Perihal Shelving dan Terobosan Solutifnya; Tawaran Ala-ala dari Seorang Amatir


Shelving barangkali merupakan bentuk gerund dalam Bahasa Inggris yang dapat dengan seketika mengubah kata benda menjadi kata kerja (khusus) simply dengan menambah tiga huruf ‘i’, ‘n’ kemudian ‘g’. Jika shelf (yang bentuk pluralnya adalah shelves) berarti rak, maka shelving, sekali lagi barangkali, berarti me'rak'kan (memulangkan ke rak), merapikan dan menata isinya. Dalam konteks yang lebih spesifik dan berlokus di perpustakaan, istilah ini merujuk pada aktivitas merapikan rak buku dan atau memastikan buku-buku menempati tempatnya masing-masing dan tidak ‘pulang’ ke rumah yang salah setelah berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Jadi sederhananya begitu. 

Shelving dilakukan oleh pustawakan, staff perpustakaan atau mereka yang bekerja (termasuk magang) di perpustakaan. Jika ada pengunjung yang menghampiri rak dan memerhatikan satu persatu (judul) buku sembari sesekali merapikan, biasanya ini tak diniatkan untuk shelving. Itu dilakukan, mostly, untuk mendapatkan buku atau bahan pustaka lain yang sedang dicari. Dan untuk menunjang pencarian tersebut agar efisien tidak memakan banyak waktu, tenaga juga emosi, shelving­-lah jawabannya. Jadi, selain beberapa mekanisme dan sistem lain, jika petugas perpustakaan tidak secara rutin melakukan shelving, bisa dipastikan pengunjung perpustakaan yang 95% datang ke perpustakaan dan bertujuan mencari buku akan menghabiskan banyak sekali waktu hanya untuk menemukan satu eksemplar buku.

Sependek yang tak amati selama sekitar setahun belakangan ‘hidup’ di perpustakaan kampus, shelving adalah aktivitas yang unik tapi mencolok. Ia menjadi unik karena proses pengerjaannya lebih menuntut kesungguhan afektif dan ketahanan psikomotorik dibanding keunggulan kognitif. Dalam waktu yang sama, ia juga mencolok karena perannya yang sangat penting dalam memastikan keteraturan sistem sirkulasi serta memudahkan pengguna menemukan koleksi yang dicari. Tak hanya itu, dalam jangka waktu yang relatif lama, tak prediksi, shelving juga akan menjadi salah satu layanan perpustakaan yang masih melibatkan fisik manusia alih-alih mengandalkan kecanggihan teknologi semacam drop box, layanan mesin mandiri, robot dan lain sebagainya. 
Karena itu, idealnya, perpustakaan dengan koleksi buku yang besar selayaknya diperkuat dengan armada shelving yang juga besar. Sirkulasi keluar-masuknya buku yang volume dan skalanya tinggi harus di-back-up dengan tim yang juga kuat secara kuantitas. Meski terkesan mengenyampingkan kualitas, ini tak berarti bahwa shelving semata-mata membutuhkan banyak orang. Tim yang gemuk juga tak banyak berarti jika masing-masing anggota kurang memiliki kesadaran perihal pentingnya shelving sekaligus tidak memberi kerja nyata dalam membereskan pekerjaan yang dalam beberapa hal terbilang kasar ini
Meski tampak kasar, shelving sangat jauh dari kategori pekerjaan yang bisa diabaikan dan atau dispelekan. Jika tugas ini tidak di-handle dengan baik, maka perpustakaan nyaris akan menjadi ‘sekadar’ rumah bagi tumpukan buku-buku yang tak ramah bagi pengunjung sebab mereka akan luar biasa kesulitan menemukan buku yang dicari. Mereka akan menghabiskan sangat banyak waktu di perpustakaan, sayangnya, bukan untuk membaca buku, akan tetapi untuk HANYA menemukan buku. Jika energi pas-pasan, waktu mepet atau minat baca minimalis, maka begitu buku ditemukan (kalau ditemukan lho ya), pemustaka selak lelah, diburu jadwal lain dan agenda membacapun jadi kurang maksimal.
***
Sejauh ini memang tidak terlalu banyak perpustakaan yang pernah tak sambangi. Beberapa di tanah kelahiran, sebagian lagi di tanah rantau, kota-kota hingga benua tetangga (next semoga bisa jadi tulisan lain). Dari pengamatan yang sangat jauh dari memadai itu, sedikitnya ada dua macam mekanisme dalam pelayanan untuk menemukan bahan pustaka, yakni swalayan dan pelayanan staff. Sebagian besar adalah yang pertama, sebab yang kedua hanya saya temukan di Perpustakaan St. Ignatius, Kotabaru, Yogyakarta. 
Ketika itu, sependek yang tak ingat, saya tinggal menelusuri katalog koleksi yang mereka miliki di computer lalu ketika menemukan yang dicari, saya akan menyebutkan judulnya kepada petugas. Episode selanjutnya saya lupa. Apakah petugas mengambil buku yang saya ingin baca—berhubung perpustakaan tersebut tidak melayani peminjaman, sependek yang saya tahu—atau saya tinggal menyebut halaman berapa yang saya butuhkan lalu si petugas akan memroses dan memberikan gandaan (fotokopi) untuk saya. Intinya ritme yang berjalan seperti itu. Saya dan pengunjung lain hanya bisa mengakses ruang baca, sedang ruang koleksi tidak. 
Sementara model swalayan, di mana pengunjung bisa mengakses dan mencari sendiri koleksi yang dibutuhkannya cenderung lebih populer. Dan untuk kategori ini, shelving sangat dan betul-betul matters. Jawaban yang paling straightforward adalah karena tangan-tangan pemustaka lebih terkondisikan untuk mencari koleksi yang mereka butuhkan, bukan untuk merapikan buku-buku agar enak dilihat apalagi mengembalikan buku yang salah alamat ke rak yang seharusnya. Karena itulah, barangkali, mereka merasa tak punya kewajiban ikut merapikan buku sehingga petugas harus melakukan shelving di setiap hari layanan. Jika ditunda sehari saja, maka esok harinya, perpustakaan akan menyambut pemustaka yang berkunjung pagi hari dengan muka dan ekspresi babak belur kaya abis kerusuhan. Buku-buku jumpalitan di sana-sini.
***
Lalu, jadi, sebenarnya shelving itu ngapain aja? Yang tak amati selama setahun terakhir ini demikian: 
Jika sirkulasi keluar masuknya buku adalah tubuh, maka shelving adalah aliran darahnya. Alurnya demikian: Buku-buku yang baru dikembalikan pemustaka—melalui desk pengembalian—akan dipilah-pilih berdasarkan klasifikasinya masing-masing. Sebagian akan dikirim ke lantai II—dengan tenaga manusia melewati tangga, bukan lift apalagi escalator—dan sebagian lain akan tetap stay di lantai 1, which is desk pengembalian juga di situ. Setelah dikelompokkan dengan anggota klannya masing-masing, buku-buku tersebut akan dipulangkan ke rumahnya, rak berbahan besi yang tampak masih baru dan suka berdecit ketika shelving dilakukan. Mungkin karena banyak muatan atau besarnya tekanan. 
Tentu tidak hanya itu. Selain memulangkan segepok buku ke rumahnya dengan peletakan yang benar, posisi berdiri dengan punggung buku di bagian depan agar judul bisa terlihat tanpa harus melihat cover depan, ada tugas lain yang masih menunggu. Tugas terakhir ini, dibanding yang pertama, jauh lebih dramatis sebab seperti minta di-istighfar-i terus-menerus. Ya, petugas shelving harus merapikan buku-buku yang baru saja disentuh tangan-tangan pemustaka. Skala kesulitannya lebih tinggi dibanding simply mengembalikan buku ke rak, sebab untuk ini, akan didapati pemandangan di mana buku-buku jungkir balik depan belakang, atas bawah, posisi berdiri jadi rebahan hingga gaya-gaya random yang lain yang mengharuskan petugas shelving membenarkannya really one by one. 
Itulah kenapa, jika dibandingkan before dan after shelving, pemandangan rak-rak buku rasanya lebih bombastis dibanding iklan kosmetik, pemutih kulit, peninggi badan dan produk-produk lainnya. Perbedaannya nyata sekali dan tanpa manipulasi. Tak heran saat shelving, kami nyaris tak pernah diam. Mulai dari ‘nyebut’, ngobrol, guyon, gojek dan hal-hal fun lain seolah ingin meredakan ketegangan otak dan otot mendapati pemandangan demikian lima hari dalam sepekan sebelum jam pulang. Tentu saja kami tidak face to face sebab yang kami hadapi adalah segepok buku yang (sangat) berantakan di rak-rak yang seolah memanggil-manggil untuk dirapikan. Jika buku bisa bicara, barangkali dia akan banyak protes sebab kelahirannya luar baisa sulit dan membutuhkan proses panjang sementara perlakuan (fisik) terhadapnya tidak sama sekali mencerminkan spirit dan etos yang baik. Sementara itu, prinsip yang dipakai oleh para ‘pembaca’ buku seolah-olah adalah “aku berantakin buku maka aku ada”. 
Bukan hanya diperlakukan tidak etis dengan peletakan yang sembarangan, tidak sedikit ditemukan buku yang pulang tidak ke rumahnya. Tentu saja mereka tidak berkaki, bisa ngesot atau punya kemampuan berpindah ke tempat lain dengan satu dua mantra. Mereka nyasar ke situ karena ada yang memindahkan, entah karena human error (kesalahan ketika proses memilah-milih buku setelah dari desk pengembalian) atau karena human intention (bahasanya maksa, tapi intinya adalah kesengajaan untuk motif-motif tertentu). 
Motifnya kurang lebih adalah monopoli. Pelaku ingin mengakses buku secara eksklusif dan untuk itu, ia harus mengatur sedemikian rupa agar pemustaka lain tidak bisa menemukan buku yang ia sembunyikan. Buku-buku yang disembunyikan seperti ini biasanya ditemukan di balik barisan buku yang berjejer, di atas rak, atau ditaruh mencolok dan berbeda dari peletakan buku lain. Yang lain tampak punggung, yang disembunyikan biasanya tampak sebaliknya. Ada juga yang diletakkan seperti yang lain seolah-olah memang tempatnya di situ. Dalam satu deret rak saja, jika shelving gaya ideal ini dilakukan, ditemukan tidak kurang dari 10 buku yang nyasar. Gimana ngga nyebut kalau sudah gitu? 
Motif lain selain monopoli masih aku pikirkan. Sebab seingatku, senakal-nakalnya aku semasa menjadi mahasiswa, aku tak pernah melakukan hal itu. Paling mentog, buku yang aku butuhkan—masih ingin tak baca di lain waktu dan belum bisa dipinjam karena pinjaman sudah penuh—aku taruh di bagian pinggir rak agar next visit aku ke perpus, aku bisa mudah menemukannya. Cuma memang, karena (barangkali) kampus tempat aku kuliah memiliki prodi Ilmu Perpustakaan, S1 dan D3 bahkan, banyak mahasiswa magang yang pada jam layananpun, sigap melakukan shelving dan membantu pemustakan yang mencari buku. 
Belakangan aku tahu bahwa mekanisme shelving dengan tenaga manusia ini, meski belum sepenuhnya bisa digantikan mesin, sudah mulai coba diurai dan dimudahkan dengan teknologi. Ini adalah hasil obrolan tak sengaja dengan salah seorang senior di kampus yang pernah malang-melintang di perpustakaan dan menduduki posisi cukup strategis. Jadi menurutnya, ada alat bernama micro shelving (CMIIW) yang bisa mendeteksi buku-buku ‘kesasar’ yang pulang tidak ke rumahnya. Alat ini integrated dengan chip yang dipasang di masing-masing buku. Sayangnya, harga chip tersebut cukup fantastis (karena harus dikalikan dengan jumlah eksemplar buku yang dimiliki perpustakaan) sehingga sampai saat ini, angan-angan untuk aksesoris tersebut belum terealisasi. 
Padahal, memang, kalau mau ideal, shelving harusnya tidak hanya dilakukan untuk merapikan buku, akan tetapi juga memastikan peletakan buku sesuai rak di mana seharusnya ia berada. Ini adalah pola shelving yang barangkali paling maksimal sebab tak hanya membangun mood para pemustaka yang berkunjung, ia juga akan sangat memudahkan mereka untuk menghemat waktu dalam menemukan apa yang dicari. Cuma, faktanya, dan yang kualami, shelving tidaklah sesimpel yang dibayangin. Jika perbandingan pasukan pustakawan dan jumlah buku tidak sesuai, maka shelving tidak bisa dilakukan seideal itu. Paling minimal, dan ini sudah lumayan, kami merapikan buku-buku agar enak dipandang. Kami belum sampai pada level di mana shelving juga berfungsi memulangkan buku-buku nyasar ke rumahnya, sebab energi sudah keburu habis dan emosi terkuras duluan.
***
Sepanjang ‘bekerja’ di perpustakaan lalu memilih lokus ini sebagai subyek penelitian ketika Stula II dan Aktualisasi Program Latsar CPNS Golongan III, saya terus berpikir solusi apa yang mungkin tak wacanakan untuk mengurasi masalah ini. Keteraturan buku tak hanya berkaitan dengan karakter resik tidaknya seseorang/organisasi, akan tetapi juga soal integritas, meski dalam skala yang barangkali kecil. Saking mentog-nya, ketika itu, setelah berkonsultasi dengan beberapa pimpinan dan senior, saya sempat berpikir barangkali pendekatan teologis yang bisa works untuk urusan ini, seperti menempel imbauan-imbauan yang kurang lebih berisi jika kamu menyulitkan orang lain, you will find the same. 
Tanpa perhitungan dan perencanaan matang serta eksekusi yang sempurna, mustahil rasanya masalah ini bisa teruraikan. Sikap koperatif mahasiswa mutlak diperlukan sebab mereka jugalah yang paling dirugikan ketika kesulitan menemukan bahan pustaka saat sistem masih menerangkan ‘available for loan’ tapi buku yag dicari ternyata raib di raknya. Di bawah tekanan deadline dan kegalauan psikologis, problem tidak menemukan buku di perpustakaan berpotensi menyulut emosi dan mengeringkan semangat. Seorang mahasiswi yang nyaris putus asa karena persoalan ini pernah mengungkapkan bahwa dirinya sampai menggilir rak paling ujung hingga rak ujung lain untuk menemukan buku yang, again, di sistem masih tertulis available. 
Di sisi lain, mengharuskan pustakawan melakukan shelving gaya ideal tersebut masih terbilang sulit dan tidak wajar dengan pertimbangan banyak hal, mulai dari perbandingan jumlah pustakawan dan buku yang sama sekali tidak seimbang, waktu shelving yang tidak banyak, yakni 1 jam sebelum checklog pulang dengan alokasi waktu yang sama untuk salat hingga tiadanya insentif khusus. Selama ini yang tak perhatikan, shelving hanya benar-benar dihayati sebagian pustakawan. Segelintir di antara kami kadang kala melakukan shelving di jam-jam istirahat. Beberapa seringkali tidak ikut shelving rutin karena satu dua alasan sehingga kami sangat bahagia setiap kali ada anak SMK magang karena itu artinya tugas shelving bisa berkurang.
Dari berbagai ke-mentog-an persoalan ini, terbetik pikiran untuk mencoba sedikit mengurai masalah dengan mekanisme PJ (penanggungjawab) rak. Jadi, yang tak bayangin, masing-masing pustakawan bertanggungjawab pada beberapa rak buku. Tugasnya kurang lebih adalah mengontrol keberadaan buku-buku yang menghuni rak ‘kekuasaannya’ dan mengeliminir buku-buku nyasar. Aktivitas ini bisa dilakukan, paling banyak dua kali sepekan di luar shelving harian—jadwal menyesuaikan dengan PJ, misalnya ketika ybs tidak sedang bertugas di sirkulasi yang padat sekali ritmenya—, sebab agenda rutin tersebut tetap diperlukan untuk ‘mengatasi’ buku-buku yang baru dikembalikan pemustaka. Agar tak terlalu energy consuming, buku-buku yang dieliminir dari rak yang menjadi ‘wilayah’ seorang PJ tidak harus ia kembalikan ke tempatnya masing-masing, akan tetapi cukup dikumpulkan pada satu tempat untuk selanjutnya menjadi lahan garapan petugas shelving harian. 
Jika langkah ini works, no matter how much, barangkali bisa dilanjutkan dengan mekanisme pelaporan buku hilang di rak yang selanjutnya akan ditindaklanjuti oleh PJ rak masing-masing. Pikiran terakhir ini sebenarnya terlintas di sela-sela menggarap laporan aktualisasi, akan tetapi beberapa data di lapangan dan konsultasi dengan para petinggi serta senior mengharuskan tertundanya pelaksanaan solusi ini, utamanya karena perlunya ada pembenahan di sana-sini. Termasuk mungkin pra-program-pra-program seperti yang tak sampaikan di atas. Dengan mekanisme kedua ini, paling tidak, seorang PJ rak mengetahui ada berapa buku di teritorinya yang most wanted dan belum diketahui keberadaannya. Dari situ, barangkali, yang bersangkutan bisa melakukan penelusuran keberadaan atau, mungkin, pembaharuan data di sistem agar insingkronisasi data manual dan digital dapat diminamilisir. 
Yang terakhir, dan yang pasti, yah namanya juga angan-angan, program ini barangkali berada di luar tugas pokok dan fungsi para pustakawan, sehingga insentif tambahan untuk PJ rak, ataupun pelaku shelving sangat penting untuk dipertimbangkan. Bisa jadi mungkin, nanti akan ada semacam kompetisi rak mana yang datanya paling terbaharui dan atau bukunya paling available, sehingga PJ yang bersangkutan, berhak memeroleh reward tertentu. Semacam iseng-iseng berhadiah tapi dikemas fun agar senangnya dapat, kerjaan juga beres.
 
 





Poto: Dokumentasi Pribadi dan hasil jepretan Bu Naili. Keadaan sesaat sebelum shelving.