Lika-Liku Toilet Training Rauhia



Ketika membuat last year errand, two top lists-ku adalah quit breastfeeding dan toilet training Rauhia. Sayang yang terlaksana hanyalah penyapihan, sementara yang lain harus antri ikutan errand tahun ini. Frase teknis ini pertama kali aku denger dari temenku yang berprofesi sebagai bidan. Pas itu kami sedikit menyinggung soal ini ini dan dia berujar bahwa salah satu mata kuliah yang diambilnya semasa bersekolah adalah ‘toilet training’. “Oh, jadi ada teorinya,” longoku ketika itu. Di beberapa WAG yang aku ikuti, ibu-ibu muda yang dulu adalah teman satu sekolah dan satu kelas juga kerap bercerita soal ups and downs pengalaman pun perjuangan mereka melakukan toilet training.   


FYI sejak lahir ke dunia ini, Rauhia adalah konsumen popok sekali pakai kelas menengah ke bawah. Aku yang sejak kandungan berusia 7 bulan sudah menyediakan keperluan persalinan plus popok pertama yang akan ia pakai sedari awal diwanti-wanti agar tidak membiasakan bayiku menggunakan popok yang harga belinya mahal. Selain karena popok pada akhirnya akan dibuang, menurut umik, popok yang harganya mahal dan murah tidak jauh berbeda. Asal cocok di kulit dan rutin diganti, soal kualitas dan merk jadi prioritas terakhir.

Ok aku manut umik meski ketika itu aku cukup intens mengonsumsi informasi soal perpopokan dan mulai mengenal istilah cloth diaper yang katanya jauh lebih ramah lingkungan dan kalau ditotal sakjane lebih murah dibanding pospak, meski memang lebih ribet dikit utamanya bagi mereka yang belum terbiasa. Aku bahkan juga sudah membeli selembar inner clodi yang sampai sekarang belum pernah tak pakaikan ke Rauhia. Aku akhirnya tak jadi menggunakan clodi karena tidak punya modal yang banyak di awal, ngejar praktis dan efisien dan yang pasti technically, hari-hari pertama setelah melahirkan tak memberiku banyak kesempatan dan ruang gerak seleluasa sebelumnya. Alasan lain yang lebih konkrit adalah bahwa ketika open house setelah kelahiran Rauhia, banyak tamu yang membawakan pospak. Ya masa mau dibuang, dikembalikan, atau dituker ke toko? Ok, jadi dipake aja.

Jadilah, selama nyaris tiga tahunan, Rauhia adalah konsumen aktif pospak kelas menengah ke bawah yang saking ke bawahnya, dua mart waralaba yang ekspansinya ke mana-mana itu tidak menjual popok yang dipakai Rauhia. Aku pernah bercerita soal ini di tulisan lain, dan keadaan itupun tak berubah hingga beberapa saat yang lalu. Aku betah pada pilihan itu selain karena tidak ada masalah berarti dengan kulit sensitif Rauhia, harganyapun murah di kantong, seperti yang digambarkan dengan celengan ayam di bungkus popok berwarna hijau toska tersebut. Yang juga penting, aku tak kesulitan mendapatkannya di tempat tinggalku. Di warung tetangga, di  swalayan samping kampus, swalayan kuno yang selalu menjadi tempat favoritku selama kecil, dan tempat-tempat lain banyak yang menyediakan popok tersebut.   

Meski tidak seberapa menguras isi dompet (maksimal ngabisin 150k untuk konsumsi popok sebulan), aku bukan tak kepikiran untuk segera menyudahi penggunaan pospak ini. Namun demikian di lapangan, semuanya terasa sulit dan tidak mudah; aku full bersama Rauhia selama 24 jam hanya pada Hari Sabtu, Ahad atau ketika cuti dan tanggal merah. Rasanya susah membayangkan bahwa agenda ini bisa sukses dalam jangka waktu 48 jam, sementara, seperti sudah menjadi kodrat (padahal sebenarnya ini sangatlah socially constructed), ibulah yang paling bertanggungjawab menginisiasi, menjalankan dan menyukseskan program toilet training ini. Anggota keluarga yang lain hanya menyemarakkan, mendukung sebisanya dan kalau ada kesempatan, menyalahkan adegan-adegan yang tidak sesuai skenario. Eh kq sampai sini.

Suatu kali, sekitar setahunan yang lalu, aku pernah iseng2 mencoba mengajari Rauhia untuk memberitahu jika dia ingin menunaikan hajat. Pas itu popoknya mau habis lalu timbullah pikiran ‘kenapa ga sekalian.’ Very first trials banyak gagalnya, tapi sebenernya ketika itu sudah ada perkembangan. Popoknya dilepas dan tak omongin berkali-kali untuk ngasih tau sebelum pipis. Sayangnya, ketika itu ia ngasihtaunya ketika pipis sudah menggenang di bawah kakinya. Tapi itu bukan tanpa kemajuan; Rauhia biasa mojok atau mencari tempat sepi ketika ingin pipis. Aku tinggal mengikuti saja ke mana ia melangkah dan memastikan bahwa ia tak mendekati obyek2 vital yang mengharuskan proses penyucian ribet dan melelahkan, seperti kasur, sofa, karpet dan yang terpenting rumah tetangga. Beberapa kali aku ngepel di pojok-pojok spacy yang dipilihnya sebagai tempat menunaikan hajat. Setelah itu, kugendong ia ke kamar mandi sambil tak sugesti berkali-kali bahwa; ngomongnya sebelum pipis, bukan setelah pipis.

Percobaan ini terjadi saat akhir pekan pas aku punya jatah libur dua hari di kantor. Waktu pasnya aku lupa. Sayangnya, awal ini ga tak teruskan karena ayah mertuaku tiba-tiba berinisiatif membelikan popok Rauhia ketika kebetulan ia beli-beli ke toko. Sebelumnya ia sempat menegurku bahwa Rauhia yang ketika itu berumur dua tahunan masih terlalu dini untuk belajar lepas popok. Aku manut saja, toh Senin besok aku sudah harus ke kantor dan program ini rasanya tak akan bisa berjalan dengan baik tanpa kehadiranku langsung, sementara kewajiban ngantor harus tetap kulaksanakan literally. Meski begitu, aku bukan tak kepikiran mereka-reka kapan aku bisa punya waktu lowong agak lama untuk menemani Rauhia belajar melepas popok. Liburan terlamaku sepanjang tahun adalah ketika lebaran dan tak bayangin, itu bukan moment yang tepat buat berlatih lepas popok. Lebaran biasanya sibuk bertamu, nerima tamu, ke sana-sini dan aktivitas fisik lainnya. Mustahil dan sangat sulit rasanya belajar toilet traning di hari-hari lebaran. 

***




            Saat mudik ke rumah, umik tak pernah absen bercerita soal cucu teman ngajarnya yang sudah lepas popok dan notabene lebih muda dari Rauhia. Seperti biasa aku tak kekurangan bantahan, biasanya yang tak jadikan dalih adalah karena aku belum punya banyak waktu lowong di rumah. Percakapan semacam itu segera berlalu, tapi diam-diam dalam hati aku kepikiran; rasanya susah dan jadi semacam mission impossible. Pikiran soal bagaimana jika ini dan bagaimana jika itu sering mengusik pikiranku. Ketika sudah begini, memoriku seperti mengundang beberapa ingatan atau informasi yang relevan; soal saudara yang sampai gede masih suka ngompol ketika tidur malam, soal anaknya teman yang lepas popoknya on-off menyesuaikan dengan kondisi fisik—dan batin—si ibu, soal proses toilet training anak teman lain yang jadi program multiyears dan lain-lain. What would my and Rauhia’s story look like?

Aku juga bukan tak pernah mendengar cerita sukses dan mudahnya toilet training, cuma pas mau tak jalani sendiri, rasanya kq lebih teringat sama yang susah-susah daripada yang gampang-gampang; seperti juga proses penyapihan. Sering timbul pikiran-pikiran nakal soal keterlibatan ‘orang pintar’ dalam life passage si bayi. Yang satu ini, kenapa ia hanya dilibatkan ketika penyapihan dan tidak ketika toilet training? Biasanya aku cekikikan sendiri lalu pikiran langsung berganti dengan 5 W 1 H toilet training Rauhia. Terkadang aku juga berusaha mengingat-ingat bagaimana dulu aku atau adik-adikku melakukan toilet training. Yang kuingat, dulu jaman adik lanang belum ada pospak sehingga umik sering menggunakan yang namanya ‘katok plastik’. Lain dari itu, aku hanya ingat dulu di suatu pagi, umik—yang ketika itu sedang di dapur—pernah memeriksa sekujur bagian celana panjang yang kukenakan untuk memastikan bahwa aku tidak ngompol. Aku juga tak akan lupa bahwa entah di usia berapa, aku sudah BAB—di kamar mandi barat yang lama—di WC lalu setelah kurasa hajatku selesai, aku akan mengirim pesan agar ada yang datang mencebokiku dengan kode ‘sudah’ senyaring-nyaringnnya. Ya, literally hanya itu yang aku ingat. 




***

Lalu Corona datang, aku WFH sejak 24/03/2020 (bahkan H-1 sebelum tmt surat edaran), dan pikiran untuk melepas popok Rauhia seperti menemukan momentumnya. Pikiran itu semakin menjadi begitu kutahu bahwa teman-teman sepantaran—lebih muda dan tinggal di sekitar rumah—Rauhia sudah mulai banyak yang lepas popok. Kisaran pekan keempat Bulan Maret ketika itu, aku memulai program toilet training Rauhia. Posisi popok juga sudah tinggal sedikit dan aku mulai lagi segalanya dari awal; melatih Rauhia secara teori dan praktik. Jika di percobaan pertama ia suka pipis di tempat yang spacy, both indoor and outdoor, kemarin dia sering sekali pipis posisi di luar rumah, minimal di teras depan. Aku tidak menemukan kesulitan berarti untuk membereskan bekas pipisnya. Untuk memperlancar proses toilet training, aku banyak bertanya pada mereka yang lebih pengalaman, termasuk Bu Lely yang putrinya sudah empat dan kupikir, meski anak termudanya masih pakai popok, Bu Lely sudah punya pandangan dan pengalaman yang otoritatif dari tiga kasus berbeda. Sepupuku yang anaknya uda dua dan yang termuda baru saja melepas popok sebelumnya pernah sesumbar bahwa it needs special—break—time yang membuatku makin yakin untuk segera memulainya; mumpung aku WFH. 

Tak hanya itu, aku juga menyiapkan sedikit amunisi berupa adjustable training pad dan dry pad yang kubeli di pasar daring. Yang pertama semacam celana khusus buat mereka yang lagi latihan lepas popok, sedang yang kedua adalah perlak khusus. Dua barang tersebut datang ketika aku sudah memulai program, istilahnya sambil jalan meski aku terburu-buru membukanya—karena senang dan penasaran—sehingga melupakan protokol keamanan dan kebersihan di musim Corona. Yang tak siapkan juga adalah mental, termasuk menanggapi komentar on why this must be so late, untuk mengepel di saat-saat lelah dan fluktuasi WFH, untuk menjaga tone saat memberitahu Rauhia dan lain sebagainya.  Meski belakangan, di lapangan, yang kuhadapi ternyata berbeda, persiapan seadanya itu tetap saja membantu. There has never been excess on preparation.

            Awal-awal toilet training, aku tak melepas popok Rauhia langsung sekaligus 24 jam. Bila bepergian dan tidur malam—karena dia jarang banget tidur siang—aku pakaikan popoknya. Jika keadaan normal di rumah, baru kulepas. Ketika tetangga sebelah menggelar hajatan dan aku harus rewang, aku tidak membawa Rauhia serta demi alasan jaga-jaga agar dia tak pipis atau BAB di rumah orang. Pada fase-fase awal ini, aku inget sekali bahwa Rauhia pernah ngeyel jalan-jalan di lantai yang baru kupel sehingga dia terjatuh dua kali. Antara sedih, terkejut dan marah, aku kembali mewanti-wantinya untuk do what I say unless you want something bad to happen just like this. Aku juga sangat sering menyaksikan ekspresi rasa bersalah ketika ia memberitahu baru saja pipis, seringkali langsung memberitahu lokasinya meski tanpa kutanyakan. Aku berusaha terus memastikan kesabaranku on-stock tapi mungkin kerasanya di dia, aku more or less intimidatif. Kadang aku melihat dia tertekan dengan omonganku yang itu-itu saja, things like “Hia, ngasihtaunya sebelum pipis ya, bukan sesudah pipis” atau “Hia, kalau mau pipis bilang ya”

            Apalagi, aku kerap menceritakan perihal teman mainnya yang sudah lepas popok. Tentu ketika mood-nya sedang baik dan kami berdua tidak tengah perang dunia. “Jadi, Hia sudah waktunya lepas popok juga, kalau mau pipis atau eek, harus bilang, biar bisa di Kamar Mandi,” begitu inti kalimat yang ingin kusampaikan. Lalu dia menyela dengan mengatakan bahwa apa yang kukatakan tidak benar, si teman bermain masih mengenakan popok. Belakangan aku ingat bahwa Rauhia memang lagi suka-sukanya  mengatakan dan mengulang kata ‘tidak’ atau kalimat balasan yang sifatnya menyanggah. Ini yang ikut menciutkan nyaliku dan seperti meyakinkan bahwa rencana ini tak akan berhasil dalam jangka waktu cepat.

            Aku juga belum menemukan bentuk ideal bagaimana mengatur jadwal buang air Rauhia, juga intensitas dia buang air. Jadi, kuikuti protokol bahwa bayi biasanya pipis setiap dua jam sekali. Setiap itu pulalah, aku mengajaknya ke KM. Awalnya dia antusias dan senang sekali, tapi begitu tahu bahwa ia ‘hanya’ diajak ke KM dan di sana doing nothing, dia selalu menolak ajakan-ajakan berikutnya. Ketika di KM, aku bahkan menyontohkan BAK tapi tetap aja dia tidak BAK; entah karena memang tidak ada cairan yang akan dikeluarkan atau tidak suka diatur seperti itu. Berkali-kali seperti itu, masuk ke KM hanya cebok meski nothing to clean and wash, akhirnya aku menyimpulkan bahwa dia tidak suka buang air by design. Dia suka naturally aja, jadi aku harus ikut ritmenya. Untuk menyukseskan ini, aku bahkan sempat memilihkan video-video toilet training untuk ia tonton dengan satu dua kalimat sugesti bahwa pipis harusnya di Kamar Mandi seperti yang aku sounding, aku dan orang lain lakukan dan seperti ditunjukkan oleh pemeran kartun di video-video tersebut. Im not sure whether it works, jadi hanya kulakukan sekali.  

            Adegan-adegan yang sama kembali terjadi. Nyaris setiap setelah ngompol ketika bersamaku atau anggota keluarga yang lain, akulah yang menceboki Rauhia. Aku menggunakan moment itu untuk bicara heart to heart padanya bahwa shes grown up dan saatnya untuk ngasihtau kalau mau buang air. Aku mengatakan bahwa memberitahu ingin pipis atau eek sama sederhananya dengan memberitahu bahwa ia capek (belakangan ia mengetahui kosakata ini dan berulangkali menggunakannya), ingin mik air, ingin mam nasi, ingin beli jajan dan lain sebagainya. Aku bahkan sempat mengiming-imingi dia untuk tak beliin jajan jika ia berhasil pipis di KM. Tapi, bukan gurat kegembiraan yang kubaca di wajah Rauhia. Ia tampak masih mencerna semua yang kukatakan. Well, show goes on.  

***
            Lalu musibah itupun terjadi. Selama toilet training, Rauhia pernah sekali BAB di celana ketika ia sibuk main outdoor. Aku tak terlalu kerepotan mengondisikan semua-muanya sebab aku tinggal menceboki dan mencuci celananya. Namun ketika itu, di suatu pagi, 28/03/2020, aku tengah menjemur cucian dan mendapati dia memberitahu bahwa baru saja BAB di karpet mushalla. Hiupt. Terbayang pekerjaan berat yang harus kubereskan, tapi aku buru-buru telling myself bahwa akan ada solusinya; cari jasa dsb. Aku lalu mencebokinya dan melanjutkan protokol toilet training. Siangnya, Rauhia diare dan dua kali BAB di outdoor. Kena ke mana-mana. Tapi yang paling worrying, I knew she was not in a good condition. Aku kemudian menghentikan sementara program toilet training, padahal ketika itu dia terlihat sudah mulai paham dan bisa kooperatif. Ketika siangnya ia terlelap, aku menumbuk kunyit dan daun jambu biji untuk menyembuhkan diarenya.

Malamnya, Rauhia tidur tak tenang, bangun, lalu muntah dua kali mengenai tubuh kami berdua. Aku melarikannya ke puskesmas setelah mandi dan me-nyeko Rauhia. Sepanjang jalan aku khawatir, meski Rauhia tidak demam dan tampak berusaha ceria di tengah kondisinya yang lemas. Aku mulai menyalahkan diri sendiri dan merasa terlalu intimidatif melaksanakan protokol TT. Belum lagi aku ingat insiden dia jatuh dari daun jendela dengan posisi yang sangat bikin histeris. Suasana di Puskesmas tampaknya membuat dia insecure; asing dan dua bidan yang lagi jaga malam ketika itu bermasker; mungkin kerasa aneh baginya. Otomatis ketika perutnya diperiksa, suhu tubuhnya diperiksa, bahkan ketika disuruh berdiri di timbangan, ia berontak menolak. Sepulang dari Puskesmas dan minum puyer, dia sangat senang menyantap roti yang kubeli sekalian dengan pospak langganan.  Ketika itu yang kupikirkan, wes gapapa tt-nya belum berhasil sekarang; yang penting Rauhia sembuh dan tidak tertekan.

***

Esok harinya adalah hari yang berat. Rauhia memang sudah tidak muntah tapi diarenya belum reda. Ia berkali-kali mengajakku ke kamar mandi, mengaduh sakit perut, lalu mengajak keluar setelah lama mematung di situ tanpa berhasil mengeluarkan apa-apa. Tentunya setelah meminta cebok meski sebenarnya tak ada yang perlu dibersihkan. Dia juga memilih posisi favoritnya. Berdiri menghadapku, menindih kaki kananku dengan kaki kirinya dan begitu juga sebaliknya, lalu memeluk erat lututku. Setelah keluar-masuk KM sekitar 7 kali, barulah ia berhasil mendorong keluar gumpalan le**ir yang kemudian disusul papita cair. Tak perhatiin, keluhannya menghebat sebelum si le**ir keluar. Untuk antisipasi, aku memakaikannya popok sehingga kami tak perlu bolak-balik sesering sebelumya. Akan tetapi, Rauhia tidak mau BAB atau pipis di popok. Setiap kali sakit perutnya datang, ia selalu mengajakku ke KM. Popoknya selalu bersih dan ia baru mau pipis atau BAB setelah popoknya tak lepas dan kami ambil posisi seperti biasanya.

Tak terhitung aku bolak-balik KM dengan emosi yang diaduk-aduk antara menyesal telah sedemikian rupa mengkondisikan Rauhia untuk TT, kuatir akan kesehatannya, lelah fisik karena aktivitas yang meski di situ-situ aja namun berulang dan monoton, hingga kepikiran tugas2 kantor yang terbengakalai karena masih menyesuaikan dengan model WFH. Cuma dari sekian banyak kabar buruk itu, aku melihat Rauhia mulai menunjukkan progress. Ketika pipis di KM dalam rangka menunggu si papita keluar dan berdamai dengan sakit perutnya, ia tampak mulai belajar bahwa pipis bisa dikendalikan oleh dirinya sendiri sehingga ada waktu untuk ngasihtau aku dan beranjak ke KM manakala hasrat tersebut inin ditunaikan. Ini tampak sekali ketika ia memintaku untuk menceboknya namun aku masih memastikan, ‘sudah atau lagi?’ Jika jawabannya yang pertama, maka aku akan langsun mencebokinya namun jika yang kedua, aku akan menunggu ia menuntaskan hajat.   

Hari itu juga aku mengajak Rauhia ke tukang pijet bayi yang menjadi langganan kami. Dibandingkan dahulu saat ia belum banyak mengerti apa-apa, Rauhia belakangan sudah mulai pintar protes setiap kali kami berkunjung ke rumah si dukun bayi. Ia mulai memahami bahwa ini bukan kunjungan biasa. Tak lama lagi si mbah akan memijat dirinya, menjadikan bagian-bagian tubuhnya sakit dan mungkin menurutnya melakukan ‘penyiksaan’.  Dulu pas dia masih bayi, yang juga masih kuingat, dia baru bereaksi nangis atau menunjukkan rasa sakit ketika si mbah sudah lama mulai memijat. Tapi belakangan, mungkin bermodal rasa takut, protes, juga manja, begitu melihat si mbah datang, biasanya parade tangis sudah dimulai. Dan begitulah hingga akhir sesi. Namun kemarin, aku melihat tangisnya lebih intens dan naik level; selain karena sudah lama tidak dipijat, badannya mungkin masih remuk redam abis kejadian salto be like kemarin. Pulang dari rumah si mbah, dia tidur lelap sekali masih dengan popok di tubuhnya. Malam hari ketika ia terbangun, popoknya masih bersih. Ia tampak mulai mengerti bahwa pipis atau eek harusnya di KM, bukan di mana-mana meski mengenakan celana/popok. 

Setelah dua hari yang berat itu berlalu, Rauhia mulai berangsur pulih dan semakin adaptatif dengan protokol TT. Ternyata durasi lama yang kami habiskan di KM mengajarinya banyak hal; dia seperti mulai faham fungsi KM apa dan di sana ngapain aja. Lain dari itu, aku merasa ikatan psikologis kami semakin erat karena kami nyaris tak terpisahkan. Rauhia mulai rutin memberitahu setiap akan pipis atau eek lalu aku akan langsung reaktif menggendongnya ke KM, membuka celananya dan membiarkan dia menunaikan hajat di situ. Aku lupa kapan tepatnya moment dia punya inisiatif begini dan mulai bisa kuperatif. Awal-awal, pipisnya tak bisa langsung keluar sebelum ia memeluk lututku erat namun belakangan, pelukannya semakin renggang dan ia pun berhasil pipis tanpa memeluk lututku dan dengan posisi default. Setiap kali berhasil, aku biasanya bercorak kecil mengatakan “juaraku” berulang kali sebelum menceboki dan menggendongnnya lalu menghujaninya dengan ciuman sambil berlagak berdua di depan kaca. Rasanya perjuangan terbayar kontan di situ.

Tentu saja itu bukanlah akhir segalanya. Bersamaan dengan kemampuannya memberitahu dan berkomunikasi perihal hasrat ingin buang airnya, Rauhia mulai susah diatur untuk segera mengenakan celana begitu ia keluar dari KM. Ia juga baru belajar jongkok dan masih suka menunaikan hajat sambil berdiri, sementara ajakan untuk jongkok di atas WC tak pernah tidak ditolaknya. Kadangkala ia memintaku mengenakan popok yang biasa ia gunakan meski tak pernah ia pakai lagi untuk menampung pipis atau papitanya. Pant yang aku beli juga tak banyak membantu karena kebetulan lagi musim hujan dan mengeringkannya butuh waktu beberapa hari, selain karena Rauhia tidak selalu mau mengenakannya. Sependek yang kuingat, masing-masing tiga pant itu baru ia pipisi sekali. Selain itu, selama proses ini, aku mencuci masing-masing perlak dan sprei satu kali; pertama ketika Rauhia masih diare dan kedua ketika di suatu pagi, ia tampak gelisah namun matanya masih terpejam sambil mencari ujung tempat tidur. Ia terbangun mendadak dan memberitahu bahwa baru saja pipis. Aku yang masih ngantuk mendadak langsun reaktif dan membawanya ke KM; pengalaman ngompol tidur malam yang semoga tidak terulang lagi. Dry pad kurang membantu karena ukurannya kecil sementara Rauhia ketika tidur tidak bisa anten di suatu posisi.    

Meski fase ini tampak nyaris selesai, aku tahu masih banyak pekerjaan lanjutan menunggu, utamanya memberi Rauhia pemahaman bahwa jika aku sudah kembali masuk kantor, ia tidak bisa selalu bergantung padaku untuk urusan menunaikan hajat ke KM. Juga perihal sebaiknya pipis sebelum tidur, sebelum perjalanan, dan lain-lain yang satu persatu mulai hadir di otakku. Long life, Emak2! Without you, this world will never be as beautiful as this.