Awal bulan depan Rauhia genap berumur dua tahun. Itu berdasarkan perhitungan kalender Masehi. Kalau Kalander Hijriyah, hari pertama di usia keduanya sudah sejak beberapa pekan yang lalu. Jika tidak ada perubahan, ulang tahun keduanya juga akan bertepatan dengan hari pertama puasa Ramadhan. Aku masih no idea soal weaning with love dan atau toilet training, lebih tepatnya belum ingin memikirkan dua hal ‘menakutkan’ tersebut. Selain mengotak-atik rencana selebrasi ulang tahunnya—tentu dengan versiku—, aku lebih dibuat sibuk dengan pikiran soal dua tahun pertama yang ia lewati, so far, bersamaku dan orang-orang di sekitarnya.
Barangkali karena sempat menulis soal golden
age dua tahun pertama anak lalu membaca buku 1000 Hari Pertama Ananda which is kumpulan tulisan para pemenang
sayembara yang diadakan GNFI akhir tahun kemarin, aku jadi tergoda untuk
berpikir lebih jauh. Rasanya ingin men-scoring
diri sendiri meski tidak ada—dan
males bikin—komponen-komponen
penilaiannya. Tapi barangkali keisengan itu jadi tidak begitu penting jika
mengingat bahwa intinya, di sana-sini memang banyak yang harus aku perbaiki.
Pola makan, aktivitas, interaksi, sanitasi, 'kurikulum', targetted timelines, dos
dan donts dan lain-lain. Yang terasa
penting untuk saat ini, as far as I can
tell you, Rauhia sekarang cukup berbeda dengan dia pada Mei 2017 juga pada
Mei 2018.
Pada Mei 2017, sehari setelah Hari Bidan Nasional ketika itu, ia masihlah bayi merah yang bisanya menangis, buang air, dan minum. Literally itu saja, selain bergerak dan bernafas tentu saja. Kehadirannya membuat ritme hidupku berubah drastis bahkan total. Dia benar-benar menjadi pusat dan nyaris satu-satunya obyek perhatian. Meski saat itu suka menebak-nebak, sampai saat ini aku belum yakin soal mana di antara kelima inderanya yang lebih dulu berfungsi paling maksimal. Meski matanya terbuka dan bagian hitamnya suka pindah kanan pindah kiri, ketika itu aku tak yakin dia bisa melihat dengan jelas seperti manusia dewasa. Belakangan, kuperhatikan indera pendengarannya berfungsi dengan baik ketika ia sering terkejut ketika ada suara nyaring semisal knalpot bodong, klakson yang berlebihan atau petasan.
Seperti adegan yang sering kulihat di TV atau media sosial, aku juga suka memberikan telunjukku untuk ia genggam pada hari-hari pertamanya lahir ke dunia. Ia manut saja dan kuperhatikan jari-jemarinya yang masih merah begitu kuat menggenggam telunjukku. Kuku-kukunya cepat sekali panjang akan tetapi hal itu tidak menjadi persoalan serius karena ia masih menggunakan kaus tangan. Aksesoris ini biasanya dilepas ketika ia mandi sehingga waktu memotong kuku paling tepat adalah setelah ia mandi. Kurang lebih dalam 40 hari pertamanya, Rauhia dimandikan oleh dua dukun bayi. Pertama dukun di rumah Pamekasan dan kedua dukun di rumah Sumenep. Aku nyaris tidak pernah menyaksikan ia dimandikan oleh dukun pertama sebab aku masih dalam masa recovery, sementara scene-scene dengan dukun kedua nyaris tak pernah kulewatkan. Meski, ketika itu, aku ingat sekali, aku hanya bisa bantu menyisir rambutnya yang tebal sejak lahir.
Pada Mei 2017, sehari setelah Hari Bidan Nasional ketika itu, ia masihlah bayi merah yang bisanya menangis, buang air, dan minum. Literally itu saja, selain bergerak dan bernafas tentu saja. Kehadirannya membuat ritme hidupku berubah drastis bahkan total. Dia benar-benar menjadi pusat dan nyaris satu-satunya obyek perhatian. Meski saat itu suka menebak-nebak, sampai saat ini aku belum yakin soal mana di antara kelima inderanya yang lebih dulu berfungsi paling maksimal. Meski matanya terbuka dan bagian hitamnya suka pindah kanan pindah kiri, ketika itu aku tak yakin dia bisa melihat dengan jelas seperti manusia dewasa. Belakangan, kuperhatikan indera pendengarannya berfungsi dengan baik ketika ia sering terkejut ketika ada suara nyaring semisal knalpot bodong, klakson yang berlebihan atau petasan.
Seperti adegan yang sering kulihat di TV atau media sosial, aku juga suka memberikan telunjukku untuk ia genggam pada hari-hari pertamanya lahir ke dunia. Ia manut saja dan kuperhatikan jari-jemarinya yang masih merah begitu kuat menggenggam telunjukku. Kuku-kukunya cepat sekali panjang akan tetapi hal itu tidak menjadi persoalan serius karena ia masih menggunakan kaus tangan. Aksesoris ini biasanya dilepas ketika ia mandi sehingga waktu memotong kuku paling tepat adalah setelah ia mandi. Kurang lebih dalam 40 hari pertamanya, Rauhia dimandikan oleh dua dukun bayi. Pertama dukun di rumah Pamekasan dan kedua dukun di rumah Sumenep. Aku nyaris tidak pernah menyaksikan ia dimandikan oleh dukun pertama sebab aku masih dalam masa recovery, sementara scene-scene dengan dukun kedua nyaris tak pernah kulewatkan. Meski, ketika itu, aku ingat sekali, aku hanya bisa bantu menyisir rambutnya yang tebal sejak lahir.
Setahun setelahnya, Mei 2018, aku
memboyong Rauhia bersama rewang-nya
ke Surabaya ketika aku harus mengikuti Pelatihan Dasar (Latsar, versi barunya
Prajab) fase pertama selama lima pekan. Ulang tahun pertamanya ketika itu hari
Ahad, kalau tidak salah Ahad pertama di Surabaya. Sebagian besar peserta Latsar
izin pesiar dan akupun juga
demikian. Aku izin pesiar ke kamar kos Rauhia yang bisa ditempuh dengan
perjalanan kaki kurang lebih 3-5 menit dari kamarku di E9. Tak ada selebrasi
apa-apa ketika itu, meski dari jauh hari aku sudah menyiapkan hadiah kecil
untuknya. Rauhia ketika itu adalah bayi kecil yang—jika dibandingkan hari ini—masih cooperative
ketika waktunya meal. Ia baru belajar
berdiri, telah fasih merangkak, dan baru bisa mengucap satu dua kata.
Panggilannya padaku ketika itu masihlah ama, bukan mama.
Mumpung lagi di Surabaya, aku sempatkan untuk mengajaknya
berkunjung ke tempat-tempat yang akan susah dijangkau begitu kami pulang ke
Madura. Pusat perbelanjaan, rumah saudara hingga tempat jajanan dan menu
kuliner yang bisa jadi langka di Madura. Aku tak yakin apakah ketika besar
nanti, ia akan mengingat lima pekan di Surabaya itu. Beberapa momen sempat aku
abadikan, barangkali suatu saat Rauhia akan menikmatinya betapapun ingatan otak
mungkin tak banyak mendukung. Aku sendiri tidak banyak mengingat adegan-adegan masa
kecilku, semantara poto-poto jadul yang tersisa nyaris tak mendukung ingatan
akan adegan di sekitarnya. Karena itulah, aku merasa harus menuliskan ini,
betapapun sederhana dan pendek, agar di kemudian hari, when shes growing up,
she knows how much she is loved.
***
***
Dann… Rauhia hari ini sudah bisa berjalan dan
berbicara, tapi mulai susah diajak kerjasama saat meal time dan kadangkala susah diarahkan—untuk tidak mengatakan ‘diatur’.
Sesekali ia terjatuh ketika berjalan terlalu kencang atau terantuk benda yang
ia tak sadari menghalangi langkahnya. Ia
juga mulai fasih berbicara meski sebagian kecil bahasanya susah difahami orang
lain. Kadangkali ia menirukan omongan orang lain dan bergumam seperti tengah
bercerita dan minta tanggapan, meski lawan bicaranya harus mencoba memahami
maksudnya melalui beberapa kata kunci yang jelas ia ucapkan dan dimengerti artinya namun
jumlahnya seringkali tidak banyak. Selain kemampuan berjalan dan berbicara, ia
mulai tampak terampil mengekspresikan perasaan, termasuk yang berhubungan
dengan meal atau snack.
Dulu saat ia baru MPASI, bahkan ketika berumur setahun, ia nyaris selalu ok dengan menu apapun yang disajikan untuknya. Karbo ok, sayur ok, buah ok, protein ok, kudapan juga ok. E belakangan, aku lihat ia mulai picky bersamaan dengan kemampuannya menunjukkan emoh baik melalui perkataan, isyarat dan bahasa tubuh. Selera makannya juga, sependek perhatianku yang tak bisa 24 jam sehari dan 7 hari sepekan bersamanya secara fisik, mengikuti keadaan mood-nya. Kalau lagi baik, dan menunya cocok, dia akan lahap. Otherwise, dia bisa absen dari meal time seharian penuh dengan beragam dalih dan ekspresi. Pola lain yang tampak dari Rauhia adalah kecenderungannya yang cepat bosan. Memberinya menu meal yang sama setiap hari sama sekali bukan pilihan yang baik karena nyaris bisa dipastikan ia tidak akan antusias melahapnya. Dari beberapa adegan, terbukti ia sangat lahap menyantap makanan, baik meal atau snack, yang sudah lama tak dimakannya.
Rauhia juga cenderung menyukai makanan yang tidak begitu manis atau asin sekalian. Barangkali turunan genetis dari aku atau faktor lain, tapi sejauh ini begitulah yang dapat aku simpulkan dari beberapa sample adegan. Dia prefers keju daripada coklat dan lebih menyukai cemilan gurih dibanding cemilan manis. Ada juga hal-hal yang kadang susah dimengerti dan dinalar, semisal mengapa ia terlihat lebih antusias ketika nebeng menu makanan orang lain dibanding menu makanannya sendiri (padahal si ibu sudah semangat 45 perabotan makan beliin Tupperware biar eating menjadi fun learning). Jika toples kudapan atau kulkas tak berisi, dia juga sudah mulai komplen meski dengan satu atau dua kata kunci, beyi jajan (beli jajan), namun bermakna permintaan agar ruang-ruang tersebut segera diisi. Dalam beberapa moment aku sering melihatnya memeluk toples sambil duduk santai sementara mulutnya asyik mengunyah kudapan.
Dulu saat ia baru MPASI, bahkan ketika berumur setahun, ia nyaris selalu ok dengan menu apapun yang disajikan untuknya. Karbo ok, sayur ok, buah ok, protein ok, kudapan juga ok. E belakangan, aku lihat ia mulai picky bersamaan dengan kemampuannya menunjukkan emoh baik melalui perkataan, isyarat dan bahasa tubuh. Selera makannya juga, sependek perhatianku yang tak bisa 24 jam sehari dan 7 hari sepekan bersamanya secara fisik, mengikuti keadaan mood-nya. Kalau lagi baik, dan menunya cocok, dia akan lahap. Otherwise, dia bisa absen dari meal time seharian penuh dengan beragam dalih dan ekspresi. Pola lain yang tampak dari Rauhia adalah kecenderungannya yang cepat bosan. Memberinya menu meal yang sama setiap hari sama sekali bukan pilihan yang baik karena nyaris bisa dipastikan ia tidak akan antusias melahapnya. Dari beberapa adegan, terbukti ia sangat lahap menyantap makanan, baik meal atau snack, yang sudah lama tak dimakannya.
Rauhia juga cenderung menyukai makanan yang tidak begitu manis atau asin sekalian. Barangkali turunan genetis dari aku atau faktor lain, tapi sejauh ini begitulah yang dapat aku simpulkan dari beberapa sample adegan. Dia prefers keju daripada coklat dan lebih menyukai cemilan gurih dibanding cemilan manis. Ada juga hal-hal yang kadang susah dimengerti dan dinalar, semisal mengapa ia terlihat lebih antusias ketika nebeng menu makanan orang lain dibanding menu makanannya sendiri (padahal si ibu sudah semangat 45 perabotan makan beliin Tupperware biar eating menjadi fun learning). Jika toples kudapan atau kulkas tak berisi, dia juga sudah mulai komplen meski dengan satu atau dua kata kunci, beyi jajan (beli jajan), namun bermakna permintaan agar ruang-ruang tersebut segera diisi. Dalam beberapa moment aku sering melihatnya memeluk toples sambil duduk santai sementara mulutnya asyik mengunyah kudapan.
***
Well,
Nak, menceritakan dua tahun pertamamu rasanya tak
akan pernah selesai. Meski begitu, aku ingin menuliskan beberapa hal semampuku
sebagai ikhtiar kecil bagaimana aku mensyukuri kehadiranmu dan mencintaimu
dengan ketidaksempurnaanku di sana-sini.
Setelah sejak umur setahun Kau berpindah tempat mandi ke kamar mandi, bukan lagi di lincak yang outdoor, beberapa pekan yang lalu kita memulai fase baru, yakni mandi dengan air dingin alias air bak mandi tanpa terlebih dahulu dijerang seperti biasanya. Ini bukanlah inisiatifku, sebab aku meneruskan apa yang sudah dimulai oleh rewang-mu (rewang kedua yang membantuku menjaga dan mengurus keperluan Rauhia). Aku lihat Kau belajar beradaptasi meski tampak juga bahwa Kau masih mengira guyuran air dingin itu adalah guyonan, sebab kami terbiasa memperlakukanmu demikian ketika sebelum-sebelumnya, Kau tak juga mau entas dari Kamar Mandi karena keasyikan main. Satu tugas berkurang sebab aku nyaris tak pernah absen menjerangkanmu air termasuk ketika gas habis dan belum diisi ulang—sehingga harus nebeng ke dapur sebelah. Tentu ini tidak diberlakukan ketika Kau sedang unwell seperti beberapa waktu yang lalu.
Sejauh yang kuingat, Kau selalu menyambut kedatanganku dengan bahagia dan suka cita, bahkan girang, sejak di Surabaya. Ketika itu Kau juga selalu menangis dan berteriak protes tatkala aku berangkat sehingga begitu melihatku, bahkan orang lain yang berpakaian sama denganku, Kau akan senang bukan main. Hal tersebut berlangsung hingga hari ini meski dalam satu-dua moment, Kau pernah cuek akan kedatanganku karena terlalu asyik bermain. Akan tetapi di sebagian besar moment saat aku pulang kerja dan baru sampai rumah, Kau selalu menyambutku dengan penuh excitement, terburu-buru untuk menghambur ke pelukan, bersegera mengajak ke kamar, mencari-cari celah untuk menemukan kulit yang kaucari atau tak sabar membuka bungkusan oleh-oleh yang kubawa. Ekspresi sederhana—meski kadang kala heboh—itulah yang selalu kurindukan dan membayang di pelupuk mata nyaris seharian di jam dan hari kerja.
Sejak diwarai soal copa bhaceng, aku selalu membiasakan diri meneguk air putih begitu bangun tidur. Betapapun sedikitnya tegukanku, tetap kuupayakan konsisten agar efeknya terasa dan longlasting. Belakangan aku juga membiasakan ini padamu, meski keseringan, minuman yang Kau teguk begitu bangun tidur adalah ASI. Setelah itu, begitu keluar dari kamar, aku biasa langsung membawamu ke meja makan dan menyodorkan segelas air untuk Kautandaskan. Usaha kecil itu mulai menampakkan hasil ketika, selain di waktu-waktu random Kau suka tiba-tiba minta mimik aing (seperti yang biasa Kaulafalkan), nyaris tiap bangun tidur, tak peduli itu dini hari, Kau meminta hal yang sama. Jika sudah demikian, maka lelah dan kantuk harus langsung tak lawan. Aku akan ke meja makan dan membawakanmu segelas air. Begitu melihatku datang, Kau akan bangun dari posisi tidur, berganti duduk dan meraih gelas yang kusodorkan. Kadangkala Kau memintaku untuk meneguk air setelahmu lalu Kau akan kembali berbaring dan melanjutkan aktivitas tidur, bermain, menggumam atau skin to skin denganku. Harapanku, semoga kebiasaan ini tetap Kaujaga, termasuk juga perihal mindset bahwa tak ada yang lebih baik untuk diminum selain plain water.
Soal yang satu ini aku tidak ingat sejak kapan. Hanya saja belakangan, bersamaan dengan kemampuan motorik halusmu yang semakin baik, Kau sering tampak asyik melakukan sesuatu sesukamu SAMBIL melakukan sesuatu yang lain, which is bergumam mengikuti gerakan tangan. Jika Kau tengah mencorat-coret di kertas, mengambil baju dari lemari lalu membuka lipatannya dan berusaha melipat kembali, bermain di atas papan ajaib, mengacak-acak beras atau apapun yang bisa Kaulakukan, akan terdengar gumaman dari mulutmu yang entah bagaimana menjadi ciri khas sekaligus kebiasaan. Jika kusela dengan dialog untuk memancingmu berkomentar, Kau biasanya akan memberi tanggapan singkat kemudian kembali lagi pada aktivitas utama serta gumamanmu itu. Entah apa maksudnya. Atau jika tidak, maka aktivitasmu ini akan dimanfaatkan dengan menyuapimu makan. Most of the time, it works. Kausibuk dengan aktivitasmu sehingga tidak terlalu memedulikan menu makanan, selera makan atau mood-mu. Seperti reflek, saat sendok didekatkan, Kau akan membuka mulut dan mengunyahnya. Begitu seterusnya hingga menu di piring habis dan seringkali Kau meminta tambahan.
Dalam perjalanan ke tukang pijat langgananku, di suatu malam di atas sepeda motor, sejauh yang bisa kuingat, untuk pertama kalinya Kau menunjukkan ekspresi yang kurang lebih berarti, pardon, could you repeat your speaking please? Ekspresi itu belakangan sering Kaupakai ketika menanggapi orang lain yang mencoba berkomunikasi denganmu. Aku sendiri kadangkala mencurigai apakah ekspresi ‘aaaa?’ itu benar-benar untuk meminta orang lain mengulang ucapannya atau hanya manuvermu saja untuk bemain-main. Meski tidak selalu kuucapkan secara verbal, sejak jantungmu masih berdenyut di perutku, aku sering mengajakmu bicara. Termasuk dalam hati yang kusampaikan lewat sentuhan di perut. Belakangan aku merasa betapa kebiasaan itu benar-benar melekat sehingga meski bahasa verbalmu kadang tak kupahami, aku terbiasa menebak apa yang Kauinginkan dan seringkali tidak meleset. Memahami bayi, barangkali memang memahami sebuah ketidakteraturan, seperti belajar bahasa. Learning English is learning irregularities. Hanya saja tentu, ada pola yang bisa dipahami dan dijadikan pegangan.
Kemampuan berkomunikasimu yang semakin baik belakangan ‘diimbangi’ dengan istilah-istilah versimu yang seperti tak ingin Kauubah meski orang di sekitarmu bukan tak memberitahu it was incorrect. Kasus pertama adalah kakak untuk menyebut sandal dan yang kedua adalah kaki untuk menyebut celana. Tentu perbedaannya sangat mendasar sehingga penyebutan yang demikian bukan karena faktor usia atau cadel, seperti jilbab yang Kaubahasakan mbaj. Mengapa kakak disebut sandal bermula dari beberapa adegan ketika Kau, yang suka sekali mengenakan sandal, tak peduli milik siapapun, diberitahu bahwa beberapa sandal yang ditemui adalah sandal milik Fatin, sepupu yang ia sebut kakak. Dari situ Rauhia barangkali menyimpulkan bahwa benda yang biasa dijadikan alas kaki ketika berjalan disebut kakak. Ia salah menentukan definisi di antara dua kata kunci . Sementara yang kedua adalah istilah yang barangkali ia simpulkan dari adegan mengenakan celana which is dipasangnya dari kaki. Jadilah ia mengatakan kaki untuk menyebut celana panjang, celana selutut hingga celana dalam.
Kasus yang serupa tapi tak sama adalah soal pemahaman Rauhia perihal sayur. Karena sejak awal MPASI aku membiasakan lidahnya mengenal berbagai rasa makanan, termasuk yang asem (barangkali ini jadi salah satu alasan mengapa ia suka meneguk Yakult) dan beberapa jenis sayur, belakangan dia tidak terlalu sulit beradaptasi ketika harus ikutan minum jamu atau berhadapan dengan sayur di piringnya. Seringkali, ia malah lebih memilih sayur dibanding karbo dan protein. Tapi yang bikin lucu, Rauhia tampaknya memahami bahwa sayur hanya terbatas pada kuah bening bayam serta kuah sup. Selain itu, semisal tumis bayam, apalagi tumis kacang panjang, tidak ia akui sebagai sayur sehingga pernah dalam suatu adegan, ia masih meminta sayur meski di piringnya sudah ada tumis oyong.
Ada beberapa kejadian mengejutkan—indeed menggembirakan—yang semakin menyadarkanku bahwa daya rekam anak bayi tak bisa diremehkan, sehingga apa-apa yang mampir ke inderanya mesti benar-benar lulus sensor. Suatu ketika Rauhia kuperkenalkan dengan sosok kartun Hello Kitty yang karakternya tampak di baju tidurku serta beberapa mainan yang dimilikinya. Barangkali selain itu, ketika tak bersamaku, dia juga bertemu karakter Hello Kitty di tempat dan barang lain lain. E suatu ketika, sore menjelang senja saat itu, aku bersamanya dan bapaknya tengah cuci mata di kota. Di daerah seberang Kantor Capil Pamekasan, tempat mobil-mobil bakul sticker biasanya buka lapak saat siang hari, ia melihat sticker Hello Kitty tertempel di tembok trotoar lalu dengan heboh memberitahuku. Kasus nyaris serupa juga terjadi pada tokoh kartun Doraemon—yang kuajari untuk menyebutnya Emon, to make it simple—yang dihafalnya di luar kepala sehingga setiap dia bertemu karakter ini, ia akan memberitahu padaku atau orang yang bersamanya as if, “look, that’s Emon.”
Di waktu lain, kami tengah berkendara dan lewat di depan supermarket tempat kami biasa berbelanja bulanan dan kadang kala mengajaknya dengan iming-iming “ayo ikut, mau beli popok”. Kendaraan melaju agak kencang akan tetapi radar Rauhia tetap on melihat logo toko tersebut—dalam neon box yang menyala— dan iapun bersorak “popok, popok!” Seperti biasa tingkahnya tersebut selalu mengundang tawa, tak peduli belanja bulanan terakhir kami lakukan setelah ia terlelap untuk menghindari kekacauan kecil yang biasa ditimbulkan Rauhia di toko atau swalayan, seperti ngotot mau beli sesuatu atau tidak mau ‘meminjamkan’ barang yang ingin diambilnya ke tante/om kasir untuk dipindai dan dipastikan harganya. Dalam beberapa kunjungan ke supermarket, Rauhia memang sempat menunjukkan gejala tantrum, meski tidak dalam skala mengkhawatirkan. Dalam suatu moment dia malah dengan gesit memberi instruksi untuk membuka kulkas dan berdiam lama di situ, seperit mencari tempat adem setelah kepanasan di perjalanan.
Rauhia tampak tidak seintrovert aku meski tidak seekstrovert bapaknya, tentu dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Meski sudah jarang membawa Rauhia ke kampus, belakangan aku cukup sering membawanya ketika bepergian di luar jam dan hari kantor ke tempat-tempat umum. Di situ, be it tempat makan, rumah saudara atau teman, tempat umum lain, Rauhia tampak cukup bersahabat dengan orang asing yang baru pertama kali ditemuinya, asal yang bersangkutan adalah anak kecil. Beberapa kali ia terlihat proaktif mendekati anak kecil yang seusianya, seperti ingin mengajak atau ikut bermain. Nah beda lagi ceritanya ketika yang ditemuinya adalah orang dewasa. Jika tak mengenal yang bersangkutan, nyaris bisa dipastikan Rauhia tidak akan ramah dan cenderung tidak mau dekat Dulu sewaktu belum menikah hingga belum punya anak, aku sering heran dengan anak-anak yang terlihat xenophobia dengan gejala demikian. Tapi ketika menghadapi situasi tersebut by myself, aku jadi sadar bahwa anak kecil memiliki logikanya sendiri. Aku bisa saja mengatakan bahwa om ini, tante ini, baik dan sayang padanya akan tetapi, mana mau dia percaya. Yang dilihatnya, barangkali, adalah bahwa aku lebih suka dekat dengan orang yang selalu bersama denganku.
Among others, ini mungkin the worst news! Rauhia yang belum genap berumur dua tahun sudah sangat fasih sekali melafalkan hape dan yutub dengan kecadelan di sana-sini. Ia juga tampak bisa membedakan bahwa yang pertama adalah barang, sedang yang kedua adalah bagian dari yang pertama. Ketika bangun tidur dan mendapati suara yang pertama kali didengarnya adalah alarm yang kuatur untuk menyala setiap jam 6 pagi, ia biasanya langsung tanggap dan berujar hape. Dan itu belum seberapa. Dia juga sudah biasa dan terlatih memainkan jemarinya di atas layar sentuh gawaiku. Literally aku tak mengajari dia secara langsung, tapi dia learning by imitating. Karena pemandangan yang dominan dari ibunya adalah memainkan jari di atas layar, iapun tinggal meniru dan mempraktikkan hal yang sama. Turning out that it works! Meski gawaiku dikunci dengan sandi tertentu, jeda waktu untuk kekunci lagi cukup lama sehingga ia tetap bisa menggunakan gawai dengan memencet satu-satunya tombol yang bisa dipencet di layar bagian bawah, yakni tombol standby. Setelah itu dia akan swipping up, down, left and right dengan sangat fasih dan mahir.
Di antara beberapa menu aplikasi yang ada di gawaiku, Yutub adalah yang paling Rauhia suka. Tapi aku tidak memberinya fasilitas dalam jaringan. Video-video yang bisa ia tonton hanyalah video yang aku unduh ketika daring dan bisa dinikmati luring. Aku pikir ini bagus untuk filter materi meski kadang ia suka menonton video-video yang aku unduh untuk kebutuanku, seperti video konser musik, lagu dengan lirik, video tutorial Bahasa Inggris atau video lain yang sifatnya tidak berbahaya untuk anak kecil. Karena itu aku pastikan, sebelum gawai berpindah ke tangan kecilnya, paket data sudah aku off sehingga keadaan dapat terkendali. Kejadian yang terlanjur demikian bergulir bukan karena aku tak mengetahui bahwa gawai tidak baik untuk anak, tapi yang kualami adalah sulitnya menjauhkan anak dari gawai ketika dua orang tuanya juga tidak lepas dari gawai.
Meski sudah full gawai selama hari dan jam kerja, aku tetap susah lepas dari benda kecil itu begitu sampai di rumah dan idealnya semua waktu dan energi aku prioritaskan untuk Rauhia, setelah meninggalkannya seharian penuh. Beberapa kali kucoba lepas dari gawai untuk fokus menemani Rauhia bermain, makan atau menghabiskan waktu, dan memang ketika itu Rauhia juga lupa dengan yang namanya hape. Tapi begitu aku menyelinap menghampiri hape yang tengah tak sembunyikan agar tak terlacak dia lalu dia mencari dan memergokiku sebelum aku berhasil mengondisikan keadaan, dia akan meminta hape berpindah tangan dan begitulah seterusnya. Sebagai ibu-ibu yang tidak kudet-kudet amat, tentu aku juga bukan tak tahu ada beberapa permainan alternatif yang digadang-gadang bisa menggantikan gawai dengan spesifikasi konten islami dan edukatif, anti radiasi dan lain-lain. Hanyas aja, selain persoalan anggaran yang tak jadi-jadi aku sisihkan, aku juga tidak mudah percaya iklan. Lagian, meski apologi ini sama sekali tidak heroik, aku melihat ada gunanya juga Rauhia mengenal gawai dan salah satu konten di dalamnya, meski kendali tetap harus aku pegang dan skala kompromi tidak bisa aku bikin elastis terus-terusan.
Manfaat yang paling kurasakan adalah bahwa Rauhia tidak ngeyel lagi bahwa setelah SATU dan DUA ada bilangan bernama TIGA which is posisinya sebelum angka EMPAT. Sebelumnya aku sempat kelimpungan memberi pemahaman padanya perihal angka 3 yang ia loncati begitu menyebut angka 1 hingga 10. Selalu hitungannya 1, 2 kemudian 4 dan seterusnya. Nah begitu aku mengunduhkan video dengan kata kunci ‘lagu angka untuk anak’ dan membiarkannya saja di list offline videos, to let her watch it by herself, (soalnya kalau dikondisikan sekalian biasanya jadi angel untuk diajak kerjasama), dia mulai mengurangi ke-ngotot-annya dan perlahan mulai percaya bahwa ada angka 3 setelah 2 dan sebelum 4. Sehingga, meski angka-angka belasan belum dikuasainya, ia sudah fasih menghafal angka 1 hingga 10 versi dia sendiri; bahasa yang juga difahami oleh orang-orang terdekatnya dan tidak terlalu jauh dengan versi aslinya.
Sejak dulu, melalui beberapa observasi terhadap anak-anak kecil, aku jadi bercita-cita untuk mengajarkan anak-(anakku) tidak takut terhadap hal-hal yang biasa ditakuti (atau dijadikan ‘hantu’) oleh orang dewasa, seperti imunisasi, minum jamu, ketemu dokter, ketemu dukun pijat dan seterusnya. Aku sangat terganggu dengan omongan semisal Kalau nakal nanti tak kasih jamu. Padahal, jamu itu baik dan anak seharusnya dikondisikan agar mengetahui hal ini dengan jalan yang tepat, bukan dengan menjadikannya sebagai ‘momok’. Maksudnya kalau terpaksa harus mengancam, jangan seperti itu bentuknya. Karena itu begitu Rauhia tampak bisa diajak berkomunikasi, aku selalu mengatakan padanya bahwa meski minum jamu, diimunisasi atau dipijat itu sakit di awal, dampaknya akan luar biasa besar dan positif baginya belakangan. Sejauh ini aku lihat rencana dan angan-angan itu berjalan seperti yang kuinginkan, meski aku sadar bahwa intervensi orang lain tak bisa terhindarkan. Minimal, aku sudah punya sikap dan harus konsisten di situ sehingga kalaupun Rauhia mendapatkan hal berbeda dari orang lain, ia mendapatkan hal yang sama dariku bahwa hal-hal tersebut bukan untuk ditakuti atau dijadikan bahan ancaman.
Ini sebenarnya cukup menyedihkan, tapi sekaligus menjadi penting dan layak untuk diceritakan agar suatu saat Rauhia bisa tahu. Soal body shaming. Interaksi yang cukup dekat dan intim kadang kala memang menghilangkan sekat-sekat privasi atau kesopanan. Tak sedikit orang yang menganggap body shaming sebagai ekspresi keakraban, bahkan tanpa rasa bersalah menjadikannya panggilan. Rauhia sempat menjadi korban kesalahkaprahan yang sangat buruk itu dan aku, celakanya, sempat bingung mau bersikap bagaimana karena kalau aku frontal, itu akan sangat melanggar norma-norma kesopanan keluarga. Tapi, karena tak diemin malah semakin menjadi dan dalam kacamata paling jahat, aku melihatnya malah dijadikan bulan-bulanan, aku tak bisa mengerem lagi. Aku akhirnya frontal meski tidak secara verbal namun kupastikan semua orang yang bersangkutan tahu akan posisiku yang merasa this is a big deal that everyone could not just make it a joke. So far aku melihat keadaan teratasi meski aku tidak tahu apa yang terjadi di belakangaku, atau sejauh mana aku menjadi obyek berita. Believe me I do not even care about it. Kadangkala aku merasa harus angkuh just to make sure mental anakku sejak kecil tidak dirusak oleh kebiasaan yang seharusnya tidak dibiasakan. Tulisan point ini cukup emosional karena memang masalah terjadi cukup berlarut karena keraguanku untuk bertindak dan pertimbangan yang terlalu banyak. Juga rasa sungkan dan takut akan hal-hal yang mungkin terjadi, tapi semuanya tak tepis. Barangkali karena naluri keibuan atau egoisme pribadi. I don’t know for sure.
Barangkali, peribahasa buah jatuh tak jauh dari pohonnya benar. Ada banyak hal dari Rauhia yang nurun dari orang tua ataupun anggota keluarga dekatnya. Selain soal komposisi wajah yang nyaris sepenuhnya mengeliminasi unsur dariku, Rauhia memiliki banyak kesamaan dengan romo-nya. Gaya tidur dengan lutut tertekuk yang jatuh bangun, kesukaannya mengonsumsi mentimun dan ketikdasukaannya diganggu ketika tengah asyik melakukan sesuatu. Porsi minum yang banyak, ekspresi ketika marah dan tertawa serta kulitnya yang sensitif dan maunya digaruk terus bahkan di tengah-tengah jam tidur ketika matanya masih terpejam. Persis sekali. Kebiasan orang-orang terdekatnya yang tak bisa tenang kalau stock kudapan habis juga begitu tampak di Rauhia. Lain dari itu, nyaris seperti adik bungsuku yang konon memiliki kesamaan wajah dengannya, Rauhia suka mengonsumsi telur rebus dengan mengeliminir bagian merahnya.
Rauhia aku cita-citakan menjadi anak yang tidak cengeng. Barangkali semua orang tua punya harapan yang sama. Teknik spesifiknya adalah dengan tidak menunjukkan ekspresi terkejut ketika ia terjatuh. It implies, kalau menurutku sih, orang tua mendidik anak untuk tidak gampang sambat dan menangis untuk hal-hal yang masih bisa ditoleransi. So far ini juga berjalan, meski lagi-lagi, tidak hanya aku yang berada di sampinya ketika ia terjatuh saat berjalan atau terantuk batu saat tengah berlari. Karena itu aku sering mendukung dan mensugestinya secara verbal dengan mengatakan bahwa anak mama tidak cengeng, tidak nangis kalau tidak benar-benar sakit. Di imunisasi terakhirnya, in which aku berkesempatan menemani, ia tak sama sekali menangis begitu dan setelah jarum sunti kecil menancap di lengannya. Tapi ketika bermain ia terjatuh, ia menangis. Barangkali rasa sakit dari kejadian kedua lebih serius dibanding yang pertama. Soal tegel ini, Rauhia sebenarnya cukup terlatih oleh keadaan ketika di bulan-bulan pertamanya, ia harus merasakan senut-senut di kepala saat menderita borok dan berkali-kali harus dioperasi kecil-kecilan dengan teknik manual. Setelah berapa kali eksekusi, ia bahkan tak menangis meski darah nanah segar keluar dari borok di kepalanya.
Seperti salah satu versi namanya, nyali, aku berharap dia memiliki much bravery in a good time and place. Karenanya aku tak ragu membawa Rauhia dekat dengan hewan-hewan yang ada di sekitar rumah sambil mengenalkan namanya masing-masing. Kucing, sapi, ayam, kambing, kelinci, belalang dan lain sebagainya. E begitu tahu kosata baru, takut, dan entah barangkali ada sebab lain lagi, Rauhia belajar merangkai kata takut kucing. Tak hanya kata-kata, ia bahkan menunjukkan gelagat nyata bahwa dirinya tak mau dekat-dekat dengan kucing yang dulu ia sukai. Aku bahagia sekaligus terkejut dengan perkembangan ini, sambil iseng mengingat salah satu meme yang mengatakan bahwa orang jadi banyak baper setelah ada istilah baper. Barangkali hal yang sama terjadi pada Rauhia.
Setelah sejak umur setahun Kau berpindah tempat mandi ke kamar mandi, bukan lagi di lincak yang outdoor, beberapa pekan yang lalu kita memulai fase baru, yakni mandi dengan air dingin alias air bak mandi tanpa terlebih dahulu dijerang seperti biasanya. Ini bukanlah inisiatifku, sebab aku meneruskan apa yang sudah dimulai oleh rewang-mu (rewang kedua yang membantuku menjaga dan mengurus keperluan Rauhia). Aku lihat Kau belajar beradaptasi meski tampak juga bahwa Kau masih mengira guyuran air dingin itu adalah guyonan, sebab kami terbiasa memperlakukanmu demikian ketika sebelum-sebelumnya, Kau tak juga mau entas dari Kamar Mandi karena keasyikan main. Satu tugas berkurang sebab aku nyaris tak pernah absen menjerangkanmu air termasuk ketika gas habis dan belum diisi ulang—sehingga harus nebeng ke dapur sebelah. Tentu ini tidak diberlakukan ketika Kau sedang unwell seperti beberapa waktu yang lalu.
Sejauh yang kuingat, Kau selalu menyambut kedatanganku dengan bahagia dan suka cita, bahkan girang, sejak di Surabaya. Ketika itu Kau juga selalu menangis dan berteriak protes tatkala aku berangkat sehingga begitu melihatku, bahkan orang lain yang berpakaian sama denganku, Kau akan senang bukan main. Hal tersebut berlangsung hingga hari ini meski dalam satu-dua moment, Kau pernah cuek akan kedatanganku karena terlalu asyik bermain. Akan tetapi di sebagian besar moment saat aku pulang kerja dan baru sampai rumah, Kau selalu menyambutku dengan penuh excitement, terburu-buru untuk menghambur ke pelukan, bersegera mengajak ke kamar, mencari-cari celah untuk menemukan kulit yang kaucari atau tak sabar membuka bungkusan oleh-oleh yang kubawa. Ekspresi sederhana—meski kadang kala heboh—itulah yang selalu kurindukan dan membayang di pelupuk mata nyaris seharian di jam dan hari kerja.
Sejak diwarai soal copa bhaceng, aku selalu membiasakan diri meneguk air putih begitu bangun tidur. Betapapun sedikitnya tegukanku, tetap kuupayakan konsisten agar efeknya terasa dan longlasting. Belakangan aku juga membiasakan ini padamu, meski keseringan, minuman yang Kau teguk begitu bangun tidur adalah ASI. Setelah itu, begitu keluar dari kamar, aku biasa langsung membawamu ke meja makan dan menyodorkan segelas air untuk Kautandaskan. Usaha kecil itu mulai menampakkan hasil ketika, selain di waktu-waktu random Kau suka tiba-tiba minta mimik aing (seperti yang biasa Kaulafalkan), nyaris tiap bangun tidur, tak peduli itu dini hari, Kau meminta hal yang sama. Jika sudah demikian, maka lelah dan kantuk harus langsung tak lawan. Aku akan ke meja makan dan membawakanmu segelas air. Begitu melihatku datang, Kau akan bangun dari posisi tidur, berganti duduk dan meraih gelas yang kusodorkan. Kadangkala Kau memintaku untuk meneguk air setelahmu lalu Kau akan kembali berbaring dan melanjutkan aktivitas tidur, bermain, menggumam atau skin to skin denganku. Harapanku, semoga kebiasaan ini tetap Kaujaga, termasuk juga perihal mindset bahwa tak ada yang lebih baik untuk diminum selain plain water.
Soal yang satu ini aku tidak ingat sejak kapan. Hanya saja belakangan, bersamaan dengan kemampuan motorik halusmu yang semakin baik, Kau sering tampak asyik melakukan sesuatu sesukamu SAMBIL melakukan sesuatu yang lain, which is bergumam mengikuti gerakan tangan. Jika Kau tengah mencorat-coret di kertas, mengambil baju dari lemari lalu membuka lipatannya dan berusaha melipat kembali, bermain di atas papan ajaib, mengacak-acak beras atau apapun yang bisa Kaulakukan, akan terdengar gumaman dari mulutmu yang entah bagaimana menjadi ciri khas sekaligus kebiasaan. Jika kusela dengan dialog untuk memancingmu berkomentar, Kau biasanya akan memberi tanggapan singkat kemudian kembali lagi pada aktivitas utama serta gumamanmu itu. Entah apa maksudnya. Atau jika tidak, maka aktivitasmu ini akan dimanfaatkan dengan menyuapimu makan. Most of the time, it works. Kausibuk dengan aktivitasmu sehingga tidak terlalu memedulikan menu makanan, selera makan atau mood-mu. Seperti reflek, saat sendok didekatkan, Kau akan membuka mulut dan mengunyahnya. Begitu seterusnya hingga menu di piring habis dan seringkali Kau meminta tambahan.
Dalam perjalanan ke tukang pijat langgananku, di suatu malam di atas sepeda motor, sejauh yang bisa kuingat, untuk pertama kalinya Kau menunjukkan ekspresi yang kurang lebih berarti, pardon, could you repeat your speaking please? Ekspresi itu belakangan sering Kaupakai ketika menanggapi orang lain yang mencoba berkomunikasi denganmu. Aku sendiri kadangkala mencurigai apakah ekspresi ‘aaaa?’ itu benar-benar untuk meminta orang lain mengulang ucapannya atau hanya manuvermu saja untuk bemain-main. Meski tidak selalu kuucapkan secara verbal, sejak jantungmu masih berdenyut di perutku, aku sering mengajakmu bicara. Termasuk dalam hati yang kusampaikan lewat sentuhan di perut. Belakangan aku merasa betapa kebiasaan itu benar-benar melekat sehingga meski bahasa verbalmu kadang tak kupahami, aku terbiasa menebak apa yang Kauinginkan dan seringkali tidak meleset. Memahami bayi, barangkali memang memahami sebuah ketidakteraturan, seperti belajar bahasa. Learning English is learning irregularities. Hanya saja tentu, ada pola yang bisa dipahami dan dijadikan pegangan.
Kemampuan berkomunikasimu yang semakin baik belakangan ‘diimbangi’ dengan istilah-istilah versimu yang seperti tak ingin Kauubah meski orang di sekitarmu bukan tak memberitahu it was incorrect. Kasus pertama adalah kakak untuk menyebut sandal dan yang kedua adalah kaki untuk menyebut celana. Tentu perbedaannya sangat mendasar sehingga penyebutan yang demikian bukan karena faktor usia atau cadel, seperti jilbab yang Kaubahasakan mbaj. Mengapa kakak disebut sandal bermula dari beberapa adegan ketika Kau, yang suka sekali mengenakan sandal, tak peduli milik siapapun, diberitahu bahwa beberapa sandal yang ditemui adalah sandal milik Fatin, sepupu yang ia sebut kakak. Dari situ Rauhia barangkali menyimpulkan bahwa benda yang biasa dijadikan alas kaki ketika berjalan disebut kakak. Ia salah menentukan definisi di antara dua kata kunci . Sementara yang kedua adalah istilah yang barangkali ia simpulkan dari adegan mengenakan celana which is dipasangnya dari kaki. Jadilah ia mengatakan kaki untuk menyebut celana panjang, celana selutut hingga celana dalam.
Kasus yang serupa tapi tak sama adalah soal pemahaman Rauhia perihal sayur. Karena sejak awal MPASI aku membiasakan lidahnya mengenal berbagai rasa makanan, termasuk yang asem (barangkali ini jadi salah satu alasan mengapa ia suka meneguk Yakult) dan beberapa jenis sayur, belakangan dia tidak terlalu sulit beradaptasi ketika harus ikutan minum jamu atau berhadapan dengan sayur di piringnya. Seringkali, ia malah lebih memilih sayur dibanding karbo dan protein. Tapi yang bikin lucu, Rauhia tampaknya memahami bahwa sayur hanya terbatas pada kuah bening bayam serta kuah sup. Selain itu, semisal tumis bayam, apalagi tumis kacang panjang, tidak ia akui sebagai sayur sehingga pernah dalam suatu adegan, ia masih meminta sayur meski di piringnya sudah ada tumis oyong.
Ada beberapa kejadian mengejutkan—indeed menggembirakan—yang semakin menyadarkanku bahwa daya rekam anak bayi tak bisa diremehkan, sehingga apa-apa yang mampir ke inderanya mesti benar-benar lulus sensor. Suatu ketika Rauhia kuperkenalkan dengan sosok kartun Hello Kitty yang karakternya tampak di baju tidurku serta beberapa mainan yang dimilikinya. Barangkali selain itu, ketika tak bersamaku, dia juga bertemu karakter Hello Kitty di tempat dan barang lain lain. E suatu ketika, sore menjelang senja saat itu, aku bersamanya dan bapaknya tengah cuci mata di kota. Di daerah seberang Kantor Capil Pamekasan, tempat mobil-mobil bakul sticker biasanya buka lapak saat siang hari, ia melihat sticker Hello Kitty tertempel di tembok trotoar lalu dengan heboh memberitahuku. Kasus nyaris serupa juga terjadi pada tokoh kartun Doraemon—yang kuajari untuk menyebutnya Emon, to make it simple—yang dihafalnya di luar kepala sehingga setiap dia bertemu karakter ini, ia akan memberitahu padaku atau orang yang bersamanya as if, “look, that’s Emon.”
Di waktu lain, kami tengah berkendara dan lewat di depan supermarket tempat kami biasa berbelanja bulanan dan kadang kala mengajaknya dengan iming-iming “ayo ikut, mau beli popok”. Kendaraan melaju agak kencang akan tetapi radar Rauhia tetap on melihat logo toko tersebut—dalam neon box yang menyala— dan iapun bersorak “popok, popok!” Seperti biasa tingkahnya tersebut selalu mengundang tawa, tak peduli belanja bulanan terakhir kami lakukan setelah ia terlelap untuk menghindari kekacauan kecil yang biasa ditimbulkan Rauhia di toko atau swalayan, seperti ngotot mau beli sesuatu atau tidak mau ‘meminjamkan’ barang yang ingin diambilnya ke tante/om kasir untuk dipindai dan dipastikan harganya. Dalam beberapa kunjungan ke supermarket, Rauhia memang sempat menunjukkan gejala tantrum, meski tidak dalam skala mengkhawatirkan. Dalam suatu moment dia malah dengan gesit memberi instruksi untuk membuka kulkas dan berdiam lama di situ, seperit mencari tempat adem setelah kepanasan di perjalanan.
Rauhia tampak tidak seintrovert aku meski tidak seekstrovert bapaknya, tentu dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Meski sudah jarang membawa Rauhia ke kampus, belakangan aku cukup sering membawanya ketika bepergian di luar jam dan hari kantor ke tempat-tempat umum. Di situ, be it tempat makan, rumah saudara atau teman, tempat umum lain, Rauhia tampak cukup bersahabat dengan orang asing yang baru pertama kali ditemuinya, asal yang bersangkutan adalah anak kecil. Beberapa kali ia terlihat proaktif mendekati anak kecil yang seusianya, seperti ingin mengajak atau ikut bermain. Nah beda lagi ceritanya ketika yang ditemuinya adalah orang dewasa. Jika tak mengenal yang bersangkutan, nyaris bisa dipastikan Rauhia tidak akan ramah dan cenderung tidak mau dekat Dulu sewaktu belum menikah hingga belum punya anak, aku sering heran dengan anak-anak yang terlihat xenophobia dengan gejala demikian. Tapi ketika menghadapi situasi tersebut by myself, aku jadi sadar bahwa anak kecil memiliki logikanya sendiri. Aku bisa saja mengatakan bahwa om ini, tante ini, baik dan sayang padanya akan tetapi, mana mau dia percaya. Yang dilihatnya, barangkali, adalah bahwa aku lebih suka dekat dengan orang yang selalu bersama denganku.
Among others, ini mungkin the worst news! Rauhia yang belum genap berumur dua tahun sudah sangat fasih sekali melafalkan hape dan yutub dengan kecadelan di sana-sini. Ia juga tampak bisa membedakan bahwa yang pertama adalah barang, sedang yang kedua adalah bagian dari yang pertama. Ketika bangun tidur dan mendapati suara yang pertama kali didengarnya adalah alarm yang kuatur untuk menyala setiap jam 6 pagi, ia biasanya langsung tanggap dan berujar hape. Dan itu belum seberapa. Dia juga sudah biasa dan terlatih memainkan jemarinya di atas layar sentuh gawaiku. Literally aku tak mengajari dia secara langsung, tapi dia learning by imitating. Karena pemandangan yang dominan dari ibunya adalah memainkan jari di atas layar, iapun tinggal meniru dan mempraktikkan hal yang sama. Turning out that it works! Meski gawaiku dikunci dengan sandi tertentu, jeda waktu untuk kekunci lagi cukup lama sehingga ia tetap bisa menggunakan gawai dengan memencet satu-satunya tombol yang bisa dipencet di layar bagian bawah, yakni tombol standby. Setelah itu dia akan swipping up, down, left and right dengan sangat fasih dan mahir.
Di antara beberapa menu aplikasi yang ada di gawaiku, Yutub adalah yang paling Rauhia suka. Tapi aku tidak memberinya fasilitas dalam jaringan. Video-video yang bisa ia tonton hanyalah video yang aku unduh ketika daring dan bisa dinikmati luring. Aku pikir ini bagus untuk filter materi meski kadang ia suka menonton video-video yang aku unduh untuk kebutuanku, seperti video konser musik, lagu dengan lirik, video tutorial Bahasa Inggris atau video lain yang sifatnya tidak berbahaya untuk anak kecil. Karena itu aku pastikan, sebelum gawai berpindah ke tangan kecilnya, paket data sudah aku off sehingga keadaan dapat terkendali. Kejadian yang terlanjur demikian bergulir bukan karena aku tak mengetahui bahwa gawai tidak baik untuk anak, tapi yang kualami adalah sulitnya menjauhkan anak dari gawai ketika dua orang tuanya juga tidak lepas dari gawai.
Meski sudah full gawai selama hari dan jam kerja, aku tetap susah lepas dari benda kecil itu begitu sampai di rumah dan idealnya semua waktu dan energi aku prioritaskan untuk Rauhia, setelah meninggalkannya seharian penuh. Beberapa kali kucoba lepas dari gawai untuk fokus menemani Rauhia bermain, makan atau menghabiskan waktu, dan memang ketika itu Rauhia juga lupa dengan yang namanya hape. Tapi begitu aku menyelinap menghampiri hape yang tengah tak sembunyikan agar tak terlacak dia lalu dia mencari dan memergokiku sebelum aku berhasil mengondisikan keadaan, dia akan meminta hape berpindah tangan dan begitulah seterusnya. Sebagai ibu-ibu yang tidak kudet-kudet amat, tentu aku juga bukan tak tahu ada beberapa permainan alternatif yang digadang-gadang bisa menggantikan gawai dengan spesifikasi konten islami dan edukatif, anti radiasi dan lain-lain. Hanyas aja, selain persoalan anggaran yang tak jadi-jadi aku sisihkan, aku juga tidak mudah percaya iklan. Lagian, meski apologi ini sama sekali tidak heroik, aku melihat ada gunanya juga Rauhia mengenal gawai dan salah satu konten di dalamnya, meski kendali tetap harus aku pegang dan skala kompromi tidak bisa aku bikin elastis terus-terusan.
Manfaat yang paling kurasakan adalah bahwa Rauhia tidak ngeyel lagi bahwa setelah SATU dan DUA ada bilangan bernama TIGA which is posisinya sebelum angka EMPAT. Sebelumnya aku sempat kelimpungan memberi pemahaman padanya perihal angka 3 yang ia loncati begitu menyebut angka 1 hingga 10. Selalu hitungannya 1, 2 kemudian 4 dan seterusnya. Nah begitu aku mengunduhkan video dengan kata kunci ‘lagu angka untuk anak’ dan membiarkannya saja di list offline videos, to let her watch it by herself, (soalnya kalau dikondisikan sekalian biasanya jadi angel untuk diajak kerjasama), dia mulai mengurangi ke-ngotot-annya dan perlahan mulai percaya bahwa ada angka 3 setelah 2 dan sebelum 4. Sehingga, meski angka-angka belasan belum dikuasainya, ia sudah fasih menghafal angka 1 hingga 10 versi dia sendiri; bahasa yang juga difahami oleh orang-orang terdekatnya dan tidak terlalu jauh dengan versi aslinya.
Sejak dulu, melalui beberapa observasi terhadap anak-anak kecil, aku jadi bercita-cita untuk mengajarkan anak-(anakku) tidak takut terhadap hal-hal yang biasa ditakuti (atau dijadikan ‘hantu’) oleh orang dewasa, seperti imunisasi, minum jamu, ketemu dokter, ketemu dukun pijat dan seterusnya. Aku sangat terganggu dengan omongan semisal Kalau nakal nanti tak kasih jamu. Padahal, jamu itu baik dan anak seharusnya dikondisikan agar mengetahui hal ini dengan jalan yang tepat, bukan dengan menjadikannya sebagai ‘momok’. Maksudnya kalau terpaksa harus mengancam, jangan seperti itu bentuknya. Karena itu begitu Rauhia tampak bisa diajak berkomunikasi, aku selalu mengatakan padanya bahwa meski minum jamu, diimunisasi atau dipijat itu sakit di awal, dampaknya akan luar biasa besar dan positif baginya belakangan. Sejauh ini aku lihat rencana dan angan-angan itu berjalan seperti yang kuinginkan, meski aku sadar bahwa intervensi orang lain tak bisa terhindarkan. Minimal, aku sudah punya sikap dan harus konsisten di situ sehingga kalaupun Rauhia mendapatkan hal berbeda dari orang lain, ia mendapatkan hal yang sama dariku bahwa hal-hal tersebut bukan untuk ditakuti atau dijadikan bahan ancaman.
Ini sebenarnya cukup menyedihkan, tapi sekaligus menjadi penting dan layak untuk diceritakan agar suatu saat Rauhia bisa tahu. Soal body shaming. Interaksi yang cukup dekat dan intim kadang kala memang menghilangkan sekat-sekat privasi atau kesopanan. Tak sedikit orang yang menganggap body shaming sebagai ekspresi keakraban, bahkan tanpa rasa bersalah menjadikannya panggilan. Rauhia sempat menjadi korban kesalahkaprahan yang sangat buruk itu dan aku, celakanya, sempat bingung mau bersikap bagaimana karena kalau aku frontal, itu akan sangat melanggar norma-norma kesopanan keluarga. Tapi, karena tak diemin malah semakin menjadi dan dalam kacamata paling jahat, aku melihatnya malah dijadikan bulan-bulanan, aku tak bisa mengerem lagi. Aku akhirnya frontal meski tidak secara verbal namun kupastikan semua orang yang bersangkutan tahu akan posisiku yang merasa this is a big deal that everyone could not just make it a joke. So far aku melihat keadaan teratasi meski aku tidak tahu apa yang terjadi di belakangaku, atau sejauh mana aku menjadi obyek berita. Believe me I do not even care about it. Kadangkala aku merasa harus angkuh just to make sure mental anakku sejak kecil tidak dirusak oleh kebiasaan yang seharusnya tidak dibiasakan. Tulisan point ini cukup emosional karena memang masalah terjadi cukup berlarut karena keraguanku untuk bertindak dan pertimbangan yang terlalu banyak. Juga rasa sungkan dan takut akan hal-hal yang mungkin terjadi, tapi semuanya tak tepis. Barangkali karena naluri keibuan atau egoisme pribadi. I don’t know for sure.
Barangkali, peribahasa buah jatuh tak jauh dari pohonnya benar. Ada banyak hal dari Rauhia yang nurun dari orang tua ataupun anggota keluarga dekatnya. Selain soal komposisi wajah yang nyaris sepenuhnya mengeliminasi unsur dariku, Rauhia memiliki banyak kesamaan dengan romo-nya. Gaya tidur dengan lutut tertekuk yang jatuh bangun, kesukaannya mengonsumsi mentimun dan ketikdasukaannya diganggu ketika tengah asyik melakukan sesuatu. Porsi minum yang banyak, ekspresi ketika marah dan tertawa serta kulitnya yang sensitif dan maunya digaruk terus bahkan di tengah-tengah jam tidur ketika matanya masih terpejam. Persis sekali. Kebiasan orang-orang terdekatnya yang tak bisa tenang kalau stock kudapan habis juga begitu tampak di Rauhia. Lain dari itu, nyaris seperti adik bungsuku yang konon memiliki kesamaan wajah dengannya, Rauhia suka mengonsumsi telur rebus dengan mengeliminir bagian merahnya.
Rauhia aku cita-citakan menjadi anak yang tidak cengeng. Barangkali semua orang tua punya harapan yang sama. Teknik spesifiknya adalah dengan tidak menunjukkan ekspresi terkejut ketika ia terjatuh. It implies, kalau menurutku sih, orang tua mendidik anak untuk tidak gampang sambat dan menangis untuk hal-hal yang masih bisa ditoleransi. So far ini juga berjalan, meski lagi-lagi, tidak hanya aku yang berada di sampinya ketika ia terjatuh saat berjalan atau terantuk batu saat tengah berlari. Karena itu aku sering mendukung dan mensugestinya secara verbal dengan mengatakan bahwa anak mama tidak cengeng, tidak nangis kalau tidak benar-benar sakit. Di imunisasi terakhirnya, in which aku berkesempatan menemani, ia tak sama sekali menangis begitu dan setelah jarum sunti kecil menancap di lengannya. Tapi ketika bermain ia terjatuh, ia menangis. Barangkali rasa sakit dari kejadian kedua lebih serius dibanding yang pertama. Soal tegel ini, Rauhia sebenarnya cukup terlatih oleh keadaan ketika di bulan-bulan pertamanya, ia harus merasakan senut-senut di kepala saat menderita borok dan berkali-kali harus dioperasi kecil-kecilan dengan teknik manual. Setelah berapa kali eksekusi, ia bahkan tak menangis meski darah nanah segar keluar dari borok di kepalanya.
Seperti salah satu versi namanya, nyali, aku berharap dia memiliki much bravery in a good time and place. Karenanya aku tak ragu membawa Rauhia dekat dengan hewan-hewan yang ada di sekitar rumah sambil mengenalkan namanya masing-masing. Kucing, sapi, ayam, kambing, kelinci, belalang dan lain sebagainya. E begitu tahu kosata baru, takut, dan entah barangkali ada sebab lain lagi, Rauhia belajar merangkai kata takut kucing. Tak hanya kata-kata, ia bahkan menunjukkan gelagat nyata bahwa dirinya tak mau dekat-dekat dengan kucing yang dulu ia sukai. Aku bahagia sekaligus terkejut dengan perkembangan ini, sambil iseng mengingat salah satu meme yang mengatakan bahwa orang jadi banyak baper setelah ada istilah baper. Barangkali hal yang sama terjadi pada Rauhia.
***
Dear, Rauhia..
Someday if you grow up.
Someday if you grow up.
You might surpass any
limit I could not even reach, as I wish you will do.
You would meet many people
and much values in life.
You may change your
mindset, perspective on life, relationship, love, family and anything as the
time goes by.
You may do and get many
more things than what I did.
For me, however, you would
always be my baby.
(ending mekso)
(ending mekso)
Foto: Dokumentasi pribadi
Caption: Duduk santai
Wah saya rasa, kelak ketika si Rauhia sudah menjadi seorang remaja cantik akan sangat terharu ketika ia membaca semua ini :) semoga dedek Rauhia tumbuh menjadi gadis yang cerdas dan terbaik di lingkungannya :)
BalasHapus