Selebrasi Haji; Antara Ekspresi Syukur dan Budaya Konsumtif

Masyithah Mardhatillah*

Ada banyak hal yang identik dengan Bulan Dzul Hijjah, mulai dari Idul Adha, perayaan pernikahan hingga kedatangan jama’ah haji. Di antara ketiganya, yang disebut terakhir merupakan selebrasi yang tak hanya terbilang besar, akan tetapi juga khas. Berbagai rentetan ‘ritual’ kedatangan haji yang lumrah digelar menampilkan ciri-ciri khusus yang barangkali tak banyak didapatkan di luar Madura.

Momentum yang biasa dibahasakan dengan istilah hajjiyan ini biasanya dimulai dengan agenda menjemput jama’ah haji ke tempat kedatangan terdekat. Setelah itu, rombongan akan menuju kediaman tuan rumah dengan iring-iringan semacam konvoi yang tak jarang sampai melibatkan pengawalan dari aparat keamanan.
Bagian depan konvoi biasanya terdiri dari pengendara sepeda motor dengan salah satu atau beberapa pengendaranya yang menampilkan atraksi akrobatik. Belakangan, barisan tersebut juga kerap diisi dengan becak motor tanpa penumpang yang berjalan beriringan menambah kemeriahan sekaligus kebisingan suasana.

Ini masih ditambah dengan pick-up yang memutar lagu-lagu Arab atau salawat lewat sound system ber-volume tinggi di barisan belakang. Iring-iringan yang demikian mau tak mau menarik perhatian masyarakat, mulai pengguna jalan hingga warga sekitar. Mereka biasanya menyaksikan konvoi sembari mengisi waktu, menghindari macet, atau sekadar menghitung jumlah mobil rombongan.

Episode satu ini barangkali tidak secara langsung tampak berhubungan atau relevan dengan sakralitas ibadah haji yang baru selesai ditunaikan. Nuansa yang ditampilkan juga cenderung konsumtif, untuk tidak mengatakan hedonis. Namun demikian dalam beberapa hal, kemeriahan tersebut tak lebih merupakan ungkapan syukur atas kesempatan melaksanakan ibadah haji dengan lancar hingga kembali ke tanah air.

Alasan tersebut tampak masuk akal jika melihat masa tunggu berangkat yang belakangan menembus 20 tahun. Waktu yang demikian tentu memberikan banyak sekali kemungkinan dan sebagian di antaranya merupakan hal yang tak diharapkan. Lain dari itu, nominal biaya pendaftaran yang bukan tak fantastis dan harus ngendon dalam jangka waktu yang tak sebentar menuntut pertaruhan prioritas yang juga tak main-main.

***
Rentetan selanjutnya dari ritual kedatangan jama’ah haji di Madura adalah open house yang berlangsung sekitar 40 hari. Untuk keperluan ini, kediaman yang bersangkutan biasanya dihiasi dengan labang saketeng—semacam gapura—atau plastik banner di tempat-tempat strategis berisi ucapan “selamat datang” dan do’a-do’a yang relevan. Aksesoris-aksesoris seperti tenda, kursi, hingga ‘singgasana’ jama’ah haji ketika menemui tamu kerap kali juga dipasang.

Selama jangka waktu tersebut, para saudara, sahabat tetangga, rekan atau kolega ramai-ramai berkunjung. Ini biasanya diniatkan untuk menguatkan silaturrahmi, mendengar kisah perjalanan, hingga menambah motivasi sembari mengharap barokah doa agar segera ketularan menunaikan ibadah haji. Pada kesempatan ini, tuan rumah biasanya tampil dengan balutan busana ala Arab dan parfum khas serta menyalami dan memeluk setiap tamu.

Tak hanya menyuguhkan air zam-zam, kurma atau camilan khas Arab lain, tuan rumah biasanya menyiapkan suguhan makanan berat serta oleh-oleh haji kepada setiap pengunjung. Sementara itu, pengunjung—biasanya perempuan—datang dengan buah tangan berupa bahan pokok seperti beras atau gula. Tradisi take and give yang demikian merupakan salah satu varian tengka yang begitu populer di Madura.

Beberapa ilustrasi di atas kurang lebih menggambarkan bahwa biaya tengka haji di Madura memang tergolong tinggi. Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa biaya lain-lain semacam itu bahkan melebihi ongkos berangkat seorang jama’ah haji. Sayangnya, berhaji tanpa menggelar tengka yang demikian akan mendatangkan sanksi sosial yang bagi sebagian besar orang tak dapat dispelekan.
***
Terlepas dari hitung-hitungan soal apakah selebrasi yang demikian merupakan gaya hidup konsumtif—bahkan hedonis—ataukah sebagai ekspresi syukur, naik haji masih menjadi salah satu mimpi terbesar orang Madura. Menunaikan haji benar-benar menjadi penyempurna ‘status’ sosial sekaligus identitas mereka sebagai Muslim secara ritual hingga spiritual.

Menjadi ‘haji’ atau ‘hajah’ juga merupakan passage of life tersendiri utamanya dalam kehidupan sosial di Madura. Setelah berhaji, embel-embel ‘H’ atau ‘Hj’ tidak hanya tercantum di bahasa tulis, akan tetapi juga komunikasi lisan. Panggilan ‘haji’ ‘abah’ atau ‘umi’ akan disematkan pada yang bersangkutan, termasuk oleh keluarga terdekat bahkan orang tua atau saudara yang lebih tua.

Panggilan yang demikian biasanya akan membawa nuansa—positif—baru dalam banyak sisi kehidupan si jama’ah sedatangnya ia berhaji, mulai dari etika busana, tingkah laku, kebiasaan, tutur kata dan lain-sebagainya. Ini lebih dari cukup menunjukkan bahwa predikat haji tak hanya memberi konskuensi spiritual dalam hubungan dengan Tuhan maupun diri sendiri, akan tetapi juga dalam kehidupan sosial.

Pada akhirnya, selebrasi meriah nan konsumtif seperti tergambar di atas, dalam beberapa hal, kurang lebih merupakan sugesti ‘alam’ agar ‘gelar’ sebagai seorang haji dapat benar-benar dipertanggungjawabkan, minimal secara sosial.

*Ibu satu anak, dosen IAIN Madura dan co-founder Yayasan Paddhang Bulan Tacempah, Pamekasan.
Dimuat di Radar Madura, Jawa Pos, 09 September 2018.
Image captured by Samsung J2 Pro :)