#11 hal teknis:
Selain dan setelah kolom pernyataan tanggungjawab, kolom Info Detail
Spesifik dan Pemrosesan Nomor Eksemplar juga dilewati. Entah
seharusnya diisi bagaimana. Ini sebenarnya kabar gembira karena dengan begitu,
itu berarti tak (terlalu) banyak titik yang harus dilihat, diedit dan atau
dikoreksi.
#11 hal non-teknis:
Ketika melakukan proses penyuntingan, biasanya di bagian judul dan pengarang,
tak jarang kami harus sambat terhadap data yang sebelumnya tersimpan.
Ini utamanya terjadi pada kesalahan yang cukup fatal dan tidak sekadar typo.
Biasanya juga, demi pos-ngapose (Maduresse meaning) diri
sendiri karena merasa ikut menanggung dosa warisan dengan kewajiban mengubahnya
sesuai pedoman dan kesepakatan, ada beberapa nama yang disebut seolah-olah ybs
adalah yang bertanggungjawab atas kesalahan tersebut. Seringkali juga dengan
perkiraan waktu dan suasana ketika yang bersangkutan melakukan input data
ke sistem. Buat lucu-lucuan aja sih, jadi harapannya malaikat pencatat amal
mengerti kalau itu semua sekadar joke and not taking it seriously.
#12 hal teknis:
Selanjutnya, setelah beberapa kolom yang dibiarkan tidak tersentuh tersebut dilewati,
akan datang kolom bernama Data koleksi. Sampai di sini, kehidupan mulai
terlihat ribet. Ada beberapa subbagian di kolom yang, among others, spesial
karena memiliki semacam subwindow dengan beberapa menu di dalamnya yang
juga bisa di-scroll up-down. Beberapa menu tersebut adalah Edit, Delete,
Kode Eksemplar, Lokasi, Lokasi Rak, Tipe Koleksi dan Status Eksemplar.
Apa semuanya harus dilihat kemudian dipastikan kecocokan datanya? Yes
absolutely!
#12 hal non-teknis:
Untuk meredakan kebosanan dan ketegangan syaraf otak serta otot, kami juga
dituntut untuk kreatif membuat acara selingan. Pernah, sekali ketika itu, kami
rujakan meski tidak semua anggota nimbrung dan sepertinya, hanya dua orang yang
membawa amunisi dari rumah. Kultur Madura memang nyaris tidak bisa dilepaskan
dari rujakan dengan bahan utama petis yang juga khas Madura. Semua kebosanan
dan kelelahan di UB kemudian tumpek blek di atas sebuah cobek lumayan
besar yang menampung sambal petis dan ulek-an cabai. Enak dan bahagia sekali.
#13
hal teknis: Di kolom data koleksi ini, ada menu Tambah Eksemplar
baru dengan beberapa subkolom di dalamnya consisting of Judul, Kode
Eksemplar, Nomor Panggil, Kode Onventaris, Lokasi, Lokasi Rak, Tipe Koleksi,
Status Eksemplar, Nomor Pemesanan, Tanggal Pemesanan, Tanggal Penerimaan, Agen,
Sumber Perolehan, Faktur, Tanggal Faktur lalu Harga (8 terakhir di-skip).
Kolom TE ini hanya diklik jika ditemukan eksemplar yang belum terdata di
sistem, sementara identitasnya sudah well recorded. Most of cases, yang
diklik adalah kolom Edit dan subkolom di dalamnya sama plek dengan
kolom TE. Hanya, karena namanya saja menyunting, bukan menambahkan data baru,
ada beberapa kolom yang sudah terisi otomatis dari sistem, semisal Judul
dan Kode Eksemplar (nomor barkode di sampul belakang buku),
yang sekaligus disebut sebagai Kode Inventaris. FYI, dua nomor yang sama
ini dibikin sendiri oleh perpustakaan berdasarkan daftar inventarisnya (sudah
tak jelaskan di tulisan sebelumnya) dan biasanya disertai dengan huruf C di
belakang sekian digit nomor tersebut. Nah, seringkali, yang harus diedit/ditambahkan
di bagian ini—utamanya kode inventaris—adalah huruf C (mungkin kependekan dari copy)
dan digit di belakangnya yang kira-kira merupakan nomor eksemplar buku yang
dimiliki perpustakaan. C1 biasanya ditaruh di tandon atau di koleksi sirkulasi tapi
tidak dipinjamkan, sementara C setelah/selain 1 bisa masuk di sirkulasi.
Dari mana pengedit data bisa tahu soal
C1 dan seterusnya? Biasanya dari data di Kode Eksemplar, jadi Kode
Inventaris tinggal menyesuaikan dengan hanya Ctrl C kemudian Ctrl V. Untuk
buku yang berjilid, dua kode ini biasanya ditambah dengan J standing
for Jilid, mungkin. Seringkali juga, ketika kursor mendekati kolom
Kode Eksemplar, ada informasi berwarna merah sounding “ID Already Exists!
Please use another ID”. Barangkali untuk memastikan bahwa ID yang
sama tidak terdata dua kali. Apakah selesai sampai di situ? Tunggu dulu.
#13
hal non-teknis: Sejak beberapa bulan yang lalu, perpustakaan
kami memiliki Corner pertama called BI Corner. As far
as I can tell you, kami dapat bantuan dari BI berupa sekian kardus buku dan
beberapa properti untuk membuat Corner. Satu set computer, TV,
meja, kursi, rak buku sofa dan yang jelas tulisan BI Corner untuk
dipasang di spot yang strategis. Buku-buku koleksi BI Corner cukup beragam dan tidak
hanya melulu soal banking. Koleksi tersebut juga tidak dipinjamkan, tidak terkecuali bagi mereka
yang bekerja di perpustakaan sepertiku. Karena itu, selama Januari dan UB berlangsung,
aku sambi membaca Origins, novel terbaru Dan Brown yang merupakan salah
satu koleksi di BI Corner. Sensasinya cukup berbeda dengan momen-momen
membaca novel Dan Brown sebelumnya karena pikiranku terasa lebih terforsir pada
agenda UB, selain karena aku tak
bisa bebas bertemu buku itu 24 jam sehari 7 hari sepekan. Aku juga
sadar betapa penting
dan urgennya agenda ini untuk perbaikan data, peremajaan konten sistem juga
amal jariyah pribadi,
sehingga betapapun santifik novelnya, unsur fiksi di dalamnya excitement-ku tak sebesar biasanya.
Semacam berpikir, “mari lebih seriusi dunia nyata dibanding bayang-bayang dunia imanjinasi, betapapun santifiknya.”
#14
hal teknis: Dalam
beberapa kasus luar biasa, ada satu judul buku yang eksemplarnya atau kuantitas
fisik yang dimiliki perpustakaan berada di atas ukuran normal. Ini biasanya
terjadi pada buku-buku hibah hasil anggaran pemerintah. Seingatku, aku pernah
menggarap UB untuk dua item buku yang jumlah eksemplarnya 70-80an.
Kerasanya memang jalan di tempat, ketika teman-teman lain uda berhasil meng-gedebuk-kan
buku ke lantai pertanda buku tersebut selesai diproses, aku masih bolak-balik
ke C sekian lalu ke C sekian. Monoton seperti itu bukannya bisa dispelekan,
justru membutuhkan fokus dan konsentrasi lebih penuh, juga akal yang lebih
cerdik. Apalagi, setelah satu data C selesai, jendela akan kembali ke C1 lagi
sehingga pengentri harus mengingat betul, C berapa yang baru saja
dikerjakannya. Untuk meredakan kebosanan, aku biasanya ngerjain dari digit
paling bontot, balik lagi ke digit paling awal, begitu seterusnya meski peluang
ada C yang terlewati juga besar.
#14 hal non teknis: Agenda
UB ini, kalau boleh kubilang, semacam agenda tambahan alias lembur yang
statusnya di luar tugas pokok. Gampangnya, kami mendapat bayaran
tambahan--selain gaji bulanan--dari garapan ini. Hitungannya harian, sehingga
tiap hari kami harus mengisi absen untuk kepentingan arsip dan rekap honor.
Dalam praktiknya, tidak semua dari kami rutin mengisi absen harian. Ada
beberapa yang lebih suka rapelan ttd agar tidak ribet dan bolak-balik. Ada
juga, sependek yang kulihat, gejala di mana para pengentri tidak mau membubuhkan
namanya di urutan pertama daftar hadir. Entah alasannya apa. Aku pernah
sesekali, ketika merasa kerjaku penuh dan deserves for appreciation, kutaruh
namaku di urutan pertama. Tapi jika tidak maksimal, aku biasanya ikut trend.
Rule-nya seperti kalau kita kencing, maunya jauh dari orang lain. Btw
soal honor ini, barangkali, ia jugalah yang membuat kami harus mencari cara
untuk menyalakan semangat menyelesaikan garapan dalam posisi secapai, selelah
dan semembosankan apapun. Di tengah perjalanan, sebagian dari kami mulai
mewacanakan apakah honor bisa dicairkan sebelum agenda berakhir, sayangnya
wacana tersebut tidak terealisasi. Kami harus menyelesaikan dahulu dan
baru boleh membincangkan bayaran. :)
#15 hal teknis:
Selain Kode Eksemplar dan Kode Inventaris, nomor lain yang juga
harus dipastikan kecocokan datanya adalah Nomor Panggil. Nomor Panggil ini,
suppossed to be, sudah terinput otomatis jika data di menu utama juga
sudah terisi. Sebagian besar terisi dan sebagian lain mengharuskan pengedit
untuk menambahkan data baru. Rumusnya tidak sulit, yakni klasifikasi (Desimal
Dewey), tiga huruf pertama nama pengarang dan huruf pertama judul. Kelihatannya
sederhana tapi keadaan jadi berubah rumit ketika nomor panggil, yang tertempel
di buku dan terekam di data, ternyata keliru. Bingung antara mau mbenerin dengan
resiko akan ada perbedaan data antara di sistem dan di fisik buku atau dibiarin
salah seperti itu demi alasan kesamaan data. Untuk kesalahan fatal, semisal
nomor klasifikasi yang keliru, biasanya akan dilakukan pelepasan data di buku.
Akan tetapi, sependek yang kutahu, tidak banyak yang melakukan ini. Barangkali
dan yang kutahu, hanya Bu Neli yang memang berkompeten dan otoritas keilmuannya bisa dipertanggungjawabkan.
#15 hal non-teknis: Di sela-sela garapan UB, kami disegarkan oleh angin
semilir bernama jasket alias jas jaket. Akhir tahun lalu kami memang sempat
bertemu dengan penjahit yang diundang langsung ke ruangan Pak Kapus untuk
memastikan ukuran masing-masing kami. Ngukurnya tidak pakai S M L XL atau yang
lain, akan tetapi diukur secara manual untuk memastikan presisi tidak meleset.
Soal rembukan warna aku tidak ikut-ikut, tapi pas jasketnya baru diambil dari
rumah si penjahit, aku bersyukur tidak jadi beli jasket temen2 DTNP karena
warnanya nyaris sama. Hanya memang, tidak ada sablon tulisan di manapun,
seperti “IAIN Madura” di jasket teman-teman DTNP. Selain soal warna, kualitas
jasket juga oke punya, Bahan berkualitas dan ukuran pas. Sepertinya semua
anggota perpustakaan bertestimoni sama. Bahagia rasanya, dapat jasket cuma-cuma
di tengah tuntutan kerja yang padat dan sudah mulai terasa membosankan.
Kami lalu merayakannya dengan foto bersama meski tidak semua anggota nampang
karena beberapa lagi ada keperluan di luar, termasuk Kepala Perpustakaan.
Jadilah kami adakan momen photo session kedua dengan formasi lengkap dan
persiapan yang lebih matang.
#16 hal teknis: Di
bawah kolom Kode Inventaris, ada kolom-kolom Lokasi (hanya ada
satu pilihan, yakni My Library, jadi bisa di-skip saja), Lokasi
Rak (disesuaikan dengan nomor klasifikasi, atau bagian paling awal dalam
nomor panggil), Tipe Koleksi (terdiri
dari Reference, Textbook, Fiction, Skripsi, Tesis, Disertasi, Jurnal dan
Laporan Penelitian, tinggal pilih salah satu), Status Eksemplar (Tersedia,
Repair, No Loan dan Missing, tinggal pilih satu juga), lalu beberapa
kolom terakhir yang biasa di-skip, terdiri dari 8 kolom yang sudah tak
jabarin di bagian 13. Melihat menu yang sebegitu banyak dan lengkapnya, aku
hanya berpikir sederhana, ini sempat dan serius banget ya, yang bikin aplikasi.
Semoga amal
jariyahnya ngalir terus. Seperti kami para pengentri yang berharap agar kerjaan kecil ini dapat menjadi amal jariyah, minimal karena telah memutus rantai turun-temurunnya kesalahan data yang terekam di sistem dan memudahkan siapapun yang mengakses laman perpustakaan dan tengah berburu informasi perihal bahan pustaka.
#16 hal non-teknis: Selain momen kedatangan jasket dan foto bersama dua
sesi, kami juga menggelar acara lain, yakni makan-makan akbar. Kali ini edisi
ketiga sejak aku bertugas di perpustakaan. Jika dua sesi sebelumnya aku
ditugasi membawa buah, maka dalam sesi ketiga ini, aku ditugasi ikan goreng.
Yah ndilalah aku suka nyantap ikan laut, jadi H-1 acara makan-makan, aku
dan Bu Septi hunting ikan segar ke Pasar Branta kisaran jam dua siang
ketika nelayan baru pulang melaut. Heroik dan militan sekali. Rasanya selalu
menyenangkan bertemu dengan sisi-sisi lain kehidupan yang jauh dari pemandangan
keseharian. Aku jadi menurunkan standard menawar harga di depan penjual kalau
ingat bahwa proses menangkap ikan bukannya tak memertaruhkan nyawa di tengah
laut. Duh ampuni aku, Gusti.
Dan soal makan bersama, masing-masing kami membawa bekal dari rumah. Ada yang dengan menu andalan (jangan kelor Pak Faruk, pepes cakalan Pak Agus, terung balado Pak Rofiki dan sambel pete Bu Septi), ada juga yang rolling-an (Pak Iyad bawa air mineral, biasanya tahu tempe goreng, Bu Enni ganti bawa tahu tempe, biasanya dadar telur, Bu Zaki ganti dadar telur, biasanya bakwan udang, dan Mas Ojik yang biasanya buah, ganti bawa bakwan udang). Makan bersama juga menjadi moment aku citing sepenuhnya dari jalan lurus FC seharian, bahkan jeniper sekalipun. Menunya benar-benar tak bisa ditolak dan meski ada satu dua suap buah, sarapan pagi itu sukses membuat kantuk luar biasaku datang. Kami juga masih sempat makan siang karena ada sisa amunisi yang bahkan masih bisa dibawa pulang setelah dibuat makan siang, sebab beberapa di antara kami ada yang diundang ke fakultas sebelah, acara makan-makan juga. Syukuran sidah terbuka disertasi.
Dan soal makan bersama, masing-masing kami membawa bekal dari rumah. Ada yang dengan menu andalan (jangan kelor Pak Faruk, pepes cakalan Pak Agus, terung balado Pak Rofiki dan sambel pete Bu Septi), ada juga yang rolling-an (Pak Iyad bawa air mineral, biasanya tahu tempe goreng, Bu Enni ganti bawa tahu tempe, biasanya dadar telur, Bu Zaki ganti dadar telur, biasanya bakwan udang, dan Mas Ojik yang biasanya buah, ganti bawa bakwan udang). Makan bersama juga menjadi moment aku citing sepenuhnya dari jalan lurus FC seharian, bahkan jeniper sekalipun. Menunya benar-benar tak bisa ditolak dan meski ada satu dua suap buah, sarapan pagi itu sukses membuat kantuk luar biasaku datang. Kami juga masih sempat makan siang karena ada sisa amunisi yang bahkan masih bisa dibawa pulang setelah dibuat makan siang, sebab beberapa di antara kami ada yang diundang ke fakultas sebelah, acara makan-makan juga. Syukuran sidah terbuka disertasi.
FYI makan-makan
ini berani kami gelar bahkan sebelum garapan selesai, meski memang sudah
tinggal sedikit lagi. Idealnya sebagai selebrasi kebebasan dari agenda UB ya,
tapi dengan beberapa pertimbangan, selain karena agenda ini adalah rutinitas
ketika liburan semester, jadilah kami menggelarnya prematur saja. Agenda tetap
terlaksana aman dan terkendali karena ini adalah rutinan, sehingga sudah ada
kode-kode tak tertulis terkait SOP-nya.
#17 hal teknis: Setelah
terbebas dari belantara kolom Data Koleksi, sedikit angin segar
akan datang dengan beberapa kolom yang biasa di-skip terdiri dari GMD,
Tipe Isi, Tipe Media, Tipe Pembawa serta Kala Terbit. Setelah itu,
akan muncul kolom ISBN/ISSN yang biasanya juga di-skip ketika sudah ada
data yang terekam di situ. Tapi, seringkali, banyak data yang tidak dilengkapi
ISBN-nya. Ketika ini terjadi, biasanya
kesal sendiri sambil bertanya-tanya kenapa sih, ada yang masih mengosongkan
ISBN/ISSN? Apa karena tidak tahu arti pentingnya atau simply karena
malas? Padahal, ISBN/ISSN tak
susah dicari. Ia biasanya ada di halaman identitas buku,
kadang di sampul belakang (sebagian kasus harus diterawang karena sudah
ketindih oleh Kode Inventaris). Meski memang, sebagian besar buku kadang
memang tidak mencantumkan ISBN/ISSN, seperti buku-buku terbitan timur tengah
berbahasa Arab. Aku belum pernah menghitung ada berapa digit, tapi sepertinya
tidak selalu sama dan seringkali dipisah dengan strip, mungkin untuk memudahkan
sekaligus agar tidak salah ketik juga. Ohya, buku terbitan luar berbahasa
Inggris biasanya berdigit lebih sedikit dan huruf-huruf awalnya beda dengan
buku terbitan dalam negeri yang biasanya dimulai dengan 979.
#17 hal non-teknis: Yang paling mengenaskan dari proses UB adalah, saat
pengentri hanya bisa berinteraksi dengan buku secara fisik. Mereka sekadar mengetahui identitasnya, keadaan fisiknya dan
detail-detail lain, tanpa ada waktu leluasa untuk membacanya. Kadangkala ini
bikin melo, selain karena minat baca pribadi yang cetek. Ketika
segepok buku yang berhasil diproses hanya lewat di meja tanpa sedikitpun
disentuh isinya, rasanya kok ya ironis dan paradoks
sekali. Pegawai perpustakaan kok bacannya sedikit sekali. Kok wacananya minim banget. Kerja cerdas memang membutuhkan kombinasi
seimbang antara endurence tenaga
fisik dan supply wacana yang adequate. Wes lah, minimal faham
teorinya dulu. Praktiknya nyusul belakangan.
#18 hal teknis: ISBN/ISSN done lalu beralih
ke beberapa data penting meliputi Penerbit, Tahun Terbit dan Tempat
Terbit. Dibilang penting utamanya karena tiga hal ini akan diburu oleh
pembaca yang mengambil informasi dari sebuah buku untuk ditulis di daftar
pustaka atau catatan kakinya. Kolom Penerbit dan Tempat Terbit
terintegrasi dengan Master File seperti pada kolom Pengarang, sementara
tahun terbit bisa dibubuhkan begitu saja. Anehnya, ada segelintir data yang
tahun terbitnya ditulis lebih dari satu. Setelah tak cek di fisik bukunya, ini
terjadi pada buku-buku yang mengalami cetak lebih dari satu kali. Jika cetakan
pertama pada 2018 dan kedua pada 2019, misalnya, maka dua-duanya itu ditulis. Freak
sekali. Makanya harus dan wajib diubah, biar tidak menjadi dosa turunan.
Ohya, ada cerita khusus soal kolom Tempat Terbit di mana cukup banyak
buku yang di sistem tertulis tempat terbitnya di Hoboken NJ. Jika sudah
bertemu dengan data yang demikian, dipastikan data tersebut perlu diubah,
seringkali dengan nama penerbitnya karena Hoboken—yang entah nama apa itu—adalah
indikasi kuat bahwa sebuah buku tertentu dientri datanya ke sistem tidak dalam
proporsi yang seharusnya.
Sekali lagi, seperti beberapa kolom lain, tiga kolom
ini, meski terlihat sederhana, tidak sesimpel itu. Beberapa kasus di lapangan
membuktikannya. Beberapa di antaranya adalah perihal kota terbit yang kadang
susah ditentuin. Sebabnya ada dua, minimal. Pertama
adalah tertulis dengan huruf Arab dan yang pasti tanpa harakat, dan kedua adalah buku-buku berbahasa Inggris
yang penerbitnya sudah memiliki banyak branch di berbagai kota dan
parahnya, semua kota itu ditulis. Kalau sudah kasus kedua ini, maka proses UB
tidak bisa dilakukan cepat dengan teknik scanning and skimming. Informasi
buku menuntut pembacaan cukup intensif sehingga seringkali, skipping-lah
yang akhirnya dilakukan mencantumkan salah satu kota yang disebut. Bodo
amat, suruh siapa semua cabangnya dicantumin, seolah-oleh mengatakan
demikian. Tentu saja, dua kasus tersebut lebih rumit dibanding jika sebuah buku
tidak ketahuan identitasnya. Cukup tulis aja s.a (jika tidak ada tahun terbit)
atau s.l (jika tidak ada tempat terbit).
Selain itu, terkait Master File, persoalannya
juga jadi sedikit ribet ketika ada beberapa item yang esensinya sama cuma
ditulisnya beda. Ada item Beirut Libanon, ada juga yang BEIRUT,
misalnya. Idealnya ya Beirut doank, hanya karena malas
bolak-balik ke Master File, dipilihnya yang pertama. Harapannya ya
semoga pengentri lain pikirannya tidak se-jalan pintas sentris aku. Bukan
tidak pernah sih, sesekali menyambangi Master File untuk ngubah atau
nambah. Cuma pas posisi ngubah, biasanya sistem secara otomatis menolak jika
ada data yang persis sama esensi dan penulisannya sebab satu data yang sama
bisa tersimpan ganda di Master File karena berbeda penulisan (terkait
kapital, biasanya).
#18 hal non-teknis: Di sela-sela proses UB, pikiran lain yang juga menyedihkan, selain konsumsi bacaan, adalah tentang produktivitas menulis. Ketika memroses buku yang datang dari berbagai penjuru dan sekian set otak serta proses, mau tak mau muncul pertanyaan pada diri sendiri perihal, masa iya kerjamu hanya mroses dan baca buku? Apa tidak ingin ikut menulis juga? Antara pesimis dan optimis, antara keyakinan dan keraguan, impian-impian masa kecil dan ambisi-ambisi selama menjadi mahasiswa itu muncul lagi. Well, jadi program UB ini menjadi semacam recharging moment juga, misal saat mengetik nama seorang penulis lalu ada sederet judul buku yang pernah dihasilkannya. Rasanya tidak sah kalau tidak iri. Aku kapan aku kapan?
#19 hal teknis:
Kolom yang juga harus di-bleteti adalah Deskripsi Fisik, sehingga
kesabaran dan ketahanan sangat dibutuhkan di sini. Tugasnya sounds spele
sih, cuma kalau dilakukan berkali-kali dalam ritme yang monoton, akhirnya kelelahan
juga. Data yang dibutuhkan di kolom ini adalah jumlah halaman, baik halaman
inti maupun halaman pengantar, lalu panjang dan lebar buku dalam ukuran cm.
Sebagian besar buku yang kujumpai memiliki halaman awal dan halaman inti. Yang
pertama dengan angka Romawi kecil dan yang kedua menggunakan angka Arab.
Dibanding yang kedua, yang pertama lebih jarang dicantumkan, entah karena
kesengajaan atau tujuan lain. Deskripsi ini kadangkala tercantum secara jelas
di lembar identitas buku, akan tetapi sebagian besar buku tidak
menyantumkannya.
Lucunya, ada buku yang
bahkan tidak menyantumkan halamannya, sehingga pengentri harus menghitung
masing-masing halaman dan tidak bisa straightforward ke halaman terakhir
untuk menulis jumlah halaman. Aku pernah sekali bertemu dengan buku semacam ini
dan untungnya, jumlah halaman tidak seberapa sehingga jariku tak jadi keriting
karena berlebihan menghitung halaman buku dengan gaya menghitung uang. Ada
juga, kasus lain, buku-buku berbahasa Arab yang halaman pengantarnya tidak
ditandai dengan huruf Romawi kecil, akan tetapi justru dengan aksara alif ba’
ta’ versi semacam ABCD. Jadi kerasanya sangat wagu dan juga melelahkan
karena harus kembali berhitung. Kasus lain yang juga berbeda dengan kebanyakan
buku yang ditangani adalah buku-buku berbahasa Inggris yang di bagian belakang
masih ada appendix-nya dengan lembaran yang kadang jauh dari kategori
sedikit. Mau dicantumin bingung aol mau ditaruh di mana dan bagaimana, tidak
dicantumin rasanya kok kurang menghargai usaha penulisnya yang uda nyusun appendix.
Akhirnya ya ditinggalin gitu aja. Dan yang pasti, untuk ukuran PXL, para
pengentri membutuhkan penggaris. Bisa joinan dengan teman sebelah sih, tapi more
preferable kalau one man one ruler sih sebenarnya.
#19 hal non-teknis: Dari moment UB,
telingaku yang berkenalan dengan genre musik baru diam-diam mulai
menyukai, sedikitnya, dua hal baru. Dangdut Koplo dan Reggae Malaysia.
Aku mulai faham bahwa untuk kerja-kerja yang menunt endurence tinggi dan fokus yang relatif tidak besar di mayoritas bagiannya, bukan instrumen-lah yang paling pantas menemani. Instead, musik dengan beat yang
tinggi adalah jawabannya kaena ia bisa menghidupkan suasana dan
menemani bekerja sehingga otak dan jari terasa tidak terlalu keriting
karena aliran dari telinga ke otak juga lancar dan membawa nuansa cheerful dan happy!
#20 hal teknis: Kolom
di bawah Deskripsi Fisik adalah Judul Seri (biasanya hanya dipakai untuk
buku-buku serial, semisal Seri Pengembangan Diri, dll), Klasifikasi (yang
bisa langsung nyontek dari Nomor Panggil di punggung buku), Subyek
(juga terintegrasi dengan Master File dan aku pribadi hanya memahamia
aturan soal item-item di bagian ini by practice, instead by theory),
Bahasa (yang ternyata hanya ada empat opsi; Arab, Inggris, Indonesia dan
Madura) lalu Abstrak/Catatan, Gambar Sampul, Lampiran Berkas, Data Biblio
Terkait yang semuanya di-skip lalu tiga pilihan terakhir, Sembunyikan
di OPAC dan Promosikan ke Beranda serta Label yang juga di-skip.
#21 hal teknis: Setelah
beberapa kolom tersebut dilewati, tibalah pada kolom kemenangan di bagian bawah
bertulis Perbaharui. Sebelumnya, akan ada gedebug buku ke lantai
yang menandakan bahwa buku tersebut sudah diperbaharui datanya sehingga bisa
dilanjutkan prosesingnya ke tahap lanjutan. Yah, proses UB tidak
berhenti di situ sebab masih ada proses pemindaian sampul buku yang dikomandai
Pak Faruk dengan pasukan anak magang. Dari beberapa spot UB, tim
pemindaian ini akan mengangkut buku ke meja pemindaian lalu memrosesnya dan
setelah itu, mengembalikan buku ke tandon.
#21 hal non-teknis: Seolah-olah direncanakan detail dan matang, agenda UB turns out semacam agenda
Januari. Kami mulai menggarapnya sejak 2 Januari dan menyelesaikannya tepat
pada 31 Januari. Prediksi awal, pekerjaan ini akan take time sekitar
dua pekan, tapi ternyata tidak demikian adanya karena selain garapan yang tak
bisa dikategorikan mudah dan enteng, banyak juga selipan acara lain di
tengah-tengah agenda. Yang paling menyedihkan, namun syukurlah karena muncul di
penghujung agenda, adalah rolling-an karyawan yang ‘mengambil’ empat
karyawan Perpustakaan dan salah satunya adalah Kepala Perpustaaan kami. Semacam
klimaks, kami begitu merasakan kepuasan dan kegembiraan karena UB seles
ai—yang
artinya honor untuk proyek ini juga akan cair—namun juga menderita sedih luar
biasa dengan rutinitas promosi kenaikan jabatan tersebut. Bagiku sendiri,
kegembiraan menyelesaikan UB sedikit terasa hambar ketika belakangan menyadari—lewat
obrolan dengan Bu Naili—bahwa yang kami garap barulah buku-buku koleksi di
sirkulasi dan referensi. Karya ilmiah lain, semisal jurnal, skripsi, laporan
penelitian dan majalah belumlah tersentuh dan, supposed to be, well updated
as well. Above all I appreciate the work and so grateful for having it
done.
Last but not least, meski masih jauh dari kesempurnaan dan flaw masih di sana-sini, aku meyakini proses ini adalah ikhtiyar dan perwujudan iktikad untuk melakukan sesuatu demi diri sendiri dan orang lain. Semoga tercatat sebagai amal jariyah, semoga program ini kembali--kalau bisa rutin-- diselenggarakan dan semoga perpustakaan semakin kondusif mewadahi aktivitas literasi masyarakat kampus.
Foto: Photosession II setelah makan akbar. Courtesy Umarul Faruq, S. Kom
Foto: Photosession II setelah makan akbar. Courtesy Umarul Faruq, S. Kom
Posting Komentar