Sejak ada mesin ceklok baru yang dipasang di kantor pusat beberapa waktu lalu, kini aku tak lagi bingung dan sudah yakin dengan ejaannya. Meski ya, tetap saja, lebih simple dan ramah ditulis dengan simply CEKLOK. Kalau ejaannya nurut yang asli dan benar, nulisnya lama dan space yang dihabiskan jadi banyak. Jadi ya, di sepanjang tulisan ini, selain pada judul, aku akan menulis CEKLOK instead of CHECK-CLOCK yang barangkali, kurang lebih berarti pengecekan jam. Jam berapa datang dan jam berapa pulang. Idealnya sih begitu. Ceklok dua kali sehari. Ya meski belakangan, aku sempat mendengar cerita dari seorang teman yang suaminya berprofesi sama denganku, CPNS satu angkatan denganku (tapi beda kampus), dan dia ceklok empat kali sehari.

Oh, Tuhan, ngapain aja ceklok empat kali sehari? Benarkah sesumbar yang mengatakan bahwa ceklok adalah berhala baru? Nah sesumbar ini aku dapat dari seorang pemateri yang bawain presentasinya boring banget. Saking boring¬-nya, hal yang aku inget dari dia sebatas soal berhala ini. Yang lain ga ada. Padahal ekspektasiku tinggi sekali. Balik lagi ke soal ceklok empat kali sehari. Jadi menurut temanku yang sekamar denganku ketika di Palu itu, sejak beberapa bulan sebelumnya, rute ceklok si suami ada empat: Ceklok pertama adalah ketika datang, ceklok kedua ketika istirahat mulai, ketiga ketika istirahat selesai dan terakhir ketika akan pulang. Benar-benar berhala sekaligus penjara. Eh baru kemarin ada yang mosting di salah satu WAG bahwa kabupaten tetangga sudah menerapkan mekanisme ceklok yang begitu pada karyawannya.

Would that be effective?
Tidak selalu. Sekali lagi ceklok hanya symbol. Ia tak lebih dari mekanisme untuk mendisiplinkan pegawai. Durasi setelah ceklok datang hingga sebelum ceklok pulang idealnya dipakai untuk mengerjakan tugas dan fungsi masing-masing. Baik di kantor maupun di luar kantor. Berdiam di kantor tapi tidak melakukan tugas tentu tidak lebih baik dibanding ngeluyur (atau istilah kerennya dines luar, meski artinya bisa luar kantor atau luar kota) dalam rangka mengerjakan tugas. Jadi ukurannya bukan soal apakah abis ceklok langsung masuk kantor atau malah ngeluyur ke luar ya. Meski ya tetap aja visually, ceklok langsung ngantor itu terlihat lebih ‘lurus’ daripada ceklok langsung ngeluyur. Sekilas lo sekilas, sebab yang catatannya gabisa dikibuli cuma Malaikat Raqib dan Atid, bukan mesin ceklok.

Nah, jadi, soal ceklok empat kali sehari yang frekeuensinya bahkan lebih tinggi dari jadwal minum obat itu, aku melihatnya juga sebagai rangsangan agar pegawai atau karyawan lebih bertanggungjawab terhadap tugasnya. Asumsi yang dibangun adalah bahwa the longer they stay at the ofiice, the better their works would be. Jadi dasarnya aku sangat mengapresiasi aturan tersebut meski tidak bisa membayangkan jika aturan demikian diberlakukan di tempat aku bekerja. Selama ini aku sudah kewalahan—meski merasakan banyak manfaat—ceklok dua kali sehari. Bagaimana jika empat kali dan ada kejadian tidak biasa semisal harus beristirahat di rumah, ada hajatan di luar kampus atau tengka lain yang harus ditunaikan? Jadi ya, sudah, dua kali ceklok itu sudah cukup menjadikanku sebagai pseudo robot.

***
Mesin ceklok baru yang tidak lagi mengucapkan terimakasih saja itu, akan tetapi dengan sudah tersimpan sukses menjadi berhala sedikitnya karena beberapa hal berikut. Pertama, ia kini terintegrasi dengan sistem yang versi full-nya sudah ter-launching bernama SIMPADU. Setiap pegawai memiliki ID dan password dalam sistem SIMPADU yang memungkinkan ybs mengecek jam datang dan jam pulangnya setiap hari. Selama ini aku belum pernah menemukan missedrecording dalam sistem tersebut meski tak mengeceknya tiap hari. Yang kurasakan justru sistem ini membantu bagi mereka yang lupa ceklok datang jam berapa. Awalnya aku kira kelupaan dalam hal ini tidak mungkin terjadi karena aku nyaris selalu mengingat angka yang menyambutku ketika menampakkan wajah seraya bercermin dan testing sedikit senyum setiap pagi itu. Tapi ternyata, belakangan, setelah mengalaminya sendiri, aku bersyukur dengan adanya sistem tersebut karena terselamatkan. Biasanya karena lagi banyak errand list di kepala jadinya potensi gagal fokus jadi besar.


Kedua
, ia juga terintegrasi dengan sistem pembayaran, baik untuk UM alias Uang Makan, Tukin pegawai dan—kabarnya—Tukin Dosen yang isu tentangnya ngalah2i debat pendukung capres nomor 1 dan nomor 2. Meski ini tidak berlaku bagi semua yang melakukan ritual ceklok, aku pribadi merasakan betul financial impact-nya. Kalau tidak salah, hitungan tiap hari kerja, jika ceklok in dan outnya sesuai prosijer, dapatnya Rp.35.150. Tinggal kalikan ada berapa hari kerja dalam sebulan. Siapa yang mau berbaik hati rutin memberi uang segitu setiap hari kerja kalau bukan mesin ceklok? Eh. Selain soal itu, menurutku, perihal ceklok ini juga tak jauh kaitannya dengan soal sanksi sosial. Mereka yang datang pada atau sebelum jam 07.30 dapat segera bubar jalan begitu jam 16.00 (pada hari biasa dan 16.30 pada Hari Jum’at). Hambatannya paling hanya perlu antri sebentar untuk bisa ceklok pulang. Antrian yang tidak panjang tersebut akan dengan segera surut dan berganti pemandangan dengan mereka yang masih mondar-mandir, duduk-duduk (kadang sambil ngobrol dengan manusia lain atau gawai) atau simply spending time sambil menunggu deretan angka tertentu muncul di mesin ceklok sesuai durasi keterlambatan.

Dan percayalah, itu tidak enak. Meski merupakan semacam punishment dari keterlambatan, tetap saja waktu njagong dengan pandangan kosong itu relatif terbuang. Waktu dengan keluarga atau apapun di luar jam kantor jadi berkurang dan pandangan orang-orang yang tak sengaja bertemu, betapapun terlihat indah, tidaklah benar-benar seperti yang terlihat. Masih lebih indah ketika ceklok datang tepat waktu dan berpapasan dengan hilir mudik di kantor pusat yang meski tak ada sinyal-sinyal apapun, terdengar menyiratkan selamat pagi dan *wah, selamat. Kamu datang tepat waktu. Have a good day!* Berbeda sekali dengan pemandangan ketika datang terlambat. Mesin ceklok terasa lebih jauh posisinya daripada letak ia yang biasa. Pandangan mata orang-orang jadi terasa menghakimi padahal mereka sebenere biasa aja dan saat mesin ceklok akhirnya berbunyi, rasa lega pada akhirnya sudah sampai di situ langsung disambut dengan bayangan *nanti nunggu ceklok pulang mau ngapain aja*.


Yang ketiga
, ceklok menjadi berhala karena meski ia terberdayakan oleh sambungan listrik sehingga asumsinya kalau listrik mati, ceklok manual bisa menjadi pilihan, itu tidak berlaku lagi. Ini tentu berita buruk bagiku yang suka kegirangan ketika listrik mati di jam-jam ceklok. Sore itu listrik mati dan you know what, ada genset (diesel) di kampus yang nyala sehingga mesin ceklok juga tetap nyala. Aku ingat sekali ketika itu, aku dan beberapa karyawan senior harus pindah tempat ceklok ke area seputar genset dan melakukan let say transaksi di dekat mesin genset yang gede dan bising banget. Seingatku, aku pernah mengisi ceklok manual tak lebih dari dua kali dan kenangan indah itu sepertinya akan susah terulang.

***

Anyway, namanya aja berhala. Meski punya kekuatan tersendiri yang dapat menggerakkan orang lain, tetap aja mesin ceklok tidak bisa leluasa bergerak seperti kami manusia, para pemakai dan pemujanya. Setelah berbagai cerita soal akal-akalan para pegawai di seantero negeri untuk mengalahkan kesaktian mesin ini, mulai dari mengguyurinya kopi, membawanya pulang ke rumah, memformulasi cara untuk membobol sistem keamaannya, tetap aja ia bisa diakali meski tidak dengan cara-cara sakti juga. Yang paling gampang ya begini. Ceklok pagi sebelum keramaian dimulai, lalu melanglang buana untuk urusan non-kerjaan dan kembali ceklok pulang ketika kantor uda sepi. Atau ya tidak usah ceklok sekalian. Kalau tidak demikian ya, ceklok seperti biasa. Stay di kantor untuk sekian persen kerjaan, sekian persen non-kerjaan. Khan prinsipnya fleksibilitas dan multiperan di berbagai lini. Modus semacam ini tidak bisa langsung distempel begini dan begitu karena barangkali, sistem yang kaku memang perlu sedikit polesan kelenturan di sana sini.

Apapun itu, tidak berlebihan kiranya jika resolusi tahun depan adalah bersahabat lebih intim dengan mesin ceklok dan lebih produktif mengelola waktu produktif! Happy Welcoming 2019!

Image: http://humancapital-management.net

Awal bulan kemarin Rauhia genap berusia 1.5 tahun menurut hitungan kalender Masehi. Seperti yang banyak diungkapkan orang-orang, rasanya waktu berlalu cepat sekali. Baru kemarin rasanya aku hamil, melahirkan, lalu menjalani hari-hari pertama penuh kejutan dan hal baru. Tiba-tiba, seperti hanya melalui beberapa kedipan mata, bayi yang betah berlama-lama di perutku itu sudah ada di dunia. Bisa berjalan, —belajar—berbicara, bisa protes, bisa merespon ok atau no, juga memiliki cara untuk mutung atau ngambul.

***

Sejak memiliki kewajiban ngantor setiap hari kerja, praktis beberapa hal yang aku bangun dari awal harus mengalami beberapa modifikasi. Ini tentu bukan hal baru dan sudah lama kujalani, tapi tetap saja idealisme-idealisme itu sering datang hingga hari ini dan menuduhku semacam unsuccessful mother . Program MPASI Rauhia nyaris sepenuhnya berhasil ketika aku masih full di rumah. Setiap hari aku mengenalkannya berbagai jenis makanan dan leluasa mengatur nyaris semua-muanya. Porsi, cara masak, bebas garam gula, hingga penyajian. Sekarang, menu harian Rauhia saja aku sering tak tahu. Aku berangkat sebelum ia sarapan dan pulang setelah ia makan malam/sore. Rasanya tak ada yang lebih tidak becus daripada itu.

Hal yang bisa kulakukan sementara, di masa—ya katakanlah—orientasi ini sekadar memastikan bahan makanan—beras merah dan buah—aman dan tersedia. Untuk sayur, prothew dan prona, biasanya Rauhia sudah mengonsumsi menu keluarga. Tidak perlu lagi ada sesi masak khusus untuk santapannya. Sesekali kubelikan ia kudapan, semisal S*ri Roti atau cemilan favoritnya sejak baru berusia 6 bulan, S*N biscuit. Rauhia juga sering minta join ketika melihatku makan, tapi ini tak selalu bisa kukabulkan karena menuku tak bisa lepas dari cabai.

Sejak beberapa bulan yang lalu, Rauhia ditemani Mb Hasnah, tetangga yang juga masih family, ketika aku tak di rumah. Saat akhir pekan Mb Hasnah juga sering datang meski biasanya tidak full sehari. Aku merasa cukup leluasa mengontrol menu makanan dan kudapan Rauhia via Mb Hasnah dan beberapa kali kukatakan, gapapa anaknya nangis dibanding nyantap makanan yang ga sehat. Mengetahui kehati-hatianku, Mb Hasnah sering bertanya apa makanan tertentu boleh dikonsumsi Rauhia atau tidak. Itu sedikit membuatku lega.

Aku bukan tak memertimbangkan mitos atau kepercayaan berantai bahwa semakin anak diatur makanannya—dan dilarang makan sembarangan—, semakin mudah dan sering ia akan jatuh sakit. Hal yang sama kurang lebih juga kutemui dalam diriku sendiri. Dibanding dua adikku yang tidak bermasalah menyantap air mentah, aku adalah yang paling ronyik dan dikit-dikit sakit. Tentu sebelum aku ikutan FC. Cuma tak pikir-pikir, kalau anak dibiarkan jajan apapun hanya demi agar dia tidak nangis dan sama dengan preferensi teman-temannya, rasanya ga bener juga.

Misalnya nih, misalnya, aku yang sudah dewasa saja emoh menyantap sosis goring dengan bubuk cabe atau saus sambal, masa anakku mau dibolehin? Fine lah sekali-kali dia jajan coklat atau snack semacamnya, tapi kalau dibikin sering, bukannya nanti akan ketagihan dan dikit-dikit jajannya itu? Sepertinya jauh lebih baik mengarahkan anak untuk menyukai buah, kudapan basah atau kering yang sehat dan –terlihat—higienis. Dalam hal ini aku punya pegangan prinsip bahwa semakin cepat kadaluarsa/pendek durasi bertahan sebelum basi, semakin baik dan sehat makanan tersebut. Rauhia tak pernah kubatasi menyantap camilan basah, termasuk pentol bakso atau oleh-oleh dari hajatan, tapi agak kufilter untuk kudapan-kudapan kering yang tanggal kadaluarsanya masih lama.

Nyinyiran dan komentar tidak perlu mesti ada, tapi aku tetap keukeuh dan meniatkannya untuk membentuk pola makan Rauhia hingga ia dewasa nanti. Sekali waktu aku melihat Rauhia doyan sekali minum Susu Yak*lt. Entah siapa yang memberinya pertama kali. Dia kelihatan suka dengan rasanya dan dengan cepat menandaskan setengah isi botolnya. Aku buru-buru melihat keterangan di kemasan dan tidak mendapatkan keterangan apakah minuman tersebut aman dikonsumsi anak belum 2 tahun. Jika sudah begini, aku akan bertanya pada Ibu Bidan karena seringkali, mencari informasi di internet bikin pusing dan tambah was-was karena everybody could easily say something about or out of his/her expertise.

Saat akhir pekan dan full di rumah, aku seringkali terkejut mengetahui perkembangan-perkembangan yang terjadi pada Rauhia. Tiba-tiba dia sudah bisa melakukan hal baru, mampu mengatakan kata baru, atau menunjukkan gelagat baru yang belum pernah kulihat di sela-sela berangkat pagi pulang soreku. Dia yang dulu masih disuapi dalam posisi terlentang atau duduk di baby walker sekarang sudah bisa menunjukkan reaksi emoh ketika disuapi makanan yang barangkali secara tampilan kurang menarik. Buah naga yang dulu disukainya sekarang tak banyak menarik seleranya. Dia tetap suka sayur bahkan seringkali emoh makan nasi dan lebih memilih sayur dengan metode Baby Led Weaning ala dia; diacak-acak dan seringkali pakai tangan telanjang. Terkadang dia request ‘kok’, ikan dalam Bahasa Madura, atau baru mau lahap makan jika santapanya ditaburi remahan kerupuk yang dia sebuah ‘puk’. Lain dari itu, sekarang, Rauhia juga sudah pintar menyuapiku, tak hanya bisa disuapi.

Rauhia suka sekali menyantap mie dan aku harus memastikan mie instant tidak masuk di daftar makanan yang ia santap. Emaknya aja ga mau makan mie instant, masa anaknya dikasih. Entah karena rasa atau bentuknya, aku melihat Rauhia begitu antusias memakan mie. Ketika kuajak dia ngebakso, Rauhia sering lebih fokus pada mie dibanding pada baksonya. Kali lain aku mengajaknya menghadiri undangan manten dan, you know what, dia langsung mendekati piring berisi mie dan menyantapnya langsung tanpa makanan lain. Bihun juga demikian. Makanan campor begitu ia sukai karena ada unsure mie di dalamnya.

***

Selain soal pola dan menu makan, banyak perkembangan lain dari Rauhia. Meski masih tak lepas dari popok sekali pakai, ia sudah kubiasakan mandi di kamar mandi dan bukan di outdoor lagi. Ini sebenarnya bermula ketika ia tinggal di kos dan tak menemukan lincak andalan orang Madura ketika memandikan anak kecil. Ia yang ketika itu sudah belajar berdiri mandi sambil berpegangan ke kloset duduk di kamar mandi kosnya. Dari situ ia terbiasa mandi indoor sehingga sepulangnya dari Surabaya, ia tak terkejut lagi ketika kuajak mandi di kamar mandi. Rauhia juga sering kuajak ke kamar mandi ketika akan BAK dan wudhu’. Setelah menaruhnya di tempat aman—tidak licin dan bebas dari najis—aku melaksanakan hajatku dan memberitahunya apa yang baru saja kulakukan.

Ketika BAB, Rauhia juga sudah belajar member kode selain aromanya yang seringkali tercium. Ia biasanya akan tengkurep lalu mengangkat bokong untuk mengejan. Jika tidak demikian, ia akan jongkok dan terlihat berusaha mengeluarkan sesuatu dari tubuhnya. Jika sudah demikian, sering kutanyakan apakah dia ngeng*k atau e*k. Terkadang jawabannya sesuai dengan isi popoknya, terkadang juga tidak. Seringkali juga, aku menanyai demikian karena mencium bau tak sedap yang ternyata adalah kentut. Satu hal yang istiqamah dia lakukan adalah memeluk betisku saat aku mencebokinya seperti mencari pegangan dan berlindung dari guyuran air.

Mengamati perkembangan Rauhia belakangan juga membuatku percaya bahwa anak adalah imitator terbaik dari orang tuanya. Sering melihat orang lain di rumahnya shalat, Rauhia mulai ikut-ikutan salat. Posisi favoritnya adalah sujud meski dengan bentuk tak beraturan. Ia juga suka berdiri lalu langsung sujud tanpa melewati ruku’. Sekali waktu ia juga menirukan ujaran amin ketika ada orang berdoa. Karena kebiasaan ini dan suatu kejadian saat dia berebut mukena milik sepupunya, aku belikan ia mukena. Kadang ia mengenakannya ketika ikut-ikutan jama’ah atau di waktu-waktu lain saat ia ingin. Sebalum mukena itu datang, Rauhia terlebih dahulu mendapat lungsuran mukene parasit dari sepupunya yang lain.

Ketika melihat aku mengerok bapaknya, ia sering memerhatikan lalu menyambar koin dari tanganku dan langsung menirukan apa yang baru saja aku lakukan. Ini terjadi beberapa kali sehingga meski tak sedang mendapati pemandangan serupa, ketika tanpa sengaja menemukan koin, dia lalu beraksi. Sama seperti saat melihat mbah putrinya nginjakin mbah kakungnya, Rauhia spontan meniru aksi tersebut meski ia tergopoh-gopoh memastikan badannya stabil dan tidak jatuh. Ia juga ingin duduk di kursi makan ketika yang lain makan, ingin mengulek bumbu masak di cobek hingga menyapu lantai dengan sapu yang panjangnya melebihi tinggi badannya.

Lain dari itu, Rauhia mulai mengenal hal-hal yang identik dengan orang-orang di sampingnya, termasuk barang apa milik siapa. Suatu ketika, ia menemukan kemasan rokok milik bapaknya bergeletakan. Ia lalu membukanya dan mengambil satu batang. Ia mencari sang bapak dan mendapati sang bapak tengah tidur lelap. Rauhia mendekatinya dan memasukkan sebatang rokok itu di sela-sela mulut si bapak. Memorinya begitu merekam bahwa barang itu sangat identik dengan bapaknya, bukan dengan yang lain. Hal yang sama terjadi ketika ia menggeledeh tas yang biasa aku bawa ke kantor. Mendapati kotak pensil, dia akan mengeluarkan isinya dan menuliskan spidol atau pulpen ke manapun objek yang ia temui, termasuk betis dan lengannya sendiri. Jika yang ia ambil adalah kota make-up minimalis, maka ia akan memasang gincu di mulutnya dan mengibas-ngias kuas blush-on ke pipi hingga dahinya. Ketika merasa bosan di rumah dan ingin mengajak jalan-jalan, terlebih dahulu ia mengambil jilbabku lalu menyuruhku mengenakannya sebelum mengode untuk menggendongnya lalu keluar rumah.

Gerak-gerik Rauhia, karena itu, memerlukan pengawasan penuh seiring dengan banyaknya keterampilan baru yang ia miliki. Jika dulu ia masih membutuhkan bantuan orang untuk membuka kotak pensil, membuka kemasan baby oil atau parfumnya dengan kode kak yang berarti perintah untuk membuka, saat ini ia bisa melakukannya sendiri. Termasuk keterampilan membuka gincu dan memutar bagian silindernya hingga ujung merahnya muncul. Keterampilan ini menyebabkan gincu ibunya yang baru saja dibeli harus patah. Rauhia juga bukan tipikal anak yang takut ketinggian seperti ibunya. Ketika sekian menit saja ia luput dari pandangan, ia sudah berhasil naik ke meja rias ibunya dan mencari adakah sesuatu yang menarik untuk ia comot di situ.

Rauhia juga sudah mulai bisa notice wajah orang-orang di sekitarnya. Ketika melihat poto ibunya, ia akan dengan sontak berkomentar mama. Begitu juga dengan wajah anggota keluarga lain. Ketika ditanya siapa orang yang ada di depannya, spontan ia akan menyebut bagaimana dia memanggil yang bersangkutan. Omo, tati, kakung, tatek, umik, con dan keke. Ketika ditanya soal dirinya sendiri, ia sering tersipu malu dan bergumam hia, ia dan yang semacamnya.

***

Banyak bottom line dan kebiasaan dan karakter Rauhia yang sejauh ini tampak. Jika tidurnya pulas, ia akan bangun dengan bahagia tanpa tangisan atau rengekan. Beberapa kali aku mendapatinya bangun lalu langsung bangkit dan mencari di mana ibu atau anggota keluarga lainnya berada. Jika tidurnya tidak pulas atau kurang lama, ia biasanya akan bangun dengan rengekan hingga tangisan. Setelah itu, diperlukan beberapa waktu untuk menytabilkan emosinya dan dia akan kembali riang seperti biasa. Rauhia tetap menyukai udara dingin dan akan tidur nyenyak lebih lama ketika cuaca dingin atau saat pulang ke Pananggungan. Ia juga masih sering terjaga di malam hari ketika udara panas dan merasa gatal di sekujur tubuhnya. Belakangan ini mulai teratasi dengan agenda ganti sabun mandi dan krim anti gatal yang biasanya digunakan ketika gatal datang dan ia, dengan mata terpejam, refleks menggaruk-garuk menunjukkan betapa ia terganggu.

Kali terakhir membawa Rauhia menaiki angkutan umum, terjadi perubahan cukup drastis di mana yang bersangkutan tidak mau diam di tempat seperti biasa. Ia juga tidak tidur di pelukan dan bisa diam dengan iming-iming nenen. Rauhia berusaha berjalan dan menyapa teman sebayanya di jok belakang sambil menepuk-nepukkan tangannya pada kaca mobil. Aku cukup kelabakan dengan perubahan ini karena Rauhia tampak mulai belajar menikmati perjalanan dan tidak mau diam saja seperti sebelum-sebelumnya. Satu hal lagi yang kupahami dari Rauhia, ia cenderung ramah dan seperti ngajak main pada anak yang tampak lebih tua darinya dan bisa jadi berbahaya bagi anak yang lebih muda. Mengapa bisa begitu, aku belum faham.

Saat terakhir kubawa ke kampus, Rauhia kurang kuperatif. Mungkin ia bosan dan tak menemukan teman sebaya atau mainan di sekelilingnya. Orang-orang yang ia lihat juga baru dan suasana tak begitu akrab dengan lingkungannya setiap hari. Ia sempat tidur di pelukan tapi ketika hendak kulantaikan, dia bangun. Berkali-kali seperti itu. Sepertinya ia tak suka kebisingan selain yang sudah akrab di telinganya. Ketika om-omnya sedang latihan musik dengan suara kencang, ia bisa tetap lelap tidur karena barangkali sudah terbiasa dengan dentumannya. Ketika aku bergeser sedikit ke rumah Mb Af, Rauhia berubah mood meski ia tetap mencari ibunya begitu si ibu menghilang sedikit dari pandangan. Ia sibuk bermain dan malah tampak keenakan seperti di rumah sendiri. Rauhia yang mulai mengenal asyiknya bermain sering mengajakku bermain meski sebatas cilukba atau mengangkat tangannya tinggi-tinggi hingga bayangan tampak di tembok.

Fase-fase ini juga menandai beberapa kosa kata baru yang dimiliki Rauhia, meski ia tidak sepenuhnya fasih melafalkannya. Sebagian Bahasa Madura, Jawa, Indonesia, sebagian kecil lagi Inggris. Di luar itu, Rauhia suka meniru kata-kata yang baru diucapkan orang di sekitarnya, meski yang keikut seringnya hanya di bagian buntut. Aku suka memerhatikan ekspresinya ketika bahagia, gemes, marah, sebel, cape, ngantuk tapi masih ingin bermain, serta saat ia terbangun ketika orang-orang di sekitarnya (pura-pura) tidur. Aku belajar banyak hal dari anakku soal betapa attached-nya perilaku orang tua dan orang sekitar terhadap dirinya. Kecenderungan Rauhia yang lebih menyukai barang milik orang lain, termasuk botol Tu*py gedeku dibanding botok Pige*n mini miliknya, seringkali meyakinkanku perihal kencenderungan manusia untuk sawang-sinawang. Sikapnya yang tenang ketika ada yang mem-body shaming dirinya juga membuatku yang geram kembali terkontrol. Barangkali dia belum mengerti, tapi auranya yang tenang seperti tak ada apa-apa seringkali mengkodeku agar please be calm, Mama. Everythings ok.

Rauhia juga lebih suka membolak-balik buku lain dibanding miliknya yang kubeli khusus dalam rangka agenda mendongengi. Alih-alih terlaksana, Rauhia justru lebih fokus pada gambarnya dan tidak pada kata-kata yang aku baca. Tak hanya fokus mengamati, ia seringkali mencorat-coret hingga menyobek kertas di buku itu kemudian meremasnya tak beraturan. Soal ini aku bertekad untuk tak menyerah dan menjadikan anakkku kutu buku yang sukses, tak seperti aku yang gagal. Aku tahu betapa menderitanya menjadi akademisi yang jauh dari buku dan semoga Rauhia tidak menjadi generasi itu. Be all you can, Sayang, tapi stay closed with the books.

***

Last but not least, tentang ASI. Selain ketika test CAT untuk CPNS pada 2017 lalu, beberapa bulan yang lalu aku pernah meninggalkan Rauhia dua kali. Ke Palu dan ke Surabaya. Dua moment itu sama-sama tak memungkinkan aku membawa Rauhia karena berbagai alasan teknis. Aku di Palu 5 harian dan di Surabaya 3 harian. Selama itu Rauhia tidak mengonsumsi ASI, termasuk ASIP yang sudah aku siapkan. Kali pertama aku tinggal ke Palu, drama cukup dramatis terjadi karena ia tak biasa tidur tanpa skin to skin denganku. Alhamdulillah hari kedua teratasi dengan mengamati pattern-nya sehingga ketika ke Surabaya, dramanya tak sedramatis saat aku di Palu. Aku ke Palu September dan ke Surabaya Oktober.

Selama LDR itu, aku bertekad meneruskan program hawlayn kamilayn dengan amunisi berupa pumping tool. Meski berkali-kali harus ijin demi kepentingan biologis, semua terkendali. Aku kembali menyusui Rauhia sepulangnya bepergian meski bukan tak banyak yang menyarankan untuk disapih saja agar drama tidak perlu berulang. Aku menepis saran itu meski aku tak ada pengalaman sama sekali tentang menyapih dan sebetulnya sedikit kuatir soal drama apa yang akan terjadi dengan babak itu. Aku berpikir bahwa Rauhia berhak atas dua tahun emas itu dan aku berkewajiban memenuhinya betapapun dengan segala keterbatasanku. Tanpa bermaksud yang tidak-tidak, aku merasa kemampuan menyusui adalah hal istimewa yang tidak bisa begitu saja aku sia-siakan, apalagi karena urusan teknis dan kekhawatiran akan hal yang belum terjadi di depan. Dalam hal ini sepertinya aku perlu memakai stubborn character-ku.

What’s wrong dengan cita-citaku memberi ASI dua tahun bagi Rauhia? Membandingkan Rauhia dengan bayi lain yang bisa skin to skin dengan ibunya selama 24 jam penuh saja aku iri bukan main, kenapa kesempatan ini justru aku sia-siakan? Akupun yakin Rauhia memahami bahwa persoalan skin to skin bukan semata ketika dia ingin minum sesuatu dari tubuhku, tapi juga ekspresi kerinduan, ketenangan dan kedamaian setelah seharian penuh kami berpisah. Soal ini, Rauhia juga mengalami perkembangan baru yang nyaris membuatku kapok untuk membawanya ke venue-venue di ruang terbuka tanpa ada sekat antara lelaki dan perempuan sementara ruang laktasi di tempat-tempat umum masih jauh di dunia andai-andai dan kapan-kapan.

ASI jugalah yang membuatku masih istimewa dan spesial bagi Rauhia, sebab hal-hal lain sudah bisa ia lakukan dengan orang lain. Ia bisa mandi tidak denganku, bisa berpakaian tidak denganku, bisa bermain, makan, jalan-jalan, tidur dan menghabiskan waktu tidak denganku. Tapi untuk urusan ASI, ia hanya bisa mendapatkannya dariku. Pikiran ini kadang membawaku seperti terbang ke awan dan rasanya tidak ingin waktu cepat-cepat berlalu agar agenda menyapih Rauhia itu masih lama. Dan aku tetap bisa menikmati hak istimewa itu.

Aku bukan tak khawatir perihal nutrisi Rauhia mengingat aku hanya bisa mengASIhinya tak lebih dari 15-an jam sehari pada hari kerja. Ia tak mau ASIP dan aku masih ingin menghindarkannya dari sufor untuk mengantisipasi ketidaksukaannya pada ASI jika ada nutrisi lain yang sejenis. Aku juga tak bisa seleluasa dulu mengontrol menu dan pola makannya. Menyerahkannya pada keadaan bermodal doa aku rasa juga tak cukup. Aku harus terus melakukan sebisa yang aku mampu di tengah keterbatasanku untuk menjamin semuanya on track tanpa kurang suatu hal apapun.

***

Di luar beberapa perubahan itu, Rauhia, Kau tetap bayi kecilku yang mungil berambut tebal dan berpipi bakpao. Sama seperti sebelumnya, masalah medismu dominan di kulit, sedang keluhan-keluhan kecil bisa teratasi dengan air degan. Pilek dan batuk sering tak kunjung pergi tapi itu relatif tak mengganggu keceriaanmu bermain dan mengenal hal-hal baru. Tanpa kata-kata, kau suka minta dipijat, digendong hingga dibawa jalan-jalan cuci mata. Kini, seringkali kau tampil dengan kuncir di kanan kiri meyakinkanku bahwa youve grown up very well! I love you, Nak. Maafkan mama tak bisa 24 jam sehari menemanimu bermain seperti saat jantungmu masih berdenyut di perutku.

By Masyithah Mardhatillah

Kehamilan adalah fase alamiah yang menyempurnakan status seorang perempuan. Terlahir sebagai putri lalu menjadi istri, predikat seorang ibu menjadi gerbang paripurna dari siklus kehidupannya. Gelar tersebut bahkan sudah ia sandang sebelum tangis pertama sang bayi pecah. Bagaimana tidak, yang ditanggung dan dipanggulnya tak hanya nyawa, akan tetapi juga jiwa. Keduanyapun terhubung secara biologis, psikologis juga spiritual-esoteris.

Itulah mengapa, pembentukan karakter dan kecenderungan seorang anak terjadi sejak dirinya masih meringkuk di rahim hangat ibu. Sesekali, meski tak sering, jabang bayi ikut menyicipi makanan yang dikonsumsi ibunya. Ini tentu tak hanya soal asupan yang ia dan ibunya butuhkan, akan tetapi juga soal selera. Apa yang biasa dimakan ibu selama kehamilan cenderung akan menjadi makanan kesukaannya.

Sebagian besar ibu hamil mengalami apa yang disebut ngidam. Ngidam identik dengan keinginan mengonsumsi makanan, minuman atau kudapan yang tiba-tiba diidamkan, seringkali tanpa alasan jelas atau di waktu-waktu tak terduga dan dipercaya berasal dari request jabang bayi. Skalanya pun beragam. Ada yang ngebet harus kesampaian, sekadar keinginan yang numpang lewat hingga yang tak pernah sekalipun mengalami. Gejala ini, tentu saja, tak bisa diremehkan sebab ia juga berpotensi ikut andil membentuk pola makan hingga perilaku bahkan karakter bayi di kemudian hari.

Jika seluruh hasrat ngidam dituruti hingga dalam skala yang tidak wajar, misalnya, bukan tak mungkin pola demikian akan ‘nurun’ pada bayi. Ini tentu berbeda dengan ibu hamil yang dapat mengontrol keinginan konsumsinya tak hanya karena pertimbangan gizi, higienitas atau kandungan makanan, akan tetapi juga sebagai ikhtiar memberi uswatun hasanah bagi bayinya. Pendidikan kultural soal pola makan ini, dengan demikian, nyaris dinahkodai tunggal oleh sang ibu. Tak salah jika ibu disebut sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya.

Selain menjadi sekolah, dalam waktu yang sama ibu senyatanya tengah bersekolah. Sejak kehamilan, persalinan, menyusui hingga proses-proses setelahnya, secara naluriah ia akan menggali sebanyak mungkin informasi untuk memastikan seluruh proses berjalan lancar. Salah satu yang tak boleh luput dari penelusurannya adalah perihal 1000 hari pertama bayi, yakni sejak kehamilan hingga usia dua tahun. Selain soal pembentukan karakter termasuk pola makan, golden period tersebut menjadi penting karena secara ilmiah terbukti sebagai periode yang begitu menentukan kesehatan bahkan masa depan anak, khususnya terkait dengan
ancaman stunting.

Stunting kurang lebih adalah gejala gagal tumbuh yang menyebabkan tumbuh kembang fisik, emosi bahkan intelektual penderitanya tidak maksimal. Ia adalah penyakit jangka panjang sebab efeknya akan terasa hingga dewasa. Uniknya, penyakit ini hanya bisa dicegah namun tak bisa disembuhkan jika terlanjur menyerang. Nah, pencegahan terhadap stunting bisa dimaksimalkan dalam periode 1000 hari tersebut sehingga para orang tua tidak bisa mengentengkan hal ini. Apalagi pada 2017, Indonesia menempati urutan ke-5 dunia sebagai Negara dengan penderita stunting terbanyak.


***

Lain kehamilan, lain pula fase setelah melahirkan. Selama hamil, ibu memiliki otoritas penuh atas apa yang dikonsumsinya, termasuk variasi dan kombinasi menu, higienitas, frekuensi maupun teknik konsumsi. Ia bisa dengan mudah mengajarkan pola makan yang baik melalui perilakunya sendiri. Namun demikian, pasca persalinan, keadaan mulai berbeda. Cita-cita melakukan IMD dan memberi ASI eksklusif selama 6 bulan bisa jadi tak senada dengan keyakinan keluarga atau mitos yang terlanjur mengakar.

Tak jarang, ada ‘tangan-tangan perhatian’ yang justru memberi minum air gula untuk mencegah bayi dari penyakit kuning, mencekoki pisang, susu formula kental bahkan bubur agar ia tidur nyenyak, hingga menyuapi kurma, madu dan air zam-zam untuk mengikuti sunnah Nabi. Di sini, ibu harus ngotot dan asertif meyakinkan semua anggota keluarga untuk menyukseskan IMD dan program ASI eksklusif. Ia juga harus membiasakan diri dengan manajemen ASI perah ketika cuti melahirkan sudah berakhir.

Pada masa ini pula, dampak makanan yang dikonsumsi ibu akan lebih terasa pada bayi. Ada kalanya, ibu harus mengonsumsi makanan yang tak disukainya, semisal jamu pahit, yang tengah dibutuhkan bayi. Begitu juga, ibu terkadang harus menjauhi makanan kesukaannya karena memicu alergi pada bayi kecil yang hanya mendapat asupan dari air susunya. Ini tentu tak mudah dan membutuhkan kerja sama serta pengorbanan yang meski terlihat spele, tidak bisa begitu saja dianggap remeh.

Selanjutnya, fase MPASI menghadirkan tugas lain yang tak kalah menantang. Ibu kali ini harus pandai-pandai menyeleksi dan mengenalkan berbagai macam makanan sesuai ‘madzhab’ MPASI yang dipilihnya. Buah, karbohidrat, protein hewani maupun nabati, serta sayur adalah menu utama yang idealnya diperkenalkan sehingga lidah anak akan terbiasa dengan aroma maupun rasanya. Tak hanya itu, varian menu dan teknik penyajian juga harus diatur sedemikian rupa untuk menjaga mood dan selera makan anak sehingga pola makannya tetap terjaga.

Tantangan terberat pada masa ini adalah menghindarkan makanan dan minuman instant yang bisa jadi sangat menarik perhatian bayi. Bayi juga sudah mulai belajar berkomunikasi sehingga ketika teman sebayanya mengonsumsi makanan yang dilarang untuknya, ia akan complain. Beberapa orang tua juga memiliki aturan cukup strict dengan menjauhkan makanan bergula-garam sebelum bayi berumur setahun. Lagi-lagi, ini membutuhkan kerjasama banyak pihak dan persoalan teknis yang tidak sederhana karena makanan untuk si kecil harus dimasak secara eksklusif.

Fase ini akan terus berjalan hingga proses penyapihan pada usia 2 tahun. Semakin banyak gigi yang tumbuh, semakin beragam pula makanan yang bisa dicerna bayi. Seiring dengan itu, orang tua semakin dituntut untuk aktif mengontrol pola makan bayi. Fondasi yang dibangun susah payah pada bulan-bulan pertama MPASI, utamanya perihal kombinasi menu yang sehat, lengkap dan variatif, harus tetap dipertahankan agar kebiasaan dan pola makan tersebut tetap terjaga. Hasilnya, kesehatan bayi dapat terjaga dan hal-hal tak diinginkan semacam stunting bisa dicegah dan dihindari.

***

Demikianlah, 1000 hari pertama merupakan kurikulum pembelajaran dengan skala tantangan dan kesulitan yang berbeda di tiap tahapannya. Orang tua dan keluarga tetap berperan sebagai aktor utama yang mengarahkan bahkan membentuk pola hidup si bayi, termasuk pola makannya. Seperti salah satu nama lainnya, windows of opportunities, periode ini adalah kesempatan untuk menentukan masa depan bayi tidak hanya dalam hal-hal yang sifatnya fisik, akan tetapi juga kebiasaan, karakter hingga cara pandangnya, termasuk terhadap pola makan. Karenanya, jika diarahkan dengan baik, aktivitas dan pola menyantap makanan akan ia lihat tidak hanya sebagai rutinitas fisik, akan tetapi juga investasi jangka panjang untuk kesehatan, tercapainya target dan cita-cita hidup serta komitmen pada diri sendiri dan orang-orang terkasih.

Masyithah Mardhatillah*

Ada banyak hal yang identik dengan Bulan Dzul Hijjah, mulai dari Idul Adha, perayaan pernikahan hingga kedatangan jama’ah haji. Di antara ketiganya, yang disebut terakhir merupakan selebrasi yang tak hanya terbilang besar, akan tetapi juga khas. Berbagai rentetan ‘ritual’ kedatangan haji yang lumrah digelar menampilkan ciri-ciri khusus yang barangkali tak banyak didapatkan di luar Madura.

Momentum yang biasa dibahasakan dengan istilah hajjiyan ini biasanya dimulai dengan agenda menjemput jama’ah haji ke tempat kedatangan terdekat. Setelah itu, rombongan akan menuju kediaman tuan rumah dengan iring-iringan semacam konvoi yang tak jarang sampai melibatkan pengawalan dari aparat keamanan.
Bagian depan konvoi biasanya terdiri dari pengendara sepeda motor dengan salah satu atau beberapa pengendaranya yang menampilkan atraksi akrobatik. Belakangan, barisan tersebut juga kerap diisi dengan becak motor tanpa penumpang yang berjalan beriringan menambah kemeriahan sekaligus kebisingan suasana.

Ini masih ditambah dengan pick-up yang memutar lagu-lagu Arab atau salawat lewat sound system ber-volume tinggi di barisan belakang. Iring-iringan yang demikian mau tak mau menarik perhatian masyarakat, mulai pengguna jalan hingga warga sekitar. Mereka biasanya menyaksikan konvoi sembari mengisi waktu, menghindari macet, atau sekadar menghitung jumlah mobil rombongan.

Episode satu ini barangkali tidak secara langsung tampak berhubungan atau relevan dengan sakralitas ibadah haji yang baru selesai ditunaikan. Nuansa yang ditampilkan juga cenderung konsumtif, untuk tidak mengatakan hedonis. Namun demikian dalam beberapa hal, kemeriahan tersebut tak lebih merupakan ungkapan syukur atas kesempatan melaksanakan ibadah haji dengan lancar hingga kembali ke tanah air.

Alasan tersebut tampak masuk akal jika melihat masa tunggu berangkat yang belakangan menembus 20 tahun. Waktu yang demikian tentu memberikan banyak sekali kemungkinan dan sebagian di antaranya merupakan hal yang tak diharapkan. Lain dari itu, nominal biaya pendaftaran yang bukan tak fantastis dan harus ngendon dalam jangka waktu yang tak sebentar menuntut pertaruhan prioritas yang juga tak main-main.

***
Rentetan selanjutnya dari ritual kedatangan jama’ah haji di Madura adalah open house yang berlangsung sekitar 40 hari. Untuk keperluan ini, kediaman yang bersangkutan biasanya dihiasi dengan labang saketeng—semacam gapura—atau plastik banner di tempat-tempat strategis berisi ucapan “selamat datang” dan do’a-do’a yang relevan. Aksesoris-aksesoris seperti tenda, kursi, hingga ‘singgasana’ jama’ah haji ketika menemui tamu kerap kali juga dipasang.

Selama jangka waktu tersebut, para saudara, sahabat tetangga, rekan atau kolega ramai-ramai berkunjung. Ini biasanya diniatkan untuk menguatkan silaturrahmi, mendengar kisah perjalanan, hingga menambah motivasi sembari mengharap barokah doa agar segera ketularan menunaikan ibadah haji. Pada kesempatan ini, tuan rumah biasanya tampil dengan balutan busana ala Arab dan parfum khas serta menyalami dan memeluk setiap tamu.

Tak hanya menyuguhkan air zam-zam, kurma atau camilan khas Arab lain, tuan rumah biasanya menyiapkan suguhan makanan berat serta oleh-oleh haji kepada setiap pengunjung. Sementara itu, pengunjung—biasanya perempuan—datang dengan buah tangan berupa bahan pokok seperti beras atau gula. Tradisi take and give yang demikian merupakan salah satu varian tengka yang begitu populer di Madura.

Beberapa ilustrasi di atas kurang lebih menggambarkan bahwa biaya tengka haji di Madura memang tergolong tinggi. Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa biaya lain-lain semacam itu bahkan melebihi ongkos berangkat seorang jama’ah haji. Sayangnya, berhaji tanpa menggelar tengka yang demikian akan mendatangkan sanksi sosial yang bagi sebagian besar orang tak dapat dispelekan.
***
Terlepas dari hitung-hitungan soal apakah selebrasi yang demikian merupakan gaya hidup konsumtif—bahkan hedonis—ataukah sebagai ekspresi syukur, naik haji masih menjadi salah satu mimpi terbesar orang Madura. Menunaikan haji benar-benar menjadi penyempurna ‘status’ sosial sekaligus identitas mereka sebagai Muslim secara ritual hingga spiritual.

Menjadi ‘haji’ atau ‘hajah’ juga merupakan passage of life tersendiri utamanya dalam kehidupan sosial di Madura. Setelah berhaji, embel-embel ‘H’ atau ‘Hj’ tidak hanya tercantum di bahasa tulis, akan tetapi juga komunikasi lisan. Panggilan ‘haji’ ‘abah’ atau ‘umi’ akan disematkan pada yang bersangkutan, termasuk oleh keluarga terdekat bahkan orang tua atau saudara yang lebih tua.

Panggilan yang demikian biasanya akan membawa nuansa—positif—baru dalam banyak sisi kehidupan si jama’ah sedatangnya ia berhaji, mulai dari etika busana, tingkah laku, kebiasaan, tutur kata dan lain-sebagainya. Ini lebih dari cukup menunjukkan bahwa predikat haji tak hanya memberi konskuensi spiritual dalam hubungan dengan Tuhan maupun diri sendiri, akan tetapi juga dalam kehidupan sosial.

Pada akhirnya, selebrasi meriah nan konsumtif seperti tergambar di atas, dalam beberapa hal, kurang lebih merupakan sugesti ‘alam’ agar ‘gelar’ sebagai seorang haji dapat benar-benar dipertanggungjawabkan, minimal secara sosial.

*Ibu satu anak, dosen IAIN Madura dan co-founder Yayasan Paddhang Bulan Tacempah, Pamekasan.
Dimuat di Radar Madura, Jawa Pos, 09 September 2018.
Image captured by Samsung J2 Pro :)

Salah satu properti yang pasti ada di setiap perpustakaan adalah rak buku. Apapun bahan dan warnanya, bagaimanapun model dan peletakannya, tinggi atau rendah, lebar atau sempit, kokoh atau berdecit, benda satu ini tetap menjadi yang paling tepat untuk menampung buku-buku koleksi. Di rak, buku-buku dapat berdiri beriringan sehingga bagian sampingnya akan kelihatan dan memudahkan siapapun yang ingin menemukan dan meletakkan buku.

Sayangnya, seperti benda-benda mati lain, rak buku tak bisa bersuara. Andai saja ia bisa ngomong, atau setidaknya bereaksi terhadap keadaan sekitar, banyak yang bisa dilakukannya. Mungkin saja, ia akan dengan bahagia dan ramah menyambut pengunjung yang datang untuk mencari buku. Kalau kebetulan galak, ia barangkali akan menegur pengunjung yang berisik atau ngobrol, meski tidak harus dengan gaya Rangga ala AADC.

Soal kebiasaan ramai dan ngobrol di perpustakaan ini tentu tidak terjadi di semua belahan dunia. Terbiasa dengan kaidah sendirian ngantuk, bareng teman ngobrol ketika mengunjungi perpustakaan semasa kuliah, aku dibikin heran dengan beberapa perpustakaan yang benar-benar sepi dan senyap. Hebatnya, keadaan tersebut terjadi bukan karena tidak ada pengunjung atau di luar jam operasional, akan tetapi karena para pengunjung sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Bahkan, jika boleh lebay, andai ada semut yang kepleset, bunyinya akan terdengar ke semua ruangan. Saking-saking-nya.

Dari situ aku percaya bahwa scene perpustakaan yang sunyi semacam itu benar adanya, bukan hanya adegan di film-film Holywood yang entah itu fakta atau fiktif. Aku dan teman-teman yang ketika itu numpang berfoto di lokasi tersebut harus setengah mengendap dan benar-benar mengontrol suara agar tak menimbulkan bisik-bisik yang mengganggu. Jangan ditanya bagaimana perasaanku saat itu; antara excited, surprised dan sirik. Butuh berapa tahun untuk membangun budaya semacam itu di ruang sakral semacam perpustakaan?

***

Kembali lagi ke soal rak buku. Meski tak bisa bersuara dan bergerak, entah kenapa aku yakin benda-benda mati semacam itu sebenarnya punya perasaan. Andai saja bisa, mereka tentu akan protes jika tak dirawat, disatroni debu karena terlalu lama tak disentuh atau dijejali buku yang bukan seharusnya mereka tampung. Soal penataan buku di rak ini memang bikin baper betul. Bagaimana tidak, dalam sekali inspeksi sederhana oleh amatir macam aku saja, di satu lajur rak buku, ada sekian buku yang nyasar. Buku pendidikan kok ada di rak agama, dan begitu seterusnya.

Bagaimana mereka nyasar, bukannya sudah ada nomor klasifikasi? Jawabannya barangkali karena belum ada sistem atau perangkat yang bisa secara otomatis meletakkan dan mengembalikan buku ke rak yang seharusnya. Belum ada robot atau mesin yang bisa menggantikan tenaga manusia yang dengan naluri ketelitian dan keberaturannya dapat menyulap sesuatu yang berantakan menjadi rapi dan well managed. Apalagi pada praktiknya, proses mengembalikan buku ke rak ini tidak hanya dilakukan oleh pihak berwenang yang tidak ‘berkepentingan’ a.k.a petugas perpustakaan, akan tetapi juga oleh pihak yang meski tidak berwenang, sangat ‘berkepentingan’.

Berwenang dan berkepentingan bagaimana si? Ok, sederhanya begini, tak kandani. Salah satu tugas para petugas perpustakaan adalah shelving. Mudahnya, menurutku ketika mendengar kata ini pertama kali, shelf adalah kata berbahasa Inggris dari ‘rak’ yang tidak beraturan karena ketika jamak, ia akan berubah menjadi shelves dan bukannya shelfes. Jadi ketika sebuah kata benda ditambah embel-embel semacam ing, dengan seketika ia berubah menjadi kata kerja dan atau gerund. Kaya book, buku, kata benda, berubah jadi booking, berarti pembukuan atau pencatatan. Jadi, kira-kira, shelving adalah peng-rak-an atau penataan buku sesuai rak yang seharusnya.

Nah di perpustakaan tempat aku bekerja, shelving adalah tugas harian para pegawai perpustakaan. Sasaran utamanya adalah buku yang baru dikembalikan oleh anggota perpustakaan. Sekian tumpuk buku tersebut akan diklasifikasi berdasarkan nomor panggilnya, digotong ke rak menggunakan trolley lalu diletakkan bersama dengan teman sekoloninya. Biasanya menjelang jam tutup layanan. Selain buku yang baru dikembalikan, buku yang baru dibaca para pengunjung dan tercecer di meja-meja baca juga diamankan sehingga sebelum jam pulang, semua buku idealnya sudah kembali ke tempat asalnya masing-masing.

Jadi, dasarnya, sejauh yang kupahami, pegawai perpustakaanlah yang paling berwenang melakukan shelving. Selain memiliki ilmu dan teori tentang klasifikasi buku, mereka juga berpengalaman sehingga tugas yang bagi orang lain bisa jadi sangat berat, berubah renyah dan mudah buat mereka. Namun begitu, pengunjung perpustakaan juga diimbau untuk membantu tugas ini. Ini tampak dari beberapa tempelan di berbagai sudut perpustakaan untuk mengembalikan buku ke rak semula.

Redaksinya ‘ke rak semula’ lho ya, bukan ke rak sembarangan dengan tujuan tertentu. Jadi, inilah yang tak maksud dengan ‘kepentingan’ tadi. Sebagian pengunjung, dengan tangah suci tapi nakalnya, diduga kuat dengan sengaja dan sadar diri menyembunyikan buku di rak yang tak seharusnya dengan tujuan monopoli pribadi atau golongan. Masih menjadi misteri juga mengapa mereka tak langsung membaca atau sekalian meminjam buku yang memang dibutuhkan. Mengapa harus pakai acara sembunyi-sembunyian segala?

That dramatic? Yes, kenyataannya seperti itu. Buktinya, banyak sekali buku yang berada di rak yang tak seharusnya, padahal shelving sudah dilakukan setiap hari menjelang tutupnya layanan perpustakaan. Bingung juga motifnya apa. Perasaan senakal-nakalnya aku ketika menjadi mahasiswa, aku belum pernah kepikiran untuk menyembunyikan buku dengan cara menaruhnya di rak yang bukan tempat seharusnya dia berada.

Setelah menggunakan sekian lapis praduga tak bersalah, akhirnya didapatkan beberapa pembenaran yang sebenarnya tetap tidak bisa menjustifikasi perbuatan semacam ini. Pertama, jatah pinjaman sudah penuh sehingga tak bisa meminjam buku yang dibutuhkan. Kedua, jam layanan perpustakaan sudah akan berakhir sehingga tak memungkinkan membaca buku di tempat. Save dulu buat besok atau kunjungan berikutnya. Toh ga ada yang tau. CCTV ga sedetatil itu. Ketiga, koleksi yang tersedia sedikit, sedang yang memburu banyak orang. Simpan dulu biar aman. Keempat, sengaja menyembunyikan di tempat tertentu untuk selanjutnya dibaca/dipinjam oleh orang lain, misalnya temen sekelompok ketika proses penulisan makalah. Alasan lain-lainnya adalah tidak ada kerjaan, ingin membuat orang lain bingung, menambah kerjaan orang lain, ingin memonopoli akses terhadap literatur tertentu dan semacamnya yang kalau diteruskan bisa sangat jahat dan sadis.

Lalu, apakah cara ini berhasil? Berhasil membingungkan orang lain yang sedang berkepentingan terhadap buku yang disembunyikan, PASTI. Akan tetapi, temuan banyaknya buku nyasar di rak yang salah ketika layanan perpustakaan ditutup, menunjukkan bahwa, sedikit banyak, cara ini tidak banyak berhasil dan, barangkali, justru semakin membingungkan si pelaku. Barangkali mereka tak kembali lagi ke perpustakaan untuk menyambangi buku yang mereka sembunyikan karena satu atau beberapa hal. Atau jika tidak, ketika kembali, mereka tak lagi menemukan buku yang disembunyikan sebab berpindah ke tempat lain atau, yang paling mungkin, mereka lupa menaruhnya di rak mana dan lajur sebelah mana.

Setelah mendengar cerita teman-teman senior pegawai perpustakaan perihal sulitnya mengatasi praktik penggelapan buku ini, aku ikut-ikutan berpikir bahwa nyaris tak ada solusi yang benar-benar bisa memecahkan masalah ini. Paling mentog, jurus yang mungkin adalah pendekatan teologis (baca: karma) bahwa, Kau hanya akan menuai apa yang Kau tanam. Jika hari ini Kamu mempersulit orang lain mendapatkan buku yang mereka cari, akan ada beberapa hari lain di mana kamu akan lebih kesulitan menemukan yang Kamu cari setengah mati. Tapi, will it be effective?

***

At very last, rak buku memang tetap tidak bisa berbicara dan berbuat apa-apa, bahkan untuk sekadar memilih akan ditempatkan di perpustakaan macam apa, dengan latar belakang budaya bagaimana dan karakter pengunjung—serta petugas—seperti apa. Meski begitu, ia tetap tegak berdiri menjadi rumah bagi buku-buku yang terkadang kesepian menunggu untuk disentuh, dibuka, dibawa pulang, dibaca, didiskusikan lalu dilahirkan kembali. Barangkali, jika ia bisa bercerita, kesedihan yang paling menyiksanya bukanlah adegan penggelapan buku yang selalu menyebalkan para petugas perpustakaan atau mereka yang dengan niat suci ingin mencari buku tanpa berniat menyembunyikannya, akan tetapi ketika ia tak mendapatkan pembaca dan pencari yang sebenarnya.

Rak buku yang bisu, seperti benda bernyawa atau benda mati lain, barangkali lebih menyukai kerapian dan keteraturan. Buku berjejer di tempatnya masing-masing, bahkan berurut sesuai angka dan atau aksara sehingga tak hanya enak dipandang mata, akan tetapi luar biasa memudahkan penelusuran koleksi secara langsung. Namun, jika yang demikian terjadi terus-menerus tanpa ada lalu lalang manusia yang dengan jari-jemarinya menggilir masing-masing buku untuk menemukan yang dicarinya, bisa jadi ia tak lagi berhasrat akan kerapian. Hasrat terbesarnya, jika boleh sotoy, adalah menjadi rumah bagi buku-buku yang akan melahirkan buku dan peradaban baru.

Note: Picture was taken at State Library Reading Room, Melbourne, Australia, March 2016. Credit; Nur Shkembi.


Beberapa hal tersebut kemudian dengan jelas menunjukkan bahwa WAG benar-benar memodifikasi gaya baru berkomunikasi, berinteraksi dengan orang lain bahkan dengan diri sendiri. Asumsi ini sedikitnya bisa dilihat—dan dicari pembenarannya—dari point-point berikut;


1. Lahir dan Semakin Suburnya Generasi Copy Paste atau Salin Tempel

Sebagian dari percakapan yang terjadi di WAG biasanya bermula dari kiriman (teks/gambar/videao) salah seorang pengguna perihal sesuatu yang tengah viral, dianggap in atau timeless. Varian teks identik dengan pesan broadcast yang biasanya berakhir dengan keterangan semacam; copy paste dari group sebelah. Informasi yang disajikanpun beragam. Mulai dari salinan konten laman, informasi dari anonim, tulisan lain yang tak bertuan, hingga tulisan yang bisa dipertanggungjawabkan karena jelas sumber ataupun penulisnya. Pesan-pesan semacam inilah yang pelan namun pasti melahirkan dan menyuburkan generasi copy paste atau salin tempel.

Dalam taraf tertentu, tidak ada problem dalam gejala ini, apalagi jika diniatkan sebagai upaya berbagi informasi, pembuka diskusi ataupun pencair suasana. Namun di balik itu, kita para pengguna kemudian memiliki kecenderungan untuk tempel salin dalam frekuensi dan keperluan di luar kebiasaan—atau kewajaran. Seringkali, baik yang tak alami maupun tak amati, kita menempel salin informasi dari sebuah WAG ke WAG lain sebelum selesai membaca atau teliti menyerap informasi di dalamnya, termasuk melakukan penelusuran sumber dan atau memastikan validitas informasi.

Asal salin tempel semacam itu menjadi menarik untuk dilakukan sebab aktivitas tersebut kurang lebih menunjukkan ketidatertinggalan seorang pengguna atas informasi terbaru, keaktifannya di media sosial ataupun sikapnya terhadap isu tertentu. Sayangnya, seperti yang sudah jamak diperbincangkan, masifnya aktivitas sharing seringkali tidak diimbangi dengan filtering atau penyaringan sehingga tak sedikit yang tidak dapat memertanggungjawabkan pesan berantai yang terlanjur disebarnya. Bersama teman-temannya, WAG membuat arus informasi menjadi tak terbendung sehingga problem yang kita hadapi saat ini bukan lagi kelangkaan informasi, akan tetapi justru, adalah melimpahnya informasi sehingga kebenaran menjadi semakin relatif dan siapapun bisa mengkalim diri sebagai tuannya, meski hanya bermodal pesan berantai di dunia maya. Ini yang dimaksud zaman post-truth kali ya

Ini tentu belum merembet pada minimnya produktivitas dan kreativitas menuangkan ide dalam tulisan. Perlahan, kebiasan tempel salin tak hanya berlaku bagi informasi yang biasa disebar luas, akan tetapi juga percakapan di WAG Seorang pengguna yang pertama kali mengucapkan selamat atas kelulusan pengguna lain, misalnya, sangat mungkin menmroduksi pesan yang kemudian ditempel salin oleh sekian pengguna lain yang turut memberikan greeting namun dengan jalan yang berbeda. Jika Anda adalah penerima ucapan tersebut, kira-kira Anda pilih mendapat ucapan demikian atau tidak mendapat ucapan sekalian? 

2. Bekerjanya Mesin Iklan Otomatis

Tidak seperti WAG-WAG lain yang mewadahi mereka yang tiap hari bertemu, semisal WAG kantor, tempat kerja, sekolah atau tetangga, WAG alumni, keluarga atau komunitas yang tidak secara rutin bertemu di darat biasanya memiliki semacam musim ramai dan musim sepi. Sekalinya ramai, percakapan menjadi ramai sekali dan begitu juga sebaliknya. Jika musim sepi telah datang, satu atau segelintir anggota grup biasanya akan mulai memancing perbincangan baru atau sekadar berkomentar ini grup atau kuburan? Kok sepi amat? Dari situ, biasanya, akan kembali muncul percakapan meski tak semua anggota yang tergabung ikut nimbrung.

Gejala ini sedikitnya menunjukkan dua kecenderungan. Pertama, bahwa intensitas pertemuan darat seringkali berbanding lurus dengan frekuensi komunikasi udara dan kedua adalah bahwa WAG semakin meneguhkan posisi media sosial, apapun platform-nya, sebagai kebutuhan sekaligus sarana komunikasi primer dewasa ini. Lepas dari iklan provider-nya, ‘godaan’ dari sesama pengguna adalah faktor yang sangat berperan mendongkrak angka konsumsi akan media sosial. Media sosial, dengan demikian, sebenarnya tidak terlalu membutuhkan iklan sebab semakin banyak pelanggannya, semakin besar pula mesin iklan otomatisnya untuk memastikan the business still runs well and gets bigger.

3. Munculnya Sebab-Sebab Baru untuk Baper

Jika dijabarkan, point ini mungkin akan memakan banyak sekali space. Untuk itu, saya hanya ingin mengulasnya sesingkat mungkin. Jadi, ada banyak sekali hal yang bisa bikin baper alias bawa perasaan dalam lalu lintas di WAG. Kasus paling kecilnya adalah saat obrolan salah seorang anggota tidak mendapat respon apapun dari siapapun di dalam sebuah WAG tertentu.

Cerita lainnya, di salah satu WAG yang saya ikuti, ada anggota lama yang baru bergabung kembali setelah rampung menyelesaikan urusan teknis ponselnya. Setelah si anggota ini masuk, tiba-tiba ada seorang anggota lain yang keluar. Beberapa hari kemudian, si anggota baru tersebut tiba-tiba ikut keluar dari group setelah—menurut pengakuannya—menemukan fakta kecil di lapangan. Kurang lebih, ia menuturkan bahwa sebab si anggota kedua keluar adalah karena dirinya baru bergabung kembali. Ia juga mencium komunikasi yang tidak sehat antaranggota grup yang membuat dirinya seolah-olah sebagai api dalam sekam. Dari situ ia memutuskan untuk keluar dari grup setelah pamit dan memberi klarifikasi semu karena terkesan tidak ingin lagi membicarakan hal tersebut. Barangkali terlalu kebawa perasaan.

Cerita tak berhenti di situ sebab tak lama, si admin kembali memasukkan anggota kedua yang keluar tadi. Si anggota pertama secara permanen keluar dari grup dan membatasi komunikasi yang awalnya sangat intens dan intim dengan masing-masing anggota grup. FYI, grup tersebut berisi komunitas yang sering keluar, main dan nongkrong bareng karena kesamaan kultur dan hobi. Keadaan kembali seperti biasa meski satu orang tidak pernah lagi muncul dalam kapasitasnya seperti biasa.

Kasus ini barangkali hanya secuil dari cerita-cerita lain di WAG yang seperti menandai gaya baru komunikasi zaman ini. Seperti pertemenan yang bisa dipererat dengan sosial media, sosial media pulalah yang bisa berandil merenggangkan sebuah hubungan. Banyak yang menjadi asosial justru karena terlalu keranjingan media sosial. Apalagi, kini, tak hanya mulut yang menjadi harimau, jaripun bisa menjelma singa.

Selain soal exit group, ke-emoh-an berada dalam satu grup dengan orang yang tidak disukai hingga renggangnya pertemanan seperti cerita di atas, kasus yang barangkali jamak ditemui adalah perihal jualan di WAG yang sedikit banyak mengganggu beberapa anggota. Ini utamanya terjadi ketika aktivitas marketing tersebut dilakukan di grup non-marketing, semisal grup keluarga, alumni, kantor dan lain sebagainya dalam intensitas yang demikian tinggi.
Belum jika setting-an hape tidak diubah sehingga setiap kali terhubung dengan paket data atau wifi, semua gambar dagangan akan terunduh otomatis.

Ketika grup non-marketing sementara beralih kepada grup marketing, anggota yang merasa tidak berkepentingan terhadap barang atau jasa yang ditawarkan atau tertarik tapi tak bisa afford harganya akan gerah dan menggerutu. Sebab terkadang, saking semangatnya jualan, tidak sedikit bakul yang terlalu menghayati perannya sehingga abai bahwa dalam waktu yang sama, ia berkewajiban menghargai privasi dan kepentingan orang lain, termasuk orang yang tidak berkepentingan. Karena itulah, tidak sedikit group yang memiliki aturan internal, utamanya terkait soal jualan semacam ini.

Meski demikian, bukan tak ada pengguna yang tetap bisa buka lapak dengan santun dan wajar di WAG, misalnya dengan jualan dalam intensitas kecil ataupun melayani pembeli atau calon pembeli viajapri (jalur pribadi) dan tidak jarkom (jalur komunitas/komunal). Jika tidak demikian, maka yang bersangkutan biasanya akan woro-woro agar menghubunginya secara japri jika ada anggota lain yang tertarik membeli barang/menggunakan jasanya. Atau, yang lebih simpel, ya ngiklan di WA Story sehingga semua kontak yang dimiliki, baik yang tergabung dalam WAG atau tidak, bisa lebih leluasa memilih untuk nonton atau skip the running ad.

Gambar: www.as.com


Hari ini, pengguna ponsel pintar mana yang tak memakai aplikasi Whatsapp? Selain nama yang cocok dan seakan menghipnotis sekian milyar jari untuk selalu mengunjungi ‘rumah’nya demi menjawab pertanyaan ada apa? apa yang baru terjadi? apa yang sedang menjadi buah bibir, dan semacamnya, Whatsapp terbilang tidak ribet. Tak perlu mengingat—apalagi menghafal—PIN, tak ada iklan, gratis instalasi, berkapasitas ringan, dan yang barangkali juga tak kalah penting, menawarkan fitur yang cukup lengkap. Satu di antaranya adalah karena Whatsapp yang biasanya diakses di ponsel pintar juga bisa diintegrasikan dengan computer sehingga ini sangat memudahkan pengguna dalam mentransfer file dari PC tanpa harus menggunakan kabel data apalagi pembaca data (card reader maksudnya).

Dengan hanya menyimpan nomor ponsel seseorang di buku telpon, kita sudah bisa melacak orang tersebut di Whatsapp. Plus, jika setting-an mendukung, kita bisa melihat foto profil, isian untuk kolom about bahkan last seen atau waktu terakhir yang bersangkutan online dan menyambangi Whatsapp. Easy, right? Tak hanya itu, jika nomor kita juga disimpan di buku telepon yang bersangkutan, stalking kini bukan lagi menjadi suatu kemewahan sebab kapanpun ia membuat status (story, kalau bahasa Facebook) baru yang berisi gambar, video atau infogram pribadi, kita bisa dengan mudah mengetahui, berkomentar hingga terlibat percakapan panjang. There is almost no secret in the virtual worlwide today.

Di luar beberapa hal yang membuat hidup terasa mudah, fitur seru yang ditawarkan Whatsapp adalah Whatsapp Group (selanjutnya disebut WAG). Fitur inilah yang barangkali paling dirindukan seorang pengguna ketika sehari saja ia tak bisa berselancar di dunia maya karena pulsa yang koit, jaringan yang tak mendukung, wi-fi sedang trouble atau ponsel yang tiba-tiba harus berpindah tangan karena satu dua hal. Selain daya tampung anggota yang cukup banyak, kapasitas Whatsapp yang rendah memudahkan maksimalisasi operasional fitur-fiturnya sehingga proses loading-pun tidak terlalu lama. To sum up, WAG enak karena light, cukup private dan multifungsi.

***

In general, WAG memungkinkan koneksi dengan pengguna lain dari latar belakang, minat dan concern yang sama. Karena itulah untuk bisa bergabung dalam sebuah WAG, anggota baru harus mendapat undangan berupa link yang menghubungkan ke WAG atau ditambahkan oleh admin WAG. Setelah tergabung dalam sebuah WAG tertentu, ada sangat banyak hal yang bisa dilakukan, mulai dari mendapat kenalan baru, gebetan, bertemu mantan, silaturrahim dengan sanak saudara, reuni dan nostalgia dengan teman lama, menggelar rapat atau pelatihan daring, mengembangkan sayap bisnis, berdiskusi paling gojek hingga paling serius, berbagi dan menyerap informasi, dan lain-lain. Seorang newcomer tidak bisa mengakses percakapan di WAG yang terjadi sebelum dirinya bergabung.

Memfasilitasi komunikasi yang lancar melalui jalur dan bentuk yang nyaman dan featurefull. tak mengherankan jika nyaris semua komunitas memiliki WAG. Dari lingkaran keluarga, ada WAG sendiri. Ini bisa jadi beragam dari keluarga inti hingga keluarga besar. Sekian langkah dari rumah, ada komunitas tetangga mulai dari kompleks, RT, RW, karang taruna, desa, dan seterusnya yang juga disatukan dengan WAG. Di tempat kerja, sekolah atau berbisnis, tentu lebih banyak lagi macamnya. Belum lagi WAG alumni dari TK hingga PT ataupun pelatihan dan seminar semacamnya. Mereka yang memiliki common hobby, common concern, common fan, common occupation, , atau kesamaan lain, juga akan tergabung dalam WAG sendiri. Ini tentu belum termasuk WAG sempalan yang kadang mau tak mau muncul untuk kepentingan yang dirasa membutuhkan adanya area baru yang lebih eksklusif dibanding WAG lain dengan anggota yang lebih banyak.

Hingga tulisan ini dimulai dan diutak-atik ke sana-sini, belum diketahui pasti adakah jumlah maksimal WAG yang bisa diikuti seorang pengguna. Pertanyaan tersebut setidaknya menjadi penting untuk diajukan sebab dari gelagatnya, jika WAG semakin populer dan setiap sekian detik lahir ratusan WAG baru di seluruh dunia dengan sekian ragam, ruang lingkup, tujuan dan tajuknya, bukan tak mungkin kumpul-kumpul dalam rangka kopi darat, reunian, seminar dan pelatihan tak akan preferable lagi. Bagaimana tidak, dengan hanya bermodal ponsel pintar, daya baterai dan paket data atau sambungan nirkabel wifi, orang-orang yang terpencar di belahan dunia dan timezone yang berbeda bisa bertemu secara virtual untuk bertukar kabar, berbagi informasi, melakukan kordinasi atau apapun yang mereka ingin bincang dan lakukan.

Apalagi, WAG, seperti halnya media sosial lain, memungkinkan penggunanya berhaha-hihi dengan orang lain yang belum dikenal secara darat. Ini saya alami ketika tergabung dalam WAG bertajuk Ibu Hamil Sehat dan Bahagia. Saking ramai dan informatifnya, saya sampai merasa tidak perlu membaca artikel/buku seputar kehamilan karena nyaris semua serba-serbi kehamilan dikupas tuntas di grup tersebut. Celakanya, selain grup tersebut, ada hampir 40-an WAG di mendiang HP jadul saya yang membuat saya, mau tak mau, berpikir bahwa meski fitur ‘mute’ atau bisu di WAG diaktifkan karena terganggu dengan nada dering yang berbunyi nyaris setiap lima detik atau merasa kurang berkepentingan dengan percakapan di dalamnya, saya toh tetap stay di situ seolah tidak ada fitur exit group. Ada semacam perasaan sungkan—atau eman—untuk keluar dari WAG sehingga menjadi silent reader adalah alternatifnya.

Selain bagi pengguna yang memiliki keterbatasan kapasitas (memori) ponsel pintar sehingga memutuskan untuk memangkas beberapa WAG yang dianggap tak penting, WAG tetap menjadi primadona. Eksis di dalamnya, meski tak pernah bersuara sekalipun, memastikan keterbaharuan informasi di lingkungan tertentu sehingga seorang pengguna bisa selamat dari ancaman ‘out of date’. Banyaknya WAG yang diikuti kemudian, kurang lebih, menjadi barometer baru luasnya pergaulan seseorang sekaligus jumlah teman, keluasan jaringan dan skala prestise tertentu. Ini juga termasuk kerempongan dan tugas baru untuk mengkhatamkan percakapan di WAG yang jumlahnya kadang tak terbendung dengan teknik skimming dan skipping.

Gambar: www.medio.com


Sewaktu menjadi mahasiswa, aku cukup sering mengunjungi perpustakaan. Tuntutan tugas dari dosen, mulai makalah hingga skripsi dan tesis, mengharuskanku tak jauh dari bangunan berlantai empat yang buka hingga malam itu. Sementara itu, kemauan untuk membeli buku sama minimnya dengan budget yang harus tak afford. Jadilah demikian. Karena seringnya berkunjung, aku jadi mengerti sedikit hal mengenai manajemen perpustakaan. Dulu sekali ketika masih MTs, pernah juga ikut diklat kepustakaan. Masih samar-samar ingat beberapa kata kunci.

Selang beberapa tahun kemudian, aku ditempatkan untuk bekerja--barangkali semacam magang--di perpustakaan kampus sebelum mendapat tugas penuh untuk mengajar, meneliti dan mengabdi pada masyarakat. Pada bulan-bulan pertama di situ, aku banyak belajar hal baru mulai dari teknis hingga yang lebih esensial. Tentu saja aku bahagia karena mengetahui hal yang selama ini tak terlalu jauh dari kehidupanku tapi tak kupahami makna dan simbolnya. Tak hanya itu, aku juga banyak belajar dari aktivitas baru yang tampak monoton tapi sebenarnya menyimpan banyak hal lucu dan asyik untuk diceritakan.

***

Nah, beberapa pekan belakangan, bersamaan dengan libur panjang mahasiswa, aku turut merayakannya dengan masuk kampus tiap hari terlibat dalam proses pengolahan buku di perpustakaan. Jika sebelumnya tugasku tak jauh-jauh dari desk pengembalian dan menunggui computer di ruang terbitan berkala dan referensi, maka aku mulai belajar hal baru yang lebih teknis-prosedural. Pengolahan buku itu kurang lebih adalah proses mengolah buku yang baru dibeli untuk bisa disajikan di rak perpustakaan dan ready untuk dibaca, dipantengi maupun dipinjam pengunjung.

Selama masa pengolahan buku ini berlangsung, nyaris seluruh layanan perpustakaan ditutup sebab semua anggota pasukan terlibat langsung dalam proses tersebut. Jika layanan perpustakaan dibuka seperti biasa, jatuhnya ga akan maksimal dan justru memperlambat proses pengolahan. FYI, jumlah pasukan kami tidak seberapa, apalagi dibanding jumlah terbaru mahasiswa yang, kabarnya, berbelas-belas ribu itu. Finally, memakan waktu kurang lebih 10 hari kerja, inilah proses pengolahan buku yang aku dan teman-teman kerjakan.

Pertama adalah membuka plastik sampul depan buku serta mengisi lembar kerja. Setiap buku yang dibeli masih terbungkus plastik dan untuk bisa mengolahnya, plastik tersebut harus dilucuti. Setelah itu, petugas akan mengisi lembar kerja buram yang berisi identitas buku mulai dari penulis, tahun terbit, tempat terbit, deskripsi fisik, nomor ISBN (dan e-ISBN) dan lain sebagainya.

Di antara beberapa kolom yang harus diisi, ada kolom bernama nomor panggil dan nomor kelas (atau nomor klasifikasi, entah,) yang tidak bisa sembarang diisi dan harus dikonsultasikan pada yang lebih tau. Selain bertanya pada (bahasa kerennya consult with) buku, alternatif yang lebih mudah adalah bertanya pada mereka yang memiliki otoritas keilmuan dan akrab dengan angka serta kode semacam itu, yakni Bu Neli dan atau Pak Hairul. Itulah mengapa dalam tahap ini, aku menerapkan prinsip posisi menentukan prestasi sehingga aku tak membiarkan Bu Neli jauh dariku. Jadi teknisnya, aku menyelesaikan seluruh kolom selain dua bagian itu, lalu aku serahkan langsung kepada Bu Neli.

Setiap judul biasanya tak hanya terdiri dari satu eksemplar, akan tetapi 10. Kabar baiknya adalah bahwa satu lembar kerja berlaku untuk satu judul yang sama, sehingga tidak masing-masing buku harus diisi lembar kerjanya. Yang tak temukan dari aktivitas ini adalah bahwa tidak semua buku mencantumkan nama penyuntingnya, padahal peran penyunting itu luar biasa. Ada juga kebingungan saat harus mencantumkan nama penerbit, biasanya karena ada dua nama yang berbeda antara yang tercantum di sampul dan di lembar, apa ya namanya, yang memuat informasi dasar buku di halaman kedua dari depan . Satu dengan embel-embel PT atau Group dan yang lain tidak. Atau, ada juga buku yang tidak mencantumkan deskripsi fisik jumlah halaman dan atau panjang dan lebar buku, sehingga petugas harus ketambahan tugas.

Ohya, ada satu perangkat lain yang harus dipegang masing-masing petugas dan belum aku sebutkan, yakni daftar judul buku. Daftar tersebut adalah kertas fotokopi-an berisi informasi singkat tentang buku-buku yang sedang diolah plus, yang paling penting, nomor induk, atau nomor kontrak. Ketika satu buku sudah dilucuti sampulnya dan ditulis identitasnya, maka nomor urut buku tersebut di daftar tadi harus dilingkari atau dikasih tanda yang menunjukkan bahwa, the book has been proceeded. Pekerjaan ini selesai, kalau aku tak salah ingat, dalam waktu tak lebih dari 2-3 hari.

Kedua adalah menytempel buku. Ada beberapa stempel yang harus dibubuhkan di bagian-bagian tertentu. Bagian tersebut adalah, bagian sampul depan, bagian lembar belakang, bagian tengah buku, serta di punggung kanan buku—bagian samping buku yang bukan tempat jilidan itu maksudnya. Stempel yang didaratkanpun berbeda-beda. Stempel label kepemilikan di bagian depan, belakang, tengah dan punggung serta stempel identitas buku di bagian depan. Nah, di stempel identitas ini, ada dua stempel lagi yang dibutuhkan, yakni tanggal pembelian dan sumber dana pembelian buku.

Catatan lain dari tahap ini adalah aktivitas menunggu stempel baru. Jadi tahap ini baru bisa dilaksnakan setelah stempel baru ready dan bisa digunakan. Jadi stempel ini berkait dengan perubahan status kampus dari Sekolah Tinggi menjadi Institut. Ada sedikitnya tiga stempel baru yang baru kami reyen, dunya terkait perubahan nama dan satunya adalah sumber dana, DIPA 2018. Kalau stempel tanggal, sepertinya masih barang lama.

Tahap ini terbilang mudah karena tak membutuhkan keahlian khusus, hanya ketahanan stamina dan ketelitian. Meski demikian, tak berarti ini bisa dilakukan tanpa konsentrasi. Meski bisa di-sambi dengan hal-hal lain, hilang fokus sepersekian detik bisa berakibat buruk juga, semisal arah stempel yang salah (ketuker atas bawah atau kanan kiri) atau tinta yang terlalu basah dan terlalu kering. Lesson learnt-nya adalah jangan mudah meremehkan hal yang tampak remeh.

Ketiga adalah mengentri data buku. Tahapan ini juga menandai berpindahnya lokasi pengolahan buku dari ruang pengembangan ke ruang multimedia. Di ruang tersebut, sudah disiapkan beberapa unit computer untuk proses pengentrian data. Aku ingat sekali di hari pertama proses ini , aku bisa pulang pas istirahat karena secara tak dikordinir, karyawan wanita meng-handle kerjaan sebelum jam istirahat sehingga karyawan laki-laki diharuskan mengambil giliran setelah istirahat. Ketika itu unit computer masih terbatas dan belum semuanya digotong ke lokasi, sehingga alasan untuk tak kembali setelah istirahat jadi semakin kuat.

Nah untuk bisa mengentri informasi ke database perpustakaan, diperlukan wewenang khusus. Aku dan temen2 CPNS yang awalnya hanya punya otoritas mengakses bagian sirkulasi diberi lampu hijau mengakses bagian bibliografi. Ada beberapa item yang harus dientri dan semua data tersebut sudah ada di lembar kerja yang diisi pada tahap pertama tadi. Kasarannya, tinggal masukan data dari kertas ke computer. Pada tahap ini aku juga baru tahu bahwa ada kode C untuk setiap eksemplar buku. Jika satu judul memiliki 10 eksemplar, misalnya, maka akan ada C1 hingga C10. C1 disimpan di rak khusus, entah apa namanya, sedang C9 hingga C10 ditaruh di rak yang bisa diakses pengunjung, baik dipinjam dan dibaca atau dibaca saja. C barangkali stands for copy, entah.

Selama proses ini, aku banyak terbantu oleh kebaikan Ibu Enni yang mengajariku beberapa hal teknis pun secara langsung membantuku menambahkan label yang belum terindex di sistem. Secara tak sengaja pula, aku selalu duduk di tempat yang sama, yakni di computer sebelah utara, nomor dua dari barat. Alunan musik dari salah satu computer atau ponsel pribadi kerap melengkapi suasana pengolahan buku dan bagiku, itu bisa dalam waktu yang sama menambah sekaligus menghancurkan fokus. Buktinya, ada beberapa kesalahan entri data yang kulakukan dan itu dengan mudah terlacak tanpa harus ada penyidikan siapa tersangkanya. Yah namanya aja sistem computer. Semuanya otomatis.

Sama seperti tahap-tahap sebelumnya, tahapan ini juga lebih membutuhkan ketelitian. Namun, harusnya, akurasi dalam tahap ini lebih ditekankan karena apa yang dientri ke computer akan secara otomatis tercetak di label yang akan ditempel di punggung depan dan backcover buku. Artinya, jika salah mengentri, maka cetakan juga akan salah dan ini berarti mengharuskan kerja ulang dan atau koreksi manual menggunakan pulpen dan atau tip-ex. Kaidah untuk entri masih tetap sama; satu entri untuk satu judul buku. Jumlah eksemplar hanya dibedakan dengan kode C.

Keempat adalah mencetak data entri kemudian menempel label nomor panggil serta kode batang. Setelah dicetak di kertas sticker, nomor panggil serta kode batang harus digunting kemudian ditempel di tempatnya masing-masing. Tentu ini berlaku untuk semua eksemplar buku, tak ada sistem keterwakilan. Ketika mengerjakan ini, aku lebih memilih menggunting dibanding menempel karena beberapa tempelan percobaan yang kulakukan ternyata asimetris dan tak enak dipandang.

Kesalahan teknis dalam tahap ini biasanya terjadi ketika potongan kertas (yang jumlahnya 20. 10 untuk label dan 10 lain untuk nomor panggil) yang sudah siap digunting ketlisut sehingga harus dicari dan melibatkan teman di samping kanan kiri. Lokasi masih di ruang multimedia, akan tetapi pemandangan sedikit berbeda. Hanya ada dua unit computer serta satu unit printer setelah beberapa unit lain dipindah ke tempat asalnya. Perpindahan ini juga yang mengharuskanku melakukan kerja ulang terhadap garapan kecil yang sudah nyaris selesai karena tak tahu computer yang biasa kupakai sudah dipindah ke mana.

Setelah distempel, label akan dilindungi dengan isolasi besar atau yang biasa disebut dengan lakban. Yang kupahami, dua label ini memiliki fungsi berbeda. Label di punggung kiri untuk memudahkan proses klasifikasi, shelving atau identifikasi buku, sedang label di belakang adalah untuk keperluan pemindaian. Nah penempelan lakban tadi dimaksudkan, mungkin, untuk memastikan label tertempel di situ dengan baik tanpa adanya ancaman kerusakan. Ya meski nanti masih disampul pakai plastik mika si.

Ohya, yang tidak boleh dilupakan karena aku tak ikut terlibat, adalah proses penulisan identitas buku di stempel depan dengan manual alias pulpen. Ada dua kolom yang diisi di tahapan ini, yakni nomor induk dan nomor klasifikasi. Untuk menulisnya, petugas hanya tinggal mencontoh alias menempel salin dua data itu label yang ditempel di belakang dan di punggung buku. Tampaknya tak sulit. Lalu, apakah sudah selesai di situ? Oh, beluuumm… .masih ada beberapa.

Kelima adalah menyampul buku dengan plastik mika. Sebelum sampai pada tahap ini, aku sudah terlebih dahulu mendengar info perihal menyampul buku dengan plastik mika. Merasa tidak memiliki tangan yang terampil dan terlatih untuk urusan semacam itu, aku buru-buru mengatakan bahwa jika sampai saatnya penyampulan, aku akan melakukan kerjaan lain. Dan, benar saja, meski penyampulannya tidak sama dengan penyampulan buku seperti biasa karena jauh lebih simple, aku tetap memilih kerjaan yang aman dan tidak memiliki efek merusak yang besar. Kerjaan itu adalah menggunting plastik mika sesuai ukuran buku. Alatnya hanya gunting dan bisa dikerjakan dengan cepat.

Keenam adalah menaruh pengaman di buku. Bagian ini confidential ya, teknis maupun materialnya. Intinya tahap ini, sejauh yang kupahami, ditujukan untuk memastikan para kleptomania tidak beraksi di ruangan sakral seperti perpustakaan. Tentu, material ini hanya satu dari sistem security perpustakaan selain pemindaian, CCTV dan lain sebagainya. Sayang, hanya ‘sistem’ Tuhan yang tidak bisa diakali. Alat dan prosedur ini tidak berlaku untuk menangkap adegan pengunjung yang dengan sengaja menyelipkan buku di rak lain dengan niat monopoli akses.

Tahap ini, aku bekerjasama dengan Mba Ria yang sebenarnya juga masih rada oneng dan kaku untuk memasang pengaman tersebut. Dipasangnya juga di setiap buku sehingga lumayan time consuming untuk orang baru seperti kami. Untungnya, juga, kami ketika itu banyak dibantu oleh Bu Enni dan Pak Iyadz yang tampak lebih akrab dan terlatih bergaul dengan si alat pengaman. Pada bagian ini pula, buku-buku yang berlabel C1 dipisahkan dari teman-temannya. Laluuuu.. Apakah sudah selesai? Oh, ternyata masih belum..

Ketujuh adalah, memindai sampul buku lalu mengintegrasikannya ke sistem. Tahapan ini tidak melibatkan banyak person karena hanya ada satu unit alat pindai—bentuknya asing buatku—yang digunakan. Aku sendiri ikut nimbrung di proses ini tidak dari awal, dengan Pak Faruq dan Pak Udin. Jadi, teknisnya, aku meletakkan buku yang akan dipindai sampulnya di bawah semacam shade alat pindai, lalu Pak Faruq akan memastikan data sudah masuk sistem. Setelah itu aku akan menyebut nomor urut buku agar Pak Udin memberi tanda centang di potokopian daftar buku baru yang dipegangnya. Begitu seterusnya sampai buku terakhir. Dan.. sayangnya,,

Kedelapan, adalah tahapan terakhir yang tak sengaja kulewatkan. Jadi ceritanya, setelah tahap ketujuh selesai, ada semacam pembagian ‘jatah’ untuk memroses sekian eksemplar buku. Aku kebagian nomor sekian hingga sekian. Kami sepakat mengerjakannya sepulang jam kantor, yakni sejak jam 16.00. Ketika itu, jam 4 sore, aku masih di rumah menunggu Rauhia benar-benar tidur sehingga bisa ditinggal dan sesampainya di depan perpustakaan, aku sudah diinstruksikan agar pulang karena kerjaan telah selesai. Lalu dengan muka tak bersalah, aku bubar jalan tanpa penghormatan.

***

Dari proses awal hingga akhir, kami para petugas benar-benar dimanjakan dengan fasilitas yang diupayakan suportif terhadap kerjaan yang digarap. Fasilitas yang dimaksud meliputi, tapi tak terbatas pada, ruangan ber-AC, alunan musik, cemilan dan minuman, hingga obrolan santai lucu-lucuan dengan sesama petugas. Ibarat kata pepatah, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Ketika kampus kami kedatangan menteri agama lalu secara kompak dan bersamaan kami tidak dapat jatah dan terlambat makan siang, kami kelaparan berjama’ah lalu makan siang telatpun berjama’ah.

Closing Statement-nya adalah.. seringkali kita ditakdirkan masuk pada keadaan agar dapat merenung dan mendulang pelajaran hidup darinya. Dulu semasa mahasiswa, aku gampang sekali complain pada petugas perpustakaan dan menuduh layanan mereka kurang optimal dan flawful di sana-sini. Saat ini, ndilalah aku tau rasanya jadi karyawan perpustakaan dan proses ‘perjuangan’ sebuah eksemplar buku bisa sampai ke tangan pengunjung, rasanya kok malu banget dulu pernah ‘sekritis’ itu sama pegawai dan sistem perpustakaan. Duh Tuhan, terimakasih atas pelajaran berharga ini. I am ready to learn much more!

Gambar: Dokumentasi Pribadi, dipoto dari Samsung J2 Pro gone dewe


Di antara sekian banyak pesan broadcast, meme atau postingan yang viral di dunia maya baru-baru ini, sebuah meme perihal kesulitan—baca: tantangan—menjadi pegawai menarik perhatianku. Di situ tertulis bahwa salah satu flaw terbesar menjadi pegawai adalah sulitnya mengembangkan diri. Harusnya aku tak perlu iseng merenungkan meme itu jika saja tidak merasa bersangkut paut dengan status yang baru aku punya sejak beberapa bulan terakhir.

Dari situ, muncul keisengan berikutnya untuk berbagi cerita perihal secuil hal dari keseharian pegawai yang barangkali belum banyak diketahui. To be short, sependek yang kupahami, pegawai sebenarnya hidup dengan berbagai sistem dan prosedur yang dirancang sedemikian rupa agar mengondisikan segala hal untuk bisa kondusif dan suportif meningkatkan kinerja dan produktivitasnya (bahasanya teknis banget sih). Salah satu di antaranya adalah sebuah sistem, prosedur atau mungkin instrument yang bernama checklog.

Entah spelling-nya benar atau tidak, mudahnya kata itu adalah prosedur absen digital bagi seluruh karyawan yang sifatnya harian. Ia memiliki dua varian, yakni check in dan check out. Dalam penggunaan keseharian ia bisa menjadi kata kerja sekaligus kata benda. Bagi para karyawan, mesin checklog tak ubahnya hajar aswad yang disambangi setiap mengunjungi Ka’bah. Setiap mereka datang ke kampus, mereka akan check in dan begitu juga ketika akan meninggalkan kampus, mereka akan check out. Idealnya sih begitu, meski ada juga kasus lupa checklog karena satu dan lain hal.

Jadi prosedurnya, tiap pegawai akan menampakkan wajah ke semacam cermin digital dan memastikan seluruh bagian inti wajahnya terlihat. Karena itu kalau pakai masker, maskernya harus dicopot dulu. Setelah itu, selama sekian detik, mesin akan mencocokkan wajah dengan database yang dia punya menggunakan barometer semacam kesamaan wajah—aku lupa istilahnya apa—yang diskalain pakai angka lalu tak lama, akan muncul data inti—pas ceklog pertama kali—serta ucapan ‘terimakasih’ yang khas sekali dari seorang perempuan yang entah siapa. Ucapan ini adalah salam default yang akan terdengar pada jam berapapun checklog dilakukan. Mau ontime, sregep atau terlambat, responnya sama.

***

Di kampus tempat aku bekerja, ada dua unit mesin checklog yang terletak dan berjejer di Kantor Pusat. Ini tentu semakin meneguhkan kantor pusat sebagai tempat yang benar-benar sentral karena minimal, ia akan dikunjungi karyawan dua kali sehari untuk keperluan checklog. Jumlah dan lokasi tersebut sangat cocok dengan demografi kampus dan (barangkali) kuantitas karyawan. Additionally, tidak tersebarnya mesin checklog
di tempat yang berbeda juga dapat mempererat silaturrahim antarkaryawan mulai dari ketua hingga yang bawah-bawah sepertiku. Ketika bertemu di area si mesin, minimal kami akan bertukar senyum, bersalaman hingga beramah tamah duduk dan ngobrol.

Check in paling akhir adalah jam 07.30 WIB berdasarkan itungan jam di mesin checklog. Tentu waktu istiwa’ tidak dipakai di sini dan jika ada perbedaan menit hingga second dengan jam tangan yang dikenakan atau jam di gawai masing-masing, maka yang dimenangkan adalah versi mesin checklog. Sementara itu, check out paling awal adalah jam 16.00 WIB (untuk Senin hingga Kamis) dan 16.30 (untuk Jum’at). Informasi perihal checklog paling awal dan akhir jam berapa awalnya belum bisa aku pastikan sebelum membaca selebaran pengumuman libur lebaran kemarin.

Sependek yang aku amati, ada beberapa karyawan yang checklog dengan sidik jari dan ada yang dengan wajah. Aku tidak tahu bedanya apa. Aku sendiri biasanya dengan wajah, sekalian ngaca di mesin checklog untuk memastikan whether I look ok already, utamanya di pagi hari dan di mesin sebelah kiri yang kacanya lebih bening. Pernah satu kali aku mencoba menggunakan sidik jari tapi ditolak oleh sistem. Ketika mendaftar data wajah untuk keperluan ini bersama Pak Ipul, aku memang tidak diminta menunjukkan sidik jari. Sayangnya ketika itu aku sedikit nervous sehingga data record yang menampakkan wajahku dalam ekspresi flat tanpa senyum seperti sedang poto session untuk keperluan bikin pasport. Tak kusangka rekam data pertama kali itu akan selalu muncul setiap kali aku checklog bersama semacam user name dan beberapa informasi lain.

***

Ngomong-ngomong soal waktu checklog, ada sedikitnya dua kaidah dasar yang berlaku. Pertama adalah bahwa checklog menerapkan sistem qadha’ dan kedua adalah bahwa checklog hanya memberlakukan sistem punishment tanpa diimbangi dengan reward. Jika seorang pegawai checklog jam delapan dan itu artinya dia terlambat 30 menit, maka ia baru boleh pulang setengah jam setelah jam awal ceklog pulang, yakni jam 16.30 untuk Senin-Kamis dan 17.00 untuk Jumat. Sebaliknya, jika seorang pegawai checklog datang jam 7, misalnya, maka ini tidak berarti bahwa yang bersangkutan dapat pulang 30 menit sebelum jam 16.00 alias jam 15.30. Aturan yang sama berlaku bagi pegawai yang pulang keri selepas jam 16.00 meski yang bersangkutan tidak memiliki hutang yang harus disaur. S/he deserves just the same.

Well, anyway, mengapa harus diatur sedemikian rupa dan terkesan sangat detail serta prosedural sekali? Sejauh yang kuamati, checklog memberi dampak prosedural dan eksistensial. Seorang pegawai yang datang ke kampus tapi tidak checklog, maka yang bersangkutan dianggap tidak masuk pada hari tersebut betapapun ia stay di situ dan do the job. Jika dia checklog datang saja dan tidak checklog pulang, maka ia akan dianggap hadir tapi tidak dijatah uang makan (ada yang bilang uang lauk-pauk dan uang transport) harian yang dicairkan tiap bulan. Sementara itu, jika checklog datang dan pulang, dengan jam yang sesuai, maka ia akan dianggap hadir dan dijatah uang makan. Nah semisal ada beberapa menit yang missing, aku belum tau pasti bagaimana dampaknya. Jatah makan dikurangi atau dianggap tidak hadir, entahlah.

Dampak eksistensialnya adalah bahwa checklog merupakan perangkat yang menjadi bagian dari sistem untuk mendisiplinkan pegawai. Idealnya begitu. Itulah mengapa ketentuannya diatur sedetail itu. Ia meniscayakan bahwa dalam jangka waktu sekian jam sehari, seorang pegawai berkesempatan sama untuk benar-benar melakukan tugas dan fungsinya sehingga—idealnya—tidak ada pekerjaan yang keteteran, jadwal yang terbengkalai atau hal-hal lain di luar kehendak sistem. Sampai di sini, checklog masih sempurna sebagaia sistem, aturan atau perangkat untuk menciptakan suasana kerja disiplin.

Namun demikian, checklog menjadi problematis sedikitnya karena beberapa alasan berikut.

Satu, tidak semua pegawai ‘bertugas’ di lingkungan kampus. Ada beberapa di antara mereka yang dalam kesehariannya bertugas di luar, semisal ketika dinas luar, lagi ngumpulin data di lapangan, menjadi delegasi kampus untuk agenda tertentu dan lain sebagainya. Karena tidak ada checklog daring yang bisa diakses kapan dan di manapun, maka sebagian dari mereka ini harus menambah rute ke kampus untuk checklog dua kali sehari, selama memungkinkan dan mau nyempetin. Kalau dinasnya di luar kota ya kejauhan.

Dua, seperti semua sistem yang bisa dipastikan memiliki flaw sesuai dengan karakternya masing-masing, checklog juga sangat potensial untuk diakali. Ini, satu sisi menjadikan aturan lebih fleksibel, namun di sisi lain juga seperti permisif terhadap indisiplin pegawai. Yang kualami dan kuamati, checklog terkadang kehilangan tupoksinya ketika ia hanya menjadi formalitas seperti dalam kasus berikut; checklog datang lalu—cepat atau lambat—ke luar kampus untuk urusan pribadi dan atau di luar kedinasan, checklog datang lalu berada di lingkungan kampus tapi disorientasi alias tidak (langsung) menggarap pekerjaan dan memrioritaskan hal-hal yang seharusnya tidak menjadi prioritas.

Tak heran, pemandangan checklog lalu pulang adalah hal yang sangat biasa dan tampak sengaja dimaklumi untuk menghormati kesibukan lain para pegawai di luar tugas-tugas kantor. Kesibukan dimaksud meliputi, namun tidak terbatas pada, urusan keluarga, mengantar-jemput anak ke sekolah, ke RS/atau public service center yang hanya buka di weekdays, merawat anggota keluarga yang sakit dan keperluan-keperluan lain. Ketika +7 lebaran kemarin, aka tellasan topak, pimpinanku bahkan membolehkan bawahannya untuk checklog saja tanpa masuk kantor demi merayakan hari lebaran ketujuh bersama keluarga. Kebijakan yang populis kupikir, sebab selain memang belum ada pekerjaan mendesak, masuk kerja di hari itu sangat tidak kondusif.

Dari situlah, checklog, meksi merupakan instrumen formal, memainkan secondary role sebagai semacam pelengkap prosedur perizinan kultural ketika ada keperluan yang memang benar-benar mendesak. Saat seorang pegawai harus menyelesaikan urusan urgent di luar kampus, termasuk urusan tengka, maka yang bersangkutan bisa checklog lalu idzin secara kulural pada pimpinan. Ini menjadikan aturan perihal absensi pegawai lebih fleksibel dan memudahkan, meski di sisi lain juga membuka potensi lain untuk diakali.

***

Di luar hal-hal teknis dan prosedural di atas, checklog sebenarnya tak lebih dari perangkat mekanis yang bekerja secara otomatis dan tak berinstink. Beda sekali dengan manusia yang tak hanya beruntung karena memiliki akal—untuk mengakali apapun yang tampak tak bisa diakali—akan tetapi juga perasaan untuk mengontrol kerja akal yang kadang tak mau ikut aturan. Seorang pegawai bisa mengakali sistem dengan setor muka di mesin checklog sebelum atau sesudah ngluyur untuk urusan pribadi, di dalam maupun di luar kampus, namun pastinya ia tak bisa berbohong dari dirinya sendiri. Ia juga tidak akan terbebas dari rasa sungkan kepada pimpinan, rekan kerja atau siapapun yang secara sengaja maupun tidak mengetahui aksi pseudo checklog-nya karena berbanding terbalik dengan kinerja dan atau produktivitasnya.

It was on sixth day of May, 2018, when I spent almost whole day with the baby for the first time since we arrived in Surabaya. Before the announcement of my Latsar schedule, I had planned to celebrate her birthday in a very simple way. However, as soon as I knew the upcoming schedule, I broke my focus and began to prepare many things for my departure and a-month stay far away from home. I forgot to think about the make-up celebration and so forth.

Rauhia knows nothing about birthday. Neither did I give her prize I prepared because the condition did not allow me to do so. As soon as I remebered, that day, I simly kissed and huged her many times while greeting her birthday. She responded just as the same as everytime I communicate and cuddle with her. However, I still felt like so blessed to have a first whole year as her mother, nurture her, breastfeed her, bathe her, accompany her, feed her, sleep with her and the cutest one, listen to her say something like ‘momma... mommmaaa’.

There was still no smart phone on my hand at that time so I had no documentation at all. It did not decrease my happiness as it was also the first time I could stay with her without thinking about any Latsar schedule or whether I am already late to come to any scheduled agenda. It was also such a cure of the bad experience when she needed to move out from BDK through the awkward and long series of, let say, drama.

***

In the last days of her 0-year, she experienced many surprising things that I wish, some day, she would learn a lot from. I know that for now, she does not really understand about what happens in her surrounding. For the very first time, she might question about what hectic her momma was in preparing the departure and how stubborn she was to bring her away from home in such a hard condition just to maintain the breastfeed program. She also a back and forth trip twice with unprecendented distance she ever had from home to Surabaya.

The pre-departure preparation took very much of my attention that it led other people to misunderstand about what I really did and concern about. Rauhia was on my side—and my arm—when I clarified that everything was not like what it was thaught. She was also with me for the first visit to BDK when I was informed about the special room—and policy—for any participant with the baby. Fortunately, she was ok during the trip and there was no serious bad thing except the ‘accident’ at the mosque where she and I also had a very late lunch.

The visit was, again, her first long trip that I could make it certain that she would be ok for any long-distance trip. Thankfully. She did not look that excited for riding a car in long time, the same condition when looking at the big city scene and its crowd. At general, she was unexpressive and looked like thinking much about what she looks at before giving any expression or response. She could sleep well and it helped me a lot to enjoy the trip and manage my excitement and nerve to, let say, go to school again,

For my myself, the trip learned technically—and perhaps emotionally—about bringing the baby in a trip so for the next, I could be more prepared. Above all, Rauhia was cooperative that I could focus to the thing I need to concentrate about. Hopefully she would be getting more cooperative in upcoming days.

***

Arriving for the second time at BDK which signified the stay, Rauhia needed to cope with everything and everyone new, except me her momma. She spent much of first day not with me as I needed to handle registration process, opening ceremony and so forth. She complained and cried loudly a lot and I felt like she had never been that spoiled. She looked very worry when I looked like about to leave, even for very short time like going to bathroom or doing prayers. It was very perhaps hard for her to accept that she moved into a very new planet.

At the second day, she needed to become her momma’s power when the drama started and she was required to move out from BDK very soon. She saw my tear many times when I felt like desperate and everything was unfair. Why was I told something different from what it was suppossed to be? Thankfully there are always good guys after various—let say—bad guys come. Many new friends helped me a lot to find the proper and comfotable boarding house for Rauhia. They gave me encouraging visits, supports and even technical helps like lending car, accompanying in the field and others.

I could not forget that she was in my arm when I failed to negotiate about her stay when some officers took off in the day off—June 1—that day. As typical, she just paid attention on the surrounding, turned left and turned right then hugged me firmly as like saying, Momma, what are you doing here? Who are these guys? I could not bear any tear (but I wiped up immediately) wishing she did not know I was crying. It would be ok if I came by me myself, but if with her—and her nanni—the condition would be very much different. She could not wait to stay in a comfortable place to assure her health kept well in a new place.

To be short, thankfully, on 2nd of May, four days before her birthday, she and her nanny moved to a boarding house—into some extent it looks like a home stay or a mini-hotel—not far from BDK. Some friends of mine helped a lot in moving time—at the afternoon, that day—so I felt so blessed to have them while I was away from family and relatives. It is true that I need to pay more, even much more than any cost I paid to rent a room, yet the fact that I was relieved on it is a very much big blessing. I could focus on my lessons and my baby stayed in a ‘secure’ and comfortable zone without any threat of extradition.

The first days of her a-year-toddler status are mainly about learning how to walk without holding to anybody or anything and enjoying a kinda luxurious room she spend most of her time in. She began to take bath while standing up, spending time with Air Conditioner and TV, meeting her momma in a bigger frequency than usual, eating various new foods and snacks and seeing new views while introducing with new people. She was still so expressive when looking at me come to her and hurry to find the center of her main food. What else I could thank for this blessing and happiness?

***
Talking about her first birthday also implies the day one previous year when I struggled to give her birth. Those seconds, minutes and hours are the things that I think I could not forget forever. It was such magical ability that I could endure the suffering in a couple of hours without thinking much about death and other bad things. I simply believed that I could give her birth in natural way and what I waited for is just the right time so I must keep trying and focusing on the purpose to push and push when the stimulus came up. Again, I need to say yes to people who state that the whole suffering of giving birth would disappear as soon as the baby comes. Rauhia did not cry directly yet I was sure she was alive as I saw her little move. The assistant of a midwife who helped me did something with pipes and she cried loudly. It officially ratified my new status as a mother.

As a typical mother, I wish nothing but the best for her. May she stay healthy, well grown up, cheerfully learning many things new on her upcoming days, and be ready for the life ahed. Rauhia, if you read this later, you need to know that you may cound your age by number but in my eyes, you are still the baby who could not do anything but crying, drinking the breastmilk and doing some little cuddley moves. Be well prepared for your shinning days, My Dear! I pray and love you everytime I breathe. I do.

image: http://welcometowillowlane.com/2017/07/23/1st-birthday-party-ideas/

MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.