Update Bibliography dan Amal Jariyah Pustakawan (3; bagian terakhir)



#11 hal teknis: Selain dan setelah kolom pernyataan tanggungjawab, kolom Info Detail Spesifik dan Pemrosesan Nomor Eksemplar juga dilewati. Entah seharusnya diisi bagaimana. Ini sebenarnya kabar gembira karena dengan begitu, itu berarti tak (terlalu) banyak titik yang harus dilihat, diedit dan atau dikoreksi.  

#11 hal non-teknis: Ketika melakukan proses penyuntingan, biasanya di bagian judul dan pengarang, tak jarang kami harus sambat terhadap data yang sebelumnya tersimpan. Ini utamanya terjadi pada kesalahan yang cukup fatal dan tidak sekadar typo. Biasanya juga, demi pos-ngapose (Maduresse meaning) diri sendiri karena merasa ikut menanggung dosa warisan dengan kewajiban mengubahnya sesuai pedoman dan kesepakatan, ada beberapa nama yang disebut seolah-olah ybs adalah yang bertanggungjawab atas kesalahan tersebut. Seringkali juga dengan perkiraan waktu dan suasana ketika yang bersangkutan melakukan input data ke sistem. Buat lucu-lucuan aja sih, jadi harapannya malaikat pencatat amal mengerti kalau itu semua sekadar joke and not taking it seriously.
 
#12 hal teknis: Selanjutnya, setelah beberapa kolom yang dibiarkan tidak tersentuh tersebut dilewati, akan datang kolom bernama Data koleksi. Sampai di sini, kehidupan mulai terlihat ribet. Ada beberapa subbagian di kolom yang, among others, spesial karena memiliki semacam subwindow dengan beberapa menu di dalamnya yang juga bisa di-scroll up-down.  Beberapa menu tersebut adalah Edit, Delete, Kode Eksemplar, Lokasi, Lokasi Rak, Tipe Koleksi dan Status Eksemplar. Apa semuanya harus dilihat kemudian dipastikan kecocokan datanya? Yes absolutely! 

#12 hal non-teknis: Untuk meredakan kebosanan dan ketegangan syaraf otak serta otot, kami juga dituntut untuk kreatif membuat acara selingan. Pernah, sekali ketika itu, kami rujakan meski tidak semua anggota nimbrung dan sepertinya, hanya dua orang yang membawa amunisi dari rumah. Kultur Madura memang nyaris tidak bisa dilepaskan dari rujakan dengan bahan utama petis yang juga khas Madura. Semua kebosanan dan kelelahan di UB kemudian tumpek blek di atas sebuah cobek lumayan besar yang menampung sambal petis dan ulek-an cabai. Enak dan bahagia sekali.

#13 hal teknis: Di kolom data koleksi ini, ada menu Tambah Eksemplar baru dengan beberapa subkolom di dalamnya consisting of Judul, Kode Eksemplar, Nomor Panggil, Kode Onventaris, Lokasi, Lokasi Rak, Tipe Koleksi, Status Eksemplar, Nomor Pemesanan, Tanggal Pemesanan, Tanggal Penerimaan, Agen, Sumber Perolehan, Faktur, Tanggal Faktur lalu Harga (8 terakhir di-skip). Kolom TE ini hanya diklik jika ditemukan eksemplar yang belum terdata di sistem, sementara identitasnya sudah well recorded. Most of cases, yang diklik adalah kolom Edit dan subkolom di dalamnya sama plek dengan kolom TE. Hanya, karena namanya saja menyunting, bukan menambahkan data baru, ada beberapa kolom yang sudah terisi otomatis dari sistem, semisal Judul dan Kode Eksemplar (nomor barkode di sampul belakang buku), yang sekaligus disebut sebagai Kode Inventaris. FYI, dua nomor yang sama ini dibikin sendiri oleh perpustakaan berdasarkan daftar inventarisnya (sudah tak jelaskan di tulisan sebelumnya) dan biasanya disertai dengan huruf C di belakang sekian digit nomor tersebut. Nah, seringkali, yang harus diedit/ditambahkan di bagian ini—utamanya kode inventaris—adalah huruf C (mungkin kependekan dari copy) dan digit di belakangnya yang kira-kira merupakan nomor eksemplar buku yang dimiliki perpustakaan. C1 biasanya ditaruh di tandon atau di koleksi sirkulasi tapi tidak dipinjamkan, sementara C setelah/selain 1 bisa masuk di sirkulasi. Dari mana pengedit data bisa tahu  soal C1 dan seterusnya? Biasanya dari data di Kode Eksemplar, jadi Kode Inventaris tinggal menyesuaikan dengan hanya Ctrl C kemudian Ctrl V. Untuk buku yang berjilid, dua kode ini biasanya ditambah dengan J standing for Jilid, mungkin. Seringkali juga, ketika kursor mendekati kolom Kode Eksemplar, ada informasi berwarna merah sounding “ID Already Exists! Please use another ID”. Barangkali untuk memastikan bahwa ID yang sama tidak terdata dua kali. Apakah selesai sampai di situ? Tunggu dulu.

#13 hal non-teknis: Sejak beberapa bulan yang lalu, perpustakaan kami memiliki Corner pertama called BI Corner. As far as I can tell you, kami dapat bantuan dari BI berupa sekian kardus buku dan beberapa properti untuk membuat Corner. Satu set computer, TV, meja, kursi, rak buku sofa dan yang jelas tulisan BI Corner untuk dipasang di spot yang strategis. Buku-buku koleksi BI Corner cukup beragam dan tidak hanya melulu soal banking. Koleksi tersebut juga tidak dipinjamkan, tidak terkecuali bagi mereka yang bekerja di perpustakaan sepertiku. Karena itu, selama Januari dan UB berlangsung, aku sambi membaca Origins, novel terbaru Dan Brown yang merupakan salah satu koleksi di BI Corner. Sensasinya cukup berbeda dengan momen-momen membaca novel Dan Brown sebelumnya karena pikiranku terasa lebih terforsir pada agenda UB, selain karena aku tak bisa bebas bertemu buku itu 24 jam sehari 7 hari sepekan. Aku juga sadar betapa penting dan urgennya agenda ini untuk perbaikan data, peremajaan konten sistem juga amal jariyah pribadi, sehingga betapapun santifik novelnya, unsur fiksi di dalamnya excitement-ku tak sebesar biasanya. Semacam berpikir, “mari lebih seriusi dunia nyata dibanding bayang-bayang dunia imanjinasi, betapapun santifiknya.”

#14 hal teknis: Dalam beberapa kasus luar biasa, ada satu judul buku yang eksemplarnya atau kuantitas fisik yang dimiliki perpustakaan berada di atas ukuran normal. Ini biasanya terjadi pada buku-buku hibah hasil anggaran pemerintah. Seingatku, aku pernah menggarap UB untuk dua item buku yang jumlah eksemplarnya 70-80an. Kerasanya memang jalan di tempat, ketika teman-teman lain uda berhasil meng-gedebuk-kan buku ke lantai pertanda buku tersebut selesai diproses, aku masih bolak-balik ke C sekian lalu ke C sekian. Monoton seperti itu bukannya bisa dispelekan, justru membutuhkan fokus dan konsentrasi lebih penuh, juga akal yang lebih cerdik. Apalagi, setelah satu data C selesai, jendela akan kembali ke C1 lagi sehingga pengentri harus mengingat betul, C berapa yang baru saja dikerjakannya. Untuk meredakan kebosanan, aku biasanya ngerjain dari digit paling bontot, balik lagi ke digit paling awal, begitu seterusnya meski peluang ada C yang terlewati juga besar.   

#14 hal non teknis: Agenda UB ini, kalau boleh kubilang, semacam agenda tambahan alias lembur yang statusnya di luar tugas pokok. Gampangnya, kami mendapat bayaran tambahan--selain gaji bulanan--dari garapan ini. Hitungannya harian, sehingga tiap hari kami harus mengisi absen untuk kepentingan arsip dan rekap honor. Dalam praktiknya, tidak semua dari kami rutin mengisi absen harian. Ada beberapa yang lebih suka rapelan ttd agar tidak ribet dan bolak-balik. Ada juga, sependek yang kulihat, gejala di mana para pengentri tidak mau membubuhkan namanya di urutan pertama daftar hadir. Entah alasannya apa. Aku pernah sesekali, ketika merasa kerjaku penuh dan deserves for appreciation, kutaruh namaku di urutan pertama. Tapi jika tidak maksimal, aku biasanya ikut trend. Rule-nya seperti kalau kita kencing, maunya jauh dari orang lain. Btw soal honor ini, barangkali, ia jugalah yang membuat kami harus mencari cara untuk menyalakan semangat menyelesaikan garapan dalam posisi secapai, selelah dan semembosankan apapun. Di tengah perjalanan, sebagian dari kami mulai mewacanakan apakah honor bisa dicairkan sebelum agenda berakhir, sayangnya wacana tersebut tidak terealisasi. Kami harus menyelesaikan dahulu dan baru boleh membincangkan bayaran. :)
 
#15 hal teknis: Selain Kode Eksemplar dan Kode Inventaris, nomor lain yang juga harus dipastikan kecocokan datanya adalah Nomor Panggil. Nomor Panggil ini, suppossed to be, sudah terinput otomatis jika data di menu utama juga sudah terisi. Sebagian besar terisi dan sebagian lain mengharuskan pengedit untuk menambahkan data baru. Rumusnya tidak sulit, yakni klasifikasi (Desimal Dewey), tiga huruf pertama nama pengarang dan huruf pertama judul. Kelihatannya sederhana tapi keadaan jadi berubah rumit ketika nomor panggil, yang tertempel di buku dan terekam di data, ternyata keliru. Bingung antara mau mbenerin dengan resiko akan ada perbedaan data antara di sistem dan di fisik buku atau dibiarin salah seperti itu demi alasan kesamaan data. Untuk kesalahan fatal, semisal nomor klasifikasi yang keliru, biasanya akan dilakukan pelepasan data di buku. Akan tetapi, sependek yang kutahu, tidak banyak yang melakukan ini. Barangkali dan yang kutahu, hanya Bu Neli yang memang berkompeten dan otoritas keilmuannya bisa dipertanggungjawabkan.

#15 hal non-teknis: Di sela-sela garapan UB, kami disegarkan oleh angin semilir bernama jasket alias jas jaket. Akhir tahun lalu kami memang sempat bertemu dengan penjahit yang diundang langsung ke ruangan Pak Kapus untuk memastikan ukuran masing-masing kami. Ngukurnya tidak pakai S M L XL atau yang lain, akan tetapi diukur secara manual untuk memastikan presisi tidak meleset. Soal rembukan warna aku tidak ikut-ikut, tapi pas jasketnya baru diambil dari rumah si penjahit, aku bersyukur tidak jadi beli jasket temen2 DTNP karena warnanya nyaris sama. Hanya memang, tidak ada sablon tulisan di manapun, seperti “IAIN Madura” di jasket teman-teman DTNP. Selain soal warna, kualitas jasket juga oke punya, Bahan berkualitas dan ukuran pas. Sepertinya semua anggota perpustakaan bertestimoni sama. Bahagia rasanya, dapat jasket cuma-cuma di tengah tuntutan kerja yang padat dan sudah mulai terasa membosankan. Kami lalu merayakannya dengan foto bersama meski tidak semua anggota nampang karena beberapa lagi ada keperluan di luar, termasuk Kepala Perpustakaan. Jadilah kami adakan momen photo session kedua dengan formasi lengkap dan persiapan yang lebih matang.   
 
#16 hal teknis: Di bawah kolom Kode Inventaris, ada kolom-kolom Lokasi (hanya ada satu pilihan, yakni My Library, jadi bisa di-skip saja), Lokasi Rak (disesuaikan dengan nomor klasifikasi, atau bagian paling awal dalam nomor panggil),  Tipe Koleksi (terdiri dari Reference, Textbook, Fiction, Skripsi, Tesis, Disertasi, Jurnal dan Laporan Penelitian, tinggal pilih salah satu), Status Eksemplar (Tersedia, Repair, No Loan dan Missing, tinggal pilih satu juga), lalu beberapa kolom terakhir yang biasa di-skip, terdiri dari 8 kolom yang sudah tak jabarin di bagian 13. Melihat menu yang sebegitu banyak dan lengkapnya, aku hanya berpikir sederhana, ini sempat dan serius banget ya, yang bikin aplikasi. Semoga amal jariyahnya ngalir terus. Seperti kami para pengentri yang berharap agar kerjaan kecil ini dapat menjadi amal jariyah, minimal karena telah memutus rantai turun-temurunnya kesalahan data yang terekam di sistem dan memudahkan siapapun yang mengakses laman perpustakaan dan tengah berburu informasi perihal bahan pustaka.
#16 hal non-teknis: Selain momen kedatangan jasket dan foto bersama dua sesi, kami juga menggelar acara lain, yakni makan-makan akbar. Kali ini edisi ketiga sejak aku bertugas di perpustakaan. Jika dua sesi sebelumnya aku ditugasi membawa buah, maka dalam sesi ketiga ini, aku ditugasi ikan goreng. Yah ndilalah aku suka nyantap ikan laut, jadi H-1 acara makan-makan, aku dan Bu Septi hunting ikan segar ke Pasar Branta kisaran jam dua siang ketika nelayan baru pulang melaut. Heroik dan militan sekali. Rasanya selalu menyenangkan bertemu dengan sisi-sisi lain kehidupan yang jauh dari pemandangan keseharian. Aku jadi menurunkan standard menawar harga di depan penjual kalau ingat bahwa proses menangkap ikan bukannya tak memertaruhkan nyawa di tengah laut. Duh ampuni aku, Gusti.

Dan soal makan bersama, masing-masing kami membawa bekal dari rumah. Ada yang dengan menu andalan (jangan kelor Pak Faruk, pepes cakalan Pak Agus, terung balado Pak Rofiki dan sambel pete Bu Septi), ada juga yang rolling-an (Pak Iyad bawa air mineral, biasanya tahu tempe goreng, Bu Enni ganti bawa tahu tempe, biasanya dadar telur, Bu Zaki ganti dadar telur, biasanya bakwan udang, dan Mas Ojik yang biasanya buah, ganti bawa bakwan udang). Makan bersama juga menjadi moment aku citing sepenuhnya dari jalan lurus FC seharian, bahkan jeniper sekalipun. Menunya benar-benar tak bisa ditolak dan meski ada satu dua suap buah, sarapan pagi itu sukses membuat kantuk luar biasaku datang. Kami juga masih sempat makan siang karena ada sisa amunisi yang bahkan masih bisa dibawa pulang setelah dibuat makan siang, sebab beberapa di antara kami ada yang diundang ke fakultas sebelah, acara makan-makan juga. Syukuran sidah terbuka disertasi.


FYI makan-makan ini berani kami gelar bahkan sebelum garapan selesai, meski memang sudah tinggal sedikit lagi. Idealnya sebagai selebrasi kebebasan dari agenda UB ya, tapi dengan beberapa pertimbangan, selain karena agenda ini adalah rutinitas ketika liburan semester, jadilah kami menggelarnya prematur saja. Agenda tetap terlaksana aman dan terkendali karena ini adalah rutinan, sehingga sudah ada kode-kode tak tertulis terkait SOP-nya.



 #17 hal teknis: Setelah terbebas dari belantara kolom Data Koleksi, sedikit angin segar akan datang dengan beberapa kolom yang biasa di-skip terdiri dari GMD, Tipe Isi, Tipe Media, Tipe Pembawa serta Kala Terbit. Setelah itu, akan muncul kolom ISBN/ISSN yang biasanya juga di-skip ketika sudah ada data yang terekam di situ. Tapi, seringkali, banyak data yang tidak dilengkapi ISBN-nya.  Ketika ini terjadi, biasanya kesal sendiri sambil bertanya-tanya kenapa sih, ada yang masih mengosongkan ISBN/ISSN? Apa karena tidak tahu arti pentingnya atau simply karena malas? Padahal, ISBN/ISSN tak susah dicari. Ia biasanya ada di halaman identitas buku, kadang di sampul belakang (sebagian kasus harus diterawang karena sudah ketindih oleh Kode Inventaris). Meski memang, sebagian besar buku kadang memang tidak mencantumkan ISBN/ISSN, seperti buku-buku terbitan timur tengah berbahasa Arab. Aku belum pernah menghitung ada berapa digit, tapi sepertinya tidak selalu sama dan seringkali dipisah dengan strip, mungkin untuk memudahkan sekaligus agar tidak salah ketik juga. Ohya, buku terbitan luar berbahasa Inggris biasanya berdigit lebih sedikit dan huruf-huruf awalnya beda dengan buku terbitan dalam negeri yang biasanya dimulai dengan 979.
#17 hal non-teknis: Yang paling mengenaskan dari proses UB adalah, saat pengentri hanya bisa berinteraksi dengan buku secara fisik. Mereka sekadar mengetahui identitasnya, keadaan fisiknya dan detail-detail lain, tanpa ada waktu leluasa untuk membacanya. Kadangkala ini bikin melo, selain karena minat baca pribadi yang cetek. Ketika segepok buku yang berhasil diproses hanya lewat di meja tanpa sedikitpun disentuh isinya, rasanya kok ya ironis dan paradoks sekali. Pegawai perpustakaan kok bacannya sedikit sekali. Kok wacananya minim banget. Kerja cerdas memang membutuhkan kombinasi seimbang antara endurence tenaga fisik dan supply wacana yang adequate. Wes lah, minimal faham teorinya dulu. Praktiknya nyusul belakangan.


#18 hal teknis: ISBN/ISSN done lalu beralih ke beberapa data penting meliputi Penerbit, Tahun Terbit dan Tempat Terbit. Dibilang penting utamanya karena tiga hal ini akan diburu oleh pembaca yang mengambil informasi dari sebuah buku untuk ditulis di daftar pustaka atau catatan kakinya. Kolom Penerbit dan Tempat Terbit terintegrasi dengan Master File seperti pada kolom Pengarang, sementara tahun terbit bisa dibubuhkan begitu saja. Anehnya, ada segelintir data yang tahun terbitnya ditulis lebih dari satu. Setelah tak cek di fisik bukunya, ini terjadi pada buku-buku yang mengalami cetak lebih dari satu kali. Jika cetakan pertama pada 2018 dan kedua pada 2019, misalnya, maka dua-duanya itu ditulis. Freak sekali. Makanya harus dan wajib diubah, biar tidak menjadi dosa turunan. Ohya, ada cerita khusus soal kolom Tempat Terbit di mana cukup banyak buku yang di sistem tertulis tempat terbitnya di Hoboken NJ. Jika sudah bertemu dengan data yang demikian, dipastikan data tersebut perlu diubah, seringkali dengan nama penerbitnya karena Hoboken—yang entah nama apa itu—adalah indikasi kuat bahwa sebuah buku tertentu dientri datanya ke sistem tidak dalam proporsi yang seharusnya. 
Sekali lagi, seperti beberapa kolom lain, tiga kolom ini, meski terlihat sederhana, tidak sesimpel itu. Beberapa kasus di lapangan membuktikannya. Beberapa di antaranya adalah perihal kota terbit yang kadang susah ditentuin. Sebabnya ada dua, minimal. Pertama adalah tertulis dengan huruf Arab dan yang pasti tanpa harakat, dan kedua adalah buku-buku berbahasa Inggris yang penerbitnya sudah memiliki banyak branch di berbagai kota dan parahnya, semua kota itu ditulis. Kalau sudah kasus kedua ini, maka proses UB tidak bisa dilakukan cepat dengan teknik scanning and skimming. Informasi buku menuntut pembacaan cukup intensif sehingga seringkali, skipping-lah yang akhirnya dilakukan mencantumkan salah satu kota yang disebut. Bodo amat, suruh siapa semua cabangnya dicantumin, seolah-oleh mengatakan demikian. Tentu saja, dua kasus tersebut lebih rumit dibanding jika sebuah buku tidak ketahuan identitasnya. Cukup tulis aja s.a (jika tidak ada tahun terbit) atau s.l (jika tidak ada tempat terbit). 


Selain itu, terkait Master File, persoalannya juga jadi sedikit ribet ketika ada beberapa item yang esensinya sama cuma ditulisnya beda. Ada item Beirut Libanon, ada juga yang BEIRUT, misalnya. Idealnya ya Beirut doank, hanya karena malas bolak-balik ke Master File, dipilihnya yang pertama. Harapannya ya semoga pengentri lain pikirannya tidak se-jalan pintas sentris aku. Bukan tidak pernah sih, sesekali menyambangi Master File untuk ngubah atau nambah. Cuma pas posisi ngubah, biasanya sistem secara otomatis menolak jika ada data yang persis sama esensi dan penulisannya sebab satu data yang sama bisa tersimpan ganda di Master File karena berbeda penulisan (terkait kapital, biasanya). 


#18 hal non-teknis: Di sela-sela proses UB, pikiran lain yang juga menyedihkan, selain konsumsi bacaan, adalah tentang produktivitas menulis. Ketika memroses buku yang datang dari berbagai penjuru dan sekian set otak serta proses, mau tak mau muncul pertanyaan pada diri sendiri perihal, masa iya kerjamu hanya mroses dan baca buku? Apa tidak ingin ikut menulis juga? Antara pesimis dan optimis, antara keyakinan dan keraguan, impian-impian masa kecil dan ambisi-ambisi selama menjadi mahasiswa itu muncul lagi. Well, jadi program UB ini menjadi semacam recharging moment juga, misal saat mengetik nama seorang penulis lalu ada sederet judul buku yang pernah dihasilkannya. Rasanya tidak sah kalau tidak iri. Aku kapan aku kapan?
#19 hal teknis: Kolom yang juga harus di-bleteti adalah Deskripsi Fisik, sehingga kesabaran dan ketahanan sangat dibutuhkan di sini. Tugasnya sounds spele sih, cuma kalau dilakukan berkali-kali dalam ritme yang monoton, akhirnya kelelahan juga. Data yang dibutuhkan di kolom ini adalah jumlah halaman, baik halaman inti maupun halaman pengantar, lalu panjang dan lebar buku dalam ukuran cm. Sebagian besar buku yang kujumpai memiliki halaman awal dan halaman inti. Yang pertama dengan angka Romawi kecil dan yang kedua menggunakan angka Arab. Dibanding yang kedua, yang pertama lebih jarang dicantumkan, entah karena kesengajaan atau tujuan lain. Deskripsi ini kadangkala tercantum secara jelas di lembar identitas buku, akan tetapi sebagian besar buku tidak menyantumkannya.

Lucunya, ada buku yang bahkan tidak menyantumkan halamannya, sehingga pengentri harus menghitung masing-masing halaman dan tidak bisa straightforward ke halaman terakhir untuk menulis jumlah halaman. Aku pernah sekali bertemu dengan buku semacam ini dan untungnya, jumlah halaman tidak seberapa sehingga jariku tak jadi keriting karena berlebihan menghitung halaman buku dengan gaya menghitung uang. Ada juga, kasus lain, buku-buku berbahasa Arab yang halaman pengantarnya tidak ditandai dengan huruf Romawi kecil, akan tetapi justru dengan aksara alif ba’ ta’ versi semacam ABCD. Jadi kerasanya sangat wagu dan juga melelahkan karena harus kembali berhitung. Kasus lain yang juga berbeda dengan kebanyakan buku yang ditangani adalah buku-buku berbahasa Inggris yang di bagian belakang masih ada appendix-nya dengan lembaran yang kadang jauh dari kategori sedikit. Mau dicantumin bingung aol mau ditaruh di mana dan bagaimana, tidak dicantumin rasanya kok kurang menghargai usaha penulisnya yang uda nyusun appendix. Akhirnya ya ditinggalin gitu aja. Dan yang pasti, untuk ukuran PXL, para pengentri membutuhkan penggaris. Bisa joinan dengan teman sebelah sih, tapi more preferable kalau one man one ruler sih sebenarnya.

#19 hal non-teknis: Dari moment UB, telingaku yang berkenalan dengan genre musik baru diam-diam mulai menyukai, sedikitnya, dua hal baru. Dangdut Koplo dan Reggae Malaysia. Aku mulai faham bahwa untuk kerja-kerja yang menunt endurence tinggi dan fokus yang relatif tidak besar di mayoritas bagiannya, bukan instrumen-lah yang paling pantas menemani. Instead, musik dengan beat yang tinggi adalah jawabannya kaena ia bisa menghidupkan suasana dan menemani bekerja sehingga otak dan jari terasa tidak terlalu keriting karena aliran dari telinga ke otak juga lancar dan membawa nuansa cheerful dan happy!
#20 hal teknis: Kolom di bawah Deskripsi Fisik adalah Judul Seri (biasanya hanya dipakai untuk buku-buku serial, semisal Seri Pengembangan Diri, dll), Klasifikasi (yang bisa langsung nyontek dari Nomor Panggil di punggung buku), Subyek (juga terintegrasi dengan Master File dan aku pribadi hanya memahamia aturan soal item-item di bagian ini by practice, instead by theory), Bahasa (yang ternyata hanya ada empat opsi; Arab, Inggris, Indonesia dan Madura) lalu Abstrak/Catatan, Gambar Sampul, Lampiran Berkas, Data Biblio Terkait yang semuanya di-skip lalu tiga pilihan terakhir, Sembunyikan di OPAC dan Promosikan ke Beranda serta Label yang juga di-skip.   


#20 hal non-teknis: Selain perihal selera dan genre musik, berkumpul di ruang P2SAD juga menghadirkan banyak cerita baru dari obrolan-obrolan dengan teman setim. Obrolan inilah yang bertugas memecah keadaan ketika kami tiba-tiba sibuk ngomong dengan komputer masing-masing. Biasanya, satu orang menjadi narasumber lalu yang lain sibuk menanggapi. Tema obrolannya macam-macam, mulai dari cerita-cerita lama di kampus, cerita dari rumah masing-masing, cerita yang sedang trending hingga obrolan-obrolan renyah lain yang ragamanya melebihi rubrik di siaran berita atau kabar koran.

#21 hal teknis: Setelah beberapa kolom tersebut dilewati, tibalah pada kolom kemenangan di bagian bawah bertulis Perbaharui. Sebelumnya, akan ada gedebug buku ke lantai yang menandakan bahwa buku tersebut sudah diperbaharui datanya sehingga bisa dilanjutkan prosesingnya ke tahap lanjutan. Yah, proses UB tidak berhenti di situ sebab masih ada proses pemindaian sampul buku yang dikomandai Pak Faruk dengan pasukan anak magang. Dari beberapa spot UB, tim pemindaian ini akan mengangkut buku ke meja pemindaian lalu memrosesnya dan setelah itu, mengembalikan buku ke tandon.     
#21 hal non-teknis: Seolah-olah direncanakan detail dan matang, agenda UB turns out semacam agenda Januari. Kami mulai menggarapnya sejak 2 Januari dan menyelesaikannya tepat pada 31 Januari. Prediksi awal, pekerjaan ini akan take time sekitar dua pekan, tapi ternyata tidak demikian adanya karena selain garapan yang tak bisa dikategorikan mudah dan enteng, banyak juga selipan acara lain di tengah-tengah agenda. Yang paling menyedihkan, namun syukurlah karena muncul di penghujung agenda, adalah rolling-an karyawan yang ‘mengambil’ empat karyawan Perpustakaan dan salah satunya adalah Kepala Perpustaaan kami. Semacam klimaks, kami begitu merasakan kepuasan dan kegembiraan karena UB seles
ai—yang artinya honor untuk proyek ini juga akan cair—namun juga menderita sedih luar biasa dengan rutinitas promosi kenaikan jabatan tersebut. Bagiku sendiri, kegembiraan menyelesaikan UB sedikit terasa hambar ketika belakangan menyadari—lewat obrolan dengan Bu Naili—bahwa yang kami garap barulah buku-buku koleksi di sirkulasi dan referensi. Karya ilmiah lain, semisal jurnal, skripsi, laporan penelitian dan majalah belumlah tersentuh dan, supposed to be, well updated as well. Above all I appreciate the work and so grateful for having it done.  
Last but not least, meski masih jauh dari kesempurnaan dan flaw masih di sana-sini, aku meyakini proses ini adalah ikhtiyar dan perwujudan iktikad untuk melakukan sesuatu demi diri sendiri dan orang lain. Semoga tercatat sebagai amal jariyah, semoga program ini kembali--kalau bisa rutin-- diselenggarakan dan semoga perpustakaan semakin kondusif mewadahi aktivitas literasi masyarakat kampus.

Foto: Photosession II setelah makan akbar. Courtesy Umarul Faruq, S. Kom