Hari ini, pengguna ponsel pintar mana yang tak memakai aplikasi Whatsapp? Selain nama yang cocok dan seakan menghipnotis sekian milyar jari untuk selalu mengunjungi ‘rumah’nya demi menjawab pertanyaan ada apa? apa yang baru terjadi? apa yang sedang menjadi buah bibir, dan semacamnya, Whatsapp terbilang tidak ribet. Tak perlu mengingat—apalagi menghafal—PIN, tak ada iklan, gratis instalasi, berkapasitas ringan, dan yang barangkali juga tak kalah penting, menawarkan fitur yang cukup lengkap. Satu di antaranya adalah karena Whatsapp yang biasanya diakses di ponsel pintar juga bisa diintegrasikan dengan computer sehingga ini sangat memudahkan pengguna dalam mentransfer file dari PC tanpa harus menggunakan kabel data apalagi pembaca data (card reader maksudnya).

Dengan hanya menyimpan nomor ponsel seseorang di buku telpon, kita sudah bisa melacak orang tersebut di Whatsapp. Plus, jika setting-an mendukung, kita bisa melihat foto profil, isian untuk kolom about bahkan last seen atau waktu terakhir yang bersangkutan online dan menyambangi Whatsapp. Easy, right? Tak hanya itu, jika nomor kita juga disimpan di buku telepon yang bersangkutan, stalking kini bukan lagi menjadi suatu kemewahan sebab kapanpun ia membuat status (story, kalau bahasa Facebook) baru yang berisi gambar, video atau infogram pribadi, kita bisa dengan mudah mengetahui, berkomentar hingga terlibat percakapan panjang. There is almost no secret in the virtual worlwide today.

Di luar beberapa hal yang membuat hidup terasa mudah, fitur seru yang ditawarkan Whatsapp adalah Whatsapp Group (selanjutnya disebut WAG). Fitur inilah yang barangkali paling dirindukan seorang pengguna ketika sehari saja ia tak bisa berselancar di dunia maya karena pulsa yang koit, jaringan yang tak mendukung, wi-fi sedang trouble atau ponsel yang tiba-tiba harus berpindah tangan karena satu dua hal. Selain daya tampung anggota yang cukup banyak, kapasitas Whatsapp yang rendah memudahkan maksimalisasi operasional fitur-fiturnya sehingga proses loading-pun tidak terlalu lama. To sum up, WAG enak karena light, cukup private dan multifungsi.

***

In general, WAG memungkinkan koneksi dengan pengguna lain dari latar belakang, minat dan concern yang sama. Karena itulah untuk bisa bergabung dalam sebuah WAG, anggota baru harus mendapat undangan berupa link yang menghubungkan ke WAG atau ditambahkan oleh admin WAG. Setelah tergabung dalam sebuah WAG tertentu, ada sangat banyak hal yang bisa dilakukan, mulai dari mendapat kenalan baru, gebetan, bertemu mantan, silaturrahim dengan sanak saudara, reuni dan nostalgia dengan teman lama, menggelar rapat atau pelatihan daring, mengembangkan sayap bisnis, berdiskusi paling gojek hingga paling serius, berbagi dan menyerap informasi, dan lain-lain. Seorang newcomer tidak bisa mengakses percakapan di WAG yang terjadi sebelum dirinya bergabung.

Memfasilitasi komunikasi yang lancar melalui jalur dan bentuk yang nyaman dan featurefull. tak mengherankan jika nyaris semua komunitas memiliki WAG. Dari lingkaran keluarga, ada WAG sendiri. Ini bisa jadi beragam dari keluarga inti hingga keluarga besar. Sekian langkah dari rumah, ada komunitas tetangga mulai dari kompleks, RT, RW, karang taruna, desa, dan seterusnya yang juga disatukan dengan WAG. Di tempat kerja, sekolah atau berbisnis, tentu lebih banyak lagi macamnya. Belum lagi WAG alumni dari TK hingga PT ataupun pelatihan dan seminar semacamnya. Mereka yang memiliki common hobby, common concern, common fan, common occupation, , atau kesamaan lain, juga akan tergabung dalam WAG sendiri. Ini tentu belum termasuk WAG sempalan yang kadang mau tak mau muncul untuk kepentingan yang dirasa membutuhkan adanya area baru yang lebih eksklusif dibanding WAG lain dengan anggota yang lebih banyak.

Hingga tulisan ini dimulai dan diutak-atik ke sana-sini, belum diketahui pasti adakah jumlah maksimal WAG yang bisa diikuti seorang pengguna. Pertanyaan tersebut setidaknya menjadi penting untuk diajukan sebab dari gelagatnya, jika WAG semakin populer dan setiap sekian detik lahir ratusan WAG baru di seluruh dunia dengan sekian ragam, ruang lingkup, tujuan dan tajuknya, bukan tak mungkin kumpul-kumpul dalam rangka kopi darat, reunian, seminar dan pelatihan tak akan preferable lagi. Bagaimana tidak, dengan hanya bermodal ponsel pintar, daya baterai dan paket data atau sambungan nirkabel wifi, orang-orang yang terpencar di belahan dunia dan timezone yang berbeda bisa bertemu secara virtual untuk bertukar kabar, berbagi informasi, melakukan kordinasi atau apapun yang mereka ingin bincang dan lakukan.

Apalagi, WAG, seperti halnya media sosial lain, memungkinkan penggunanya berhaha-hihi dengan orang lain yang belum dikenal secara darat. Ini saya alami ketika tergabung dalam WAG bertajuk Ibu Hamil Sehat dan Bahagia. Saking ramai dan informatifnya, saya sampai merasa tidak perlu membaca artikel/buku seputar kehamilan karena nyaris semua serba-serbi kehamilan dikupas tuntas di grup tersebut. Celakanya, selain grup tersebut, ada hampir 40-an WAG di mendiang HP jadul saya yang membuat saya, mau tak mau, berpikir bahwa meski fitur ‘mute’ atau bisu di WAG diaktifkan karena terganggu dengan nada dering yang berbunyi nyaris setiap lima detik atau merasa kurang berkepentingan dengan percakapan di dalamnya, saya toh tetap stay di situ seolah tidak ada fitur exit group. Ada semacam perasaan sungkan—atau eman—untuk keluar dari WAG sehingga menjadi silent reader adalah alternatifnya.

Selain bagi pengguna yang memiliki keterbatasan kapasitas (memori) ponsel pintar sehingga memutuskan untuk memangkas beberapa WAG yang dianggap tak penting, WAG tetap menjadi primadona. Eksis di dalamnya, meski tak pernah bersuara sekalipun, memastikan keterbaharuan informasi di lingkungan tertentu sehingga seorang pengguna bisa selamat dari ancaman ‘out of date’. Banyaknya WAG yang diikuti kemudian, kurang lebih, menjadi barometer baru luasnya pergaulan seseorang sekaligus jumlah teman, keluasan jaringan dan skala prestise tertentu. Ini juga termasuk kerempongan dan tugas baru untuk mengkhatamkan percakapan di WAG yang jumlahnya kadang tak terbendung dengan teknik skimming dan skipping.

Gambar: www.medio.com


Sewaktu menjadi mahasiswa, aku cukup sering mengunjungi perpustakaan. Tuntutan tugas dari dosen, mulai makalah hingga skripsi dan tesis, mengharuskanku tak jauh dari bangunan berlantai empat yang buka hingga malam itu. Sementara itu, kemauan untuk membeli buku sama minimnya dengan budget yang harus tak afford. Jadilah demikian. Karena seringnya berkunjung, aku jadi mengerti sedikit hal mengenai manajemen perpustakaan. Dulu sekali ketika masih MTs, pernah juga ikut diklat kepustakaan. Masih samar-samar ingat beberapa kata kunci.

Selang beberapa tahun kemudian, aku ditempatkan untuk bekerja--barangkali semacam magang--di perpustakaan kampus sebelum mendapat tugas penuh untuk mengajar, meneliti dan mengabdi pada masyarakat. Pada bulan-bulan pertama di situ, aku banyak belajar hal baru mulai dari teknis hingga yang lebih esensial. Tentu saja aku bahagia karena mengetahui hal yang selama ini tak terlalu jauh dari kehidupanku tapi tak kupahami makna dan simbolnya. Tak hanya itu, aku juga banyak belajar dari aktivitas baru yang tampak monoton tapi sebenarnya menyimpan banyak hal lucu dan asyik untuk diceritakan.

***

Nah, beberapa pekan belakangan, bersamaan dengan libur panjang mahasiswa, aku turut merayakannya dengan masuk kampus tiap hari terlibat dalam proses pengolahan buku di perpustakaan. Jika sebelumnya tugasku tak jauh-jauh dari desk pengembalian dan menunggui computer di ruang terbitan berkala dan referensi, maka aku mulai belajar hal baru yang lebih teknis-prosedural. Pengolahan buku itu kurang lebih adalah proses mengolah buku yang baru dibeli untuk bisa disajikan di rak perpustakaan dan ready untuk dibaca, dipantengi maupun dipinjam pengunjung.

Selama masa pengolahan buku ini berlangsung, nyaris seluruh layanan perpustakaan ditutup sebab semua anggota pasukan terlibat langsung dalam proses tersebut. Jika layanan perpustakaan dibuka seperti biasa, jatuhnya ga akan maksimal dan justru memperlambat proses pengolahan. FYI, jumlah pasukan kami tidak seberapa, apalagi dibanding jumlah terbaru mahasiswa yang, kabarnya, berbelas-belas ribu itu. Finally, memakan waktu kurang lebih 10 hari kerja, inilah proses pengolahan buku yang aku dan teman-teman kerjakan.

Pertama adalah membuka plastik sampul depan buku serta mengisi lembar kerja. Setiap buku yang dibeli masih terbungkus plastik dan untuk bisa mengolahnya, plastik tersebut harus dilucuti. Setelah itu, petugas akan mengisi lembar kerja buram yang berisi identitas buku mulai dari penulis, tahun terbit, tempat terbit, deskripsi fisik, nomor ISBN (dan e-ISBN) dan lain sebagainya.

Di antara beberapa kolom yang harus diisi, ada kolom bernama nomor panggil dan nomor kelas (atau nomor klasifikasi, entah,) yang tidak bisa sembarang diisi dan harus dikonsultasikan pada yang lebih tau. Selain bertanya pada (bahasa kerennya consult with) buku, alternatif yang lebih mudah adalah bertanya pada mereka yang memiliki otoritas keilmuan dan akrab dengan angka serta kode semacam itu, yakni Bu Neli dan atau Pak Hairul. Itulah mengapa dalam tahap ini, aku menerapkan prinsip posisi menentukan prestasi sehingga aku tak membiarkan Bu Neli jauh dariku. Jadi teknisnya, aku menyelesaikan seluruh kolom selain dua bagian itu, lalu aku serahkan langsung kepada Bu Neli.

Setiap judul biasanya tak hanya terdiri dari satu eksemplar, akan tetapi 10. Kabar baiknya adalah bahwa satu lembar kerja berlaku untuk satu judul yang sama, sehingga tidak masing-masing buku harus diisi lembar kerjanya. Yang tak temukan dari aktivitas ini adalah bahwa tidak semua buku mencantumkan nama penyuntingnya, padahal peran penyunting itu luar biasa. Ada juga kebingungan saat harus mencantumkan nama penerbit, biasanya karena ada dua nama yang berbeda antara yang tercantum di sampul dan di lembar, apa ya namanya, yang memuat informasi dasar buku di halaman kedua dari depan . Satu dengan embel-embel PT atau Group dan yang lain tidak. Atau, ada juga buku yang tidak mencantumkan deskripsi fisik jumlah halaman dan atau panjang dan lebar buku, sehingga petugas harus ketambahan tugas.

Ohya, ada satu perangkat lain yang harus dipegang masing-masing petugas dan belum aku sebutkan, yakni daftar judul buku. Daftar tersebut adalah kertas fotokopi-an berisi informasi singkat tentang buku-buku yang sedang diolah plus, yang paling penting, nomor induk, atau nomor kontrak. Ketika satu buku sudah dilucuti sampulnya dan ditulis identitasnya, maka nomor urut buku tersebut di daftar tadi harus dilingkari atau dikasih tanda yang menunjukkan bahwa, the book has been proceeded. Pekerjaan ini selesai, kalau aku tak salah ingat, dalam waktu tak lebih dari 2-3 hari.

Kedua adalah menytempel buku. Ada beberapa stempel yang harus dibubuhkan di bagian-bagian tertentu. Bagian tersebut adalah, bagian sampul depan, bagian lembar belakang, bagian tengah buku, serta di punggung kanan buku—bagian samping buku yang bukan tempat jilidan itu maksudnya. Stempel yang didaratkanpun berbeda-beda. Stempel label kepemilikan di bagian depan, belakang, tengah dan punggung serta stempel identitas buku di bagian depan. Nah, di stempel identitas ini, ada dua stempel lagi yang dibutuhkan, yakni tanggal pembelian dan sumber dana pembelian buku.

Catatan lain dari tahap ini adalah aktivitas menunggu stempel baru. Jadi tahap ini baru bisa dilaksnakan setelah stempel baru ready dan bisa digunakan. Jadi stempel ini berkait dengan perubahan status kampus dari Sekolah Tinggi menjadi Institut. Ada sedikitnya tiga stempel baru yang baru kami reyen, dunya terkait perubahan nama dan satunya adalah sumber dana, DIPA 2018. Kalau stempel tanggal, sepertinya masih barang lama.

Tahap ini terbilang mudah karena tak membutuhkan keahlian khusus, hanya ketahanan stamina dan ketelitian. Meski demikian, tak berarti ini bisa dilakukan tanpa konsentrasi. Meski bisa di-sambi dengan hal-hal lain, hilang fokus sepersekian detik bisa berakibat buruk juga, semisal arah stempel yang salah (ketuker atas bawah atau kanan kiri) atau tinta yang terlalu basah dan terlalu kering. Lesson learnt-nya adalah jangan mudah meremehkan hal yang tampak remeh.

Ketiga adalah mengentri data buku. Tahapan ini juga menandai berpindahnya lokasi pengolahan buku dari ruang pengembangan ke ruang multimedia. Di ruang tersebut, sudah disiapkan beberapa unit computer untuk proses pengentrian data. Aku ingat sekali di hari pertama proses ini , aku bisa pulang pas istirahat karena secara tak dikordinir, karyawan wanita meng-handle kerjaan sebelum jam istirahat sehingga karyawan laki-laki diharuskan mengambil giliran setelah istirahat. Ketika itu unit computer masih terbatas dan belum semuanya digotong ke lokasi, sehingga alasan untuk tak kembali setelah istirahat jadi semakin kuat.

Nah untuk bisa mengentri informasi ke database perpustakaan, diperlukan wewenang khusus. Aku dan temen2 CPNS yang awalnya hanya punya otoritas mengakses bagian sirkulasi diberi lampu hijau mengakses bagian bibliografi. Ada beberapa item yang harus dientri dan semua data tersebut sudah ada di lembar kerja yang diisi pada tahap pertama tadi. Kasarannya, tinggal masukan data dari kertas ke computer. Pada tahap ini aku juga baru tahu bahwa ada kode C untuk setiap eksemplar buku. Jika satu judul memiliki 10 eksemplar, misalnya, maka akan ada C1 hingga C10. C1 disimpan di rak khusus, entah apa namanya, sedang C9 hingga C10 ditaruh di rak yang bisa diakses pengunjung, baik dipinjam dan dibaca atau dibaca saja. C barangkali stands for copy, entah.

Selama proses ini, aku banyak terbantu oleh kebaikan Ibu Enni yang mengajariku beberapa hal teknis pun secara langsung membantuku menambahkan label yang belum terindex di sistem. Secara tak sengaja pula, aku selalu duduk di tempat yang sama, yakni di computer sebelah utara, nomor dua dari barat. Alunan musik dari salah satu computer atau ponsel pribadi kerap melengkapi suasana pengolahan buku dan bagiku, itu bisa dalam waktu yang sama menambah sekaligus menghancurkan fokus. Buktinya, ada beberapa kesalahan entri data yang kulakukan dan itu dengan mudah terlacak tanpa harus ada penyidikan siapa tersangkanya. Yah namanya aja sistem computer. Semuanya otomatis.

Sama seperti tahap-tahap sebelumnya, tahapan ini juga lebih membutuhkan ketelitian. Namun, harusnya, akurasi dalam tahap ini lebih ditekankan karena apa yang dientri ke computer akan secara otomatis tercetak di label yang akan ditempel di punggung depan dan backcover buku. Artinya, jika salah mengentri, maka cetakan juga akan salah dan ini berarti mengharuskan kerja ulang dan atau koreksi manual menggunakan pulpen dan atau tip-ex. Kaidah untuk entri masih tetap sama; satu entri untuk satu judul buku. Jumlah eksemplar hanya dibedakan dengan kode C.

Keempat adalah mencetak data entri kemudian menempel label nomor panggil serta kode batang. Setelah dicetak di kertas sticker, nomor panggil serta kode batang harus digunting kemudian ditempel di tempatnya masing-masing. Tentu ini berlaku untuk semua eksemplar buku, tak ada sistem keterwakilan. Ketika mengerjakan ini, aku lebih memilih menggunting dibanding menempel karena beberapa tempelan percobaan yang kulakukan ternyata asimetris dan tak enak dipandang.

Kesalahan teknis dalam tahap ini biasanya terjadi ketika potongan kertas (yang jumlahnya 20. 10 untuk label dan 10 lain untuk nomor panggil) yang sudah siap digunting ketlisut sehingga harus dicari dan melibatkan teman di samping kanan kiri. Lokasi masih di ruang multimedia, akan tetapi pemandangan sedikit berbeda. Hanya ada dua unit computer serta satu unit printer setelah beberapa unit lain dipindah ke tempat asalnya. Perpindahan ini juga yang mengharuskanku melakukan kerja ulang terhadap garapan kecil yang sudah nyaris selesai karena tak tahu computer yang biasa kupakai sudah dipindah ke mana.

Setelah distempel, label akan dilindungi dengan isolasi besar atau yang biasa disebut dengan lakban. Yang kupahami, dua label ini memiliki fungsi berbeda. Label di punggung kiri untuk memudahkan proses klasifikasi, shelving atau identifikasi buku, sedang label di belakang adalah untuk keperluan pemindaian. Nah penempelan lakban tadi dimaksudkan, mungkin, untuk memastikan label tertempel di situ dengan baik tanpa adanya ancaman kerusakan. Ya meski nanti masih disampul pakai plastik mika si.

Ohya, yang tidak boleh dilupakan karena aku tak ikut terlibat, adalah proses penulisan identitas buku di stempel depan dengan manual alias pulpen. Ada dua kolom yang diisi di tahapan ini, yakni nomor induk dan nomor klasifikasi. Untuk menulisnya, petugas hanya tinggal mencontoh alias menempel salin dua data itu label yang ditempel di belakang dan di punggung buku. Tampaknya tak sulit. Lalu, apakah sudah selesai di situ? Oh, beluuumm… .masih ada beberapa.

Kelima adalah menyampul buku dengan plastik mika. Sebelum sampai pada tahap ini, aku sudah terlebih dahulu mendengar info perihal menyampul buku dengan plastik mika. Merasa tidak memiliki tangan yang terampil dan terlatih untuk urusan semacam itu, aku buru-buru mengatakan bahwa jika sampai saatnya penyampulan, aku akan melakukan kerjaan lain. Dan, benar saja, meski penyampulannya tidak sama dengan penyampulan buku seperti biasa karena jauh lebih simple, aku tetap memilih kerjaan yang aman dan tidak memiliki efek merusak yang besar. Kerjaan itu adalah menggunting plastik mika sesuai ukuran buku. Alatnya hanya gunting dan bisa dikerjakan dengan cepat.

Keenam adalah menaruh pengaman di buku. Bagian ini confidential ya, teknis maupun materialnya. Intinya tahap ini, sejauh yang kupahami, ditujukan untuk memastikan para kleptomania tidak beraksi di ruangan sakral seperti perpustakaan. Tentu, material ini hanya satu dari sistem security perpustakaan selain pemindaian, CCTV dan lain sebagainya. Sayang, hanya ‘sistem’ Tuhan yang tidak bisa diakali. Alat dan prosedur ini tidak berlaku untuk menangkap adegan pengunjung yang dengan sengaja menyelipkan buku di rak lain dengan niat monopoli akses.

Tahap ini, aku bekerjasama dengan Mba Ria yang sebenarnya juga masih rada oneng dan kaku untuk memasang pengaman tersebut. Dipasangnya juga di setiap buku sehingga lumayan time consuming untuk orang baru seperti kami. Untungnya, juga, kami ketika itu banyak dibantu oleh Bu Enni dan Pak Iyadz yang tampak lebih akrab dan terlatih bergaul dengan si alat pengaman. Pada bagian ini pula, buku-buku yang berlabel C1 dipisahkan dari teman-temannya. Laluuuu.. Apakah sudah selesai? Oh, ternyata masih belum..

Ketujuh adalah, memindai sampul buku lalu mengintegrasikannya ke sistem. Tahapan ini tidak melibatkan banyak person karena hanya ada satu unit alat pindai—bentuknya asing buatku—yang digunakan. Aku sendiri ikut nimbrung di proses ini tidak dari awal, dengan Pak Faruq dan Pak Udin. Jadi, teknisnya, aku meletakkan buku yang akan dipindai sampulnya di bawah semacam shade alat pindai, lalu Pak Faruq akan memastikan data sudah masuk sistem. Setelah itu aku akan menyebut nomor urut buku agar Pak Udin memberi tanda centang di potokopian daftar buku baru yang dipegangnya. Begitu seterusnya sampai buku terakhir. Dan.. sayangnya,,

Kedelapan, adalah tahapan terakhir yang tak sengaja kulewatkan. Jadi ceritanya, setelah tahap ketujuh selesai, ada semacam pembagian ‘jatah’ untuk memroses sekian eksemplar buku. Aku kebagian nomor sekian hingga sekian. Kami sepakat mengerjakannya sepulang jam kantor, yakni sejak jam 16.00. Ketika itu, jam 4 sore, aku masih di rumah menunggu Rauhia benar-benar tidur sehingga bisa ditinggal dan sesampainya di depan perpustakaan, aku sudah diinstruksikan agar pulang karena kerjaan telah selesai. Lalu dengan muka tak bersalah, aku bubar jalan tanpa penghormatan.

***

Dari proses awal hingga akhir, kami para petugas benar-benar dimanjakan dengan fasilitas yang diupayakan suportif terhadap kerjaan yang digarap. Fasilitas yang dimaksud meliputi, tapi tak terbatas pada, ruangan ber-AC, alunan musik, cemilan dan minuman, hingga obrolan santai lucu-lucuan dengan sesama petugas. Ibarat kata pepatah, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Ketika kampus kami kedatangan menteri agama lalu secara kompak dan bersamaan kami tidak dapat jatah dan terlambat makan siang, kami kelaparan berjama’ah lalu makan siang telatpun berjama’ah.

Closing Statement-nya adalah.. seringkali kita ditakdirkan masuk pada keadaan agar dapat merenung dan mendulang pelajaran hidup darinya. Dulu semasa mahasiswa, aku gampang sekali complain pada petugas perpustakaan dan menuduh layanan mereka kurang optimal dan flawful di sana-sini. Saat ini, ndilalah aku tau rasanya jadi karyawan perpustakaan dan proses ‘perjuangan’ sebuah eksemplar buku bisa sampai ke tangan pengunjung, rasanya kok malu banget dulu pernah ‘sekritis’ itu sama pegawai dan sistem perpustakaan. Duh Tuhan, terimakasih atas pelajaran berharga ini. I am ready to learn much more!

Gambar: Dokumentasi Pribadi, dipoto dari Samsung J2 Pro gone dewe


Di antara sekian banyak pesan broadcast, meme atau postingan yang viral di dunia maya baru-baru ini, sebuah meme perihal kesulitan—baca: tantangan—menjadi pegawai menarik perhatianku. Di situ tertulis bahwa salah satu flaw terbesar menjadi pegawai adalah sulitnya mengembangkan diri. Harusnya aku tak perlu iseng merenungkan meme itu jika saja tidak merasa bersangkut paut dengan status yang baru aku punya sejak beberapa bulan terakhir.

Dari situ, muncul keisengan berikutnya untuk berbagi cerita perihal secuil hal dari keseharian pegawai yang barangkali belum banyak diketahui. To be short, sependek yang kupahami, pegawai sebenarnya hidup dengan berbagai sistem dan prosedur yang dirancang sedemikian rupa agar mengondisikan segala hal untuk bisa kondusif dan suportif meningkatkan kinerja dan produktivitasnya (bahasanya teknis banget sih). Salah satu di antaranya adalah sebuah sistem, prosedur atau mungkin instrument yang bernama checklog.

Entah spelling-nya benar atau tidak, mudahnya kata itu adalah prosedur absen digital bagi seluruh karyawan yang sifatnya harian. Ia memiliki dua varian, yakni check in dan check out. Dalam penggunaan keseharian ia bisa menjadi kata kerja sekaligus kata benda. Bagi para karyawan, mesin checklog tak ubahnya hajar aswad yang disambangi setiap mengunjungi Ka’bah. Setiap mereka datang ke kampus, mereka akan check in dan begitu juga ketika akan meninggalkan kampus, mereka akan check out. Idealnya sih begitu, meski ada juga kasus lupa checklog karena satu dan lain hal.

Jadi prosedurnya, tiap pegawai akan menampakkan wajah ke semacam cermin digital dan memastikan seluruh bagian inti wajahnya terlihat. Karena itu kalau pakai masker, maskernya harus dicopot dulu. Setelah itu, selama sekian detik, mesin akan mencocokkan wajah dengan database yang dia punya menggunakan barometer semacam kesamaan wajah—aku lupa istilahnya apa—yang diskalain pakai angka lalu tak lama, akan muncul data inti—pas ceklog pertama kali—serta ucapan ‘terimakasih’ yang khas sekali dari seorang perempuan yang entah siapa. Ucapan ini adalah salam default yang akan terdengar pada jam berapapun checklog dilakukan. Mau ontime, sregep atau terlambat, responnya sama.

***

Di kampus tempat aku bekerja, ada dua unit mesin checklog yang terletak dan berjejer di Kantor Pusat. Ini tentu semakin meneguhkan kantor pusat sebagai tempat yang benar-benar sentral karena minimal, ia akan dikunjungi karyawan dua kali sehari untuk keperluan checklog. Jumlah dan lokasi tersebut sangat cocok dengan demografi kampus dan (barangkali) kuantitas karyawan. Additionally, tidak tersebarnya mesin checklog
di tempat yang berbeda juga dapat mempererat silaturrahim antarkaryawan mulai dari ketua hingga yang bawah-bawah sepertiku. Ketika bertemu di area si mesin, minimal kami akan bertukar senyum, bersalaman hingga beramah tamah duduk dan ngobrol.

Check in paling akhir adalah jam 07.30 WIB berdasarkan itungan jam di mesin checklog. Tentu waktu istiwa’ tidak dipakai di sini dan jika ada perbedaan menit hingga second dengan jam tangan yang dikenakan atau jam di gawai masing-masing, maka yang dimenangkan adalah versi mesin checklog. Sementara itu, check out paling awal adalah jam 16.00 WIB (untuk Senin hingga Kamis) dan 16.30 (untuk Jum’at). Informasi perihal checklog paling awal dan akhir jam berapa awalnya belum bisa aku pastikan sebelum membaca selebaran pengumuman libur lebaran kemarin.

Sependek yang aku amati, ada beberapa karyawan yang checklog dengan sidik jari dan ada yang dengan wajah. Aku tidak tahu bedanya apa. Aku sendiri biasanya dengan wajah, sekalian ngaca di mesin checklog untuk memastikan whether I look ok already, utamanya di pagi hari dan di mesin sebelah kiri yang kacanya lebih bening. Pernah satu kali aku mencoba menggunakan sidik jari tapi ditolak oleh sistem. Ketika mendaftar data wajah untuk keperluan ini bersama Pak Ipul, aku memang tidak diminta menunjukkan sidik jari. Sayangnya ketika itu aku sedikit nervous sehingga data record yang menampakkan wajahku dalam ekspresi flat tanpa senyum seperti sedang poto session untuk keperluan bikin pasport. Tak kusangka rekam data pertama kali itu akan selalu muncul setiap kali aku checklog bersama semacam user name dan beberapa informasi lain.

***

Ngomong-ngomong soal waktu checklog, ada sedikitnya dua kaidah dasar yang berlaku. Pertama adalah bahwa checklog menerapkan sistem qadha’ dan kedua adalah bahwa checklog hanya memberlakukan sistem punishment tanpa diimbangi dengan reward. Jika seorang pegawai checklog jam delapan dan itu artinya dia terlambat 30 menit, maka ia baru boleh pulang setengah jam setelah jam awal ceklog pulang, yakni jam 16.30 untuk Senin-Kamis dan 17.00 untuk Jumat. Sebaliknya, jika seorang pegawai checklog datang jam 7, misalnya, maka ini tidak berarti bahwa yang bersangkutan dapat pulang 30 menit sebelum jam 16.00 alias jam 15.30. Aturan yang sama berlaku bagi pegawai yang pulang keri selepas jam 16.00 meski yang bersangkutan tidak memiliki hutang yang harus disaur. S/he deserves just the same.

Well, anyway, mengapa harus diatur sedemikian rupa dan terkesan sangat detail serta prosedural sekali? Sejauh yang kuamati, checklog memberi dampak prosedural dan eksistensial. Seorang pegawai yang datang ke kampus tapi tidak checklog, maka yang bersangkutan dianggap tidak masuk pada hari tersebut betapapun ia stay di situ dan do the job. Jika dia checklog datang saja dan tidak checklog pulang, maka ia akan dianggap hadir tapi tidak dijatah uang makan (ada yang bilang uang lauk-pauk dan uang transport) harian yang dicairkan tiap bulan. Sementara itu, jika checklog datang dan pulang, dengan jam yang sesuai, maka ia akan dianggap hadir dan dijatah uang makan. Nah semisal ada beberapa menit yang missing, aku belum tau pasti bagaimana dampaknya. Jatah makan dikurangi atau dianggap tidak hadir, entahlah.

Dampak eksistensialnya adalah bahwa checklog merupakan perangkat yang menjadi bagian dari sistem untuk mendisiplinkan pegawai. Idealnya begitu. Itulah mengapa ketentuannya diatur sedetail itu. Ia meniscayakan bahwa dalam jangka waktu sekian jam sehari, seorang pegawai berkesempatan sama untuk benar-benar melakukan tugas dan fungsinya sehingga—idealnya—tidak ada pekerjaan yang keteteran, jadwal yang terbengkalai atau hal-hal lain di luar kehendak sistem. Sampai di sini, checklog masih sempurna sebagaia sistem, aturan atau perangkat untuk menciptakan suasana kerja disiplin.

Namun demikian, checklog menjadi problematis sedikitnya karena beberapa alasan berikut.

Satu, tidak semua pegawai ‘bertugas’ di lingkungan kampus. Ada beberapa di antara mereka yang dalam kesehariannya bertugas di luar, semisal ketika dinas luar, lagi ngumpulin data di lapangan, menjadi delegasi kampus untuk agenda tertentu dan lain sebagainya. Karena tidak ada checklog daring yang bisa diakses kapan dan di manapun, maka sebagian dari mereka ini harus menambah rute ke kampus untuk checklog dua kali sehari, selama memungkinkan dan mau nyempetin. Kalau dinasnya di luar kota ya kejauhan.

Dua, seperti semua sistem yang bisa dipastikan memiliki flaw sesuai dengan karakternya masing-masing, checklog juga sangat potensial untuk diakali. Ini, satu sisi menjadikan aturan lebih fleksibel, namun di sisi lain juga seperti permisif terhadap indisiplin pegawai. Yang kualami dan kuamati, checklog terkadang kehilangan tupoksinya ketika ia hanya menjadi formalitas seperti dalam kasus berikut; checklog datang lalu—cepat atau lambat—ke luar kampus untuk urusan pribadi dan atau di luar kedinasan, checklog datang lalu berada di lingkungan kampus tapi disorientasi alias tidak (langsung) menggarap pekerjaan dan memrioritaskan hal-hal yang seharusnya tidak menjadi prioritas.

Tak heran, pemandangan checklog lalu pulang adalah hal yang sangat biasa dan tampak sengaja dimaklumi untuk menghormati kesibukan lain para pegawai di luar tugas-tugas kantor. Kesibukan dimaksud meliputi, namun tidak terbatas pada, urusan keluarga, mengantar-jemput anak ke sekolah, ke RS/atau public service center yang hanya buka di weekdays, merawat anggota keluarga yang sakit dan keperluan-keperluan lain. Ketika +7 lebaran kemarin, aka tellasan topak, pimpinanku bahkan membolehkan bawahannya untuk checklog saja tanpa masuk kantor demi merayakan hari lebaran ketujuh bersama keluarga. Kebijakan yang populis kupikir, sebab selain memang belum ada pekerjaan mendesak, masuk kerja di hari itu sangat tidak kondusif.

Dari situlah, checklog, meksi merupakan instrumen formal, memainkan secondary role sebagai semacam pelengkap prosedur perizinan kultural ketika ada keperluan yang memang benar-benar mendesak. Saat seorang pegawai harus menyelesaikan urusan urgent di luar kampus, termasuk urusan tengka, maka yang bersangkutan bisa checklog lalu idzin secara kulural pada pimpinan. Ini menjadikan aturan perihal absensi pegawai lebih fleksibel dan memudahkan, meski di sisi lain juga membuka potensi lain untuk diakali.

***

Di luar hal-hal teknis dan prosedural di atas, checklog sebenarnya tak lebih dari perangkat mekanis yang bekerja secara otomatis dan tak berinstink. Beda sekali dengan manusia yang tak hanya beruntung karena memiliki akal—untuk mengakali apapun yang tampak tak bisa diakali—akan tetapi juga perasaan untuk mengontrol kerja akal yang kadang tak mau ikut aturan. Seorang pegawai bisa mengakali sistem dengan setor muka di mesin checklog sebelum atau sesudah ngluyur untuk urusan pribadi, di dalam maupun di luar kampus, namun pastinya ia tak bisa berbohong dari dirinya sendiri. Ia juga tidak akan terbebas dari rasa sungkan kepada pimpinan, rekan kerja atau siapapun yang secara sengaja maupun tidak mengetahui aksi pseudo checklog-nya karena berbanding terbalik dengan kinerja dan atau produktivitasnya.

It was on sixth day of May, 2018, when I spent almost whole day with the baby for the first time since we arrived in Surabaya. Before the announcement of my Latsar schedule, I had planned to celebrate her birthday in a very simple way. However, as soon as I knew the upcoming schedule, I broke my focus and began to prepare many things for my departure and a-month stay far away from home. I forgot to think about the make-up celebration and so forth.

Rauhia knows nothing about birthday. Neither did I give her prize I prepared because the condition did not allow me to do so. As soon as I remebered, that day, I simly kissed and huged her many times while greeting her birthday. She responded just as the same as everytime I communicate and cuddle with her. However, I still felt like so blessed to have a first whole year as her mother, nurture her, breastfeed her, bathe her, accompany her, feed her, sleep with her and the cutest one, listen to her say something like ‘momma... mommmaaa’.

There was still no smart phone on my hand at that time so I had no documentation at all. It did not decrease my happiness as it was also the first time I could stay with her without thinking about any Latsar schedule or whether I am already late to come to any scheduled agenda. It was also such a cure of the bad experience when she needed to move out from BDK through the awkward and long series of, let say, drama.

***

In the last days of her 0-year, she experienced many surprising things that I wish, some day, she would learn a lot from. I know that for now, she does not really understand about what happens in her surrounding. For the very first time, she might question about what hectic her momma was in preparing the departure and how stubborn she was to bring her away from home in such a hard condition just to maintain the breastfeed program. She also a back and forth trip twice with unprecendented distance she ever had from home to Surabaya.

The pre-departure preparation took very much of my attention that it led other people to misunderstand about what I really did and concern about. Rauhia was on my side—and my arm—when I clarified that everything was not like what it was thaught. She was also with me for the first visit to BDK when I was informed about the special room—and policy—for any participant with the baby. Fortunately, she was ok during the trip and there was no serious bad thing except the ‘accident’ at the mosque where she and I also had a very late lunch.

The visit was, again, her first long trip that I could make it certain that she would be ok for any long-distance trip. Thankfully. She did not look that excited for riding a car in long time, the same condition when looking at the big city scene and its crowd. At general, she was unexpressive and looked like thinking much about what she looks at before giving any expression or response. She could sleep well and it helped me a lot to enjoy the trip and manage my excitement and nerve to, let say, go to school again,

For my myself, the trip learned technically—and perhaps emotionally—about bringing the baby in a trip so for the next, I could be more prepared. Above all, Rauhia was cooperative that I could focus to the thing I need to concentrate about. Hopefully she would be getting more cooperative in upcoming days.

***

Arriving for the second time at BDK which signified the stay, Rauhia needed to cope with everything and everyone new, except me her momma. She spent much of first day not with me as I needed to handle registration process, opening ceremony and so forth. She complained and cried loudly a lot and I felt like she had never been that spoiled. She looked very worry when I looked like about to leave, even for very short time like going to bathroom or doing prayers. It was very perhaps hard for her to accept that she moved into a very new planet.

At the second day, she needed to become her momma’s power when the drama started and she was required to move out from BDK very soon. She saw my tear many times when I felt like desperate and everything was unfair. Why was I told something different from what it was suppossed to be? Thankfully there are always good guys after various—let say—bad guys come. Many new friends helped me a lot to find the proper and comfotable boarding house for Rauhia. They gave me encouraging visits, supports and even technical helps like lending car, accompanying in the field and others.

I could not forget that she was in my arm when I failed to negotiate about her stay when some officers took off in the day off—June 1—that day. As typical, she just paid attention on the surrounding, turned left and turned right then hugged me firmly as like saying, Momma, what are you doing here? Who are these guys? I could not bear any tear (but I wiped up immediately) wishing she did not know I was crying. It would be ok if I came by me myself, but if with her—and her nanni—the condition would be very much different. She could not wait to stay in a comfortable place to assure her health kept well in a new place.

To be short, thankfully, on 2nd of May, four days before her birthday, she and her nanny moved to a boarding house—into some extent it looks like a home stay or a mini-hotel—not far from BDK. Some friends of mine helped a lot in moving time—at the afternoon, that day—so I felt so blessed to have them while I was away from family and relatives. It is true that I need to pay more, even much more than any cost I paid to rent a room, yet the fact that I was relieved on it is a very much big blessing. I could focus on my lessons and my baby stayed in a ‘secure’ and comfortable zone without any threat of extradition.

The first days of her a-year-toddler status are mainly about learning how to walk without holding to anybody or anything and enjoying a kinda luxurious room she spend most of her time in. She began to take bath while standing up, spending time with Air Conditioner and TV, meeting her momma in a bigger frequency than usual, eating various new foods and snacks and seeing new views while introducing with new people. She was still so expressive when looking at me come to her and hurry to find the center of her main food. What else I could thank for this blessing and happiness?

***
Talking about her first birthday also implies the day one previous year when I struggled to give her birth. Those seconds, minutes and hours are the things that I think I could not forget forever. It was such magical ability that I could endure the suffering in a couple of hours without thinking much about death and other bad things. I simply believed that I could give her birth in natural way and what I waited for is just the right time so I must keep trying and focusing on the purpose to push and push when the stimulus came up. Again, I need to say yes to people who state that the whole suffering of giving birth would disappear as soon as the baby comes. Rauhia did not cry directly yet I was sure she was alive as I saw her little move. The assistant of a midwife who helped me did something with pipes and she cried loudly. It officially ratified my new status as a mother.

As a typical mother, I wish nothing but the best for her. May she stay healthy, well grown up, cheerfully learning many things new on her upcoming days, and be ready for the life ahed. Rauhia, if you read this later, you need to know that you may cound your age by number but in my eyes, you are still the baby who could not do anything but crying, drinking the breastmilk and doing some little cuddley moves. Be well prepared for your shinning days, My Dear! I pray and love you everytime I breathe. I do.

image: http://welcometowillowlane.com/2017/07/23/1st-birthday-party-ideas/

Beberapa hari lalu desa kami dihebohkan dengan meledaknya material petasan di jok sepeda motor salah seorang warga. Karena tengah melaju, ledakan merembet ke motor lain yang ketika itu berpapasan. Tak sampai di situ saja, kobaran api juga melalap sebagian kecil bangunan di sisi jalan. Satu nyawa melayang dan beberapa lain luka-luka.

Tragedi di penghujung Ramadhan tersebut menyisakan duka mendalam tak hanya bagi keluarga korban, akan tetapi juga masyarakat umum. Betapa tidak, suasana bahagia menyambut kedatangan Idul Fitri seketika berubah menjadi ketakutan mencekam.

***

Lepas dari berbagai spekulasi perihal penyebab pasti kejadian, peristiwa tersebut sebenarnya menyiratkan perlunya perenungan ulang terhadap tradisi-tradisi Ramadhan yang terlanjur melekat dan nyaris iconic dalam masyarakat kita.

Ini menjadi penting sebab selain menjadi ikon, beberapa tradisi tertentu juga ironis karena justru menghadirkan nilai yang berseberangan dengan keluhuran Ramadhan. Hal tersebut sedikitnya dapat dilihat dari beberapa ilustrasi kecil berikut;

Pertama, dipasangnya target yang tidak proporsional pun tak realistis. Ramadhan adalah ‘bulan diskon’ sehingga ritual ibadah di dalamnya dipercaya bernilai lebih dibanding bulan-bulan lain. Karenanya, dalam beberapa ibadah tertentu, lazim ditetapkan target yang tak jarang mekso dan tanpa disadari justru ‘mengganggu’ esensi Ramadhan.

Shalat Tarawih super cepat dengan gerakan banter dan thuma’ninah yang banyak terlewatkan, misalnya, berseberangan dengan arti kata tarawih yang seakar dengan makna rehat atau istirahat. Sementara itu, tadarus dengan kecepatan tinggi juga demikian berbeda dengan kebiasaan Rasulullah me-nakrir Al-Qur’an di hadapan Jilbril yang dilakukan begitu pelan dan teliti demi memastikan otentisitas kitab pamungkas tersebut.

Selain ritual yang kemudian menjadi nyaris tanpa esensi, target yang demikian juga cenderung membuat energi selama Ramadhan habis di hari-hari pertama, seperti halnya lari sprint. Padahal, Ramadhan tak ubahnya lari marathon yang mengharuskan terjaganya ketahanan dan stamina pelari di setiap tahapan, utamanya di lap-lap akhir menjelang garis finish.

Kedua, digelarnya kemeriahan yang dalam beberapa hal salah sasaran. Selain kebiasaan menyalakan petasan yang tak hanya memekakkan telinga akan tetapi juga mengancam jiwa, berbagai daerah masih tak lepas dari tong-tong. Dalam tradisi ini, beberapa orang berkeliling kampung dengan iringan musik—umumnya tradisional—dan kadang kala dilengkapi dengan suara petasan.

Awalnya, tradisi ini dimaksudkan untuk membangunkan warga agar tak ketinggalan sahur, akan tetapi berbagai ‘inovasi’ belakangan justru menjadikannya beralih fungsi. Waktu operasional sejak sekitar jam 12 malam, utamanya, membuat tradisi ini berubah menjadi pengganggu jam istirahat malam dan musuh bebuyutan ibu-ibu yang memiliki bayi.

Tak sampai di situ, kemeriahan tersebut akan mencapai titik kulminasinya pada malam takbiran, yakni malam sebelum Hari Raya. Sebagian warga biasanya datang berbondong ke pusat kota mengendarai mobil pick-up dengan suara musik keras dari sound system besar yang terdengar sepanjang jalan. Ramadhan dan Idul Fitri kemudian menjadi semacam ajang hura-hura yang terlihat legal secara adat maupun agama.

Ketiga adalah melonjaknya skala konsumsi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pada Bulan Ramadhan, permintaan barang di pasar bukannya menurun, akan tetapi justru melonjak drastis. Ini lebih dari cukup mengindikasikan bahwa pola konsumsi masyarakat dengan ‘jadwal makan’ ala Ramadhan bukannya semakin efisien, akan tetapi justru sebaliknya.

Ritual puasa yang disebut-sebut dapat menumbuhkan empati kepada mereka yang kurang beruntung juga nyaris menjadi wacana belaka ketika agenda buka puasa lebih bernuansa ‘balas dendam’ dan gaya-gayaan. Menu spesial, porsi jumbo, restoran mahal, gaya hidup borjuis dan jadwal yang kebablasan menjadikan momen tersebut nyaris sebagai acara makan besar dan atau ‘kumpul-kumpul’ semata.

Sementara itu, lonjakan konsumsi akan terus berlanjut menjelang Idul Fitri. Ini dimulai dari belanja busana dan kebutuhan sandang lain, suguhan dan konsumsi Hari Raya, perbaikan bagian-bagian rumah, pembaharuan perabot, hingga tiket perjalanan dan jatah angpao atau parsel untuk keluarga maupun sahabat.

Di satu sisi, tentu tidak ada problem dengan momentum dan berbagai tradisi ‘konsumtif’ tersebut di atas. Apalagi, hari-hari terakhir Ramadhan hingga Hari Raya merupakan momentum yang banyak dipilih untuk menunaikan berbagai varian zakat dan sedekah. Hanya saja tak jarang, konsentrasi akan hal-hal tersebut mengalahkan skala prioritas pada hal-hal lain yang lebih esensial.

***

Lepas dari perlunya perenungan ulang terhadap tiga hal tersebut, bagi sebagian orang, berbagai hal di atas justru menjadi momentum nostalgik yang begitu dirindukan. Apalagi, Ramadhan dan Idul Fitri adalah milik semua orang. Muslim maupun non-Muslim, lelaki dan perempuan, anak kecil hingga orang tua, mereka yang suka mokel ataupun yang sregep mengejar laylatul qadar, semua terkena ‘barakah’ momentum ini.

Karena itu, tak berlebihan kiranya jika tradisi-tradisi tersebut direnungkan ulang untuk dimodifikasi sedemikian rupa demi ikhtiar melestarikan budaya tanpa mengabaikan esensi-esensi relijius di dalamnya. Dan untuk itu, penghujung Ramadhan ini adalah momentum tepat untuk melakukan perenungan tersebut sembari berharap masih berkesempatan menjumpainya di tahun-tahun mendatang.

Gambar: http://www.ubaya.ac.id/2014/content/articles_detail/215/Ramadhan-dan-Lebaran-Bukan-Sama-Dengan-Petasan.html



Another version with a very few change is available at; https://radar.jawapos.com/radarmadura/read/2018/06/22/82369/tradisi-ikonik-nan-ironis-di-bulan-diskon

Sejak bulan-bulan pertama kehamilan, yang paling sering dan paling nemen tak minta pada Tuhan adalah agar bisa lahiran alami dan mengASI hingga dua tahun. Namanya aja permintaan, ya pasti minta yang diinginin. Meski begitu, ini tak berarti aku nyinyir apalagi underestimate pada ibu-ibu yang lahiran sesar atau yang tak mengASI baik karena pilihan sendiri atau sebab lain. Lewat jalan apapun, melahirkan tetap melahirkan. Mau lewat ASI, sufor atau sumber nutrisi lain, cinta kasih seorang ibu tetap tak tertukar dan ternilai dengan ukuran apapun.

Setelah melewati drama persalinan alami dengan segala adegannya, tibalah saatnya berjuang untuk mengASI. Hari-hari pertama Rauhia lahir ke dunia cukup hard dan sad karena aku belum bisa adaptasi betul dengan segala hal yang serba baru. ASIpun belum lancar sehingga untuk satu-dua hari, Rauhia masih harus mik sufor dari botol kecil bermerk H*ki yang dibeli beberapa jam setelah dia menangis untuk kali pertama .

Sufor yang ia cicipi adalah ‘hadiah’ dari Polindes tempat persalinanku. Merknya Lov*tona, kemasannya biru. Selain sufor, Rauhia juga dikasih mik air gula, katanya untuk mencegah penyakit kuning. Ketika tahu ini, aku diam ga ngomong apa-apa karena masih berusaha mencaritahu hubungannya penyakit kuning dengan gula. Duh orang tua aja harus ngurangi makan gula, ini kenapa bayi umur sehari uda dikasih gula? Begitu aku nggrundel dalam hati.

FYI, berbekal sharing pengalaman dari seorang teman, aku sudah melakukan treatment khusus untuk memperlancar ASI sejak kehamilan. Tapi, yang namanya newbie unyu dan nyaris no idea tentang how the wonder works mulai dari proses kehamilan, persalinan hingga mengASI, aku sempat pesimis juga bisa mengASI. Yang kuderita adalah pesimis tanpa sebab alias merasa khawatir tanpa alasan atau indikasi medis yang jelas.

Alhamdulillah, lagi dan lagi, keinginan itu terkabul. Ini terjadi, kalau tidak salah, pada hari ketiga lahiran setelah adegan Inisiasi Menyusui Dini di ranjang Polindes serta beberapa episode, sebut saja, habituasi antara kulitku dan kulit si bayi melalui adegan yang kalau diingat sekarang, rasanya awkward banget. Sebelum ASIku lancar, kami tetap dijadwalkan kontak kulit sesering mungkin untuk menstimulasi ASI serta membiasakan mulut si bayi mengenal ‘tangki nutrisi terbaiknya’.

Lancarnya ASIku bermula dari kunjungan salah seorang saudara yang piawai meracik jamu tradisional. Beliau adalah saudara mbah dan sudah berusia lanjut namun luar biasa enerjik, termasuk untuk meracik jamu. Yakin dengan khasiat, kualitas bahan dan proses pembuatan, aku teguk itu jamu—yang umum disebut bejjha—tanpa mikir macam-macam. Rasanya juga tidak pahit sehingga nyaris tak ada masalah. Beberapa jam kemudian, reaksinya kerasa meski taunya baru lewat gelagat si bayi yang ketika nempel di kulitku, tiba-tiba anteng dengan gerakan mulut seolah tengah menyedot sesuatu.

Selain melalui responnya, aku pribadi awalnya tidak merasakan sensasi yang berbeda. Rasanya sama saja. Beberapa saudara perempuan yang mendampingiku meyakinkan bahwa ASIku sudah keluar dan mulai lancar. Lama-lama, aku baru merasakan efeknya. Ketika si bayi menempel di bagian kanan, maka bagian kiri akan terasa sakit karena mengeluarkan ASI juga, meski tidak sedang di-mik. Ok itu rule #1.

Rule#2, karena ketika itu Rauhia masih sangat amat kecil dan so baby, infant gitu, aku hanya bisa menyusuinya dalam keadaan duduk. Tentu ini tidak menjadi masalah di jam-jam normal ketika pagi, siang, sore atau malam jika belum larut. Namun ketika ia masih jetlag dan menyesuaikan zona waktu di perut dan zona waktu di bumi, ia sering bangun tengah malam.
Di saat inilah, aku yang secara naluriah harus menyusuinya dilarang ngantuk betapapun capek dan lelahnya sebab jika itu terjadi dan keseimbanganku hilang, hal buruk akan terjadi. Untunglah, ini tak berlangsung lama sebab entah sejak bulan keberapa, aku sudah bisa mengASI sambil berbaring sehingga bisa ikutan tidur dan tidak harus begadang sesering dahulu.

***

Drama mengASI menemukan episode baru ketika aku harus kembali bekerja meski ketika itu belum tiap hari. Di saat itulah, aku harus melakukan apa yang namanya pumping alias memerah ASI untuk dikonsumsi Rauhia selama aku tidak di rumah. Sebelumnya, aku sudah latihan memerah ASI jika akan membawa Rauhia bepergian agar selama di jalan, dia bisa mik pakai botol. Selain agar segalanya praktis dan ‘tangki’ ga perlu dibuka di sembarang tempat, ini juga dilakukan untuk membiasakannya mik dari botol karena aku harus kembali bekerja.

Awalnya semua berjalan lancar meski aku sempat merasa sedikit kewalahan dengan tugas tambahan mencuci peralatan pumping dan bottling dengan alat dan bahan khusus. Namun semua kulakuan demi cita-cita memberinya ASI eksklusif hingga enam bulan. Jika tak ingat-ingat sekarang, sebenarnya perjuangan memberi ASI eks hingga 6 bulan lebih berat dalam hal membalas komentar-komentar ga asik yang menuduhku terlalu ‘bidan sentris’ karena terobsesi dengan ASI eks 6 bulan.

Tentu saja aku tidak perlu menceritakannya lebih detail di sini. Sebagian masuk hati sebagian lagi keluar lewat jalan mana saja. I said to myself that I am protected already. Aku kebal dengan komentar apapun demi cita-cita ASI eks enam bulan. Yang ada di pikiranku sebenarnya sederhana. Jika aku masih kuat mengASI, kenapa harus dikasih nutrisi lain? Jika periksa kehamilan dan lahiran ke bidan, kenapa harus ngeyel dari program ASI eks 6 bulan yang bukan fatwa pribadi si bidan, melainkan sudah jadi program pemerintah? Ada UUnya pula.

Jadilah aku mengupayakan banyak hal agar bisa ASI eks 6 bulan meski harus bertabrakan dengan beberapa hal. Kadang repot juga ketika terlalu banyak orang yang peduli dengan cara memberi saran. Ketika sarannya ga dijalankan, malah sakit hati. Dianggap ga menghargai, sok tau dibanding yang berpengalaman atau ngeyel sama yang lebih tua. Iya kalau sarannya sama. Lha kalau berbeda? Yang mana yang akan tak ambil? Karena itu aku bikin aturan sendiri bahwa saran yang akan tak ambil adalah saran professional aka bidan dan nakes lain. Saran di luar professional cukup disodakohin pake senyum.

Tapi bytheway, yang namanya ibu, betapapun baru dan unyunya kaya aku, tetap aja merasa bahwa tak ada yang sebaik dirinya dalam memperlakukan si bayi. Ketika aku tak di rumah, tetap aja ada kekhawatiran jika si bayi tiba-tiba dikasih nutrisi lain selain ASI perah yang sudah kusiapkan berhari-hari sebelum hari H. Tak peduli yang jaga adalah ibuku, ibu mertua, bahkan suami sendiri, kekhawatiran itu tetap tak hilang. Siapapun bisa cooperative hanya di depan mata. Saat itulah, ketika sadar dengan ketakberdayaan dan keterbatasanku, larinya kembali ke doa agar semesta mendukung program ASI eks hingga 6 bulan. Aku yakin Tuhan melihat usahaku dan emoh menyia-nyiakannya.

***

Belum genap 6 bulan, Rauhia harus kutinggalkan kurang lebih 24 jam untuk test CAT dalam rangkaian test CPNS ke Surabaya. Sebelum hari H, aku mengumpulkan ASI perah lebih giat dari biasanya karena itu adalah momen pertama kali aku berpisah darinya dalam durasi yang sepanjang itu. Alhamdulillah semua lancar, ASIP-nya nyaris habis dan meski dia harus menjalani adegan minum air tajin tanpa instruksi—dan tentunya izin—ku, kebahagiaan bertemu kembali dengannya memadamkan kekecewaan itu.

Setelah itu, sebelum aku pindah kerja, aku sempat libur lama sehingga Rauhia ‘lupa’ dengan botolnya dan hanya mau ngASI langsung dari aku. Akibatnya setelah liburan berakhir dan aku harus mengurusi kepindahan ke tempat baru, aku kewalahan karena harus kembali mengandalkan ASIP, sementara dia sudah terlanjur emoh mbotol. Ini sempat membuatku frustrasi setelah beberapa cara seperti pakai botol lain dan melubangi karet botol mental ga berfungsi.

Ketika itu ia sudah mulai MPASI, sehingga seharusnya hal ini tidak terlalu mengkhawatirkan. Tapi, dari nomenklaturnya saja, program ekskslusif buah 15 hari kemudian 4 bintang itu sifatnya hanya PEMBANTU, yang utama tetap ASI. Idealnya adalah Rauhia tetap mau mik ASIP selagi aku bekerja sehingga dia tak kekurangan nutrisi dan aku bisa feel ok—kalaupun tidak bisa sepenuhnya—di tempat kerja.

Dengan segala cara dan beberapa trial and error, akhirnya Rauhia mau kembali mik ASI perah dengan bantuan sendok. Ini tentu kurang efektif karena mengharuskan bantuan orang lain dalam waktu dan intensitas yang tinggi. Sementara itu, jadwal ngantor di tempat baru lebih padat dari sebelumnya, yakni lima hari sepekan dari jam 07.30 hingga 16.00.

Nyaris tak ada jalan, akhirnya aku membiasakan diri untuk pulang saat jam istirahat demi ngASI. Senyuman dan ekspresi Rauhia saat mendapatiku datang juga tak terkatakan bagaimana menggembirakannya. Panas hujan tak jadi masalah sebelum akhirnya aku bengek dan harus menggunakan kartu BPJSku untuk bertemu dokter. Kesimpulannya aku terlalu banyak makan angin. Barangkali ada benarnya juga. Jarak tempuh rumah ke kampus adalah 30 menit. Jika dalam sehari aku bolak-balik 2 kali, maka ada waktu 2 jam aku membiarkan tubuhku meet and greet dengan angin jalanan.

Seperti sudah di¬-setting, setelah kejadian bengek itu, Rauhia mulai mau mik ASIP dengan botol baru yang kubeli belakangan. Alternatif botol dengan sedotan yang kubeli bersamaan digunakan untuk dia mik air, sehingga dua-duanya berfungsi. Ini sekaligus jadi media yang tepat untuk memastikan dia terhidrasi cukup dan penyaluran hobinya mik banyak, persis seperti romo-nya. Masalah selesai dan terurai. Aku tidak perlu pulang ke rumah setiap jam istirahat kecuali pada Hari Jumat atau ketika ada keperluan lain.

***
Episode selanjutnya terjadi ketika rilis pengumuman Prajab atau, istilah barunya, Latsar. Aku harus belajar di luar kota selama 33 hari dan keberlanjutan ASI terancam. Did I need to take a part with her? She could be ok but I am totally no. Big no! Aku ngotot aku harus membawa Rauhia serta demi program ASI dua tahun dan yang juga penting, demi ketenangan batinku. Jauh darinya benar-benar tak terbayangkan. Sayangnya, tak sedikit yang mementahkan ke-ngotot-anku dan justru menyarankanku untuk menyapihnya.

Sakit rasanya hatiku, apalagi itu datang tak hanya dari satu dua orang, dari kalangan orang terdekat pula. Namun, barangkali komentar mereka memang beralasan sebab ketika itu, aku tak jua menemukan rewang untuk membantuku mengurus Rauhia. Tentu tidak mungkin aku membawa serta Rauhia ke sana sebab aku tak akan leyeh-leyeh selama lima pekan itu. Jadilah aku frustrasi berat dan setiap ngomongin ini, aku biasanya akan brambang tak peduli di depan orang yang baru kukenal.

Keajaiban kembali terjadi ketika H minus 4, aku menemukan rewang. Jadilah pagi, 30 April kemarin, dengan bawaan seperti orang mau pindah rumah, kami bertiga plus rombongan berangkat menuju BDK Surabaya sambil ketar-ketir takut telat pendaftaran dan pembukaan dan ternyata emang telat. Proses berjalan rasanya seperti di sinetron. Terasa dunia ini sempit, segala-galanya mudah dan semua urusan lancar. Meski harus menjadi korban kesalahan komunikasi dan ada adegan pengusiran Rauhia dan rewang dari Kamar E9 BDK, mereka berdua akhirnya tinggal di kos—atau semacam homestay—di seberang BDK, nganan dikit. Tempat yang cukup layak buat anak kecil yang belum genap berumur setahun dan tidak suka dengan panasnya Surabaya sehingga untuk menjaminnya nyenyak tidur, dibutuhkan alat Doraemon bernama Air Conditioner.

Dengan jarak tempuh sekian ratus puluh langkah dari kamarku di BDK ke kosnya, aku mengunjungi Rauhia sedikitnya lima kali sehari. Program ASI lancar jaya sebab intensitasku dengannya bahkan lebih tinggi dibanding pas hari kerja aku di rumah. Otomatis, dia kembali emoh botol dan hanya mau nempel sama kulit mama. Padahal, aku sudah menyiapkan alat perang cukup banyak untuk sesi pumping kali itu, termasuk cooling bag, ice gel dan botol tambahan pinjaman serta bottle sterilizer yang baru aku tau cara pemakaiannya. Meski kecewa, aku tetap bahagia karena merasa Tuhan mempermudah jalanku dan mengamini usahaku yang meski tak maksimal, kadang harus dibumbui tetesan air mata. Apalagi, Rauhia juga semakin dinamis mengASI tidak hanya dengan posisi tidur dan duduk, akan tetapi juga berdiri sambil berjalan ke sana ke mari dengan satu atau dua tangan sibuk melakukan sesuatu.

***

Dan setelah semua itu, Rauhia hari ini, jika ada iklan SGM lewat dengan lagu ‘kalau Kau anak SGM tunjuk tangan’, dia akan acungkan tangannya dengan memasang ekspresi wajah selucu mungkin. Aku sudah memberitahunya bahwa 'dia bukan anak SGM', tapi dia tak peduli. Baiklah, Nak, asal Kau bahagia dan sehat ya. :)

Terbiasa hidup di (pinggiran) kota kecil dan berbagai kesederhanaannya mau tak mau memberi cultural shock tersendiri ketika harus berpindah ke kota metropolis dalam waktu yang relatif tak sebentar. Hari-hari pertama di Surabaya penuh dengan proses adaptasi yang terbilang sulit, termasuk bagi Rauhia. Ia yang ketika itu belum genap setahun harus pindah ke lingkungan yang sama sekali baru, berinteraksi dengan wajah-wajah asing dan seakan memasuki timezone yang berbeda.

Untungnya, tak sampai sepekan, Rauhia menunjukkan perkembangan menggembirakan. Ia mulai terbiasa tidur tanpaku, mandi tidak bersamaku, makan, bermain dan menghabiskan waktu bersama rewang serta membiarkanku berangkat tanpa drama tangisan atau jeritan yang menggema ke mana-mana. Tentu ini terjadi setelah rentetan adegan dan drama perpindahan kamar yang bukan hanya baperable, tapi juga insecurable. Saat aku mulai pasrah, nerima dan berangsur tenang, seperti kata orang-orang, Rauhia mulai kooperatif.

Aku sendiri yang seringkali tiba-tiba merasa kembali ke jaman kuliah—meski ada beberapa scene dan peran yang sama sekali baru—juga tak lepas dari gejala itu. Ini misalnya terjadi ketika berburu kebutuhan harian. Seperti kebanyakan perempuan, aku gemar berbelanja di tempat yang murah dan lengkap demi efisiensi dan efektivitas. Beda harga lima ratus rupiah aja bisa jadi bahan pertimbangan untuk memilih toko ini dan bukan toko itu.

Nah di Surabaya, dua-tiga mingguan terakhir ini, aku yang terbiasa memerhatikan price tag atau struck belanja dengan seksama harus calm down dan legowo ketika tinggal di antara himpitan Indoma*t di kanan dan Alfama*t di kiri. Selain dua toko waralaba yang masyaAllah masif betul ekspansinya itu, ada dua penyedia kelontong yang bisa jadi alternatif. Satu di depan gerbang balai dan satu lagi koperasi di area balai. Sayangnya, dua yang kusebut terakhir ini tidak menyediakan barang selengkap di Basm*lah, toko bi Yuk atau nom Slihe. Otomatis, dua mart itu menjadi satu-satunya pilihan yang available.

***

Jadilah aku (sedikit) kerepotan. Untuk membeli popok yang biasa Rauhia pakai saja, aku harus memesan ke koperasi (ketika akan kulakan barang) dan ternyata tidak dapat. Menurut penjaganya, supplier tidak menjual popok dengan kemasan biru bergambar bayi anjing itu. Aku belum menyerah dan masih berusaha mendapatkan popok Flu*fy itu ketika izin pesiar ke rumah omku di Gerungan, Sidoarjo. Alih-alih menemukan yang kucari, dua penjaga toko kelontong—di area perumahan—yang aku kunjungi malah mengaku belum pernah mendengar merk popok itu. Oh tuhan. Untuk urusan popok sekali pakai ini, oke-lah aku berlindung kepada promo di dua mart itu.

Sekali waktu yang lain, aku merasa alarm tubuhku mulai berbunyi setalah adegan kehujanan tengah malam ketika Rauhia rewel dan hanya bisa diam setelah melihatku. Ketika sudah begitu, imunku perlu diperkuat dan satu-satunya pilihan yang mungkin adalah y*ci1000, suplemen vitamin C berkaleng beling yang memiliki dua varian rasa. Terakhir kali membeli di toko kelontong tetangga beberapa waktu yang lalu, harganya masih 6k. Ketika kucek di kulkas salah satu mart itu, harganya sedikit lebih tinggi karena masuk dalam salah satu list barang yang sedang didiskon. Nah, didiskon aja masih lebih mahal dari harga pasaran.

***
Lain aku, lain pula ibuku. Ibuku cukup senang berbelanja dia salah satu mart tersebut dengan iming-iming promonya. Kebetulan, 2 kilometer-an dari rumah, ada salah satu mart yang beroperasi dan berseberangan persis dengan swalayan murah meriah milik salah satu pesantren salaf di Pasuruan. Hampir tiap akhir pekan, ia memanfaatkan networking-nya untuk mengetahui apa saja barang yang tengah didiskon harganya. Jika tidak demikian, maka ibuku akan dengan sengaja menyempatkan mampir ke situ untuk mengecek barang apa saja yang tengah promo.

Barang-barang yang dibeli ibuku cukup beragam, mulai dari perlengkapan rumah tangga seperti sabun cuci piring, deterjen dan amunisi lain di kamar mandi hingga tissue dan makanan ringan. Harganya memang sering di bawah harga pasar, tapi ya itu, harus nunggu promo. Biasanya, ibuku membeli barang-barang tersebut untuk nyetok alias tidak tengah butuh ketika membelinya. Barang yang ia beli biasanya akan ngetem lama sebelum dipakai atau dijual kembali ke pembeli terakhir. 

Sementara itu, aku—bisa dibilang—hanya akan mampir ke situ jika tengah kepepet tidak menemukan swalayan lain atau toko kelontong tradisional. Bagaimana tidak, ia ada di mana-mana dan sering juga satu atap dengan mesin ATM. Jadi sekalian ambil uang, sekalian belanja. Seringnya aku mampir ketika perut lapar dan harus diganjel dengan Sa*i Roti dalam perjalanan pulang dari kampus ke rumah. Jika sudah begitu, perasaan malas menanggapi sapaan default dari kasir dan pramuniaga biasanya tak terhindarkan.

Dari pengamatan gaya belanja ibuku, teman-teman, orang yang tak jumpai ketika kunjungan ke dua mart itu, termasuk aku sendiri, aku melihat gejala yang sama: Konsumen seringkali lebih memertimbangkan potongan harga aka diskon dibanding mendesak tidaknya sebuah kebutuhan. Pilihan mengejar diskon jadi lebih diprioritaskan dibanding pertimbangan urgen tidaknya membeli barang tertentu. Dan yang juga kurasa, harga setelah diskon terasa beneran murah meski belum mengecek harga normal di pasaran.

Apalagi, taktik marketing dua mart tersebut seringkali benar-benar melenakan, seperti sistem kuantitas barang dan jumlah transaksi. Kalau beli dua atau tiga barang yang sama, maka diskon baru berlaku. Konsumen jadi ‘terpaksa’ membeli dua pcs padahal kebutuhannya cuma satu. Ini kualami biasanya ketika membeli minuman. Yang masih tak inget adalah ketika membeli susu Beruang di Alfama*t Ganding, Minute Maid Pulpy di perjalanan menuju Solo bersama Ayis Mukholik dan (lagi-lagi) Yuc* 1000 di Indoma*t sebelah.

Jika tidak demikian, maka diskon hanya berlaku di atas jumlah transaksi tertentu sehingga barang yang sebenarnya tak ingin dibeli jadi dicomot. Semua demi mengejar diskon. Kebutuhan yang sebenarnya dan rencana dari rumah buyar seketika saat sampai di tempat yang memanjakan konsumen dengan berbagai fasilitas itu sehingga mereka seolah memiliki pengalaman berbelanja yang menyenangkan dan melupakan banyak hal termasuk itung-itungan harga yang meski kacek-nya sedikit, tetap bisa menjadi bukit. Buaian fasilitas semacam itu juga sangat mungkin membuat pengunjung tiba-tiba merasa butuh--atau ingin--membeli barang karena tampilan yang menarik dan seolah-olah harus dibeli saat itu.

***

Mumpung diskon atau mumpung lagi di TKP adalah alasan yang suka terngiang di kepala ketika berkunjung ke situ. Ini juga kualami ketika membeli popok Rauhia dan beras untuk konsumsi harian di kos. Bertiga dengan Rauhia dan rewang, aku berkunjung ke situ dengan niat mengejar popok harga diskon. Sesampainya di situ dan memastikan bahwa popok yang diincar masih tersedia di area khusus diskon, aku yang niatnya tidak ingin membeli beras jadi teringat bahwa persediaan beras sudah menipis sehingga berpikir tak ada salahnya sekalian beli di situ, biar tidak bolak-balik dan ribet ngurus perizinan lagi. Niat itu juga diperkuat dengan adanya beras yang tengah masuk list promo.

Jadilah demikian. Dari kunjungan itu aku juga baru mengerti—setelah diwarai mbak rewang—bahwa label harga atau price tag untuk barang yang didiskon berbeda warna dengan barang dengan harga normal. Jadi, selain memerhatikan umbul-umbul di beranda depan, brosur daftar diskon atau di plang-plang kecil di area barang diskon, warna dalam label harga juga bisa diperhatikan. Setidaknya, jika kasir tidak menghitungnya diskon, konsumen bisa complain atau meng-cancel pembelian tanpa merasa sungkan atau takut dikira kere.

Di sebuah kunjungan lain, aku mendapati bapak-bapak yang membeli sebungkus rokok dan ngomel-ngomel setengan complain karena harga yang harus dibayarnya jauh di atas harga normal. Si kasir dengan dandanan default hanya senyum-senyum dan terlihat tak sama sekali baper dengan aksi si bapak. Barangkali karena sudah terbiasa mendapati complain serupa atau di pikirannya, dia tengah bergumam semacam ini, “kalau ga mau mahal ya jangan beli di sini.”

Mahalnya harga di dua mart itu sebenarnya bisa dimengerti. Selain operasional berbagai fasilitas, gaji karyawan dan pajak juga menjadi komponen lain yang harus dihitung selain harga beli barang dari produsen atau supplier di atasnya. Belum biaya lain-lain semisal pembebasan lahan dan administrasi idzin atau yang semacamnya. Jadi, wajar saja jika harga barang yang dijual jadi di atas rata-rata.

Akan tetapi, sampai tulisan ini dibuat, aku belum bisa mengurai atai sekadar memerkirakan penjelasan mengapa dua mart itu terkesan pilih-pilih barang jualan. Barang-barang murah (meriah) atau yang ukuran kecil nyaris tak didapatkan di situ. Salah satu contohnya ya popok Fluf*y yang biasa dipakai Rauhia. Aku juga pernah kecele karena terlanjur masuk ke Indoma*t Trasak untuk membeli pasta gigi sembari nunggu bus antarkota. Ternyata pasta gigi yang tersedia hanya ukuran raksasa sehingga aku harus banting setir ke paket sikat dan pasta gigi khusus travel yang harganya out of prediction.

Pernah juga mau ngisi pulsa di kasir tapi akhirnya ga jadi karena nominal pengisian pulsa lebih besar dari rencana semula. Aku lupa berapa dan kapok gamau lagi ngisi pulsa di situ, meski setiap bayar ke kasir selalu ditanya, ‘mau sekalian pulsanya, Kak?’ Beberapa barang tertentu—semisal Ad*m Sari dan Vita*imin—juga tidak dijual eceran dan mengharuskan pembeli membeli barang dengan kuantitas yang seringkali melampaui kebutuhan mereka yang sebenarnya.

***

Dari beberapa hal di atas, jika tidak sedang pingin ngadem, memanfaatkan fasilitas parkir gratis, berada di waktu dan tempat yang tak biasa (seperti dini hari atau di kota orang) atau menggunakan mesin ATM dan berburu barang promo, warung tetangga dan pasar tradisional masih patut menjadi pilihan nomor satu. Memang benar dua mart itu lumayan menyerap tenaga kerja lokal, tapi untuk menjadi tujuan dan pilihan berbelanja, sepertinya masih jauh dari kriteria ideal.

Gambar: magazine.job-like.com

MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.