Di pagi hari, sejak setelah Subuh, berbagai penjuru di dusun kami biasa dihiasi irama dan ritme tak beraturan namun indah. Suara-suara yang timbul tenggelam tersebut bukanlah kokok ayam, kicauan burung atau deru knalpot dan klakson kendaraan bermotor yang lalu lalang. Ia adalah pukulan batu perempuan-perempuan tangguh yang meng-gepeng-kan singkong rebus untuk dibikin kudapan semacam keripik. Batu/kayu di tangan kanan dengan jemari kiri berlumur air atau minyak goreng akan beradu dengan sebongkah batu besar berbidang atas datar sebagai landasan tempat eksekusi peng-gepeng-an dilakukan.
Di samping sepasang batu tersebut, tersedia sebuah wadah berisi irisan singkong rebus yang sudah ditakar sesuai dengan ukuran satu keping keripik. Satu irisan akan menjadi sekeping keripik dan begitu seterusnya. Sementara itu di sisi lain, terhampar papan berukuran kecil tempat singkong-singkong yang telah gepeng akan dijejer serapi mungkin untuk kemudian dijemur. Begitu menjadi gepeng dan berbentuk sesuai selera, memanjang atau membulat, lembar demi lembar keripik—mentah—akan dijejer sedemikian rupa agar mendapat ‘jatah’ sinar matahari yang sama . Satu papan yang berbingkai kayu dan berbidang janur kering atau kawat tersebut dapat memuat sekitar seratus lembar keripik.
Dengan peralatan dan ‘cara kerja’ yang demikian, aktivitas meng-gepeng-kan ini biasa dilakukan dengan duduk lesehan atau posisi semi jongkok di atas kursi kayu kecil super pendek (Madura; jhangka’). Sebagian besar melakukannya di dapur, beranda atau di tempat-tempat lain sekitar pekarangan rumah. Pilihan jadwal di pagi hari disesuaikan dengan supply sinar matahari yang biasanya available sejak pagi hingga sore, tentu saja jika tidak hujan. Sementara mengapa pelakunya kebanyakan—untuk tidak mengatakan semuanya—adalah perempuan, barangkali karena pekerjaan ini terbilang tidak begitu berat secara fisik, meski bukan tak memerlukan ketelatenan, keterampilan dan kecakapan.
Kultur masyarakat Madura yang cukup ketat mengatur aktivitas perempuan di luar rumah barangkali juga bermain dalam dominasi ini. Pekerjaan sambilan membuat kudapan organik yang demikian tidak mengharuskan aktivitas di luar rumah secara rutin. Ini tentu tak termasuk aktivitas distribusi produk dan pengadaan bahan mentah singkong yang kadang kala mengharuskan aktivitas publik (ke sawah dan atau pasar). Dengan itu semua, kesibukan yang demikian dianggap cukup pantas dan wajar sebagai sampingan urusan-urusan domestik lain yang masih banyak dibebankan pada perempuan.
Sayangnya, kompensasi modal serta jasa dalam proses pembuatan kudapan ini terbilang tidaklah seberapa. Untuk seratus lembar keripik singkong organik ini, atau satu papan jemur, harga jual ke pembeli terakhir biasanya tak lebih dari 7.000-12.000 IDR. Jika dijual ke pedagang atau distributor, tentu harganya akan lebih rendah. Dengan kualitas bahan—seratus persen organik—serta proses pembuatan yang juga organik, keuntungan finansial yang didapat relatif tak sebanding. Rasa yang ditawarkan juga jauh dari murahan. Keripik mentah organik ini bahkan bisa langsung digoreng tanpa penyedap apapun. Tak heran, kudapan ini menjadi oleh-oleh khas dari dusun—atau desa dan daerah—kami karena terkenal kualitas rasanya yang—menurut banyak orang—unggul dan berbeda dari yang lain.
Jika produsen kudapan organik ini mengambil bahan mentah singkong dari sawahnya sendiri, maka keuntungan yang ia dapatkan bisa lebih besar. Meski lagi-lagi, hemat saya, terlihat jauh dari sebanding dengan proses demi proses yang dilalaui. Bayangkan saja, sebelum direbus, singkong harus terlebih dahulu dikupas, dicuci, kemudian diiris sesuai takaran satu keping kudapan. Namun demikian jika bahan mentah bukanlah milik pribadi, alias dari sawah orang/tetangga/saudara, maka total keping keripik yang didapatkan—atau hasil penjualan—harus dibagi dua dengan si empunya singkong.
Jumlah keuntungan finansial yang relatif kecil tersebut agaknya dapat diimbangi dengan prinsip residual karena profesi semacam ini cukup prospektif untuk berkelanjutan, meski tanpa perkembangan dan kemajuan berarti. Singkong berkualitas renyah dan tidak pahit (Madura: gharbu) relatif mudah didapat dalam semua musim dengan harga yang juga terjangkau dan perawatan yang tidak seberapa. Proses pembuatan—dan atau pengolahan—menjadi kudapan keripikpun bisa dilakukan tanpa bantuan mesin atau alat canggih yang memakan biaya, sedang permintaan pasar dan jalur distribusi sudah terbilang ajeg. Barangkali hal-hal ini yang membuat kudapan satu ini tetap bertahan sebagai primadona kudapan organik murah-meriah andalan desa kami.
Posting Komentar