SAPIH DAN DRAMA PISAH YANG MEMILUKAN


satu to do list tahun ini adalah quit breastfeeding alias menyapih Rauhia. Ketika menulisnya di daftar resolusi, ada bayangan mengerikan yang mampir di kepala. Rasanya indescribable. Tergambar bagaimana susahnya menghentikan kebiasaan yang kurang lebih dua tahun belakangan dijalani. Terlebih as she grows up, aku menyadari bahwa menyusu dan menyusui bukan soal skin to skin semata, tapi heart to heart bahkan blood to blood. Lain dari itu, menyusu adalah solusi satu untuk semua bagi Rauhia. Kurang enak badan, marah, ngantuk, sebel, negosiasi mentok, semua terpecahkan dengan menyusu. Bagi aku ibunya, menyusui juga adalah semacam treatment khusus di kala lelah, bosan, stress, desparate atau ngantuk. 

Entah kesepakatan apa yang terjadi antara teks agama dan penelitian medis, yang jelas keduanya sama-sama menyebut angka dua tahun sebagai durasi sempurna untuk menyusui. Suami pernah berkomentar bahwa durasi tersebut adalah ambang minimal, sehingga kalau punjul, tak jadi masalah. Merasa menemukan pembenaran, akupun memercayai dan berniat menerapkannya. Terlebih, aku sering merasa belum pernah benar-benar bisa menyempurnakan dua tahun itu, utamanya dalam hal kuantitas. Hari-hari pertama Rauhia lahir ke dunia, saat aku tugas negara ke Palu kemudian Surabaya, serta nyaris SETIAP HARI KERJA di siang hari sejak ia belum genap berumur setahun, aku cuti sementara dari tugas biologis itu. Jadi bayanganku, kalau ditotal, jumlahnya tak akan sama dengan mereka yang full, apalagi direct breastfeeding selama hawlayni kamilayni.  

Karena pertimbangan itu jugalah, aku ngotot tak mau menyapihnya sebelum ia berumur dua tahun meski ada dua moment yang sebenarnya pas untuk mengeksekusi rencana itu. Alasan yang diberikan memang terdengar masuk akal, semacam biar tidak repot nyapih lagi nanti dan sejenisnya. Tapi aku keukeh emoh. Dengan segala kekurangan, aku ingin menyempurnakannya. Terlebih, balada menyusui adalah episode lain dari kisahku dan Rauhia yang barangkali tak bisa benar-benar utuh tergambarkan dengan kata-kata. Meski seiring waktu, ingatan tentangnya akan pudar ketindih memori-memori lain yang datang belakangan, pengalaman menyusui pertama kali adalah anugerah yang sangat kusyukuri. Tentu ekspresi ini tidak otomatis underestimate pada ibu-ibu yang (memilih untuk) tidak menyusui karena satu dan lain hal. 

Ketika sempat menghadiri Posyandu karena kebetulan jadwalnya Sabtu, aku sempat menuturkan perihal rencana penyapihan ini pada bidan yang membantu persalinanku. Seperti sudah mengerti gelagat dan prinsipku, dengan senyum khasnya ia berkomentar pendek bahwa setelah usia anak 2 tahun, kandungan gizi dalam ASI sudah berkurang sehingga, implied meaning-nya, penyapihan benar-benar patut diagendakan. Aku mengangguk mantap nan bahagia karena jawabannya melegakan, tidak menggurui apalagi judging. Aku juga totally agree dengan insight seorang teman, lebih tepatnya adik dari temanku, yang melihat penyapihan tak lain sebagai bentuk moving on atau transisi dari satu babak ke babak selanjutnya. Informasi semacam inilah yang membuatku lebih legowo menapaki tahapan-tahapan penyapihan Rauhia, instead of yang doktrinal-doktrinal apalagi langsung menghakimi dan memojokkan.

So that’s yah, aku berbulat hati untuk menyapih Rauhia meski aku bukannya nyandak untuk membayangkan bagaimana caranya menidurkan dia, bagaimana jika ia bangun tengah malam dan masih ngantuk tapi tidak bisa tidur lagi tanpa menyentuh kulitku (as it is used to be), bagaimana jika ia sakit, marah, bosan atau suntuk dan sudah tidak ada jalan keluar, bagaimana aku bisa berekonsiliasi setelah sekian suspense di antara kami tak bisa dihindari, dan semuanya. Dibandingkan tahapan-tahapan lain dalam kehamilan hingga pengasuhan anak, di fase ini aku merasa paling malas dan emoh untuk mencari informasi daring soal, apa sih namanya, weaning with love. Mungkin terlalu mabuk informasi, jadi overload dan akhirnya malas. Meski begitu, aku masih bersemangat bertanya soal pengalaman ibu-ibu yang lebih senior dalam menyapih anaknya, termasuk yang extended breastfeeding. Semua menyiratkan bahwa drama penyapihan adalah hal yang pasti bisa dilewati, betapapun susah dan dramatisnya. 

***

Hampir semua ibu yang kutanyai menjawab bahwa langkah pertamanya adalah sounding. Ok, aku ikuti saja dan memulai langkah dari titik itu. Tapi, entah karena caraku yang kurang tepat atau gaya Rauhia yang tidak suka terlalu banyak verbal word—barangkali seperti romonya—langkah pertama ini terasa gagal dan mental terus. Setiap aku mendapat moment untuk berbicara dari hati ke hati dengannya lalu kumulai menyinggung soal penyapihan, di situlah Rauhia bereaksi cukup frontal, mulai dari gelengan kepala, delikan mata, teriakan pelan hingga keras mengatakan TIDAK sampai terburu-buru menghampiriku dan mencari sesuatu dari tubuhku yang barangkali ia takut kehilangan atau jauh darinya gara-gara sounding tadi. Tentu aku tak menyerah begitu saja. Aku terus mencoba membuatnya mengerti, tapi yang kurasa, semakin sering aku singgung masalah ini, semakin Rauhia reaktif dan salah satu wujudnya adalah menambah durasi dan frekuensi menyusu. 

Soal sounding ini biasanya merupakan jawaban dari ibu-ibu muda alias ibu-ibu milenial yang barangkali banyak baca teori parenting utamanya dari sosial media atau buku-buku terkait. Jika responden bergeser pada ibu-ibu tradisional atau paling tidak antara tradisional dan milenial, maka jawabannya akan beragam; mulai dari memberi aksesoris pada pa**dara untuk mematikan selera si bayi melalui indera pengecap dan atau penglihatnya, pisah ranjang dan sengaja diungsikan selama masa penyapihan hingga sowan orang pintar untuk meminta petunjuk dan apa yang oleh orang Madura disebut rat-sarat. Setelah berulang sounding tampak tak memberi hasil yang baik, aku mulai melirik pada gaya-gaya tradisional tersebut meski tentu saja ada pertimbangan lain yang mau tak mau aku pakai. Ini menjadi penting sebab sebagian caranya tergolong ekstrim, seperti melumuri ampas kopi, balsem atau jamu pahit. Jadi to sum up, my stance is, masio akhirnya manut, aku tetap harus kritis.

Sikap kritis demikian, sayangnya, bisa tampak sebagai sebuah ke-sok-tahu-an atau sikap ngeyel dari –mereka yang merasa—lebih tahu. Yah kalau semua omongan orang lain akan di-reken (asal jangan diaudit aja), tak akan ada bersambungnya itu sinetron-sinetron. Meski mengerti yang demikian, seringkali keadaan di lapangan memberi tantangan yang jauh dari perkiraan. Ini misalnya, kualami, very first time, dalam pemilihan waktu menyapih. Ulang tahun kedua Rauhia kebetulan bertepatan dengan hari pertama puasa Ramadhan sehingga, selain karena malas dan merasa belum siap, aku putuskan untuk menundanya hingga setelah Ramadhan. Ini juga berbekal saran dan masukan dari beberapa anggota keluarga yang membayangkan bagaimana rempong-nya proses penyapihan di sela-sela rutinitas Ramadhan.

Konfliknya di mana? Di respon-respon terkejut ketika mengetahui bahwa Rauhia uda berumur dua tahun tapi belum disapih. Ini utamanya terjadi di acara kumpul-kumpul dan atau silaturrahim lebaran. Argumentasi yang digunakan untuk menguatkan keterkejutan tersebut biasanya adalah comparison sentences semisal, dulu anakku disapih pas umur sekian bulan, termasuk dengan anak yang lebih muda dari Rauhia tapi sudah disapih. Jika sudah begini, masio tak balas senyum atau cengengesan, dalam hati aku senyatanya berdoa “Ya Allah, jauhkanlah aku dari komentar berlebihan terhadap kehidupan orang lain yang berpotensi—atau sudah pasti—bikin mangkel yang bersangkutan.
Selain soal timing, aku juga memangkas alternatif perihal sowan pada orang pintar untuk meminta doa atau wasilah lain demi memperlancar proses penyapihan Rauhia melalui jalan supranatural. Pilihan ini berawal dari saran umik yang tidak merekomendasikan ini karena menurutnya, kuatir akan membuat si anak pelupa. Aslinya ya aku malas ngurus yang beginian dan tambah dapat dukungan dari umik, jadilah seperti itu pilihannya. Jadi, seperti yang sudah-sudah, kalau ada orang memberi saran soal ini, biasanya aku mesemi, iyakan (semacam ucapan terimakasih telah memberi saran tapi tidak berjanji akan melaksanakan sarannya) atau reaksi hambar lainnya. Kadang memang jadi susah ketika banyak saran dari sana-sini, yang satu sama lain berbeda, lalu pemberi saran justru akan tersinggung ketika tau sarannya tidak dilaksanakan atau kalah saing dibanding saran lain.
Kata kunci lain yang aku garisbawahi dari beberapa teman yang lebih berpengalaman soal penyapihan ini adalah soal TEGA. Kalimat semacam harus tega, wajib tega, dan sejenisnya banyak aku dapatkan ketika mengobrolkan ini dengan teman-teman yang lebih berpengalaman. Semacam bersakit-sakit dahulu, for goodness of all. Aku jadi berpikir banyak dari kalimat itu, semacam mengingat-ngingat, bagaimana bisa aku dibilang tidak tegaan, sementara setiap hari kerja, aku meninggalkannya dan baru pulang ketika sore atau malam hari saat tenaga dan pikiranku sudah lelah? Aku juga pernah beberapa kali meninggalkannya dengan alasan tugas Negara. Pun juga beberapa jam lembur dan jam weekend yang harus aku alokasikan ke agenda lain karena satu dan lain hal tanpa bisa membawanya ikut serta. Padahal, aku bukan tak tahu bahwa so far, yang paling dia butuhkan adalah aku ibunya. Dari situ, aku meyakinkan diriku bahwa soal penundaan waktu penyapihan Rauhia bukanlah soal tega atau tak tega. Aku hanya terlalu malas dan barangkali khawatir kehilangan privilege menyusui yang luar biasa aku syukuri.  

***
Keberanian dan tekad menyapih Rauhia perlahan membulat setelah aku memijatkannya ke dukun yang dari awal mengawal proses kehamilan dan prosesi-prosesi selanjutnya. FYI aku biasa memijat Rauhia ke dukun yang rumahnya juga bisa dengan mudah kujangkau itu jika rewelnya sudah di luar batas kewajaran, apalagi belakangan aktivitas fisiknya waw sekali. Salah satu saran yang diberikan mbah dukun adalah memulai proses penyapihan di hari kelahiran. Itu yang dikatakannya di sebuah Sabtu sore sebelum aku pamit pulang menggendong Rauhia yang masih terisak setelah sesi pijat bayi tradisional. Esok harinya adalah hari kelahiran Rauhia dan sejak malamnya, Sabtu malam kalau kata jomblo, aku membawa Rauhia tidur di tempat yang agak leluasa terakses angin dan mengkondisikan segala halnya agar ia bisa tidur tanpa harus menyusu. Langkah pertama berhasil dan terasa mudah. Aku berniat mengurangi jatah menyusunya terlebih dahulu pelan-pelan, utamanya di momen-momen krusial, untuk menghindarkannya dari too much shocked ketika harus benar-benar lepas nanti. Ketika tengah malam ia terbangun dan seperti biasa mencari kulitku, aku tetap memberikan apa yang dia mau.  

Esok harinya, barulah aku ke tahap selanjutnya; menggunakan aksesoris agar indera penglihatan Rauhia mengirim pesan ke otaknya untuk tidak menyusu. Celakanya, untuk menjalankan misi ini, aku harus berbohong padanya untuk meyakinkan bahwa perubahan di area yang dikenalnya bukanlah tanpa alasan, meski dengan alasan yang ngawur serta nglembo sekali. Rauhia percaya; barangkali karena anak kecil belum nyandak pikirannya untuk berbohong, sehingga apapun yang didengarnya, ia anggap benar adanya. Aku sedih bukan main, tapi aku melanjutkan misi tersebut right away. Awalnya, Rauhia tidak meminta menyusu secara verbal dan semua undercontrol. Namun, pertahanannya perlahan runtuh saat jam tidur siang. Aku yang memang sudah ngantuk luar biasa dan tak ingin melewatkan jam tidur siang di akhir pekan akhirnya menyerah saja. Aku ingat sekali ketika itu suami juga ngompakin biar aku bisa tidur siang untuk bekal begadang nanti malam.

Sore dan malam berlalu tanpa rengekan atau kode lain untuk menyusu. Aku yakin itu bukan karena ia tak ingin, tapi karena ia terlalu percaya dengan kebohongan yang aku ucapkan. Ketika tiba waktunya tidur malam, ia mulai gelisah dan seperti mengiba untuk menyusu. Suami yang melihatnya tidak tega dan menyuruhku menyusui saja. Akan tetapi, karena di tahap itu ayah dan ibu mertua sudah mengetahui bahwa cucu pertamanya sedang dalam proses penyapihan, otomatis inisiatif tersebut ditolak mentah2. Jadilah, bergiliran, kami menggendongnya dan membawa dia ke tempat yang sejuk terakses angin untuk agar kantuknya semakin besar dan ia tertidur serta melupakan keinginannya untuk menyusu. 

Sebelumnya, kami juga memastikan perut Rauhia cukup terisi sehingga ini juga akan membantu kantuknya semakin menjadi dan mempercepat proses ia terlelap, seperti kaidah agar sarapan pagi dengan buah bukan dengan karbo agar waktu produktif pagi bisa maksimal. Sekian menit dibawa angin-anginan di luar, Rauhia sudah tidur di gendongan namun ketika badan mungilnya dipindah ke tempat tidur, seringkali ia terbangun, menangis lagi dan harus digendong kembali. Jika beruntung, Rauhia tidak akan terbangun dan para pasukan bisa beristirahat untuk saving energy sesi berikutnya sebab tak lama, Rauhia biasanya akan bangun dan menangis setengah menjerit sebelum digendong dan dibawa berayun-ayun di area berangin. Begitu seterusnya alur malam itu. Seingatku, malam pertama penyapihan penuh itu, Rauhia bangun pertama kali lewat pukul 12 dan rentetan bangun-digendong-tidur-bangun itu terus berlanjut hingga shubuh. Aku pusing bukan main, masuk angin meski tak keluyuran malam dan esoknya, aku harus jaga ujian 3 kelas.

Hari itu juga adalah hari ulangtahunku; alasan lain mengapa aku ngepasin penyapihan Rauhia dengan hari itu, biar gampang mengingatnya someday. Di kampus aku ikut apel—malah jadi petugasnya—dan njaga ujian seperti terjadwal jauh-jauh hari. Siangnya makan di Awa-Kowa bareng Bu Septi  lalu sorenya, aku mampir ke klinik ibu bidan untuk konsultasi dan dapat amunisi penyapihan. Seperti biasa, di klinik antri sekali sehingga aku harus nunggu agak lama dan otomatis pulang telat. Untungnya sikap dan sambutan bidannya sangat mengenakkan, ramah dan profesional. Diberi gratisan lagi, meski aku minta sedikit aja karena mesti nanti malas minumnya. Sempet juga diperingati agar tidak menyedot ASI karena produksi akan kembali terjadi dan sakitnya akan kembali. Tadi pagi sudah semangat bawa pumper ke kampus dan sempat pumping juga ketika nyeri datang, jebule cocokologi ini keliru.

Aku pulang ke rumah dan Rauhia menyambutku, hangat seperti biasa lalu menghambur ke arahku meski aku belum berinisiatif memeluknya. Moment pertama aku pulang kerja setelah penyapihan, otomatis dia merengek minta menyusu tapi aku alihkan pada yang lain. Masih dengan kebohongan yang sama, sehingga ketika Rauhia mekso ingin melihat bukti dari apa yang aku katakan, dia melihatnya dan berangsur percaya. Agar tidak semua menggunakan cara tipu-tipu, aku mengajaknya bersenandung lagu yang baru dia kenal dengan sedikit modifikasi,

Mie, mie, mie, Rauhia berhentik mimik
Sar, sar, sar, Rauhia sudah besar,
Bubuuuu.. nyenyak,
Bubuuu…nyenyak,
Tak goyang –goyang ser.


Meski awalnya terlihat ingin complain karena ada perubahan lirik dengan yang ia ketahui sebelumnya, akhire Rauhia mau juga mengikuti polaku. Keceriannya kembali dan aku gemas bukan main ketika Rauhia yang cadel tidak bisa mengatakan ser dengan pelafalan seperti biasa. Jadilah lagu itu semacam mantra untuk mengalihkan perhatiannya dari kerinduan akan ASI, moment ketika kami berdua seperti tak ada jarak dan barangkali  juga aroma-aroma khas dari tubuh kami yang saling tercium. Aku bahagia menemukan solusi ini, tapi jatuhnya tetap kasihan dan seperti tak tega. Why shouldn't I avoid giving her the thing I have?
***
Malam kedua penyapihan, pola-pola Rauhia mulai terbaca dan terpetakan. Ia ingin segera dievakuasi—baca: digendong—ketika bangun, ia tidak ingin berada di tempat panas, dan sesekali saat bangun, ia ingin minum air putih atau menyambangi kulkas sekadar mencari apa yang bisa diambil dan dinikmati dari situ. Kebiasaan minum air tengah malam sudah tampak sejak sebelum masa penyapihan, sementara alternatif untuk memberinya susu formula, susu kemasan yang siap minum dan sebagainya otomatis tereliminir melihat responnya yang emoh. Sesekali ia tampak sangat menikmati dan terbuai lalu mengantuk dengan lantunan lagu, salawat atau bacaan lain. Meski begitu, ketika tengah malam ia terbangun, yang dicarinya tetaplah mama, bukan air apalagi susu kemasan. Kembali, kami bergantian menggendong dan menidurkannya, seringkali mengipasnya manual. Aku seringkali mengambil porsi istirahat cukup besar karena esoknya  harus tetap kerja, tapi tetap saja kepikiran dan tidurpun tak lelap seperti biasa.
Sementara menahan nyeri fisik karena menghentikan kebiasaan menyusui, perang batinku tak kalah menyakitkan. Rasanya powerless sekali melihat dan mendengar Rauhia menjerit2 menginginkan sesuatu yang aku miliki tapi sudah tak bisa aku berikan. Seringkali aku juga berpikir perihal extended breastfeeding tapi kurasa kurang kondusif untuk menerapkannya di tengah gempuran mitos-mitos tradisional yang sangat membatasi pilihan. Mitos yang sudah kutanyakan benar tidaknya pada bidanku itu—yang ternyata tidak benar menurut beliau, celakanya, dipercaya oleh nyaris semua orang di sekitarku. Barangkali pembuktiannya melalui satu dua kasus, tapi validitasnya seperti mau ngalah-ngalahin kitab suci. In short word, mitos-mitos yang beredar adalah soal ‘basi’nya ASI setelah sejenak berhenti menyusui dan dipercaya dapat memberi efek buruk pada fisik, psikis maupun intelektual bayi. In my humble opinion, itu tidaklah demikian sebab tubuh punya sistem otomasi sendiri. Bisa detoks dengan sendirinya dan lain sebagainya.  
Jadi, ketika di suatu sore, beberapa hari kemudian, Rauhia sudah could not stand anymore untuk tidak menyusu, aku nekat menyusuinya. Sebentar dan tak niatkan sebagai the very last session of breastmilk she gets. Aku juga mengutarakan padanya secara verbal bahwa setelah itu, Rauhia sudah tidak boleh menyusu, karena Rauhia sudah besar. Implied meaning-nya adalah bahwa sandiwara yang kemarin aku bilang itu bohong. Saat suatu ketika Rauhia mengingat kebohongan itu lalu mengatakan alasan mengapa ia tidak boleh lagi menyusui, aku buru-buru mengatakan bahwa sebabnya tidak demikian, tapi karena Rauhia sudah besar and now is the time. Sayangnya, masio sudah aku katakan demikian, Rauhia tampak lebih percaya pada yang kuutarakan pertama. Mungkin karena sounding-nya lebih sering dan intens, mungkin juga karena dia bingung mengapa informasi yang diberikan ibunya berbeda antara satu dan yang lain. My very deep apologize, Nak. 
Malam-malam selanjutnya, keadaan semakin membaik. Tetangga yang mendengar tangis Rauhia sangat intens pada malam pertama, malam menjelang 17 Juni, berkomentar bahwa pada malam-malam setelahnya, tangis Rauhia sudah tidak intens lagi. Keadaan di dalam rumah sebenarnya tak banyak berubah. Kami berempat tetap bergantian menggendong, menidurkan dan mengipasinya. Suatu malam, Rauhia bahkan pernah kembali rewel bukan main sehingga ia harus tidur di gendongan ayah mertua hingga pagi. Aku yang harus berangkat bekerja meninggalkannya dalam keadaan terlelap di gendongan setelah semalam luar biasa menahan kantuk dan lelah setelah seharian beraktivitas di kantor; dikejar deadline, urusan berburu tanda tangan dan hal-hal administratif lain.

Kami juga diuntungkan dengan keadaan karena tak lama setelah proses penyapihan dimulai, suhu malam beranjak semakin dingin dan itu artinya, kami terbantu oleh cuaca yang sangat disukai Rauhia. Rauhia tak perlu lagi diungsikan untuk tidur dan cukup dengan membuka jendela kamar, ia bisa lebih mudah dikondisikan untuk terlelap. Sebelumnya, ketika udara masih normal—sowap, kata orang Madura—kami biasa menggelar alas di ruang tamu, membuka jendela dan pintu lalu menidurkan Rauhia di situ. Itu masih ditambah tugas mengipasi dan memastikan tidak ada nyamuk yang bisa mendekat, sementara tugas menemaninya tidur di spot itu adalah wilayahku. Aku ingat suatu malam, tidur Rauhia—yang proses mencapainya begitu dramatik—pernah terganggu karena gigitan nyamuk dan hal tersebut begitu merusak mood-nya sehingga ia rewel sepanjang malam. Kesimpulannya, tempat tersebut bagus untuk karena memberi akses angin dan udara dingin, tapi akses nyamuk juga tak kalah luas.   

Selain momentum ketika akan tidur malam, nyaris tidak ada halangan berarti dalam proses penyapihan Rauhia. Jika any random time dia tiba-tiba menunjukkan gelagat ingin menyusu, aku sudah punya sekian cara dan instrument untuk mengalihkan pikirannya. Yang bikin heran adalah saat aku mendengar beberapa orang dewasa tampak seperti mengolok-olok—mungkin niatnya mengguyoni—Rauhia karena dia sudah tidak lagi bisa menyusu, padahal itu masih dalam proses penyapihan. Dikiranya sounding kaya gitu bisa memudahkan proses penyapihan kali ya? Aku masih mencerna kebiasaan yang seolah menjadi atribut keakraban itu dan meski saat ini belum menemukan jawaban yang tepat serta wajar, aku mentok di keinginan kuat tidak melakukan hal yang sama pada anak lain; barangkali itulah cara terbaik menyikapi hal tak disukai yang kita terima. Ada juga keheranan lain mendengar cerita-cerita penyapihan yang tampak simple dan sederhana banget, semacam anakku kemarin disowankan ke orang pintar abis itu dia lupa. Uda gitu aja. Rasanya koq makjleb kalau ingat proses Rauhia berhari-hari bahkan nyaris satu-dua pekan, seperti mendengar cerita orang yang lahiran setelah ngeden satu hingga tiga kali, sedang diri ini ngeden 5jam-an.  
***
As the time goes on, and as it heals almost everything, Rauhia tampak mulai bisa berdamai dengan kenyataan, meski perubahan kecil-besar mau tak mau terjadi. Jika sebelumnya ia cukup jarang dengan romo-nya, setelah penyapihan mereka berdua makin lengket. Ada beberapa momen, even, ketika Rauhia prefers her dad instead of her mum. Ke mana-mana selalu ingin ngikutin romo-nya, termasuk ketika si  romo kumpul dengan teman-temannya dan banyak asap rokok di situ. Barangkali karena romo-nya yang paling sering menggendong lalu menidurkan dia ketika malam saat mamanya sudah teler duluan kecapaian. Dia bahkan mulai dekat dengan Firman, ipar sepupu, yang memang intens berkomunikasi dengan si romo seharian saking tak terpisahkannya Rauhia dengan duplikatnya itu.
Rauhia juga dikabarkan cukup susah tidur siang dan rekor tidur siangnya tidak lebih dari satu atau dua kali. Entah ada hubungan atau tidak dengan penyapihan, tapi aku merasa kalau siangnya ia tak tidur, malamnya dia lekas cepat dan mudah ngantuk. Rauhia juga kurusan, barangkali faktor kehilangan sumber nutrisi favoritnya, sementara intensitas dan selera makannya tidak banyak berubah. Rauhia juga memiliki kesibukan baru, yakni ngopeni beberapa bonekanya yang seolah-olah dia anggap hidup dan butuh treatment layaknya bayi biasa. Salah satu treatment-nya adalah menyusui seolah-olah dia adalah ibu dari boneka-boneka yang dia panggil adik. Kadangkala, Rauhia juga menyuruhku menyusui boneka-bonekanya jika dia tidak tengah mengingat kebohongan yang kuutarakan dulu. Aku tentu sangat terhibur melihatnya growing up that healthy and improving. Sesekali, saat dia memintaku terlibat, aku pura-pura menyusui itu boneka-boneka dengan mengatakan, ‘sekarang waktunya adik yang mimik mama. Rauhia ga boleh mimik lagi.’
Sekali waktu, Rauhia masih belum move on sepenuhnya dari kebiasaan skin to skin denganku. Dia seringkali ndesel-ndesel seperti memintaku membolehkannya melakukan aktivitas sampingan yang dulu biasa ia lakukan saat menyusu. Aku tak memermasalahkan yang demikian dan menyilakannya melakukan itu, meski dengan pengawasan penuh. Lain dari itu, Rauhia tampak mulai mengerti kalau di situ bukan lagi wilayahnya dan masih banyak hal lain yang bisa ia lakukan, seperti menari dan menyanyi Baby Shark, mendekati kulkas atau memintaku memeluk lalu membelai rambut hitam lebatnya. Belakangan dia juga mulai biasa mencium dan memelukku atas inisiatifnya sendiri dan tak lagi hanya menjadi objek yang aku ciumi dan peluk bertubi-tubi saat aku gemas, lelah atau lagi sebel padanya. Proses menuju tidur malam juga sudah tidak sedrama dulu dan meski sudah tidak menyusu dan menyusui, kami berdua tetap rutin skin to skin contact untuk memancing kantuk masing-masing dan segera tertidur pulas, seperti bersiap untuk esok yang lebih indah. 
P.S; Kini Rauhia sudah disapih dan aku tak lagi terlalu terikat secara biologis dengannya. Sebelum ini, dua tahunan yang lalu, tali pusar yang menghubungkan tubuhnya dengan plasenta dan rahimku juga sudah terpotong dan memberinya jalan hidup sendiri. Jantungnya tak lagi berdetak di dalam perutku dan darahnya tak lagi mengalir di antara nadiku. Meski begitu, so far Rauhia tetap menunjukkan bahwa akulah yang paling istimewa di hatinya. Akulah orang nomor 1 baginya dengan segala kekurangan dan ketidakmampuanku selalu berada di dekat dia. Akulah orang yang paling ia tunggu untuk pulang lalu mengiyakan ajakannya melakukan any childlike matters. Dan tentunya, putriku, meski ASI tak lagi menjadi asupan utamamu, cintaku tetap tak berbatas dan tersyarat padamu. We would never been apart. I love you even more to the moon and back.