluasa sebelumnya. Alasan lain yang lebih konkrit adalah bahwa
ketika open house setelah kelahiran Rauhia, banyak tamu yang membawakan
pospak. Ya masa mau dibuang, dikembalikan, atau dituker ke toko? Ok,
jadi dipake aja.
Jadilah, selama nyaris tiga
tahunan, Rauhia adalah konsumen aktif pospak kelas menengah ke bawah yang
saking ke bawahnya, dua mart waralaba yang ekspansinya ke mana-mana itu
tidak menjual popok yang dipakai Rauhia. Aku pernah bercerita soal ini di
tulisan lain, dan keadaan itupun tak berubah hingga beberapa saat yang lalu.
Aku betah pada pilihan itu selain karena tidak ada masalah berarti dengan kulit
sensitif Rauhia, harganyapun murah di kantong, seperti yang digambarkan dengan
celengan ayam di bungkus popok berwarna hijau toska tersebut. Yang juga
penting, aku tak kesulitan mendapatkannya di tempat tinggalku. Di warung
tetangga, di swalayan samping kampus,
swalayan kuno yang selalu menjadi tempat favoritku selama kecil, dan
tempat-tempat lain banyak yang menyediakan popok tersebut.
Meski tidak seberapa menguras
isi dompet (maksimal ngabisin 150k untuk konsumsi popok sebulan), aku bukan tak
kepikiran untuk segera menyudahi penggunaan pospak ini. Namun demikian di
lapangan, semuanya terasa sulit dan tidak mudah; aku full bersama Rauhia
selama 24 jam hanya pada Hari Sabtu, Ahad atau ketika cuti dan tanggal merah.
Rasanya susah membayangkan bahwa agenda ini bisa sukses dalam jangka waktu 48
jam, sementara, seperti sudah menjadi kodrat (padahal sebenarnya ini sangatlah socially
constructed), ibulah yang paling bertanggungjawab menginisiasi, menjalankan
dan menyukseskan program toilet training ini. Anggota keluarga yang lain
hanya menyemarakkan, mendukung sebisanya dan kalau ada kesempatan, menyalahkan
adegan-adegan yang tidak sesuai skenario. Eh kq sampai sini.
Suatu kali, sekitar setahunan
yang lalu, aku pernah iseng2 mencoba mengajari Rauhia untuk memberitahu jika
dia ingin menunaikan hajat. Pas itu popoknya mau habis lalu timbullah pikiran
‘kenapa ga sekalian.’ Very first trials banyak gagalnya, tapi sebenernya
ketika itu sudah ada perkembangan. Popoknya dilepas dan tak omongin
berkali-kali untuk ngasih tau sebelum pipis. Sayangnya, ketika itu ia
ngasihtaunya ketika pipis sudah menggenang di bawah kakinya. Tapi itu bukan
tanpa kemajuan; Rauhia biasa mojok atau mencari tempat sepi ketika ingin pipis.
Aku tinggal mengikuti saja ke mana ia melangkah dan memastikan bahwa ia tak
mendekati obyek2 vital yang mengharuskan proses penyucian ribet dan melelahkan,
seperti kasur, sofa, karpet dan yang terpenting rumah tetangga. Beberapa kali
aku ngepel di pojok-pojok spacy yang dipilihnya sebagai tempat menunaikan
hajat. Setelah itu, kugendong ia ke kamar mandi sambil tak sugesti berkali-kali
bahwa; ngomongnya sebelum pipis, bukan setelah pipis.
Percobaan ini terjadi saat
akhir pekan pas aku punya jatah libur dua hari di kantor. Waktu pasnya aku
lupa. Sayangnya, awal ini ga tak teruskan karena ayah mertuaku tiba-tiba
berinisiatif membelikan popok Rauhia ketika kebetulan ia beli-beli ke toko.
Sebelumnya ia sempat menegurku bahwa Rauhia yang ketika itu berumur dua tahunan
masih terlalu dini untuk belajar lepas popok. Aku manut saja, toh Senin
besok aku sudah harus ke kantor dan program ini rasanya tak akan bisa berjalan
dengan baik tanpa kehadiranku langsung, sementara kewajiban ngantor harus
tetap kulaksanakan literally. Meski begitu, aku bukan tak kepikiran
mereka-reka kapan aku bisa punya waktu lowong agak lama untuk menemani Rauhia
belajar melepas popok. Liburan terlamaku sepanjang tahun adalah ketika lebaran
dan tak bayangin, itu bukan moment yang tepat buat berlatih lepas popok.
Lebaran biasanya sibuk bertamu, nerima tamu, ke sana-sini dan aktivitas fisik
lainnya. Mustahil dan sangat sulit rasanya belajar toilet traning di
hari-hari lebaran.
***
Saat mudik ke rumah, umik tak pernah
absen bercerita soal cucu teman ngajarnya yang sudah lepas popok dan notabene
lebih muda dari Rauhia. Seperti biasa aku tak kekurangan bantahan, biasanya
yang tak jadikan dalih adalah karena aku belum punya banyak waktu lowong di
rumah. Percakapan semacam itu segera berlalu, tapi diam-diam dalam hati aku
kepikiran; rasanya susah dan jadi semacam mission impossible. Pikiran
soal bagaimana jika ini dan bagaimana jika itu sering mengusik pikiranku.
Ketika sudah begini, memoriku seperti mengundang beberapa ingatan atau
informasi yang relevan; soal saudara yang sampai gede masih suka ngompol ketika
tidur malam, soal anaknya teman yang lepas popoknya on-off menyesuaikan
dengan kondisi fisik—dan batin—si ibu, soal proses toilet training anak teman
lain yang jadi program multiyears dan lain-lain. What would my and
Rauhia’s story look like?
Aku
juga bukan tak pernah mendengar cerita sukses dan mudahnya toilet training, cuma
pas mau tak jalani sendiri, rasanya kq lebih teringat sama yang susah-susah
daripada yang gampang-gampang; seperti juga proses penyapihan. Sering timbul
pikiran-pikiran nakal soal keterlibatan ‘orang pintar’ dalam life passage
si bayi. Yang satu ini, kenapa ia hanya dilibatkan ketika penyapihan dan tidak
ketika toilet training? Biasanya aku cekikikan sendiri lalu pikiran
langsung berganti dengan 5 W 1 H toilet training Rauhia. Terkadang aku
juga berusaha mengingat-ingat bagaimana dulu aku atau adik-adikku melakukan toilet
training. Yang kuingat, dulu jaman adik lanang belum ada pospak
sehingga umik sering menggunakan yang namanya ‘katok plastik’. Lain dari itu,
aku hanya ingat dulu di suatu pagi, umik—yang ketika itu sedang di dapur—pernah
memeriksa sekujur bagian celana panjang yang kukenakan untuk memastikan bahwa
aku tidak ngompol. Aku juga tak akan lupa bahwa entah di usia berapa, aku sudah
BAB—di kamar mandi barat yang lama—di WC lalu setelah kurasa hajatku selesai,
aku akan mengirim pesan agar ada yang datang mencebokiku dengan kode ‘sudah’
senyaring-nyaringnnya. Ya, literally hanya itu yang aku ingat.
***
Lalu
Corona datang, aku WFH sejak 24/03/2020 (bahkan H-1 sebelum tmt surat edaran),
dan pikiran untuk melepas popok Rauhia seperti menemukan momentumnya. Pikiran
itu semakin menjadi begitu kutahu bahwa teman-teman sepantaran—lebih muda dan
tinggal di sekitar rumah—Rauhia sudah mulai banyak yang lepas popok. Kisaran
pekan keempat Bulan Maret ketika itu, aku memulai program toilet training Rauhia.
Posisi popok juga sudah tinggal sedikit dan aku mulai lagi segalanya dari awal;
melatih Rauhia secara teori dan praktik. Jika di percobaan pertama ia suka
pipis di tempat yang spacy, both indoor and outdoor, kemarin dia
sering sekali pipis posisi di luar rumah, minimal di teras depan. Aku tidak
menemukan kesulitan berarti untuk membereskan bekas pipisnya. Untuk
memperlancar proses toilet training, aku banyak bertanya pada mereka
yang lebih pengalaman, termasuk Bu Lely yang putrinya sudah empat dan kupikir,
meski anak termudanya masih pakai popok, Bu Lely sudah punya pandangan dan
pengalaman yang otoritatif dari tiga kasus berbeda. Sepupuku yang anaknya uda dua
dan yang termuda baru saja melepas popok sebelumnya pernah sesumbar bahwa it
needs special—break—time yang membuatku makin yakin untuk segera
memulainya; mumpung aku WFH.
Tak
hanya itu, aku juga menyiapkan sedikit amunisi berupa adjustable training
pad dan dry pad yang kubeli di pasar daring. Yang pertama semacam
celana khusus buat mereka yang lagi latihan lepas popok, sedang yang kedua
adalah perlak khusus. Dua barang tersebut datang ketika aku sudah memulai
program, istilahnya sambil jalan meski aku terburu-buru
membukanya—karena senang dan penasaran—sehingga melupakan protokol keamanan dan
kebersihan di musim Corona. Yang tak siapkan juga adalah mental, termasuk
menanggapi komentar on why this must be so late, untuk mengepel di
saat-saat lelah dan fluktuasi WFH, untuk menjaga tone saat memberitahu
Rauhia dan lain sebagainya. Meski
belakangan, di lapangan, yang kuhadapi ternyata berbeda, persiapan seadanya itu
tetap saja membantu. There has never been excess on preparation.
Awal-awal toilet training, aku
tak melepas popok Rauhia langsung sekaligus 24 jam. Bila bepergian dan tidur
malam—karena dia jarang banget tidur siang—aku pakaikan popoknya. Jika keadaan
normal di rumah, baru kulepas. Ketika tetangga sebelah menggelar hajatan dan
aku harus rewang, aku tidak membawa Rauhia serta demi alasan jaga-jaga
agar dia tak pipis atau BAB di rumah orang. Pada fase-fase awal ini, aku inget
sekali bahwa Rauhia pernah ngeyel jalan-jalan di lantai yang baru kupel
sehingga dia terjatuh dua kali. Antara sedih, terkejut dan marah, aku kembali
mewanti-wantinya untuk do what I say unless you want something bad to happen
just like this. Aku juga sangat sering menyaksikan ekspresi rasa bersalah
ketika ia memberitahu baru saja pipis, seringkali langsung memberitahu lokasinya
meski tanpa kutanyakan. Aku berusaha terus memastikan kesabaranku on-stock tapi
mungkin kerasanya di dia, aku more or less intimidatif. Kadang
aku melihat dia tertekan dengan omonganku yang itu-itu saja, things like
“Hia, ngasihtaunya sebelum pipis ya, bukan sesudah pipis” atau “Hia, kalau mau
pipis bilang ya”
Apalagi, aku kerap menceritakan
perihal teman mainnya yang sudah lepas popok. Tentu ketika mood-nya
sedang baik dan kami berdua tidak tengah perang dunia. “Jadi, Hia sudah
waktunya lepas popok juga, kalau mau pipis atau eek, harus bilang, biar bisa di
Kamar Mandi,” begitu inti kalimat yang ingin kusampaikan. Lalu dia menyela
dengan mengatakan bahwa apa yang kukatakan tidak benar, si teman bermain masih
mengenakan popok. Belakangan aku ingat bahwa Rauhia memang lagi suka-sukanya mengatakan dan mengulang kata ‘tidak’ atau
kalimat balasan yang sifatnya menyanggah. Ini yang ikut menciutkan nyaliku dan
seperti meyakinkan bahwa rencana ini tak akan berhasil dalam jangka waktu cepat.
Aku juga belum menemukan bentuk
ideal bagaimana mengatur jadwal buang air Rauhia, juga intensitas dia buang air.
Jadi, kuikuti protokol bahwa bayi biasanya pipis setiap dua jam sekali. Setiap
itu pulalah, aku mengajaknya ke KM. Awalnya dia antusias dan senang sekali,
tapi begitu tahu bahwa ia ‘hanya’ diajak ke KM dan di sana doing nothing, dia
selalu menolak ajakan-ajakan berikutnya. Ketika di KM, aku bahkan menyontohkan
BAK tapi tetap aja dia tidak BAK; entah karena memang tidak ada cairan yang
akan dikeluarkan atau tidak suka diatur seperti itu. Berkali-kali seperti itu, masuk
ke KM hanya cebok meski nothing to clean and wash, akhirnya aku
menyimpulkan bahwa dia tidak suka buang air by design. Dia suka naturally
aja, jadi aku harus ikut ritmenya. Untuk menyukseskan ini, aku bahkan
sempat memilihkan video-video toilet training untuk ia tonton dengan satu dua
kalimat sugesti bahwa pipis harusnya di Kamar Mandi seperti yang aku sounding,
aku dan orang lain lakukan dan seperti ditunjukkan oleh pemeran kartun di
video-video tersebut. Im not sure whether it works, jadi hanya kulakukan
sekali.
Adegan-adegan yang sama kembali
terjadi. Nyaris setiap setelah ngompol ketika bersamaku atau anggota
keluarga yang lain, akulah yang menceboki Rauhia. Aku menggunakan moment itu
untuk bicara heart to heart padanya bahwa shes grown up dan
saatnya untuk ngasihtau kalau mau buang air. Aku mengatakan bahwa memberitahu
ingin pipis atau eek sama sederhananya dengan memberitahu bahwa ia capek (belakangan
ia mengetahui kosakata ini dan berulangkali menggunakannya), ingin mik air,
ingin mam nasi, ingin beli jajan dan lain sebagainya. Aku bahkan sempat
mengiming-imingi dia untuk tak beliin jajan jika ia berhasil pipis di KM. Tapi,
bukan gurat kegembiraan yang kubaca di wajah Rauhia. Ia tampak masih mencerna
semua yang kukatakan. Well, show goes on.
***
Lalu musibah itupun terjadi. Selama toilet
training, Rauhia pernah sekali BAB di celana ketika ia sibuk main outdoor.
Aku tak terlalu kerepotan mengondisikan semua-muanya sebab aku tinggal
menceboki dan mencuci celananya. Namun ketika itu, di suatu pagi, 28/03/2020, aku
tengah menjemur cucian dan mendapati dia memberitahu bahwa baru saja BAB di
karpet mushalla. Hiupt. Terbayang pekerjaan berat yang harus kubereskan, tapi
aku buru-buru telling myself bahwa akan ada solusinya; cari jasa dsb.
Aku lalu mencebokinya dan melanjutkan protokol toilet training. Siangnya,
Rauhia diare dan dua kali BAB di outdoor. Kena ke mana-mana. Tapi
yang paling worrying, I knew she was not in a good condition. Aku
kemudian menghentikan sementara program toilet training, padahal ketika
itu dia terlihat sudah mulai paham dan bisa kooperatif. Ketika siangnya ia
terlelap, aku menumbuk kunyit dan daun jambu biji untuk menyembuhkan diarenya.
Malamnya, Rauhia tidur tak
tenang, bangun, lalu muntah dua kali mengenai tubuh kami berdua. Aku
melarikannya ke puskesmas setelah mandi dan me-nyeko Rauhia. Sepanjang
jalan aku khawatir, meski Rauhia tidak demam dan tampak berusaha ceria di
tengah kondisinya yang lemas. Aku mulai menyalahkan diri sendiri dan merasa
terlalu intimidatif melaksanakan protokol TT. Belum lagi aku ingat insiden dia
jatuh dari daun jendela dengan posisi yang sangat bikin histeris. Suasana di
Puskesmas tampaknya membuat dia insecure; asing dan dua bidan yang lagi
jaga malam ketika itu bermasker; mungkin kerasa aneh baginya. Otomatis ketika
perutnya diperiksa, suhu tubuhnya diperiksa, bahkan ketika disuruh berdiri di
timbangan, ia berontak menolak. Sepulang dari Puskesmas dan minum puyer, dia
sangat senang menyantap roti yang kubeli sekalian dengan pospak langganan. Ketika itu yang kupikirkan, wes gapapa
tt-nya belum berhasil sekarang; yang penting Rauhia sembuh dan tidak tertekan.
***
Esok harinya adalah hari yang
berat. Rauhia memang sudah tidak muntah tapi diarenya belum reda. Ia
berkali-kali mengajakku ke kamar mandi, mengaduh sakit perut, lalu mengajak
keluar setelah lama mematung di situ tanpa berhasil mengeluarkan apa-apa.
Tentunya setelah meminta cebok meski sebenarnya tak ada yang perlu
dibersihkan. Dia juga memilih posisi favoritnya. Berdiri menghadapku, menindih
kaki kananku dengan kaki kirinya dan begitu juga sebaliknya, lalu memeluk erat
lututku. Setelah keluar-masuk KM sekitar 7 kali, barulah ia berhasil mendorong
keluar gumpalan le**ir yang kemudian disusul papita cair. Tak perhatiin,
keluhannya menghebat sebelum si le**ir keluar. Untuk antisipasi, aku memakaikannya
popok sehingga kami tak perlu bolak-balik sesering sebelumya. Akan tetapi,
Rauhia tidak mau BAB atau pipis di popok. Setiap kali sakit perutnya datang, ia
selalu mengajakku ke KM. Popoknya selalu bersih dan ia baru mau pipis atau BAB
setelah popoknya tak lepas dan kami ambil posisi seperti biasanya.
Tak terhitung aku bolak-balik
KM dengan emosi yang diaduk-aduk antara menyesal telah sedemikian rupa
mengkondisikan Rauhia untuk TT, kuatir akan kesehatannya, lelah fisik karena aktivitas
yang meski di situ-situ aja namun berulang dan monoton, hingga kepikiran tugas2
kantor yang terbengakalai karena masih menyesuaikan dengan model WFH. Cuma dari
sekian banyak kabar buruk itu, aku melihat Rauhia mulai menunjukkan progress.
Ketika pipis di KM dalam rangka menunggu si papita keluar dan berdamai dengan
sakit perutnya, ia tampak mulai belajar bahwa pipis bisa dikendalikan oleh
dirinya sendiri sehingga ada waktu untuk ngasihtau aku dan beranjak ke KM
manakala hasrat tersebut inin ditunaikan. Ini tampak sekali ketika ia memintaku
untuk menceboknya namun aku masih memastikan, ‘sudah atau lagi?’ Jika
jawabannya yang pertama, maka aku akan langsun mencebokinya namun jika yang
kedua, aku akan menunggu ia menuntaskan hajat.
Hari itu juga aku mengajak
Rauhia ke tukang pijet bayi yang menjadi langganan kami. Dibandingkan dahulu
saat ia belum banyak mengerti apa-apa, Rauhia belakangan sudah mulai pintar
protes setiap kali kami berkunjung ke rumah si dukun bayi. Ia mulai memahami
bahwa ini bukan kunjungan biasa. Tak lama lagi si mbah akan memijat
dirinya, menjadikan bagian-bagian tubuhnya sakit dan mungkin menurutnya
melakukan ‘penyiksaan’. Dulu pas dia
masih bayi, yang juga masih kuingat, dia baru bereaksi nangis atau menunjukkan
rasa sakit ketika si mbah sudah lama mulai memijat. Tapi belakangan, mungkin
bermodal rasa takut, protes, juga manja, begitu melihat si mbah datang,
biasanya parade tangis sudah dimulai. Dan begitulah hingga akhir sesi. Namun
kemarin, aku melihat tangisnya lebih intens dan naik level; selain karena sudah
lama tidak dipijat, badannya mungkin masih remuk redam abis kejadian salto
be like kemarin. Pulang dari rumah si mbah, dia tidur lelap sekali
masih dengan popok di tubuhnya. Malam hari ketika ia terbangun, popoknya masih
bersih. Ia tampak mulai mengerti bahwa pipis atau eek harusnya di KM, bukan di
mana-mana meski mengenakan celana/popok.
Setelah dua hari yang berat itu
berlalu, Rauhia mulai berangsur pulih dan semakin adaptatif dengan protokol TT.
Ternyata durasi lama yang kami habiskan di KM mengajarinya banyak hal; dia
seperti mulai faham fungsi KM apa dan di sana ngapain aja. Lain dari itu, aku merasa ikatan psikologis
kami semakin erat karena kami nyaris tak terpisahkan. Rauhia mulai rutin memberitahu
setiap akan pipis atau eek lalu aku akan langsung reaktif menggendongnya ke KM,
membuka celananya dan membiarkan dia menunaikan hajat di situ. Aku lupa kapan
tepatnya moment dia punya inisiatif begini dan mulai bisa kuperatif. Awal-awal,
pipisnya tak bisa langsung keluar sebelum ia memeluk lututku erat namun
belakangan, pelukannya semakin renggang dan ia pun berhasil pipis tanpa memeluk
lututku dan dengan posisi default. Setiap kali berhasil, aku biasanya
bercorak kecil mengatakan “juaraku” berulang kali sebelum menceboki dan
menggendongnnya lalu menghujaninya dengan ciuman sambil berlagak berdua di
depan kaca. Rasanya perjuangan terbayar kontan di situ.
Tentu saja itu bukanlah akhir
segalanya. Bersamaan dengan kemampuannya memberitahu dan berkomunikasi perihal
hasrat ingin buang airnya, Rauhia mulai susah diatur untuk segera mengenakan
celana begitu ia keluar dari KM. Ia juga baru belajar jongkok dan masih suka
menunaikan hajat sambil berdiri, sementara ajakan untuk jongkok di atas WC tak
pernah tidak ditolaknya. Kadangkala ia memintaku mengenakan popok yang biasa ia
gunakan meski tak pernah ia pakai lagi untuk menampung pipis atau papitanya. Pant
yang aku beli juga tak banyak membantu karena kebetulan lagi musim hujan
dan mengeringkannya butuh waktu beberapa hari, selain karena Rauhia tidak
selalu mau mengenakannya. Sependek yang kuingat, masing-masing tiga pant itu
baru ia pipisi sekali. Selain itu, selama proses ini, aku mencuci masing-masing
perlak dan sprei satu kali; pertama ketika Rauhia masih diare dan kedua ketika
di suatu pagi, ia tampak gelisah namun matanya masih terpejam sambil mencari ujung
tempat tidur. Ia terbangun mendadak dan memberitahu bahwa baru saja pipis. Aku
yang masih ngantuk mendadak langsun reaktif dan membawanya ke KM; pengalaman ngompol
tidur malam yang semoga tidak terulang lagi. Dry pad kurang membantu
karena ukurannya kecil sementara Rauhia ketika tidur tidak bisa anten di
suatu posisi.
Meski fase ini tampak nyaris selesai,
aku tahu masih banyak pekerjaan lanjutan menunggu, utamanya memberi Rauhia
pemahaman bahwa jika aku sudah kembali masuk kantor, ia tidak bisa selalu bergantung
padaku untuk urusan menunaikan hajat ke KM. Juga perihal sebaiknya pipis
sebelum tidur, sebelum perjalanan, dan lain-lain yang satu persatu mulai hadir
di otakku. Long life, Emak2! Without you, this world will never be as beautiful
as this.
hi emak hebatzzzzzz, udah berapa tahun ya saya gak ngeblog kwkwkw. so sad. tiap emak pasti pengalamannya beda, anak ke tiga dan keempat saya terbiasa pakai clodi pakai popok sekali pakai hanya kalo bepergian jauh aja, so mereka lebih mudah lepas popoknya, sekitar 2 tahunan. tentunya dengan bisikan dari sebelum umur setahun, selalu diingetin, ayo pipis dulu ke kamar mandi sebelum tidur. kalo bangun tidur juga begitu langsung di bawa ke kamar mandi buat pipis. walau kadang nunggunya lama ya hehehhe. oia anak ketiga dan ke empat saya juga hampir full Asi jadi pipisnya gak gitu banyak. kalo yg pertama karena banyakan susu formula, lepas popoknya hampir umur 4 tahunan tahu sendiri kan anak pertama haha. penghasilan ortunya buat dia aja jadi agak gak gitu gigih emaknya dalam hal perhematan anggaran kikik. semangat ibuuuuu, semoga segera bebas popok ya.
BalasHapusAh, Bu Evaaa.. Terimakasih sekali komentarnya, sharingnya, doanya, hehe. Berasa semangat mau blogging lagi kalau ada yang baca sih. Hihi. Niat anak ketiga akan pake clodi insyaAllah; lepas popok lebih cepat, lebih ramah lingkungan dan tentunya lebih hemat di kantong juga. Amin amin amin. :)
Hapus