Penerjemah: Masyithah Mardhatillah
Indonesia tidak siap menghadapi pandemi Covid-19. Baru diumumkannya segelintir kasus hingga akhir Maret cukup jelas menunjukkan kegagalan dan ketidamampuan pemerintah mengambil tindakan tepat untuk menghadapi epidemi ini. Pada 2 Februari, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto bahkan dengan naif mengatakan bahwa kekuataan doa akan mampu melindungi Indonesia dari pandemi ini. Kasus pertama secara resmi diumumkan pada 02 Maret. Sementara pada akhir Maret, jumlah kasus yang dilaporkan sudah melampaui angka 1400 dan tak lama, ia meroket menjadi 4.000-an pada 12 April. Pada 21 April, jumlah keseluruhan kasus melampaui 7000 dengan angka kematian terbesar di negara-negara Asia selain Tiongkok. Pemerintah Indonesia di level pusat maupun daerah terbilang lamban merespon situasi. Baru pada 21 April perjalanan Ramadhan atau yang populer disebut mudik resmi dilarang.
Pandemi ini merupakan tantangan yang luar biasa baru bagi umat Muslim dengan datangnya Bulan Ramadhan sejak 23 Maret. Organisasi-organisasi Muslim, termasuk Muhammadiyah dan NU, menyadari betul perihal krisis kesehatan ini sejak awal. NU langsung mengubah aktivitas rutin Ramadhan-nya untuk menghindari persebaran virus dalam acara-acara rutin tahunan tersebut. Secara khusus, organisasi ini menghadapi tantangan yang unik sekaligus menjengkelkan karena dua alasan. Pertama adalah tantangan dari aspek organisasi. NU merupakan federasi yang terstruktur secara longgar dari beberapa pesantren yang bergerak secara swadaya dan dipimpin oleh seorang ilmuwan kharismatik atau biasa disebut kiai. Kesetiaan begitu terpusat kepada masing-masing kiai dan bukan pada organisasi. Kedua adalah soal bagaimana mengkontekstualisasi makna keagamaan pada pandemi Covid-19.
Nahdlatul Ulama
NU didirikan pada 1926 di Surabaya untuk merespon penaklukan Mekkah oleh kaum Wahabi. Beberapa pendirinya, termasuk K.H. Hasyim Asy’ari (1871-1947), pernah belajar di kota suci tersebut selama beberapa dasawarsa dan merupakan salah satu sarjana Muslim yang paling terkemuka. NU memiliki kurang lebih 80 juta anggota yang mendaulatnya sebagai organisasi Muslim terbesar di Indonesia. Sebagian besar pengikut NU adalah orang Jawa dan orang Madura. Ada segelintir elite perkotaan berpendidikan tinggi di tubuh NU, namun sebagian besar berasal dari desa dan kota kecil. Organisasi serupa dapat ditemukan di Lombok (Nahdlatul Wathan) dan Sulawesi (As’adiyah).
Dalam hal keagamaan, NU mendefinisikan dirinya sebagai ahlus sunnah wal jama’ah (komunitas yang meneladani Rasulullah). Warga NU mengikuti satu di antara empat madzhab Sunni dalam wilayah hukum Islam, berteologi Asy’ariyah yang menekankan pada penafsiran rasional terhadap Al-Qur’an serta berpedoman pada Al-Ghazali (1058-1111) dan al-Junaid (830-910) dalam bidang sufisme syar’i (mistisisme Islam). Pemujaan orang-orang suci merupakan salah satu dasar kesalehan dalam NU. Jutaan pengikut NU biasa berziarah ke makam-makan para wali, utamanya sembilan wali yang menjadi tokoh penyebar Islam di Jawa. Logika berpikir NU, termasuk yang ada kaitannya dengan kewajiban keagamaan, didasarkan pada madzhab Syafi’i serta penerapan prinsip-prinsip dalam Al-Qur’an dan hadist. NU secara aktif mempromosikan tradisi dan budaya Jawa ataupun budaya lain di Indonesia, utamanya dalam bentuk acara-acara berskala publik.
Para kiai terkemuka sedari awal menyadari bahwa penjarakan sosial harus dilakukan untuk menekan pandemi Corona. Ini tentu mengharuskan penyesuaian dengan prosedur pesantren yang berlaku serta perubahan perilaku keagamaan dan sosial Muslim di level individu. Begitu Ramadhan menjelang, kyai yang biasanya sibuk menyiapkan beberapa perlengkapan untuk acara-acara sosial keagamaan selama Ramadhan kini lebih fokus merespon pandemi dan memimpin pesantren dalam keadaan luar biasa ini.
Namun demikian, kenyataannya, Ramadhan memang menjadikan penjarakan sosial sangat sulit. Pandemi ini tidak akan mungkin bisa ditekan jika Muslim tetap dengan suka cita melakukan aktivitas Ramadhan seperti biasa. Ada juga kecenderungan mengaburkan perkara wajib dalam konteks keagamaan dan dalam konteks sosial-budaya NU, seperti doa Nishfu Sya’ban dan mengunjungi kuburan (nyadran) sebelum Ramadhan dimulai. Termasuk pula di antaranya adalah buka puasa bersama, bazar harian Ramadhan, pengajian, pawai, perayaan-perayaan, anjangsana keluarga, perayaan Idul Fitri dan tradisi mudik yang biasanya mampu seketika mengosongkan kota-kota karena orang-orang kembali ke kampungnya di akhir Ramadhan.
Ada lebih dari empat belas ribu pesantren di Indonesia. Sebagian besar di antaranya menawarkan perpaduan antara pendidikan Islam dan modern sekuler. Sebagian lain hanya mengajarkan pelajaran-pelajaran keagamaan. Pesantren menawarkan pendidikan Islam yang setara dengan lembaga pendidikan di Asia Tenggara dan Timur Tengah. Masing-masing memiliki keunikan dan menggambarkan spesialisasi dari kiai yang memimpin. Ada juga yang menawarkan pendidikan Islam dasar. Yang lain fokus pada kajian-kajian hukum Islam tingkat tinggi, pembacaan Al-Qur’an, kajian teologi dan tradisi yang dilakukan Muslim Indonesia. Jumlah santri di masing-masing pesantren berbeda mulai yang kurang dari 100 hingga yang lebih dari 12 ribu. Kehidupan pesantren terbilang keras. Sebanyak 20-an santri tinggal di satu kamar yang sama. Beberapa di antaranya tidur di masjid karena terlalu penuh.
NU, Pesantren, Imbauan Keagamaan dan Virus Corona
Respon NU terhadap pandemi Covid-19 memadukan antara logika berpikir ala Syafi’i dengan pragmatisme medis. Muslim NU begitu memperhitungkan otoritas dan kearifan kiai. NU maupun kiai secara individu mengakui bahwa penjarakan sosial merupakan satu-satunya cara untuk menekan penyebaran virus dan ini mengharuskan Muslim mengubah perilaku sosial keagamannya. Untuk itu, NU mendirikan pos-pos komando di seluruh Indonesia untuk menyediakan informasi soal pandemi ini serta bantuan terhadap korban. Pada pertengahan Maret, dibentuk juga pos-pos untuk membantu upaya disinfektasi dan mengumpulkan paket makanan untuk para korban serta orang miskin.
Di level lokal maupun nasional, NU memberi imbauan serta arahan soal apa yang seharusnya dilakukan Muslim selama pandemi belum berakhir.
Pada pertengahan Maret, makam-makan para wali ditutup. Selanjutnya pada 28 Maret, lembaga kesehatan NU mengimbau Muslim untuk tetap di rumah dan tidak mudik untuk libur Lebaran. Tak sampai di situ, pada 04 April, majelis pusat NU mengedarkan arahan yang menegaskan bahwa aktivitas rutin Ramadhan harus dibatasi. Edaran tersebut juga mengharuskan Muslim melakukan salat tarawih, shalat khusus yang hanya dikerjakan pada malam Bulan Ramadhan, di rumah masing-masing, bukan di masjid. Selain itu, instruksi pembatalan juga diberlakukan pada salat Idul Fitri yang merupakan perayaan puncak puasa.
Pada 09 April, NU menyelenggarakan istighasah kubro Nisfu Sya’ban secara daring, memohon pertolongan Allah untuk menyelamatkan Indonesia dari COVID-19. Lebih dari 100.000 orang berpartisipasi. Acara ini juga disiarkan di 14 channel televisi. Nisfu Sya’ban adalah hari kelima belas dalam Bulan Sya’ban, bulan sebelum Ramadhan. Muslim NU umumnya meyakini bahwa Allah mengabulkan doa yang dipanjatkan pada hari tersebut. Puluhan perayaan nyadran pada momen ini juga dibatalkan. Beberapa di antaranya merupakan anjangsana keluarga dalam level kecil, sedang lainnya adalah nyadran massal di kuburan orang-orang suci yang biasanya melibatkan ribuan orang.
Sementara itu di pesantren, para kiai menghadapi dilema yang juga sangat sulit. Kondisi yang ramai membuat pesantren sangat rentan menjadi tempat penyebaran virus Corona. Biasanya, Ramadhan merupakan waktu libur santri. Memperbolehkan mereka pulang ke rumah dapat semakin menambah risiko meluasnya pandemi ini. Sebaliknya, menampung santri ‘di pesantren’ juga berpotensi menyebarkan virus di wilayah-wilayah yang layanan kesehatannya masih belum sempurna. Beberapa kiai memilih untuk memajukan liburan Ramadhan. Lirboyo, salah satu pesantren terbesar, menyiapkan peralatan screening dan treatment khusus bagi santri sebelum mereka pulang. Yang lain tetap membiarkan santri tinggal di pesantren namun membatasi kontak dengan orang luar untuk memastikan pesantren tetap aman dan steril dari virus. Ini adalah pilihan-pilihan yang sulit. Namun demikian, apapun keputusan yang diambil, kepedulian kiai yang demikian besar terhadap santri-santrinya begitu tampak.
Korban sebagai Syahid
Berapa banyak orang Indonesia yang telah meninggal dunia karena Covid-19 belum dapat benar-benar dipastikan. Namun demikian, jumlahnya akan semakin banyak dalam beberapa pekan dan bulan mendatang. Terkait ini, NU telah memberi penegasan serta—semacam—pelipur lara bahwa mereka yang meninggal karena pandemi ini dianggap syahid dan karenanya akan menerima pahala dari apa yang diderita. Beberapa pernyataan menyebutkan bahwa hadist di bawah ini menjelaskan perihal derajat syahid korban Covid-19.
Suatu ketika Rasulullah menanyai para sahabatnya:
“Siapakah di antara kalian yang syahid?” Mereka menjawab: “Mereka yang meninggal dunia di medan perang adalah syahid”. Lalu Rasulullah menimpali, “Jika demikian, sangat sedikit umatku yang syahid.” Para sahabat kembali bertanya, “Lalu siapa?” Rasulullah menjawab “Mereka yang meninggal dunia di medan perang adalah syahid, termasuk juga yang meninggal di jalan Allah (bukan ketika berperang), karena wabah, karena sakit perut, juga karena tenggelam”
Mark Woodward adalah profesor peneliti di Center for the Study of Religion and Conflict di Arizona State University
Pamekasan, 24-25 April 2020
Original Version: https://www.insideindonesia.org/nahdlatul-ulama-pesantren-and-the-pandemic
Original Version: https://www.insideindonesia.org/nahdlatul-ulama-pesantren-and-the-pandemic
Posting Komentar