Among
others, hari ini cukup
bersejarah bagiku karena aku dan keempat temanku menjalani prosesi
yang biasa disebut sumpah
jabatan. Prosesi
tersebut sekaligus menandakan transisi dari CPNS menuju PNS beserta
seluruh implikasi dan konsekuensinya. I
was supposed to be happy, sebenarnya.
Perjalanan singkat untuk lulus CPNS hingga ke tahap ini sungguh jauh
dari kata sederhana, meski tidak terlalu banyak suspense-nya.
And here the summit is!
Selain
‘acara’ kami berlima, beberapa dosen dan karyawan senior juga
menjalani ritual yang sama, meski namanya berbeda. Sebagian dari
mereka diresmikan sebagai pejabat setelah sebelumnya memangku amanah
sebagai PLT alias pelaksana tugas (kaya
UPT ga
si, kedengarannya) dan
sebagian lain—yang
jumlahnya lebih banyak—mendapat
promosi setelah, if I
am not mistaken, menjalani
semacam test kenaikan pangkat. Naik pangkat, bagi sebagian besar dari
mereka, adalah juga berarti pindah unit. Dari satu unit ke unit lain
dan begitu seterusnya, meski ada segelintir yang tetap di unit lama
hanya memangku jabatan yang lebih tinggi.
Salah
satu pejabat yang naik pangkat adalah Bapak Abdus Syakur, kepala
perpustakaan tempat aku bekerja. Sayangnya, Pak Syakur tidak
dipromosikan untuk tetap di perpus (mbok
ya bisa menjadi
supervisor
atau advisor
gitu, batinku) dan beliau dipastikan akan pindah unit per 1 Februari
besok. Di antara sederet nama yang disebutkan Pak Kabiro di atas
mimbar, Pak Syakur disebut, kalau tidak salah, nomor 7. Feeling-ku
sangat tidak enak begitu namanya disebut. Dredeg
dan seperti ingin
nyumbat telinga. And it
turns out to be true; beliau
dipindah ke unit lain dan bersama itu telingaku mengirim pesan ke
hati lalu ke mata yang selanjutnya terasa panas sebelum menggenang
dan mengelurakan sebulir dua bulir air.
WHAT
A LOSS! Everybody loves him!
Pertama
kali bertatap muka dengannya, ketika itu baru abis terima SK CPNS,
dianter oleh Pak Saifur kepegawaian, kami berlima menemui Pak Syakur
di ruangannya yang spacy
dan tertata rapi. Kami
ngobrol ringan lalu saling memerkenalkan diri dan dari situ aku tahu bahwa ia adalah
tetangga rumah. Komentar Mbak Ria ketika itu, “bapak ini wajahnya
adem.”
Aku mengiyakan dan belakangan, penilaian yang barangkali terburu-buru itu terbukti benar.
Pak
Syakur adalah pemimpin yang nyaris ideal. Ia murah senyum, suka berbaur
dengan bawahan (biasanya di meja sirkulasi dan belakangan di BI
Corner)
tanpa sedikitpun mengurangi wibawanya. Ia juga istiqamah shalat
jama’ah di masjid, puasa Senin Kamis, dan yang paling penting,
tidak pernah telat ceklok seperti aku. Seharian, ia bisa stay
di depan komputernya
dan available menerima
siapapun tamu yang mengetuk pintu ruangan.Hes doing what hes supposed to do and that's enough.
Sependek
yang kuamati, Pak Syakur sering sekali mengenakan kemeja putih,
bahkan di luar hari Senin dan Selasa. Sesekali batik, tapi hanya
sesekali. Langkahnya pelan namun mantap, seperti menunjukkan proses
dan tempaan lahir batin yang telah
dilaluinya. Pak Syakur juga tegas namun lembut, artikulatif dan, IMHO,
berwawasan. Ia selalu welcome
setiap aku
berkonsultasi dan bisa menjadikan obrolan mengalir dan suasana carir meski aku tak
selalu punya chat list.
Yang
juga tak boleh dilupakan, Pak Syakur selalu memerhatikan bawahan.
Ketika belakangan kami menggarap update
bibliography, ia
sempat mengatakan pada Bu Yenni agar memastikan ‘kesejahteraan’
kami para pekerja. Kasus yang sama juga terjadi perihal honor panitia
User Education,
kompensasi shelving dan
lain-lain. Ketika memimpin rapat, Pak Syakur juga pandai sekali
memosisikan diri sehingga suasana akan selalu 'pecah' meski point-point
rapat tetap tercapai. Lain dari itu, dalam rapat, Pak
Syakur sangat menghargai insight-insight
yang ditawarkan
teman-teman meski ia tegas menentukan sikap.
Sekilas kuperhatikan, Pak Syakur tidak hanya berbaur dengan bawahannya secara fisik, akan tetapi juga batin. Ketika kami sambang orang sakit, lelayu, tilik bayi, makan-makan, Pak Syakur akan duduk sama rendah bersama kami dengan guyonan-guyonan lucu yang justru membuatnya semakin berwibawa sekaligus dekat di hati kami. He makes our happiness complete.
Sekilas kuperhatikan, Pak Syakur tidak hanya berbaur dengan bawahannya secara fisik, akan tetapi juga batin. Ketika kami sambang orang sakit, lelayu, tilik bayi, makan-makan, Pak Syakur akan duduk sama rendah bersama kami dengan guyonan-guyonan lucu yang justru membuatnya semakin berwibawa sekaligus dekat di hati kami. He makes our happiness complete.
Dan
pastinya, setiap hari kerja, bahkan ketika acara User
Education di suatu Sabtu, ketika itu,
Pak Syakur datang bersama (seringkali sebelum) kami dan pulang juga
bersama (atau sesudah) kami bubar jalan. Dari pola itu, aku kerap
kali menilai Pak Syakur sebagai tipikal yang luar biasa konsisten,
tahan terhadap pola monoton yang kerap membosankan tapi juga memiliki
inisiatif yang inovatif.
Pak
Syakur juga merupakan sosok yang diidealkan oleh semua teori yang aku
pelajari selama Latsar. Abis ceklok dia akan ke ruangannya. Boro-boro
keluyuran untuk keperluan pribadi, aku tak yakin selama jam kerja
dia membuka akun media sosial atau yutub-an. Dan begitulah seterusnya
hingga jam ceklok pulang. Seingatku, Pak Syakur pernah ijin sekali
karena sakit dan keesokan harinya, ia sudah kembali masuk kantor.
Dari
beberapa perbincangan dengan Pak Syakur, aku mencatat beberapa hal
perihal agenda pembenahan perpustakaan yang ia mulai sejak masa
kepemimpinannya. Meski tak ada insight
yang lebih akademik
maupun perbandingan dengan tempat lain dan atau masa kepengurusan
sebelumnya, aku memandang bahwa arah menuju perbaikan tersebut mulai
jelas. Perpustakaan, tak lama lagi, bayanganku, benar-benar akan
menjadi jantung kampus. Slogan tersebut sepertinya tak hanya akan
menjadi pemanis belaka lagi.
Kami
baru saja merapatkan pra-design
gedung perpustakaan
yang baru serta mereka-reka apa saja hal baik yang dapat dieksekusi
selanjutnya. Kami juga belum rampung menggarap update
bibliography yang
kurang lebih sama dengan peremajaan rekaman data digital koleksi
perpustakaan. Eh, ujuk-ujuk
kepala perpustakaan
yang kami sayangi akan dipindah. Di tengah kegalauan dan harapan agar
pengganti Pak Syakur dapat memberi hal
yang sama, bahkan lebih,
aku berpikir nakal perihal there
is no growth in any comfort zone.
Asumsinya
nih, katakanlah, kami ‘dimanjakan’ dengan zona nyaman di bawah
kepemimpinan Pak Syakur. Kerjaan tidak seberapa, suasana penuh
kekeluargaan, kesejahteraan selalu diupayakan, beliau yang ‘berjarak’
namun selalu available
kapanpun dibutuhkan,
what could be better
than that? Lalu,
apakah di situ berarti tidak ada growth?
Ah, tidak juga. Justru
keadaan ideal demikianlah yang memfasilitas banyak growth
dan produktivitas yang
kami capai, meski sekali lagi itu belum seberapa. Well berarti slogan itu doesnt apply in every condition.
Jadi, kalaulah
ending-nya
Pak Syakur harus dipindah, itu semata-mata tantangan agar kami tetap
membuktikan profesionalisme di lingkungan baru yang barangkali
membutuhkan banyak adaptasi serta tampak tidak se-comfort
suasana kemarin yang
memang, terasa lebih indah ketika dikenang. Banyak hal yang memang
terasa sangat dan lebih wow sebelum dimiliki/dijalani atau setelah
tak lagi dimiliki/dijalani.Tugas selanjutnya, ya move on, menciptakan comfort zone di tempat--atau suasana baru--lalu fokus mengembangkan diri, produktivitas dan kontribusi (bahasanya technical sekali ya).
Above all, Pak Syakur adalah sosok panutan ideal. Ia sangat melek teknologi tapi ketika rapat atau forum lain tidak sibuk main hp. Ia juga—terlihat—begitu mencintai anak-anaknya, gemar membaca, pendengar yang baik atas keluh kesah bawahan, serta memberi teladan melalui lisan al-hal-nya. Sulit rasanya sosok Pak Syakur tergantikan, ia ibarat paket lengkap yang nyaris sempurna. Akan tetapi, semua orang tahu, perubahan dan dinamika adalah keniscayaan dan bagian tak terpisahkan dalam siklus hidup manusia. Dan kita, manusia, bersama makhluk lainnya, berada di antara kutub kehendak Tuhan yang tak terbatas dan keinginan yang juga tak ingin dibatasikarena maunya enak-enak terus.
Above all, Pak Syakur adalah sosok panutan ideal. Ia sangat melek teknologi tapi ketika rapat atau forum lain tidak sibuk main hp. Ia juga—terlihat—begitu mencintai anak-anaknya, gemar membaca, pendengar yang baik atas keluh kesah bawahan, serta memberi teladan melalui lisan al-hal-nya. Sulit rasanya sosok Pak Syakur tergantikan, ia ibarat paket lengkap yang nyaris sempurna. Akan tetapi, semua orang tahu, perubahan dan dinamika adalah keniscayaan dan bagian tak terpisahkan dalam siklus hidup manusia. Dan kita, manusia, bersama makhluk lainnya, berada di antara kutub kehendak Tuhan yang tak terbatas dan keinginan yang juga tak ingin dibatasikarena maunya enak-enak terus.
Selamat
dan sukses, Pak Syakur! All
the best!
Foto: Dokumentasi Pribadi
Posting Komentar