Tumbuh kembang Rauhia belakangan sering menggodaku untuk berpikir
bahwa dua tahun pertama seorang anak adalah masa yang demikian sarat dengan
perubahan. Meski mengalami sendiri dan kurang lebih mengetahui
detail-detailnya, rasanya tetap amazing membandingkan Rauhia beberapa bulan
yang lalu dengan Rauhia saat ini. Time really flies. Rasanya baru
kemarin anak itu brojol, sekarang dia sudah bisa menyuapiku makanan dan
memintaku ini itu.
Awal bulan kemarin dia genap berusia 21 bulan. 3 bulan to counts
down sebelum dia idealnya disapih. Penyapihan dan Toilet Training
belakangan menjadi dua issue yang cukup mengkhawatirkan. Rasanya sulit
sekali dan tak terbayangkan. Tapi ya, bismillah, nanti kalau sudah
waktunya, apa-apa biasanya menyesuaikan. Lagian aku mulai sadar, bahwa
terkadang, kebanyakan teori dan informasi tidak selalu baik, sebab setiap
eksperimen praktis memiliki keunikan yang tidak bisa begitu saja disamakan
dengan precedented cases.
Karena itu jugalah, aku mulai quit berselancar informasi
perihal what a 21 months child should be able to do atau yang semacamnya seintens sebelumnya. Aku lebih asyik menikmati perkembangan Rauhia yang bagiku subhanallah
sekali. Ini bukan soal social comparison dengan anak-anak seusianya,
akan tetapi lebih merupakan ekspresi syukur dan amazed seorang ibu atas
tumbuh kembang si anak ketika dalam waktu yang sama si ibu—merasa belum
total—memainkan perannya.
Tiba-tiba saja Rauhia sudah bisa begini…begitu.. ke sana, ke sini, ah,
what more can I ask? Di antara berbagai perubahan dan perkembangan itu,
ada beberapa hal yang bagiku menakjubkan sekali dan worth it to write, minimal buat ia baca suatu ketika.
Pertama, Rauhia suka mengigau saat tidur. Ini tentu merupakan kelanjutan
dari kemampuan wicaranya yang belakangan semakin tampak. Kalimat yang
diucapkannya, sependek yang kuingat, adalah satu dua kata yang telah mampu ia
lafalkan, bodo amat itu benar atau salah menurut orang dewasa. Saat
mengigau, matanya tetap terpejam dan igauannya bisa berhenti begitu ia
menemukan yang dicari, kulit ibunya. Sementara si ibu, yang terbangun dengan
kantuk yang masih berat, mendadak terhibur dengan adegan itu sekaligus bangga
mendapati bahwa dirinyalah satu-satunya yang dicari si bayi. Words can never
describe gimana rasanya.
Suatu ketika ia mengigau “satu dua satu dua”—dengan
pelafalan versinya—dan belakangan kutahu bahwa siangnya, ia asyik bermain
dengan mengulang-ulang dua kata itu. Di momen lain, ia mengigau nama salah satu
tokoh kartun yang dikenalnya. Aku membayangkan bahwa alam bawah sadar Rauhia begitu merekam item-item
yang baru ia kenal sehingga
itu semua mewujud
dalam bunga tidurnya. Dulu, bahkan
setelah ia mulai belajar berbicara dan mengucapkan satu dua kata, adegan ngigau
ini tak pernah terjadi. Rauhia biasanya tidur lelap dan kalaupun tiba-tiba
bangun, ia hanya akan merengek atau menangis tanpa sepatah kata yang bisa
difahami. Aku lalu menebak-nebak apakah kata-kata yang masuk
dalam daftar igauannya, bagi dia, lebih dominan dibanding kata-kata lain yang juga sudah bisa ia ucapkan.
Kedua, kalau dulu dia adalah
bayi manis yang manut sekali karena taunya hanya digendong dan disuapin,
keadaan tidak lagi sama ketika ia mulai bisa berjalan, berbicara dan melakukan
hal-hal baru. Dulu, utamanya awal-awal MPASI, Rauhia selalu lahap dengan apapun
yang aku hidangkan. Menu-menu yang menurut orang lain aneh karena tidak pakai
gula garam dll, dia lahap dan nyaris selalu habis. Dia juga mau kuajak ke
manapun. Digendong ok, ditidurin ok, disuruh duduk ok, everythings ok.
Sekarang? Beda sekali, tapi bedanya adalah tanda kemajuan dan
perkembangan, karenanya patut dan wajib disyukuri. Rauhia mulai suka protes.
Dia suka tutup mulut saat sedang disuapin hingga mengeluarkan makanan yang
sudah terlanjur masuk di mulutnya setelah satu dua cecapan. Ini tentu berita
buruk mengingat si ibu tak bisa lagi leluasa mengatur variasi makanannya
seperti dulu. Si ibu sekadar bisa membelikan makanan siap santap dalam
frekuensi dan variasi yang tak seberapa. Lain dari itu, Rauhia tak segan
mengatakan no no no no no ketika diajak ke suatu tempat yang tak
dikehendakinya. Ia juga seringkali minta digendong dan tidak mau jalan kaki,
padahal sandal kecilnya sudah disiapkan. Rasanya memang lelah, tapi syukur dan
bahagianya jauh lebih besar.
Ketiga, Rauhia hari ini
adalah bayi dengan potensi memori yang begitu kuat untuk merekam beberapa
kebiasaan dan kejadian. Ketika ibunya sedang di rumah dan dia ingin mengajak si
ibu untuk keluar, ke halaman depan, samping, belakang, atau ke tetangga, maka
Rauhia akan mencari-cari apa yang dia sebut mbaj. Kata tersebut merujuk
pada kain penutup kepala yang sering dikenakan si ibu. Ia sepertinya mulai
faham bahwa jika kain tersebut dipakai, itu tandanya si ibu sudah available untuk
diajak keluar dan jalan-jalan atau main. Ketika si ibu emoh diajak
keluar dan pura-pura mencari di mana jilbabnya, maka Rauhia yang sudah bisa
menjangkau tempat penyimpanan jilbab si ibu akan berinisiatif lalu melangkah
pasti mengambilkan dan menyodorkannya pada si ibu. Ia juga akan menangis keras
sebagai tanda protes jika si ibu buru-buru melepas jilbab padahal dirinya masih
ingin ngluyur di luar. Mana tahu dia ibunya panas keringetan dan buru-buru
pingin lepas jilbab.
Jika dulu ia hanya bisa merekam beberapa kejadian yang dilihatnya,
sekarang, seiring perkembangan motorik dan wicaranya, maqam dia mulai
berbeda. Ketika si ibu melakukan sesuatu, ia menirukannya. Tak peduli itu
nyetrika baju, nyapu lantai, bedakan, lipenan, lipet baju, ngerokin orang,
mijetin orang, ngetokin kuku dan yang lain. Hasilnya juga bisa dibayangkan;
lipen ibunya yang patah, blash-on dan bedak padat ibunya yang
retak, baju-baju terlipat rapi yang selalu ingin dia rapikan kembali—tapi
jatuhnya malah berantakin—dan semuanyaaa.. Suatu pagi, ketika itu, ia yang
melihat rokok si bapak berserakan dengan suka cita memungutnya dan menyelipkan
di mulut si bapak yang sedang tidur. Rauhia suka menirukan apa-apa yang
dilakukan orang di sekitarnya, termasuk shalat dan mengaji meski dalam level
tertentu, kehadirannya malah mengganggu. Tapi, sekali lagi, as it is a sign
of her development, everybody is happy with that!
Yang terkadang bikin haru adalah kebiasan—randomnya—untuk
menyuapiku sesuatu yang tengah ia makan atau sudah emoh ia makan.
Gelagatnya yang demikian seolah mengatakan, “aku ingin nyuapi mama juga. Jangan
cuma mama yang nyuapin aku. Aku juga bisa.” Aku lupa kapan pertama kali ia
melakukan ini, akan tetapi sekuat yang bisa aku ingat, aku tidak mengajarinya by
words. She imitates the way I treat her. Sebisa mungkin, setiap kali
bangun tidur, aku mengajaknya meneguk air putih agar ia terbiasa melakukannya.
Iapun selalu responsif dengan inisiatifku dan belakangan, setelah beberapa
tegukan, ia juga memintaku meneguk air putih semacam mengatakan, “Mamma, its
your turn now.” Setelah itu, terkadang ia kembali menyambar gelas yang
nyaris aku tandaskan isinya.
Keempat, tentang time and life management. As mentioned earlier,
Rauhia mulai ingin jadwal dan time-line-nya dia atur suka-suka dia.
Kalau daily schedule dia dulu sepenuhnya ditentukan oleh orang tua dan
orang-orang di sekitarnya, keadaan mulai berubah belakangan. Yang paling
kentara adalah jam mandi. Ketika air sudah dijerang, baju ganti sudah disiapkan
dan alat tempur sudah stand by, atau ketika ibunya sudah buru-buru ingin
berangkat (termasuk saat ibunya sudah packing dan berencana membawa si
bayi plesir ke Surabaya), dia bisa emoh mandi. Seperti ingin
mengatakan, “pokoknya ga pingin aja”. Ketika sudah begini, biasanya segala cara
akan dipakai, mulai dari ngiming-ngimingi mainan yang biasa ia pakai ketika
mandi hingga janji-janji palsu semacam nanti beli-beli atau nanti
naik mobil. Most of time, it will work. Tapi jika tidak, dan keadaan
sudah sangat mendesak, utamanya saat popok dia uda berat oleh volume air
kencing atau pup, maka cara terakhir akan dipakai. Show must go on meski
harus ada tangisan dan teriakan pemberontakan dia.
Lalu, apa hanya itu? Tentu tidak. Susah diajak mandi, susah pula diajak entas. Apalagi jika yang
bersangkutan sedang asyik bermain air dengan sekian macam mainan dan
kadang-kadang nyuri minum air dari bak mandi. Taktik jitu yang dipakai
bapaknya, dengan mencipratinya air dari bak (tidak hangat) ternyata tak
berhasil. Yah, dia tidak bisa terlalu lama ‘ditipu’ dengan teknik yang persis
sama. Setelah proses entas berhasil, Rauhia kadang kali juga susah dipakaikan popok dan amunisi setelah
mandi berupa lotion, diapers gel, parfume hingga talk. Barangkali
karena efek air hangat yang baru mengguyur tubuhnya, ia tampak kegirangan bukan main sehingga yang ingin dilakukannya adalah
lari-lari dan have fun. Dan karenanya tidak ingin diganggu dengan agenda
apapun. Drama mandi akan menjelang titik klimaksnya ketika Rauhia tidak mau
mengenakan baju dan kadang kali mengambil baju pilihannya (tentunya sambil berantakin) dari lemari. Kalau dibandingkan dengan dulu ketika dia masih mandi di atas lincak dan
dipakaikan baju serta aksesoris lain di situ, rasanya benar-benar cepat sekali
waktu berlalu. Rauhia mulai belajar mandi tanpa lincak sejak di
Surabaya. Untungnya, ketika itu dia sudah bisa berdiri—meski masih berpegangan—sehingga
kamar mandi kostnya sekaligus menjadi field area di mana dia belajar
bahwa mandi harusnya dilakukan di tempat tertutup, bukan di tempat terbuka.
Belakangan, Rauhia mulai memerlihatkan pola timeline
baru. Kadangkala, seharian dia tidak bisa tidur—biasanya terbangun ketika
direbahkan di tempat tidur padahal posisi telah setengah terlalap—lalu begitu
sore hari ibunya datang, ia akan mengajak skin to skin dengan si ibu
lalu tertidur dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Jika sudah begini,
maka jadwal selanjutnya bisa ditebak. Dini hari, sekitar jam 2 atau 3 pagi, dia
akan terbangun dengan badan segar siap main. Jam-jam ketika si ibu seharusnya
tidur lelap untuk nyetok energi besok seharian di kantor. Tapi, Rauhia
mana mau tahu. Meski sudah disusui sesering mungkin dan secara verbal maupun
nonverbal ibunya sudah memberi kode bahwa its time to sleep, not to play or
go outside, matanya tetap terbuka lebar dan hasrat main serta geraknya
tetap pol. Jika bapaknya sedang available, maka tugas menemani dia
bermain saat dini hari bisa digantikan sementara ibunya memejamkan mata dengan
sukma yang terbang ke mana-mana dan telinga yang masih aktif mendengar suara. Tapi
jika tidak, ibunya harus pintar berimprovisasi dan mengondisikan segala hal
akan tak terjaga lebih dari jam setengah 7.
Kelima, dan ini barangkali
adalah kabar buruk, Rauhia semakin pintar mengoperasikan gawai. Rasanya grade
ibunya langsung terjun bebas. Sejak kecil, ia memang tak streil dari gawai.
Sebatas nonton sepuluh menitan video di Yutub atau di file yang
tersimpan di laptop ketika sebelum genap dua tahun, bapaknya sudah
menggendong dia dengan posisi duduk ngadep depan. Meski sudah ribuan artikel
yang dibaca soal bahaya gawai bagi anak kecil, termasuk iklan-iklan mainan
edukatif jutaan rupiah yang mengklaim diri sebagai alternatif gawai, ibunya
tetap kesulitan menjauhkan Rauhia dari gawai. Alasan yang paling ketara adalah
karena ibu dan bapaknya sering sekali memegang gawai termasuk dalam jam-jam di
rumah ketika bersama Rauhia. Yah gimana mau njauhin anak dari gawai kalau
ngurangi kontak sama gawai aja susah. Kalau alasan apologisnya ya,
sebenaranya gawai tidak sepenuhnya buruk untuk si anak asal konten dan durasinya
dikontrol.
Dari menonton dan mendengarkan video-video Baby
Nusery Rhymes di Yutub oflen, belakangan Rauhia mulai bisa mengajukan request
kalau dia ingin beraudio visual. Sebagian permintaan itu dikabulkan,
sebagian lagi dialihkan ke hal-hal lain, termasuk buku cerita yang sudah sukses
dia rusak sampulnya dan robek beberapa halamannya (but that’s ok, Babe)
atau hal-hal lain yang menarik perhatian dia, semisal binatang, jalan-jalan
cari angin, bertemu orang-orang hingga beli-beli. Setelah tahu caranya request,
Rauhia mulai belajar bahwa request-nya bisa dispesifikasi. Ia
seringkali menunjukkan ekspresi emoh menonton satu file dan
memberi kode keras untuk mengganti dengan video lain. Tak kira perkembangannya
akan berhenti di sini, e belakangan, dia mulai terlihat memahami cara kerja
layar sentuh ketika di halaman yutub offline. Ganti file ini lalu ganti
itu seperti sudah mahir, termasuk menggeser ke samping untuk melihat koleksi
foto yang suka ia request dengan kode Hia nik (means: Aku mau
lihat potoku (Rauhia) pas masih kecil). I am pretty sure no one taught him
to do verball, she observes and imitiates what she find.
Ibunya selalu berusaha melihat semua tahap perkembangan Rauhia sebagai very much blessing yang tidak melulu harus dilihat secara hitam putih. Sambil terus menyusun strategi dan berupaya bagaimana bisa mengurangi kontak dengan gawai ketika bersamanya, si ibu mau tak mau bahagia ketika Rauhia could perfectly notice her mother in any picture, baik soft maupun hard file-nya. Ini pertama kali diketahui si ibu ketika menunjukkan poto Prajab bersama 39 orang temannya. Iseng, si ibu bertanya "mana mama?" dan dalam waktu tak kurang dari setengah menit, Rauhia sudah menunjukkan jarinya pada potret si ibu yang setengah tersenyum dan setengah menahan silau matahari. Dari situ, si ibu merasa so encouraging karena si bayi bisa mengenal wajahnya. Kebanggaan dan kebahagiaan yang sangat simple namun bisa menyembuhkan ke-nesu-an yang kadang jauh lebih njlimet. Lalu mulailah, si ibu hobi mengajak anaknya mantengin poto-poto di menu galeri gawai dengan pertanyaan yang sama "mana mama?" dan si anak--almost always-- dengan yakin mendekatkan telunjuknya pada layar yang menampakkan wajah si ibu. (TBC)
Foto: Dokumentasi Pribadi.
Kepsyen: Rauhia sedang menjajal
jilbab baru ibunya dan berusaha mengenakannya berbekal scene-scene
yang biasa ia lihat dan amati.
Posting Komentar