Pak Syakur, Comfort Zone dan Siklus Hidup Manusia

Diari 28 Januari 2019

Among others, hari ini cukup bersejarah bagiku karena aku dan keempat temanku menjalani prosesi yang biasa disebut sumpah jabatan. Prosesi tersebut sekaligus menandakan transisi dari CPNS menuju PNS beserta seluruh implikasi dan konsekuensinya. I was supposed to be happy, sebenarnya. Perjalanan singkat untuk lulus CPNS hingga ke tahap ini sungguh jauh dari kata sederhana, meski tidak terlalu banyak suspense-nya. And here the summit is!
Selain ‘acara’ kami berlima, beberapa dosen dan karyawan senior juga menjalani ritual yang sama, meski namanya berbeda. Sebagian dari mereka diresmikan sebagai pejabat setelah sebelumnya memangku amanah sebagai PLT alias pelaksana tugas (kaya UPT ga si, kedengarannya) dan sebagian lain—yang jumlahnya lebih banyak—mendapat promosi setelah, if I am not mistaken, menjalani semacam test kenaikan pangkat. Naik pangkat, bagi sebagian besar dari mereka, adalah juga berarti pindah unit. Dari satu unit ke unit lain dan begitu seterusnya, meski ada segelintir yang tetap di unit lama hanya memangku jabatan yang lebih tinggi.
Salah satu pejabat yang naik pangkat adalah Bapak Abdus Syakur, kepala perpustakaan tempat aku bekerja. Sayangnya, Pak Syakur tidak dipromosikan untuk tetap di perpus (mbok ya bisa menjadi supervisor atau advisor gitu, batinku) dan beliau dipastikan akan pindah unit per 1 Februari besok. Di antara sederet nama yang disebutkan Pak Kabiro di atas mimbar, Pak Syakur disebut, kalau tidak salah, nomor 7. Feeling-ku sangat tidak enak begitu namanya disebut. Dredeg dan seperti ingin nyumbat telinga. And it turns out to be true; beliau dipindah ke unit lain dan bersama itu telingaku mengirim pesan ke hati lalu ke mata yang selanjutnya terasa panas sebelum menggenang dan mengelurakan sebulir dua bulir air.
WHAT A LOSS! Everybody loves him!
Pertama kali bertatap muka dengannya, ketika itu baru abis terima SK CPNS, dianter oleh Pak Saifur kepegawaian, kami berlima menemui Pak Syakur di ruangannya yang spacy dan tertata rapi. Kami ngobrol ringan lalu saling memerkenalkan diri dan dari situ aku tahu bahwa ia adalah tetangga rumah. Komentar Mbak Ria ketika itu, “bapak ini wajahnya adem.” Aku mengiyakan dan belakangan, penilaian yang barangkali terburu-buru itu terbukti benar.
Pak Syakur adalah pemimpin yang nyaris ideal. Ia murah senyum, suka berbaur dengan bawahan (biasanya di meja sirkulasi dan belakangan di BI Corner) tanpa sedikitpun mengurangi wibawanya. Ia juga istiqamah shalat jama’ah di masjid, puasa Senin Kamis, dan yang paling penting, tidak pernah telat ceklok seperti aku. Seharian, ia bisa stay di depan komputernya dan available menerima siapapun tamu yang mengetuk pintu ruangan.Hes doing what hes supposed to do and that's enough. 
Sependek yang kuamati, Pak Syakur sering sekali mengenakan kemeja putih, bahkan di luar hari Senin dan Selasa. Sesekali batik, tapi hanya sesekali. Langkahnya pelan namun mantap, seperti menunjukkan proses dan tempaan lahir batin yang telah dilaluinya. Pak Syakur juga tegas namun lembut, artikulatif dan, IMHO, berwawasan. Ia selalu welcome setiap aku berkonsultasi dan bisa menjadikan obrolan mengalir dan suasana carir meski aku tak selalu punya chat list.
Yang juga tak boleh dilupakan, Pak Syakur selalu memerhatikan bawahan. Ketika belakangan kami menggarap update bibliography, ia sempat mengatakan pada Bu Yenni agar memastikan ‘kesejahteraan’ kami para pekerja. Kasus yang sama juga terjadi perihal honor panitia User Education, kompensasi shelving dan lain-lain. Ketika memimpin rapat, Pak Syakur juga pandai sekali memosisikan diri sehingga suasana akan selalu 'pecah' meski point-point rapat tetap tercapai. Lain dari itu, dalam rapat, Pak Syakur sangat menghargai insight-insight yang ditawarkan teman-teman meski ia tegas menentukan sikap. 

Sekilas kuperhatikan, Pak Syakur tidak hanya berbaur dengan bawahannya secara fisik, akan tetapi juga batin. Ketika kami sambang orang sakit, lelayu, tilik bayi, makan-makan, Pak Syakur akan duduk sama rendah bersama kami dengan guyonan-guyonan lucu yang justru membuatnya semakin berwibawa sekaligus dekat di hati kami. He makes our happiness complete. 
Dan pastinya, setiap hari kerja, bahkan ketika acara User Education di suatu Sabtu, ketika itu, Pak Syakur datang bersama (seringkali sebelum) kami dan pulang juga bersama (atau sesudah) kami bubar jalan. Dari pola itu, aku kerap kali menilai Pak Syakur sebagai tipikal yang luar biasa konsisten, tahan terhadap pola monoton yang kerap membosankan tapi juga memiliki inisiatif yang inovatif.
Pak Syakur juga merupakan  sosok yang diidealkan oleh semua teori yang aku pelajari selama Latsar. Abis ceklok dia akan ke ruangannya. Boro-boro keluyuran untuk keperluan pribadi, aku tak yakin selama jam kerja dia membuka akun media sosial atau yutub-an. Dan begitulah seterusnya hingga jam ceklok pulang. Seingatku, Pak Syakur pernah ijin sekali karena sakit dan keesokan harinya, ia sudah kembali masuk kantor.
Dari beberapa perbincangan dengan Pak Syakur, aku mencatat beberapa hal perihal agenda pembenahan perpustakaan yang ia mulai sejak masa kepemimpinannya. Meski tak ada insight yang lebih akademik maupun perbandingan dengan tempat lain dan atau masa kepengurusan sebelumnya, aku memandang bahwa arah menuju perbaikan tersebut mulai jelas. Perpustakaan, tak lama lagi, bayanganku, benar-benar akan menjadi jantung kampus. Slogan tersebut sepertinya tak hanya akan menjadi pemanis belaka lagi.
Kami baru saja merapatkan pra-design gedung perpustakaan yang baru serta mereka-reka apa saja hal baik yang dapat dieksekusi selanjutnya. Kami juga belum rampung menggarap update bibliography yang kurang lebih sama dengan peremajaan rekaman data digital koleksi perpustakaan. Eh, ujuk-ujuk kepala perpustakaan yang kami sayangi akan dipindah. Di tengah kegalauan dan harapan agar pengganti Pak Syakur dapat memberi hal yang sama, bahkan lebih, aku berpikir nakal perihal there is no growth in any comfort zone.
Asumsinya nih, katakanlah, kami ‘dimanjakan’ dengan zona nyaman di bawah kepemimpinan Pak Syakur. Kerjaan tidak seberapa, suasana penuh kekeluargaan, kesejahteraan selalu diupayakan, beliau yang ‘berjarak’ namun selalu available kapanpun dibutuhkan, what could be better than that? Lalu, apakah di situ berarti tidak ada growth? Ah, tidak juga. Justru keadaan ideal demikianlah yang memfasilitas banyak growth dan produktivitas yang kami capai, meski sekali lagi itu belum seberapa. Well berarti slogan itu doesnt apply in every condition. 
Jadi, kalaulah ending-nya Pak Syakur harus dipindah, itu semata-mata tantangan agar kami tetap membuktikan profesionalisme di lingkungan baru yang barangkali membutuhkan banyak adaptasi serta tampak tidak se-comfort suasana kemarin yang memang, terasa lebih indah ketika dikenang. Banyak hal yang memang terasa sangat dan lebih wow sebelum dimiliki/dijalani atau setelah tak lagi dimiliki/dijalani.Tugas selanjutnya, ya move on, menciptakan comfort zone di tempat--atau suasana baru--lalu fokus mengembangkan diri, produktivitas dan kontribusi (bahasanya technical sekali ya). 

Above all, Pak Syakur adalah sosok panutan ideal. Ia sangat melek teknologi tapi ketika rapat atau forum lain tidak sibuk main hp. Ia juga—terlihat—begitu mencintai anak-anaknya, gemar membaca, pendengar yang baik atas keluh kesah bawahan, serta memberi teladan melalui lisan al-hal-nya. Sulit rasanya sosok Pak Syakur tergantikan, ia ibarat paket lengkap yang nyaris sempurna. Akan tetapi, semua orang tahu, perubahan dan dinamika adalah keniscayaan dan bagian tak terpisahkan dalam siklus hidup manusia. Dan kita, manusia, bersama makhluk lainnya, berada di antara kutub kehendak Tuhan yang tak terbatas dan keinginan yang juga tak ingin dibatasikarena maunya enak-enak terus.
Selamat dan sukses, Pak Syakur! All the best!   
Foto: Dokumentasi Pribadi