Update Bibliography & Amal Jariyah Pustakawan (1-habis)



Kalau Kalian mengunjungi perpustakaan, baik bangunannya di dunia nyata atau rumahnya di dunia maya, aktivitas yang Kalian lakukan rasanya tidak akan jauh-jauh dan masih berkisar seputar pencarian buku atau bahan pustaka lain. Nah, menyusul semakin canggihnya teknologi informasi belakangan, maka untuk menyukseskan misi itu, Kalian tak perlu memeriksa satu persatu judul buku di rak klasifikasi sesuai tema buku yang dicari. Selain dibantu oleh klasifikasi desimalnya Pak Dewey, perpustakaan-perpustakaan umumnya telah memanfaatkan kemajuan teknologi computer dengan menyediakan mesin pencarian semacam Google atau Yahoo.

Mesin pencarian tersebut biasanya terintegrasi dengan software yang digunakan. Sependek yang kuketahui, mesin pencarian yang biasa digunakan di perpustakaan lazim disebut OPAC, meski software yang digunakan tidak sama. Di kampus tempat aku berkuliah dan tempat aku mengabdi, OPAC-lah yang dipakai sebagai jalan pintas untuk menemukan sebuah bahan pustaka. OPAC sendiri menjadi familiar karena mudah diucapkan lidah Indonesia dan nyaris serupa dengan jajanan ala Jawa Barat yang kalau di Madura mungkin tak berbeda denga keripik atau kerupuk. OPAC adalah kepanjangan dari Online Public Access System yang kurang lebih berarti Sistem Akses Publik Daring. Dari namanya, terkesan bahwa aplikasi ini western centered. Barangkali memang produk mereka, tak apalah. Menggunakannya tak menjadikanmu kafir.

Sayangnya, tak sedikit pengguna perpustakaan yang mengaku tetap kesulitan mendapatkan informasi perihal bahan pustaka yang dicari meski sudah menggunakan OPAC. Padahal, tak jarang, ketika dicari di rak koleksi, buku yang dicari nangkring di situ. OPAC bilangnya tidak ada, padahal ternyata ditemukan. Kasus lain, dan ini paling banyak terjadi, adalah ketika OPAC mengatakan bahwa buku tertentu ada di rak segitu, tapi ketika disamperi ternyata raib. Dari ujung atas paling kiri sampai ujung bawah paling kanan, dari rak depan hingga rak belakang, buku yang dicari tidak muncul juga. Padahal OPAC memastikan ketersediaannya, seringkali dalam jumlah eksemplar yang fantastis untuk mendatangkan keheranan kemudian keputusasaan si pencari.

Mengapa hal demikian masih terjadi di dunia yang sudah canggih ini? Ada banyak faktor tentunya. Bisa jadi pengunjung yang typo menulis kata kunci di kotak pencarian, kata kunci yang terlalu umum, terlalu spesifik, diksi atau spelling yang rawan typo, semangat juang—mencoba berbagai kata kunci dan men-scroll hingga bagian bawah—yang tak seberapa, buku yang sengaja disasarkan di rak lain oleh tangan-tangan mulya—yang sayangnya tidak bertanggungjawab—atau kemungkinan terakhirnya adalah… Data di server perpustakaan yang belum diperbaharui alias belum di-update. Jadi khan, setiap koleksi yang dimiliki perpustakaan itu tidak hanya dipajang begitu saja di rak atau dipinjamkan, akan tetapi juga dicatat identitasnya di database. Istilah teknisnya kalau tidak salah entri data. Data itulah yang kemudian akan diintegrasikan dengan sistem computer sehingga pengunjung bisa memanfaatkannya untuk mendapatkan informasi perihal keberadaan, identitas hingga jumlah bahan pustaka yang tengah dicari.

Karena pentingnya data di sistem itulah, barangkali, atau mungkin juga sudah SOP, atau paling pragmatisnya, menjelang akreditasi, liburan semester kali ini kami isi dengan melaksanakan agenda pembaharuan bibliografi (UB, to be short). Jadi FYI, meski mahasiswa liburan semester, kampus tetap buka dan karyawan tetap ngantor. Ketika jumlah pengunjung surut karena sebagian besar mereka sedang berlibur, tidak berarti karyawan kemudian bisa lepas dari kesibukan. Kami hanya ganti ritme. Kalau biasanya melayani pengunjung langsung, kali ini tugas kami menyiapkan layanan yang lebih baik (apa sih bahasanya).

Agenda ini, sepembacaanku, juga menjadi urgen karena tak jarang, ditemukan informasi penting yang tidak terisi atau penulisan data yang salah. Ini akan menyulitkan pengunjung yang sedang mencari informasi atau keberadaan sebuah buku. Yang lebih parah lagi, pengunjung yang putus asa mencari buku yang mereka butuhkan akan dengan mudah sesumbar, buku di perpustakaan sini ga lengkap. Aku cari ga ada. Dan itu, kemudian, dipolitisir menjadi alasan melakukan copy paste makalah di internet untuk tugas kuliah. Padahal, seringkali, itu hanya soal teknis. Kata kunci yang kurang tepat, pengunjung yang kurang ngotot, atau kalau bukan, ya seperti kusebut tadi, data di server yang memang perlu peremajaan.

Jadilah, dengan satu atau beberapa alasan seperti disebut di atas, dan mungkin juga alasan lain, sejak hari kedua tahun 2019, kami ber-21—ya kurang lebih segitu—memulai kerja update bibliography (UB ya UB). Dikomandani oleh Mas Umam yang ditunjuk langsung oleh Bu Neli, disepakati Pak Syakur dan didukung aklamatif oleh peserta forum, kerjapun dimulai dengan simbolisasi pembukaan ruang tandon di sebelah ruang Kapus. Hampir sama dengan arti lain dari tandon, yakni tempat menampung air sebelum dialirkan ke bak terakhir, koleksi tandon menampung satu eksemplar bahan pustaka dari masing-masing koleksi yang masuk wilayah sirkulasi. Jadi idealnya, jika ada buku yang dipastikan benar-benar raib di rak koleksi, maka cadangan terakhirnya adalah di tandon. Itulah kenapa, koleksi di tandon tidak dipinjamkan dan ruang tandon, setauku, baru dibuka ketika ada agenda ini.

Lalu, apa aja yang terjadi selama proses UB itu?

Karena ruang tandon terletak di lantai II, maka ruangan yang disasar untuk menjadi markas UB adalah ruangan yang juga di lantai II. Di antara ruangan-ruangan yang ada, ruang P2SD lah yang paling layak karena selain letaknya berseberangan dengan ruang tandon, luasnya terbilang lumayan, meski masih luas ruang Kapus. Ruangan terpilih harus dekat dengan ruang tandon karena untuk tahap pertama, buku-buku dari rak sirkulasi-lah—yang cadangan sekaligus ‘arsip’nya disimpan di tandon— yang akan diproses. Kalau jauh, kerja bisa tidak efektif karena acara gotong-menggotong buku bolak balik dari ruang tandon ke pusat berlangsungnya agenda UB akan lebih melelahkan.

Jadilah, lagi-lagi barangkali, dengan alasan itu, Ruang P2SD kemudian disulap menjadi ruang kerja dengan menggotong 5 unit computer dan beebrapa kursi serta meja. Idealnya, dalam sekali waktu, di ruang tersebut, ada 5 pustakawan yang bekerja melakukan UB. Selain di situ, ada juga yang menggunakan fasilitas di ruang administrasi, perawatan hingga BI Corner, baik menggunakan fasilitas computer umum atapun milik pribadi.

Bagiku, yang paling preferrable di antara semua adalah di ruang P2SAD karena pekerjaan baru tak hanya membutuhkan semangat, akan tetapi juga kondisi menyenangkan dan bimbingan serta pengarahan. Percuma semangat membara tanpa suasana kondusif dan bimbingan. Jatuhnya ia akan mudah padam karena ditempa kesulitan teknis berkali-kali. Di ruang itu juga, ada Bu Neli yang menjadi tempat bertanya hampir semua pustakawan perihal kesulitan yang mereka temui. Selain itu, obrolan-obrolan santai di tengah pekerjaan—yang meski tak membutuhkan konsentrasi penuh tetap melelahkan—tersebut sangat membantu mencairkan suasana dan menetralisir ketegangan sendi maupun lalu lintas otak. Belum alunan audio dari satu—atau lebih—computer yang membuat waktu seolah-olah berlalu lebih cepat dari biasanya.

Sekali waktu, ketika tidak kebagian seat di ruang P2SAD—berlaku prinsip SCDD alias siapa cepat dia dapat—aku harus pindah ke ruangan lain dan bolak-balik ke situ untuk bertanya pada Bu Neli. Energy and emotion consuming sekali. Niat kerja dari awal jadi terganggu dengan hal-hal teknis sehingga sebisa mungkin, aku booked kursi di ruang P2SAD agar kejadian sama tak terulang lagi. Most of time, it works, meski kadang kalah mruput dari yang lebih sregep. Konsultasi pada senior, dalam pekerjaan ini, begitu dibutuhkan karena meski pada rapat pertama sebelum kerja ini dimulai, kami sudah menyepakati beberapa hal, ada kejadian-kejadian di lapangan yang wilayahnya di luar kebiasaan.

Jika kubandingkan dengan agenda pada liburan semester tahun lalu, yakni entri data buku baru, maka agenda UB ini, kurasa, lebih melelahkan. Entri data, secara umum, lebih pada naluri ketelitian mata dan jari, ketahanan stamina serta penguasaan teori. Lebih jauh dari itu, UB punya lebih banyak dimensi karena juga melibatkan emosi dan etos kerja (baca: kesabaran, kejelian dan, kalau kata Orang Madura, ke-sele’­-an) berhadapan dengan data yang dientri sekian tahun lalu, buku yang diterbitkan puluhan tahun lalu atau bahasa yang dicetak dengan font huruf ala negeri dongeng karena susah dipahami. Perihal jarak dan waktu memang lebih sering mendatangkan chaos daripada harmony (kenapa bahasannya sampai sini sih)

UB memang tidak mudah dan jauh dari kata sederhana. Karena itulah, Bu Neli bilang, agenda ini, ia harapkan bisa menjadi salah satu amal jariyah-nya. Tapi ngomong-ngomong, UB ngapain aja si? To Be Continued

PS: Gambar hanya deskripsi, bukan pemanis. Digandakan dari WAG Pustaka 07 :)