Remah-Remah Cerita dan Catatan dari Rute Harian Rumah-Kampus


Kemarin tiba-tiba diingatkan Fesbuk soal peristiwa setahun lalu saat serah terima SK CPNS. Itu pertama kalinya mengenakan seragam Korpri dan ikut yang namanya apel 17-an, meski pelaksanaannya tidak selalu pada tanggal 17. Sebuah potret berisi kurang lebih 7 orang yang kuunggah setahun lalu sedikit mampu mengembalikan campur aduknya perasaan saat itu. Yang paling dominan adalah bahagia dan was-was. Bahagia karena merasa satu keinginan telah diamini semesta namun juga was-was membayangkan hari-hari ke depan di luar rumah dan jauh dari Rauhia. Saking tidak fokus dan kagok-nya di lingkungan baru, tak ada dokumentasi dari moment itu selain dari panitia penyelenggara (bandingkan dengan momen sumpah jabatan yang sampai ada PIC-nya).
Setelah map berisi lembaran Surat Resmi itu kami terima, aku dan teman-teman belum ada kewajiban ceklok, sebab kami officially ngantor sejak bulan depannya. Tapi, masih seingatku, saat itu kami sudah memiliki kewajiban ngajar, jadi, exclude Mas Kudrat, mungkin, yang sudah jadi asprinya Pak Warek I, kami berempat hanya nampang di kampus ketika hari ngajar. Meski demikian, sejak hari itu, aku mulai memiliki rute harian baru, yakni dari rumah ke kampus lalu dari kampus ke rumah.
(Tulisan ini aku mulai ketika internet kantor sedang down dan aku ingin sedikit ‘urun rembuk’ cerita soal kehidupan di jalan raya setelah membaca buku guruku, Ra Faizi, yang nanti malam rencananya juga akan dibincangkan di acara samping rumah namun rasanya susah aku hadiri karena bersamaan dengan jam tidur (dan ngeloni anak) dan persiapan yang harus aku lakukan menjelang ngajar 8 SKS esok hari. Pikiran untuk berbagi cerita (dan insight, barangkali) soal ini sudah lama, dan munculnya pun saat aku di belakang kemudi. Hanya saja, biar sekalian ngepasin momentum, aku eksekusi saja sekarang.)
***
So far, ada dua pilihan rute untuk sampai ke kampus. Pertama adalah jalur timur, yang kedua jalur barat. Jalur timur adalah rute Blumbungan-Jalan Stadion-Jl. Jingga-Jl. Purba-Jl-Trunojoyo-Jl. Panglegur, sedangkan rute barat adalah Larangan Badung-Tana Celleng-Jl. Sersan Mesrul (Sermes)-Jl. Gladak Anyar-Jl. Cokroatmodjo-Jl. R. Abd Aziz-Jl. Trunojoyo-Jl. Panglegur. Di antara keduanya, aku lebih suka dan sering menempuh jalur barat dengan beberapa pertimbangan. Dulu, awal-awal aku ngampus, jalan raya sekitar Pasar Blumbungan masih belum diperbaiki. Banyak lubang, genangan air—kalau musim hujan—dan sering macet karena besarnya volum kendaraan, pasar tumpah dan dua titik pertigaan di area pasar. Jalan menuju Jl. Stadion juga terbilang sempit dan tidak mulus. Ada beberapa titik dengan lubang dan gronjolan yang sangat tidak ramah bagi pengendara awam yang belum menguasa medan.
Sementara jalur barat, ketika itu, baru saja diperbaiki sehingga meski ada beberapa jalan yang hingga saat ini bergelombang, jatuhnya tetap lebih nyaman. Volume kendaraan juga tidak sebanyak jalur timur dan yang juga penting, tidak ada titik kemacetan semisal pasar serta badan jalan yang relatif luas. Meski demikian, sesekali, aku memilih jalur timur, biasanya untuk menghindari kebosanan ketika paginya, aku sudah memilih jalur barat. Ritme bolak balik rumah-kampus-rumah-kampus-rumah ini aku pilih ketika awal-awal ngantor saat SKS ngajarku masih 6 dan pikiranku masih selalu pulang ke rumah, pada Rauhia. Lama-lama, tubuhkupun tak bisa menyesuaikan ritme padat seperti itu jadi aku hanya menggunakannya kembali ketika benar-benar dibutuhkan.
Selain keduanya, aku juga sempat beberapa kali—dalam durasi satu hingga tiga bulanan—menempuh jalur lain, yakni jalur Tacempah-Blumbungan-Trasak-Jalur Bis (Tambung hingga Ceguk)-Terminal Ronggosukawati-kampus. Ada kondisi yang mengharuskanku memilih jalur itu meski hitung-hitungannya tetap lebih enak melalui dua jalur utama yang kusebut sebelumnya, physically, financially dan tentunya time management serta pshycologically. Ohya, selain itu, aku juga pernah menempuh jalur barat dengan memotong kompas, lewat jalur dalam—semacam jalan tikus—dari kompleks Al-Karomah hingga nongol di jalan raya Larangan Badung. Semacam test medan juga sih, ketika itu, dan setelah mendapati jalan setengah aspal tersebut tidak sesuai ekspektasi, akupun tak pernah kembali memilihnya sebagai jalur alternatif rute harianku.
***
Jadi, di antara keempat jalur itu, aku hanya akan menceritakan rute yang paling sering aku tempuh tiap hari dalam perjalanan berangkat mencapai kampus. Begitu keluar rumah, aku harus langsung nyebrang untuk bisa berada di jalur kiri. Seingatku aku tak pernah melawan arus meski tak jauh dari rumah, ada kios Pertamini yang beberapa kali aku singgahi untuk isi bensin. Belakangan aku lebih manage agar isi bahan bakar di SPBU saja dengan alasan itung-itungan awam ala emak-emak—semacam rasanya kalau ngisi di pom, bensin ga cepat habis—meski kadang malas ngantri. Dari situ, aku menuju pertigaan Beltok, biasanya dengan kecepatan sedang. Jalan terbilang tidak lebar dan ada beberapa titik dengan garis tengah tak terputus, akan tetapi karena volume kendaraan terbilang tidak banyak di pagi hari, menyalip kendaraan di jalur itu biasa kulakukan, seperti juga pengendara lain. Rute pendek itu dominan dengan tanjakan dan beberapa tikungan yang meski tidak seberapa tajam, tetap memerlukan kehati-hatian dan kewaspadaan.
Dari pertigaan Beltok, aku akan belok kiri dan bertemu jalan raya Larangan Badung. Dibandingkan jalur sebelumnya, jalur ini jauh lebih panjang. Volume kendaraan juga lebih besar namun itu diimbangi dengan jalan yang mulus dan badan jelar yang lebar. Sesekali, kalau sudah kepepet, aku akan berhenti di kios Pertamini, preferable di kiri jalan biar tidak perlu nyebrang. Jika terpaksa, aku akan tetap mampir ke kios di kanan jalan untuk menghindari kehabisan bahan bakar dan agenda olahraga pagi, terutama setelah adegan di suatu pagi yang meyakinkanku bahwa princip trust no one but respect everyone itu benar adanya. Belakangan, aku mulai suka mampir ke SPBU Larangan Badung kanan jalan meski harus nyebrang dua kali untuk in dan out. SPBU itu relatif jarang memiliki antrian panjang sehingga hitungan waktunya tidak akan jauh berbeda dengan ngisi bensin di Pertamini. Manajemen waktu pada perjalanan berangkat ini penting sekali sebab pegawai sepertiku adalah hamba-hamba mesin tak bergerak namun bisa berbicara “sudah tersimpan, terimakasih” yang seperti begitu leluasa mengatur dan ‘menundukkan’.
Selain mampir di SPBU atau Pertamini, hal lain di dua jalur pertama ini adalah papasan dengan mobil box salah satu merk rokok. Hampir begitu setiap hari. Saat kulirik, hanya tampak pengendara tanpa satupun penumpang. Dugaanku, itu mobil salesman baru mau berangkat. Dari mana mau ke mana, aku kurang faham. Sepertinya markas mobil box itu ada di area Larangan Badung dan tujuannya adalah sekitar kota Pamekasan, jalur Pakong atau jalur Sumenep. Entahlah. Yang jelas, itu nyaris menjadi pemandangan harian. Ada juga satu titik amal masjid di area Tana Celleng dan belakangan di pertigaan Beltok yang tak pernah aku ‘mampiri’ meski sering membuatku teringat soal penelitianku tentang amal masjid yang mangkrak dan belum tak seriusi kembali itu. Di sepanjang jalur, sedikitnya ada dua sekolah yang—seharusnya—menjadi titik kemacetan—kalau dibandingkan dengan sekolah-sekolah di kota—, tapi itu jarang kutemui, barangkali karena manajemen parkir/antar-jemput yang baik atau karena aku kekerian lewat situ. Overall jalur kedua ini adalah favoritku karena infrastruktur dan segala halnya sangat mendukung safe and fast riding (Ga seberapa fast sih, mentog 70 km/jam).
***
Di ujung jalur, aku akan memilih Jl. Sermes dibanding jalan ke Bugih (arah ke Pasar 17 Agustus), meski yang pertama jauh lebih sempit dibanding yang kedua. Ini tentu bukan karena aku menyukai badan jalan yang sempit, akan tetapi karena Jl. Sermes menawarkan faster access ke tujuanku. Tidak ada lampu merah dan kalaupun di ujung jalur, perempatan menuju Jl. Gladak Anyar, harus ada adegan toleh kanan kiri, itu relatif tidak time consuming. Jl. Sermes relatif ramai. Selain karena merupakan daerah pemukiman cukup padat, banyak pengendara yang menyukai jalur potong kompas ini. Ini jugalah yang membuat aktivitas menyalip kendaraan di sepanjang jalan ini relatif sulit. Dua titik tikungan, badan jalan yang sempit dan volume kendaraan tinggi adalah tiga faktor utamanya. Jadi, jika kebetulan berada di belakang mobil ketika tengah di Jl. Sermes, kesempatan menyalipnya nyaris selalu kecil. Karenanya, seringkali aku menyalip mobil yang ada gelagat akan masuk Jl. Sermes di ruas-ruas terakhir menuju ujung selatan jalan Larangan Badung agar tidak perlu makan ati karena susah nyalip ketika terlanjur masuk ke Jl. Sermes.
Di ujung Sermes, ada perempatan cukup sibuk yang mengharuskan pengendara manapun untuk berhati-hati dan tidak asal tancap gas. Biasanya, aku akan lebih aware jika saat menoleh ke kanan, tampak bus mini. Prinsip Bus Mini adalah Raja di Jalan selalu aku pegang jadi begitu aku melihat bus mini, meski masih jauh, aku nyaris akan selalu berhenti dan menunda adegan nyebrang untuk mempersilakannya lewat. Jika keadaan sudah aman, aku bisa nyebrang dan dari situ, aku langsung masuk ke jalur keempat, Jl. Gladak Anyar atau Jembar a.k.a Jembatan Anyar. Dibandingkan jalur ketiga sebelumnya, badan jalan jalur keempat ini lebih sempit sehingga aku jarang melihat ada mobil yang masuk daerah situ, kecuali milik penghuni. Sayangnya, di jembatan yang barangkali diatributkan dengan ‘anyar’ tersebut, suka ada mobil parkir DI BADAN JALAN sehingga hanya tersisa nyaris 50% badan jalan untuk dilalui pengendara atau pejalan kaki. Dugaanku, itu mobil tamu atau penghuni yang belum/tidak memiliki garasi. Terkadang, ada jiga pikap penjual udang segar 15.000/kilo yang ngetem di situ tapi belakangan sudah tak sering kulihat lagi. Soal parkir ini memang makan tempat/jalan sekaligus makan ati.
Selain badan jalan yang sepanjang jalur ini sempit, ada juga tikungan sangat tajam di ujung jalur yang mengharuskan kehati-hatian ekstra. Jika ini sudah terlewati, maka aku akan kembali nyebrang untuk menuju arah jalan pasar Parteker. Untuk sampai ke situ, aku harus kembali melakukan adegan two folds crossing seperti di titik transisi dari Jl. Sermes ke Jl. GA. Bedanya, transisi yang ini tidak lurus plek karena setelah nyebrang paruh pertama, aku perlu sedikit ke kiri (arah timur) untuk kemudian kembali nyabrang di paruh kedua. Jika lebih pagi, di dua titik itu biasanya ada polisi yang membantu kelancaran lalu lintas. Sekali dua, aku pernah merasakannya. Namun, karena aku lebih terbiasa berangkat dari rumah sekitar jam 07.00, maka para polisi baik hati itu biasanya sudah bubar jalan ketika aku lewat. Jadilah, aku harus celingak-celinguk kanan lalu kiri untuk memastikan keselamatan, tak hanya kecepatan sampai di tujuan. Barangkali karena masih pagi, sependek yang kualami, lalu lintas di jalan protokol itu tidak terlalu padat sehingga aku tak perlu menunggu terlalu lama untuk sampai di ujung utara jalur kelima menuju pasar Parteker (ujung utara Jl. Cokroatmojo). Dalam perjalanan pulang, aku nyaris tak pernah memilih jalur ini karena volume kendaraan biasanya cukup bahkan sangat tinggi sehingga waktu tunggu untuk menyeberang akan cukup lama.
Di jalur kelima, Jl. Cokroatmojo, badan jalannya lebih lebar dibanding jalan Sermes tapi tetap tak seberapa lebar karena di pertengahan jalur, ada pasar tumpah dan bahu parkir dadakan yang mau tak mau menganggu pengendara. Meski begitu, aku jarang merasa terganggu karena lebih merasa terhibur dengan pemandangan pasar tradisional. Meski laju motor harus tak pelankan karena memang ritme di situ pelan dan tidak ada yang grasa-grusu, aku enjoy aja karena bisa sekalian lirik-lirik dagangan dan menikmati pemandangan para penjual, pembeli, tukang parkir, sesekali menguping percakapan mereka hingga mengamati seorang ibu paruh baya yang sepertinya berkebutuhan khusus—kelainan jiwa—dan sering lewat di situ, berjalan kaki berlawanan arah denganku. Aksesoris tak biasa di kepala dan rambutnya, caranya berjalan dan melempar pandang memaksaku berkesimpulan sementara demikian, meski belakangan aku tak lagi sering melihatnya. Sosoknya mengingatkanku pada perempuan setengah baya yang juga berkebutuhan khusus di wilayah Sapen Jogjakarta ketika aku masih berdomisili di situ. Bedanya, rambut ibu yang di Sapen itu cepak, sedang yang di Parteker keriting dan agak panjang, barangkali sebahu.
Lepas dari pasar Parteker, ruas selatan Jl. Cokroatmojo relatif lebih lengang sehingga kecepata bisa kembali disesuaikan meski kondisi jalan sedikit kurang baik. Di ujung jalur, aku akan mendapati pertigaan kemudian sesampainya di situ, belok kiri ke Jl. Abd Aziz. Karena beloknya ngiri, maka adegan nyebrang tidak diperlukan di scene ini. Badan jalan jalur keenam ini tidak jauh berbeda dengan jalur kelima, tapi relatif lebih lebar dan di sini pula, aku akan kembali berpapasan—biasanya berlawanan arah denganku—dengan si raja jalanan, bus mini, sehingga alarm ekstra hati-hati harus dinyalakan kembali. Ada juga pemandangan mobil-mobil pribadi yang parkir di badan jalan tapi tidak terlalu mengganggu, meski ya tetap aja, lebih baik tidak ditaruh di situ. Nah, di ujung jalan itu, ada lampu merah pertama yang menungguku setelah jalur-jalur yang kupilih sejak tadi berhasil membebaskanku dari lampu merah. Jalan-jalan kota memang seringkali menyediakan dua pilihan, nyebrang tanpa komando, APILL, dan alat bantu lain atau nyebrang di lampu merah. Yang pertama relatif lebih cepat sedang yang kedua relatif lebih aman.
Karena tidak ada hitung mundur di layarnya, aku tak tahu berapa detik pengendara dari arah barat harus menunggu lampu merah berganti hijau di situ. Hanya saja, dibanding dua lampu merah lain yang akan kulalui sebelum sampai ke kampus, sepertinya durasi hitung mundur di situ cukup lama. Makanya, jika masih mungkin memanfaatkan waktu-waktu terakhir, meski setelah detik-detik pertama lampu merah menyala, aku memilih untuk tetap tancap gas di titik ini. Jarak aman dengan pengendara yang akan tumpah ruah dari jalur selatan juga cukup, sehingga hal-hal tak diinginkan sebisa mungkin dihindari. Akan tetapi jika sudah tiwas, tidak sedang keburu dan sedang mengingat segala safety riding codes, aku akan memilih menunggu meski masih mungkin untuk bablas. Biasanya, di titik ini, aku bertemu dengan orang-orang yang setujuan denganku. Mahasiswa, sesama dosen atau sesama karyawan. Di sisi trotoar yang sebagiannya sudah disulap menjadi lapak itu, ada jejeran rumah-rumah dengan penghuni yang seringkali lalu lalang seperti memerhatikan pengendara yang menunggu lampu hijau berdiri. Salah satunya adalah seorang bayi—sepertinya laki-laki—yang suka digendong perempuan yang barangkali adalah ibu atau neneknya. Jika sudah begini, mau tak mau aku ingat Rauhia di rumah dan bisikan-bisikan baper semacam, kamu lagi ngapain, Nak? Siapa yang gendong Kamu pas mama kerja? akan muncul begitu saja.
***
Begitu lampu hijau menyala, aku dan para pengendara lain yang sudah menunggu akan tancap gas ambil kanan. Mereka yang mau belok kiri di pertigaan itu juga diharuskan menunggu lampu hijau, tapi seringnya langsung belok kiri aja seolah-olah perintah belok kiri ikuti isyarat lampu bermakna belok kiri silakan bablas ndak kesuwen ngentenine. Dari situ, aku akan bertemu jalan protokol kembali, yakni Jl. Trunojoyo. Transisi nganan di situ lalu ketemu jembatan dengan posisi agak nanjak seringkali membuatku dejavu seolah-olah baru nganan dari arah Blok O di pertigaan Janti menuju arah bandara. Meski tak ada jembatan layang di situ, rasa-rasanya kok hampir sama (duh). Nah, karena masuk jalan protokol, maka badan jalanpun jauh lebih lebar, lebih mulus (meski ada sedikit gronjolan kecil di jalan raya depan tapsiun) tapi lebih banyak volume kendaraanya. Namun demikian, karena lajur kanan dan kiri dipisah, maka kecepatan kembali bisa disesuaikan di jalur ketujuh ini. Meski tidak menjadi jalur bis gede, jalur ini tetap bisa dibilang jalur cepat karena jarang aku menemukan orang berkendara santai di titik itu. Semuanya seperti dipacu waktu untuk segera melesat.
Tak lupa, jalur ini juga merupakan jalur si raja jalanan sehingga jika sudah mendekat dengan si raja, gas dan rem harus benar-benar dikondisikan sebab yang bersangkutan bisa berhenti mendadak as it wishes. Ketika masih rutin menjadi penumpang si raja ini, aku cukup memaklumi—biasanya karena alasan kejar setoran—dan tidak begitu memersalahkannya. Akan tetapi ketika beralih menjadi pengendara yang setiap hari harus bertemu dengannya, mau tak mau aku geleng-geleng kepala dengan kebiasaan dan wataknya yang seperti having no guiltiness babar blas. Belum soal knalpot yang emisinya hitam pekat dan klakson bervolume keras dan bernada tak biasa yang seperti sengajar diatur demikian seolah ingin mengatakan, semua minggiiirrr.. Ini raja mau lewat. Paspampres rasanya kalah. Karena juga merupakan jalur yang biasa dipakai pengendara dari dan ke luar kota, kendaraan yang lewat di jalur ini biasanya mulai beragam plat nomornya dan tak hanya M. Selain itum meski lapang dan mulus, jalur ini juga tetap menuntut pengendara untuk berhati-hati, utamanya di titik putar balik serta adanya beberapa pengendara—biasanya motor—yang memilih melawan arus dibanding muter arah, karena mungkin kejauhan.
Di ujung jalur, ada perempatan besar dengan empat lampu merah di masing-masing ruasnya. Jalur selatan adalah tujuanku, jalur barat ke Jalmak, sedang jalur timur ke Kangenan. Uniknya, dan ini baru kutahu di Madura, dua lampu merah akan berganti hijau secara bersamaan, yakni barat dan timur serta selatan dan utara. Barangkali rekayasa lalu lintasnya sengaja diatur demikian agar pengendara tidak terlalu lama menunggu. Meski sekali lagi, rekayasa yang demikian cukup beresiko karena tidak semua pengendara akan mengambil jalur lurus (dari selatan ke utara dan sebaliknya), akan tetapi ada juga yang ingin nganan. Karena masing-masing punya tujuan berbeda inilah, seringkali ada adegan rekayasa lalu lintas natural di titik ini. Semacam prinsip ngalah dulu biar yang lain lewat. Meski memang biasanya, mereka yang mau jalan lurus diprioritaskan dibanding yang mau nganan (ingat ujian teori SIM), meski kalau yang mau lurus datang keri sebelum lampu kuning berpindah ke merah, yang bersangkutan harus sedikit menunggu karena yang mau nganan sudah lama nunggu dari tadi.
Meski sempat shocked dengan sistem yang demikian, aku ternyata sangat diuntungkan dengan mekanisme semacam ini karena waktu tunggu yang tak lama sangat membantuku di detik-detik mengejar ceklok. Sementara menunggu, aku sering mengedarkan pandangan dan mendapati bahwa di kiri jalan, ada toko bahan kue yang cukup besar dan terlihat ramai. Bukti nyata betapa, among others, peradaban Madura adalah peradaban kue. Setiap momentum nyaris tak lepas dari kue, tepung gula dan telur yang tidak dianjurkan dalam juknis dan juklak FC (eh). Ada juga pedagang asongan, lelaki setengah baya, yang suka ngetem di situ meski terlihat tidak terlalu ngoyo menjajakan kerupuk yang dijualnya. Selebihnya, seringkali kulihat ada polisi stand by di seberang jalan. Kadang sedikit dredeeg karena satu dan lain hal, akan tetapi aku berusaha terlihat baik-baik saja mengingat secara lahir, everything on me is ok. Temanku pernah bercerita bahwa ia ditilang polisi di titik itu dengan tuduhan bablas lampu merah dan sejak itu aku menganggap bahwa polisi yang nongkrong di situ sedang mencari ‘mangsa’.
***
Begitu lepas dari lampu merah tadi, jalur selanjutnya, yang merupakan jalur terakhir, adalah Jalan Panglegur. Meski ada SPBU di kanan jalan, aku tak pernah mampir ke situ dalam perjalanan berangkat. Biasanya, aku mampir di bakul buah kiri jalan jika masih memungkinkan ngejar jam ceklok atau ketika telat sekalian. Jalur ini tentu juga masih menjadi kawasan si raja jalanan, beberapa titik bahkan menjadi area ‘kekuasaan’nya di mana beberapa orang menunggu di semacam halte bis dadakan atau turun dari singgasananya di beberapa titik. Jalan juga mulai menanjak dan melebar selepas dari Pengadilan Negeri lalu RSUD. Selain si raja jalanan, jalur ini—dan jalur Jl.Trunojoyo sebelumnya—juga banyak dilewati oleh angkutan pedesaan yang bahasa kerennya adalah Pak-De. Angkutan ini, barangkali, CMIIW, semacam pikap carry atau kijang tua yang dimodif untuk menjadi angkutan umum. Bagian belakangnya yang bolong kemudian diatapi agar bisa dihuni penumpang yang ingin terlindung dari hujan atau panas. Sekilas kuperhatikan, penumpangnya kebanyakan adalah bakul blijjha yang baru saja kulakan di pasar. Pak De ini, pintu masuknya adalah di bagian tengah belakang sehingga jika ada kelebihan muatan barang atau penumpang, akan diselipkan di pintunya. Barangkali semacam angkot, len kalau di Surabaya atau Pokemon kalau di Jogja.
Di ruas jalan ini, atau jalur sebelumnya, aku sering berpapasan dengan ibu-ibu tinggi kurus yang berjalan kaki ke arah utara. Ia suka mengenakan kerudung yang dibiarkannya hanya menutup kepala lalu diikat ke belakan. Selebihnya, dress code-nya adalah baju panjang/daster yang menutupi tubuh jangkungnya. Ia terlihat sehat, berjalan dengan mantap dan tatapan lurus ke depan. Aku tak tahu ia siapa, akan tetapi aku pernah mendapatinya di area utara Jl. Trunojoyo dan sekitar arek lancor ketika suatu ketika makan siang di situ. Berbeda dengan ibu yang kutemui di area Pasar Parteker, ibu ini tampak baik-baik saja dan tidak berkebutuhan khusus. Busana yang dikenakannya seringkali berganti meski aku tidak berpapasan dengannya setiap hari. Aku menduga ia adalah pekerja semacam pengumpul sampah plastik atau petugas kebersihan, sebab ia rutin berjalan ke arah utara di jam-jam aku berangkat kantor.
Di bagian utara, Jl. Raya Panglegur relatif tidak begitu ramai sehingga kecepatan kembali bisa disesuaikan. Hanya saja, ia juga memiliki dua titik yang dalam beberapa waktu bisa menjadi sumber kemacetan. Pertama adalah di titik putar balik depan Hotel Berlian, dan kedua adalah depan Islamic Center. Macet akan terjadi jika dua bangunan tersebut sedang menggelar hajatan karena banyaknya mobil dan kendaraan yang datang, mencari tempat parkir, mau pulang, atau sekadar lewat. Badan jalan juga kerasa menyempit begitu lepas dari tanjakan di area Makan Pahlawan dan berganti dengan jalan yang relatif rata—tidak nanjak dan tidak nurun—. Akan tetapi, pemisahan lajur kanan dan lajur kiri tetap membuat jalan protokol tersebut luas sehingga pengendara lebih leluasa. Setelah itu, di ujung selatan, lampu merah terakhir menunggu di titik pertigaan. Arah selatan ke kampus, dan arah timur ke pintu masuk terminal.
Lampu merah terakhir ini dilengkapi dengan angka hitung mundur di layarnya. Durasinya lumayan lama, akan tetapi karena lalu lalang kendaraan di titik pertigaan ini terbilang sangat tidak ramai most of time, kebanyakan pengendara—termasuk aku—lebih memilih mengabaikan lampu merah dan tancap gas perlahan sambil memastikan bahwa tak ada kendaraan dari arah timur maupun selatan yang akan melintas. Seperti merasa percuma menunggu untuk sesuatu yang nyaris bisa dipastikan tidak datang. Saking seringnya melanggar lampu merah di titik ini, rasanya wagu sekali ketika harus tertib menunggu lampu hijau menyala. Tapi, meski sangat jarang terjadi, aku pernah beberapa kali mengalaminya, misal ketika lampu hijau sudah akan menyala dalam hitungan tidak lebih dari 10 detik, ketika banyak kendaraan lain terlanjur menunggu dengan sabar di situ meski jelas-jelas lalu lintas dari timur lengang, atau ketika menggunakan seragam Korpri. Belakangan aku tahu bahwa faktor lain di balik lengangnya aktivitas pengendara dari arah timur, selain soal sedikitnya volume kendaraan dari arah timur, juga karena pengendara lebih memilih jalur tikus lewat terminal yang kurang lebih menjadi seacam jalur pintas umum. Daripada repot dan lama menunggu lampu merah, mending lewat terminal yang bebas hambatan dan langsung tembus pintu keluar. Barangkali seperti kebohongan dan kecurangan, satu pelanggaran akan mensyaratkan pelanggaran lain dan terus demikian ritmenya.
*) Tulisan selesai beberapa menit setelah internet kembali normal.
Pic: Realita.co