Salah satu properti yang pasti ada di setiap perpustakaan adalah rak buku. Apapun bahan dan warnanya, bagaimanapun model dan peletakannya, tinggi atau rendah, lebar atau sempit, kokoh atau berdecit, benda satu ini tetap menjadi yang paling tepat untuk menampung buku-buku koleksi. Di rak, buku-buku dapat berdiri beriringan sehingga bagian sampingnya akan kelihatan dan memudahkan siapapun yang ingin menemukan dan meletakkan buku.

Sayangnya, seperti benda-benda mati lain, rak buku tak bisa bersuara. Andai saja ia bisa ngomong, atau setidaknya bereaksi terhadap keadaan sekitar, banyak yang bisa dilakukannya. Mungkin saja, ia akan dengan bahagia dan ramah menyambut pengunjung yang datang untuk mencari buku. Kalau kebetulan galak, ia barangkali akan menegur pengunjung yang berisik atau ngobrol, meski tidak harus dengan gaya Rangga ala AADC.

Soal kebiasaan ramai dan ngobrol di perpustakaan ini tentu tidak terjadi di semua belahan dunia. Terbiasa dengan kaidah sendirian ngantuk, bareng teman ngobrol ketika mengunjungi perpustakaan semasa kuliah, aku dibikin heran dengan beberapa perpustakaan yang benar-benar sepi dan senyap. Hebatnya, keadaan tersebut terjadi bukan karena tidak ada pengunjung atau di luar jam operasional, akan tetapi karena para pengunjung sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Bahkan, jika boleh lebay, andai ada semut yang kepleset, bunyinya akan terdengar ke semua ruangan. Saking-saking-nya.

Dari situ aku percaya bahwa scene perpustakaan yang sunyi semacam itu benar adanya, bukan hanya adegan di film-film Holywood yang entah itu fakta atau fiktif. Aku dan teman-teman yang ketika itu numpang berfoto di lokasi tersebut harus setengah mengendap dan benar-benar mengontrol suara agar tak menimbulkan bisik-bisik yang mengganggu. Jangan ditanya bagaimana perasaanku saat itu; antara excited, surprised dan sirik. Butuh berapa tahun untuk membangun budaya semacam itu di ruang sakral semacam perpustakaan?

***

Kembali lagi ke soal rak buku. Meski tak bisa bersuara dan bergerak, entah kenapa aku yakin benda-benda mati semacam itu sebenarnya punya perasaan. Andai saja bisa, mereka tentu akan protes jika tak dirawat, disatroni debu karena terlalu lama tak disentuh atau dijejali buku yang bukan seharusnya mereka tampung. Soal penataan buku di rak ini memang bikin baper betul. Bagaimana tidak, dalam sekali inspeksi sederhana oleh amatir macam aku saja, di satu lajur rak buku, ada sekian buku yang nyasar. Buku pendidikan kok ada di rak agama, dan begitu seterusnya.

Bagaimana mereka nyasar, bukannya sudah ada nomor klasifikasi? Jawabannya barangkali karena belum ada sistem atau perangkat yang bisa secara otomatis meletakkan dan mengembalikan buku ke rak yang seharusnya. Belum ada robot atau mesin yang bisa menggantikan tenaga manusia yang dengan naluri ketelitian dan keberaturannya dapat menyulap sesuatu yang berantakan menjadi rapi dan well managed. Apalagi pada praktiknya, proses mengembalikan buku ke rak ini tidak hanya dilakukan oleh pihak berwenang yang tidak ‘berkepentingan’ a.k.a petugas perpustakaan, akan tetapi juga oleh pihak yang meski tidak berwenang, sangat ‘berkepentingan’.

Berwenang dan berkepentingan bagaimana si? Ok, sederhanya begini, tak kandani. Salah satu tugas para petugas perpustakaan adalah shelving. Mudahnya, menurutku ketika mendengar kata ini pertama kali, shelf adalah kata berbahasa Inggris dari ‘rak’ yang tidak beraturan karena ketika jamak, ia akan berubah menjadi shelves dan bukannya shelfes. Jadi ketika sebuah kata benda ditambah embel-embel semacam ing, dengan seketika ia berubah menjadi kata kerja dan atau gerund. Kaya book, buku, kata benda, berubah jadi booking, berarti pembukuan atau pencatatan. Jadi, kira-kira, shelving adalah peng-rak-an atau penataan buku sesuai rak yang seharusnya.

Nah di perpustakaan tempat aku bekerja, shelving adalah tugas harian para pegawai perpustakaan. Sasaran utamanya adalah buku yang baru dikembalikan oleh anggota perpustakaan. Sekian tumpuk buku tersebut akan diklasifikasi berdasarkan nomor panggilnya, digotong ke rak menggunakan trolley lalu diletakkan bersama dengan teman sekoloninya. Biasanya menjelang jam tutup layanan. Selain buku yang baru dikembalikan, buku yang baru dibaca para pengunjung dan tercecer di meja-meja baca juga diamankan sehingga sebelum jam pulang, semua buku idealnya sudah kembali ke tempat asalnya masing-masing.

Jadi, dasarnya, sejauh yang kupahami, pegawai perpustakaanlah yang paling berwenang melakukan shelving. Selain memiliki ilmu dan teori tentang klasifikasi buku, mereka juga berpengalaman sehingga tugas yang bagi orang lain bisa jadi sangat berat, berubah renyah dan mudah buat mereka. Namun begitu, pengunjung perpustakaan juga diimbau untuk membantu tugas ini. Ini tampak dari beberapa tempelan di berbagai sudut perpustakaan untuk mengembalikan buku ke rak semula.

Redaksinya ‘ke rak semula’ lho ya, bukan ke rak sembarangan dengan tujuan tertentu. Jadi, inilah yang tak maksud dengan ‘kepentingan’ tadi. Sebagian pengunjung, dengan tangah suci tapi nakalnya, diduga kuat dengan sengaja dan sadar diri menyembunyikan buku di rak yang tak seharusnya dengan tujuan monopoli pribadi atau golongan. Masih menjadi misteri juga mengapa mereka tak langsung membaca atau sekalian meminjam buku yang memang dibutuhkan. Mengapa harus pakai acara sembunyi-sembunyian segala?

That dramatic? Yes, kenyataannya seperti itu. Buktinya, banyak sekali buku yang berada di rak yang tak seharusnya, padahal shelving sudah dilakukan setiap hari menjelang tutupnya layanan perpustakaan. Bingung juga motifnya apa. Perasaan senakal-nakalnya aku ketika menjadi mahasiswa, aku belum pernah kepikiran untuk menyembunyikan buku dengan cara menaruhnya di rak yang bukan tempat seharusnya dia berada.

Setelah menggunakan sekian lapis praduga tak bersalah, akhirnya didapatkan beberapa pembenaran yang sebenarnya tetap tidak bisa menjustifikasi perbuatan semacam ini. Pertama, jatah pinjaman sudah penuh sehingga tak bisa meminjam buku yang dibutuhkan. Kedua, jam layanan perpustakaan sudah akan berakhir sehingga tak memungkinkan membaca buku di tempat. Save dulu buat besok atau kunjungan berikutnya. Toh ga ada yang tau. CCTV ga sedetatil itu. Ketiga, koleksi yang tersedia sedikit, sedang yang memburu banyak orang. Simpan dulu biar aman. Keempat, sengaja menyembunyikan di tempat tertentu untuk selanjutnya dibaca/dipinjam oleh orang lain, misalnya temen sekelompok ketika proses penulisan makalah. Alasan lain-lainnya adalah tidak ada kerjaan, ingin membuat orang lain bingung, menambah kerjaan orang lain, ingin memonopoli akses terhadap literatur tertentu dan semacamnya yang kalau diteruskan bisa sangat jahat dan sadis.

Lalu, apakah cara ini berhasil? Berhasil membingungkan orang lain yang sedang berkepentingan terhadap buku yang disembunyikan, PASTI. Akan tetapi, temuan banyaknya buku nyasar di rak yang salah ketika layanan perpustakaan ditutup, menunjukkan bahwa, sedikit banyak, cara ini tidak banyak berhasil dan, barangkali, justru semakin membingungkan si pelaku. Barangkali mereka tak kembali lagi ke perpustakaan untuk menyambangi buku yang mereka sembunyikan karena satu atau beberapa hal. Atau jika tidak, ketika kembali, mereka tak lagi menemukan buku yang disembunyikan sebab berpindah ke tempat lain atau, yang paling mungkin, mereka lupa menaruhnya di rak mana dan lajur sebelah mana.

Setelah mendengar cerita teman-teman senior pegawai perpustakaan perihal sulitnya mengatasi praktik penggelapan buku ini, aku ikut-ikutan berpikir bahwa nyaris tak ada solusi yang benar-benar bisa memecahkan masalah ini. Paling mentog, jurus yang mungkin adalah pendekatan teologis (baca: karma) bahwa, Kau hanya akan menuai apa yang Kau tanam. Jika hari ini Kamu mempersulit orang lain mendapatkan buku yang mereka cari, akan ada beberapa hari lain di mana kamu akan lebih kesulitan menemukan yang Kamu cari setengah mati. Tapi, will it be effective?

***

At very last, rak buku memang tetap tidak bisa berbicara dan berbuat apa-apa, bahkan untuk sekadar memilih akan ditempatkan di perpustakaan macam apa, dengan latar belakang budaya bagaimana dan karakter pengunjung—serta petugas—seperti apa. Meski begitu, ia tetap tegak berdiri menjadi rumah bagi buku-buku yang terkadang kesepian menunggu untuk disentuh, dibuka, dibawa pulang, dibaca, didiskusikan lalu dilahirkan kembali. Barangkali, jika ia bisa bercerita, kesedihan yang paling menyiksanya bukanlah adegan penggelapan buku yang selalu menyebalkan para petugas perpustakaan atau mereka yang dengan niat suci ingin mencari buku tanpa berniat menyembunyikannya, akan tetapi ketika ia tak mendapatkan pembaca dan pencari yang sebenarnya.

Rak buku yang bisu, seperti benda bernyawa atau benda mati lain, barangkali lebih menyukai kerapian dan keteraturan. Buku berjejer di tempatnya masing-masing, bahkan berurut sesuai angka dan atau aksara sehingga tak hanya enak dipandang mata, akan tetapi luar biasa memudahkan penelusuran koleksi secara langsung. Namun, jika yang demikian terjadi terus-menerus tanpa ada lalu lalang manusia yang dengan jari-jemarinya menggilir masing-masing buku untuk menemukan yang dicarinya, bisa jadi ia tak lagi berhasrat akan kerapian. Hasrat terbesarnya, jika boleh sotoy, adalah menjadi rumah bagi buku-buku yang akan melahirkan buku dan peradaban baru.

Note: Picture was taken at State Library Reading Room, Melbourne, Australia, March 2016. Credit; Nur Shkembi.


Beberapa hal tersebut kemudian dengan jelas menunjukkan bahwa WAG benar-benar memodifikasi gaya baru berkomunikasi, berinteraksi dengan orang lain bahkan dengan diri sendiri. Asumsi ini sedikitnya bisa dilihat—dan dicari pembenarannya—dari point-point berikut;


1. Lahir dan Semakin Suburnya Generasi Copy Paste atau Salin Tempel

Sebagian dari percakapan yang terjadi di WAG biasanya bermula dari kiriman (teks/gambar/videao) salah seorang pengguna perihal sesuatu yang tengah viral, dianggap in atau timeless. Varian teks identik dengan pesan broadcast yang biasanya berakhir dengan keterangan semacam; copy paste dari group sebelah. Informasi yang disajikanpun beragam. Mulai dari salinan konten laman, informasi dari anonim, tulisan lain yang tak bertuan, hingga tulisan yang bisa dipertanggungjawabkan karena jelas sumber ataupun penulisnya. Pesan-pesan semacam inilah yang pelan namun pasti melahirkan dan menyuburkan generasi copy paste atau salin tempel.

Dalam taraf tertentu, tidak ada problem dalam gejala ini, apalagi jika diniatkan sebagai upaya berbagi informasi, pembuka diskusi ataupun pencair suasana. Namun di balik itu, kita para pengguna kemudian memiliki kecenderungan untuk tempel salin dalam frekuensi dan keperluan di luar kebiasaan—atau kewajaran. Seringkali, baik yang tak alami maupun tak amati, kita menempel salin informasi dari sebuah WAG ke WAG lain sebelum selesai membaca atau teliti menyerap informasi di dalamnya, termasuk melakukan penelusuran sumber dan atau memastikan validitas informasi.

Asal salin tempel semacam itu menjadi menarik untuk dilakukan sebab aktivitas tersebut kurang lebih menunjukkan ketidatertinggalan seorang pengguna atas informasi terbaru, keaktifannya di media sosial ataupun sikapnya terhadap isu tertentu. Sayangnya, seperti yang sudah jamak diperbincangkan, masifnya aktivitas sharing seringkali tidak diimbangi dengan filtering atau penyaringan sehingga tak sedikit yang tidak dapat memertanggungjawabkan pesan berantai yang terlanjur disebarnya. Bersama teman-temannya, WAG membuat arus informasi menjadi tak terbendung sehingga problem yang kita hadapi saat ini bukan lagi kelangkaan informasi, akan tetapi justru, adalah melimpahnya informasi sehingga kebenaran menjadi semakin relatif dan siapapun bisa mengkalim diri sebagai tuannya, meski hanya bermodal pesan berantai di dunia maya. Ini yang dimaksud zaman post-truth kali ya

Ini tentu belum merembet pada minimnya produktivitas dan kreativitas menuangkan ide dalam tulisan. Perlahan, kebiasan tempel salin tak hanya berlaku bagi informasi yang biasa disebar luas, akan tetapi juga percakapan di WAG Seorang pengguna yang pertama kali mengucapkan selamat atas kelulusan pengguna lain, misalnya, sangat mungkin menmroduksi pesan yang kemudian ditempel salin oleh sekian pengguna lain yang turut memberikan greeting namun dengan jalan yang berbeda. Jika Anda adalah penerima ucapan tersebut, kira-kira Anda pilih mendapat ucapan demikian atau tidak mendapat ucapan sekalian? 

2. Bekerjanya Mesin Iklan Otomatis

Tidak seperti WAG-WAG lain yang mewadahi mereka yang tiap hari bertemu, semisal WAG kantor, tempat kerja, sekolah atau tetangga, WAG alumni, keluarga atau komunitas yang tidak secara rutin bertemu di darat biasanya memiliki semacam musim ramai dan musim sepi. Sekalinya ramai, percakapan menjadi ramai sekali dan begitu juga sebaliknya. Jika musim sepi telah datang, satu atau segelintir anggota grup biasanya akan mulai memancing perbincangan baru atau sekadar berkomentar ini grup atau kuburan? Kok sepi amat? Dari situ, biasanya, akan kembali muncul percakapan meski tak semua anggota yang tergabung ikut nimbrung.

Gejala ini sedikitnya menunjukkan dua kecenderungan. Pertama, bahwa intensitas pertemuan darat seringkali berbanding lurus dengan frekuensi komunikasi udara dan kedua adalah bahwa WAG semakin meneguhkan posisi media sosial, apapun platform-nya, sebagai kebutuhan sekaligus sarana komunikasi primer dewasa ini. Lepas dari iklan provider-nya, ‘godaan’ dari sesama pengguna adalah faktor yang sangat berperan mendongkrak angka konsumsi akan media sosial. Media sosial, dengan demikian, sebenarnya tidak terlalu membutuhkan iklan sebab semakin banyak pelanggannya, semakin besar pula mesin iklan otomatisnya untuk memastikan the business still runs well and gets bigger.

3. Munculnya Sebab-Sebab Baru untuk Baper

Jika dijabarkan, point ini mungkin akan memakan banyak sekali space. Untuk itu, saya hanya ingin mengulasnya sesingkat mungkin. Jadi, ada banyak sekali hal yang bisa bikin baper alias bawa perasaan dalam lalu lintas di WAG. Kasus paling kecilnya adalah saat obrolan salah seorang anggota tidak mendapat respon apapun dari siapapun di dalam sebuah WAG tertentu.

Cerita lainnya, di salah satu WAG yang saya ikuti, ada anggota lama yang baru bergabung kembali setelah rampung menyelesaikan urusan teknis ponselnya. Setelah si anggota ini masuk, tiba-tiba ada seorang anggota lain yang keluar. Beberapa hari kemudian, si anggota baru tersebut tiba-tiba ikut keluar dari group setelah—menurut pengakuannya—menemukan fakta kecil di lapangan. Kurang lebih, ia menuturkan bahwa sebab si anggota kedua keluar adalah karena dirinya baru bergabung kembali. Ia juga mencium komunikasi yang tidak sehat antaranggota grup yang membuat dirinya seolah-olah sebagai api dalam sekam. Dari situ ia memutuskan untuk keluar dari grup setelah pamit dan memberi klarifikasi semu karena terkesan tidak ingin lagi membicarakan hal tersebut. Barangkali terlalu kebawa perasaan.

Cerita tak berhenti di situ sebab tak lama, si admin kembali memasukkan anggota kedua yang keluar tadi. Si anggota pertama secara permanen keluar dari grup dan membatasi komunikasi yang awalnya sangat intens dan intim dengan masing-masing anggota grup. FYI, grup tersebut berisi komunitas yang sering keluar, main dan nongkrong bareng karena kesamaan kultur dan hobi. Keadaan kembali seperti biasa meski satu orang tidak pernah lagi muncul dalam kapasitasnya seperti biasa.

Kasus ini barangkali hanya secuil dari cerita-cerita lain di WAG yang seperti menandai gaya baru komunikasi zaman ini. Seperti pertemenan yang bisa dipererat dengan sosial media, sosial media pulalah yang bisa berandil merenggangkan sebuah hubungan. Banyak yang menjadi asosial justru karena terlalu keranjingan media sosial. Apalagi, kini, tak hanya mulut yang menjadi harimau, jaripun bisa menjelma singa.

Selain soal exit group, ke-emoh-an berada dalam satu grup dengan orang yang tidak disukai hingga renggangnya pertemanan seperti cerita di atas, kasus yang barangkali jamak ditemui adalah perihal jualan di WAG yang sedikit banyak mengganggu beberapa anggota. Ini utamanya terjadi ketika aktivitas marketing tersebut dilakukan di grup non-marketing, semisal grup keluarga, alumni, kantor dan lain sebagainya dalam intensitas yang demikian tinggi.
Belum jika setting-an hape tidak diubah sehingga setiap kali terhubung dengan paket data atau wifi, semua gambar dagangan akan terunduh otomatis.

Ketika grup non-marketing sementara beralih kepada grup marketing, anggota yang merasa tidak berkepentingan terhadap barang atau jasa yang ditawarkan atau tertarik tapi tak bisa afford harganya akan gerah dan menggerutu. Sebab terkadang, saking semangatnya jualan, tidak sedikit bakul yang terlalu menghayati perannya sehingga abai bahwa dalam waktu yang sama, ia berkewajiban menghargai privasi dan kepentingan orang lain, termasuk orang yang tidak berkepentingan. Karena itulah, tidak sedikit group yang memiliki aturan internal, utamanya terkait soal jualan semacam ini.

Meski demikian, bukan tak ada pengguna yang tetap bisa buka lapak dengan santun dan wajar di WAG, misalnya dengan jualan dalam intensitas kecil ataupun melayani pembeli atau calon pembeli viajapri (jalur pribadi) dan tidak jarkom (jalur komunitas/komunal). Jika tidak demikian, maka yang bersangkutan biasanya akan woro-woro agar menghubunginya secara japri jika ada anggota lain yang tertarik membeli barang/menggunakan jasanya. Atau, yang lebih simpel, ya ngiklan di WA Story sehingga semua kontak yang dimiliki, baik yang tergabung dalam WAG atau tidak, bisa lebih leluasa memilih untuk nonton atau skip the running ad.

Gambar: www.as.com


Hari ini, pengguna ponsel pintar mana yang tak memakai aplikasi Whatsapp? Selain nama yang cocok dan seakan menghipnotis sekian milyar jari untuk selalu mengunjungi ‘rumah’nya demi menjawab pertanyaan ada apa? apa yang baru terjadi? apa yang sedang menjadi buah bibir, dan semacamnya, Whatsapp terbilang tidak ribet. Tak perlu mengingat—apalagi menghafal—PIN, tak ada iklan, gratis instalasi, berkapasitas ringan, dan yang barangkali juga tak kalah penting, menawarkan fitur yang cukup lengkap. Satu di antaranya adalah karena Whatsapp yang biasanya diakses di ponsel pintar juga bisa diintegrasikan dengan computer sehingga ini sangat memudahkan pengguna dalam mentransfer file dari PC tanpa harus menggunakan kabel data apalagi pembaca data (card reader maksudnya).

Dengan hanya menyimpan nomor ponsel seseorang di buku telpon, kita sudah bisa melacak orang tersebut di Whatsapp. Plus, jika setting-an mendukung, kita bisa melihat foto profil, isian untuk kolom about bahkan last seen atau waktu terakhir yang bersangkutan online dan menyambangi Whatsapp. Easy, right? Tak hanya itu, jika nomor kita juga disimpan di buku telepon yang bersangkutan, stalking kini bukan lagi menjadi suatu kemewahan sebab kapanpun ia membuat status (story, kalau bahasa Facebook) baru yang berisi gambar, video atau infogram pribadi, kita bisa dengan mudah mengetahui, berkomentar hingga terlibat percakapan panjang. There is almost no secret in the virtual worlwide today.

Di luar beberapa hal yang membuat hidup terasa mudah, fitur seru yang ditawarkan Whatsapp adalah Whatsapp Group (selanjutnya disebut WAG). Fitur inilah yang barangkali paling dirindukan seorang pengguna ketika sehari saja ia tak bisa berselancar di dunia maya karena pulsa yang koit, jaringan yang tak mendukung, wi-fi sedang trouble atau ponsel yang tiba-tiba harus berpindah tangan karena satu dua hal. Selain daya tampung anggota yang cukup banyak, kapasitas Whatsapp yang rendah memudahkan maksimalisasi operasional fitur-fiturnya sehingga proses loading-pun tidak terlalu lama. To sum up, WAG enak karena light, cukup private dan multifungsi.

***

In general, WAG memungkinkan koneksi dengan pengguna lain dari latar belakang, minat dan concern yang sama. Karena itulah untuk bisa bergabung dalam sebuah WAG, anggota baru harus mendapat undangan berupa link yang menghubungkan ke WAG atau ditambahkan oleh admin WAG. Setelah tergabung dalam sebuah WAG tertentu, ada sangat banyak hal yang bisa dilakukan, mulai dari mendapat kenalan baru, gebetan, bertemu mantan, silaturrahim dengan sanak saudara, reuni dan nostalgia dengan teman lama, menggelar rapat atau pelatihan daring, mengembangkan sayap bisnis, berdiskusi paling gojek hingga paling serius, berbagi dan menyerap informasi, dan lain-lain. Seorang newcomer tidak bisa mengakses percakapan di WAG yang terjadi sebelum dirinya bergabung.

Memfasilitasi komunikasi yang lancar melalui jalur dan bentuk yang nyaman dan featurefull. tak mengherankan jika nyaris semua komunitas memiliki WAG. Dari lingkaran keluarga, ada WAG sendiri. Ini bisa jadi beragam dari keluarga inti hingga keluarga besar. Sekian langkah dari rumah, ada komunitas tetangga mulai dari kompleks, RT, RW, karang taruna, desa, dan seterusnya yang juga disatukan dengan WAG. Di tempat kerja, sekolah atau berbisnis, tentu lebih banyak lagi macamnya. Belum lagi WAG alumni dari TK hingga PT ataupun pelatihan dan seminar semacamnya. Mereka yang memiliki common hobby, common concern, common fan, common occupation, , atau kesamaan lain, juga akan tergabung dalam WAG sendiri. Ini tentu belum termasuk WAG sempalan yang kadang mau tak mau muncul untuk kepentingan yang dirasa membutuhkan adanya area baru yang lebih eksklusif dibanding WAG lain dengan anggota yang lebih banyak.

Hingga tulisan ini dimulai dan diutak-atik ke sana-sini, belum diketahui pasti adakah jumlah maksimal WAG yang bisa diikuti seorang pengguna. Pertanyaan tersebut setidaknya menjadi penting untuk diajukan sebab dari gelagatnya, jika WAG semakin populer dan setiap sekian detik lahir ratusan WAG baru di seluruh dunia dengan sekian ragam, ruang lingkup, tujuan dan tajuknya, bukan tak mungkin kumpul-kumpul dalam rangka kopi darat, reunian, seminar dan pelatihan tak akan preferable lagi. Bagaimana tidak, dengan hanya bermodal ponsel pintar, daya baterai dan paket data atau sambungan nirkabel wifi, orang-orang yang terpencar di belahan dunia dan timezone yang berbeda bisa bertemu secara virtual untuk bertukar kabar, berbagi informasi, melakukan kordinasi atau apapun yang mereka ingin bincang dan lakukan.

Apalagi, WAG, seperti halnya media sosial lain, memungkinkan penggunanya berhaha-hihi dengan orang lain yang belum dikenal secara darat. Ini saya alami ketika tergabung dalam WAG bertajuk Ibu Hamil Sehat dan Bahagia. Saking ramai dan informatifnya, saya sampai merasa tidak perlu membaca artikel/buku seputar kehamilan karena nyaris semua serba-serbi kehamilan dikupas tuntas di grup tersebut. Celakanya, selain grup tersebut, ada hampir 40-an WAG di mendiang HP jadul saya yang membuat saya, mau tak mau, berpikir bahwa meski fitur ‘mute’ atau bisu di WAG diaktifkan karena terganggu dengan nada dering yang berbunyi nyaris setiap lima detik atau merasa kurang berkepentingan dengan percakapan di dalamnya, saya toh tetap stay di situ seolah tidak ada fitur exit group. Ada semacam perasaan sungkan—atau eman—untuk keluar dari WAG sehingga menjadi silent reader adalah alternatifnya.

Selain bagi pengguna yang memiliki keterbatasan kapasitas (memori) ponsel pintar sehingga memutuskan untuk memangkas beberapa WAG yang dianggap tak penting, WAG tetap menjadi primadona. Eksis di dalamnya, meski tak pernah bersuara sekalipun, memastikan keterbaharuan informasi di lingkungan tertentu sehingga seorang pengguna bisa selamat dari ancaman ‘out of date’. Banyaknya WAG yang diikuti kemudian, kurang lebih, menjadi barometer baru luasnya pergaulan seseorang sekaligus jumlah teman, keluasan jaringan dan skala prestise tertentu. Ini juga termasuk kerempongan dan tugas baru untuk mengkhatamkan percakapan di WAG yang jumlahnya kadang tak terbendung dengan teknik skimming dan skipping.

Gambar: www.medio.com


Sewaktu menjadi mahasiswa, aku cukup sering mengunjungi perpustakaan. Tuntutan tugas dari dosen, mulai makalah hingga skripsi dan tesis, mengharuskanku tak jauh dari bangunan berlantai empat yang buka hingga malam itu. Sementara itu, kemauan untuk membeli buku sama minimnya dengan budget yang harus tak afford. Jadilah demikian. Karena seringnya berkunjung, aku jadi mengerti sedikit hal mengenai manajemen perpustakaan. Dulu sekali ketika masih MTs, pernah juga ikut diklat kepustakaan. Masih samar-samar ingat beberapa kata kunci.

Selang beberapa tahun kemudian, aku ditempatkan untuk bekerja--barangkali semacam magang--di perpustakaan kampus sebelum mendapat tugas penuh untuk mengajar, meneliti dan mengabdi pada masyarakat. Pada bulan-bulan pertama di situ, aku banyak belajar hal baru mulai dari teknis hingga yang lebih esensial. Tentu saja aku bahagia karena mengetahui hal yang selama ini tak terlalu jauh dari kehidupanku tapi tak kupahami makna dan simbolnya. Tak hanya itu, aku juga banyak belajar dari aktivitas baru yang tampak monoton tapi sebenarnya menyimpan banyak hal lucu dan asyik untuk diceritakan.

***

Nah, beberapa pekan belakangan, bersamaan dengan libur panjang mahasiswa, aku turut merayakannya dengan masuk kampus tiap hari terlibat dalam proses pengolahan buku di perpustakaan. Jika sebelumnya tugasku tak jauh-jauh dari desk pengembalian dan menunggui computer di ruang terbitan berkala dan referensi, maka aku mulai belajar hal baru yang lebih teknis-prosedural. Pengolahan buku itu kurang lebih adalah proses mengolah buku yang baru dibeli untuk bisa disajikan di rak perpustakaan dan ready untuk dibaca, dipantengi maupun dipinjam pengunjung.

Selama masa pengolahan buku ini berlangsung, nyaris seluruh layanan perpustakaan ditutup sebab semua anggota pasukan terlibat langsung dalam proses tersebut. Jika layanan perpustakaan dibuka seperti biasa, jatuhnya ga akan maksimal dan justru memperlambat proses pengolahan. FYI, jumlah pasukan kami tidak seberapa, apalagi dibanding jumlah terbaru mahasiswa yang, kabarnya, berbelas-belas ribu itu. Finally, memakan waktu kurang lebih 10 hari kerja, inilah proses pengolahan buku yang aku dan teman-teman kerjakan.

Pertama adalah membuka plastik sampul depan buku serta mengisi lembar kerja. Setiap buku yang dibeli masih terbungkus plastik dan untuk bisa mengolahnya, plastik tersebut harus dilucuti. Setelah itu, petugas akan mengisi lembar kerja buram yang berisi identitas buku mulai dari penulis, tahun terbit, tempat terbit, deskripsi fisik, nomor ISBN (dan e-ISBN) dan lain sebagainya.

Di antara beberapa kolom yang harus diisi, ada kolom bernama nomor panggil dan nomor kelas (atau nomor klasifikasi, entah,) yang tidak bisa sembarang diisi dan harus dikonsultasikan pada yang lebih tau. Selain bertanya pada (bahasa kerennya consult with) buku, alternatif yang lebih mudah adalah bertanya pada mereka yang memiliki otoritas keilmuan dan akrab dengan angka serta kode semacam itu, yakni Bu Neli dan atau Pak Hairul. Itulah mengapa dalam tahap ini, aku menerapkan prinsip posisi menentukan prestasi sehingga aku tak membiarkan Bu Neli jauh dariku. Jadi teknisnya, aku menyelesaikan seluruh kolom selain dua bagian itu, lalu aku serahkan langsung kepada Bu Neli.

Setiap judul biasanya tak hanya terdiri dari satu eksemplar, akan tetapi 10. Kabar baiknya adalah bahwa satu lembar kerja berlaku untuk satu judul yang sama, sehingga tidak masing-masing buku harus diisi lembar kerjanya. Yang tak temukan dari aktivitas ini adalah bahwa tidak semua buku mencantumkan nama penyuntingnya, padahal peran penyunting itu luar biasa. Ada juga kebingungan saat harus mencantumkan nama penerbit, biasanya karena ada dua nama yang berbeda antara yang tercantum di sampul dan di lembar, apa ya namanya, yang memuat informasi dasar buku di halaman kedua dari depan . Satu dengan embel-embel PT atau Group dan yang lain tidak. Atau, ada juga buku yang tidak mencantumkan deskripsi fisik jumlah halaman dan atau panjang dan lebar buku, sehingga petugas harus ketambahan tugas.

Ohya, ada satu perangkat lain yang harus dipegang masing-masing petugas dan belum aku sebutkan, yakni daftar judul buku. Daftar tersebut adalah kertas fotokopi-an berisi informasi singkat tentang buku-buku yang sedang diolah plus, yang paling penting, nomor induk, atau nomor kontrak. Ketika satu buku sudah dilucuti sampulnya dan ditulis identitasnya, maka nomor urut buku tersebut di daftar tadi harus dilingkari atau dikasih tanda yang menunjukkan bahwa, the book has been proceeded. Pekerjaan ini selesai, kalau aku tak salah ingat, dalam waktu tak lebih dari 2-3 hari.

Kedua adalah menytempel buku. Ada beberapa stempel yang harus dibubuhkan di bagian-bagian tertentu. Bagian tersebut adalah, bagian sampul depan, bagian lembar belakang, bagian tengah buku, serta di punggung kanan buku—bagian samping buku yang bukan tempat jilidan itu maksudnya. Stempel yang didaratkanpun berbeda-beda. Stempel label kepemilikan di bagian depan, belakang, tengah dan punggung serta stempel identitas buku di bagian depan. Nah, di stempel identitas ini, ada dua stempel lagi yang dibutuhkan, yakni tanggal pembelian dan sumber dana pembelian buku.

Catatan lain dari tahap ini adalah aktivitas menunggu stempel baru. Jadi tahap ini baru bisa dilaksnakan setelah stempel baru ready dan bisa digunakan. Jadi stempel ini berkait dengan perubahan status kampus dari Sekolah Tinggi menjadi Institut. Ada sedikitnya tiga stempel baru yang baru kami reyen, dunya terkait perubahan nama dan satunya adalah sumber dana, DIPA 2018. Kalau stempel tanggal, sepertinya masih barang lama.

Tahap ini terbilang mudah karena tak membutuhkan keahlian khusus, hanya ketahanan stamina dan ketelitian. Meski demikian, tak berarti ini bisa dilakukan tanpa konsentrasi. Meski bisa di-sambi dengan hal-hal lain, hilang fokus sepersekian detik bisa berakibat buruk juga, semisal arah stempel yang salah (ketuker atas bawah atau kanan kiri) atau tinta yang terlalu basah dan terlalu kering. Lesson learnt-nya adalah jangan mudah meremehkan hal yang tampak remeh.

Ketiga adalah mengentri data buku. Tahapan ini juga menandai berpindahnya lokasi pengolahan buku dari ruang pengembangan ke ruang multimedia. Di ruang tersebut, sudah disiapkan beberapa unit computer untuk proses pengentrian data. Aku ingat sekali di hari pertama proses ini , aku bisa pulang pas istirahat karena secara tak dikordinir, karyawan wanita meng-handle kerjaan sebelum jam istirahat sehingga karyawan laki-laki diharuskan mengambil giliran setelah istirahat. Ketika itu unit computer masih terbatas dan belum semuanya digotong ke lokasi, sehingga alasan untuk tak kembali setelah istirahat jadi semakin kuat.

Nah untuk bisa mengentri informasi ke database perpustakaan, diperlukan wewenang khusus. Aku dan temen2 CPNS yang awalnya hanya punya otoritas mengakses bagian sirkulasi diberi lampu hijau mengakses bagian bibliografi. Ada beberapa item yang harus dientri dan semua data tersebut sudah ada di lembar kerja yang diisi pada tahap pertama tadi. Kasarannya, tinggal masukan data dari kertas ke computer. Pada tahap ini aku juga baru tahu bahwa ada kode C untuk setiap eksemplar buku. Jika satu judul memiliki 10 eksemplar, misalnya, maka akan ada C1 hingga C10. C1 disimpan di rak khusus, entah apa namanya, sedang C9 hingga C10 ditaruh di rak yang bisa diakses pengunjung, baik dipinjam dan dibaca atau dibaca saja. C barangkali stands for copy, entah.

Selama proses ini, aku banyak terbantu oleh kebaikan Ibu Enni yang mengajariku beberapa hal teknis pun secara langsung membantuku menambahkan label yang belum terindex di sistem. Secara tak sengaja pula, aku selalu duduk di tempat yang sama, yakni di computer sebelah utara, nomor dua dari barat. Alunan musik dari salah satu computer atau ponsel pribadi kerap melengkapi suasana pengolahan buku dan bagiku, itu bisa dalam waktu yang sama menambah sekaligus menghancurkan fokus. Buktinya, ada beberapa kesalahan entri data yang kulakukan dan itu dengan mudah terlacak tanpa harus ada penyidikan siapa tersangkanya. Yah namanya aja sistem computer. Semuanya otomatis.

Sama seperti tahap-tahap sebelumnya, tahapan ini juga lebih membutuhkan ketelitian. Namun, harusnya, akurasi dalam tahap ini lebih ditekankan karena apa yang dientri ke computer akan secara otomatis tercetak di label yang akan ditempel di punggung depan dan backcover buku. Artinya, jika salah mengentri, maka cetakan juga akan salah dan ini berarti mengharuskan kerja ulang dan atau koreksi manual menggunakan pulpen dan atau tip-ex. Kaidah untuk entri masih tetap sama; satu entri untuk satu judul buku. Jumlah eksemplar hanya dibedakan dengan kode C.

Keempat adalah mencetak data entri kemudian menempel label nomor panggil serta kode batang. Setelah dicetak di kertas sticker, nomor panggil serta kode batang harus digunting kemudian ditempel di tempatnya masing-masing. Tentu ini berlaku untuk semua eksemplar buku, tak ada sistem keterwakilan. Ketika mengerjakan ini, aku lebih memilih menggunting dibanding menempel karena beberapa tempelan percobaan yang kulakukan ternyata asimetris dan tak enak dipandang.

Kesalahan teknis dalam tahap ini biasanya terjadi ketika potongan kertas (yang jumlahnya 20. 10 untuk label dan 10 lain untuk nomor panggil) yang sudah siap digunting ketlisut sehingga harus dicari dan melibatkan teman di samping kanan kiri. Lokasi masih di ruang multimedia, akan tetapi pemandangan sedikit berbeda. Hanya ada dua unit computer serta satu unit printer setelah beberapa unit lain dipindah ke tempat asalnya. Perpindahan ini juga yang mengharuskanku melakukan kerja ulang terhadap garapan kecil yang sudah nyaris selesai karena tak tahu computer yang biasa kupakai sudah dipindah ke mana.

Setelah distempel, label akan dilindungi dengan isolasi besar atau yang biasa disebut dengan lakban. Yang kupahami, dua label ini memiliki fungsi berbeda. Label di punggung kiri untuk memudahkan proses klasifikasi, shelving atau identifikasi buku, sedang label di belakang adalah untuk keperluan pemindaian. Nah penempelan lakban tadi dimaksudkan, mungkin, untuk memastikan label tertempel di situ dengan baik tanpa adanya ancaman kerusakan. Ya meski nanti masih disampul pakai plastik mika si.

Ohya, yang tidak boleh dilupakan karena aku tak ikut terlibat, adalah proses penulisan identitas buku di stempel depan dengan manual alias pulpen. Ada dua kolom yang diisi di tahapan ini, yakni nomor induk dan nomor klasifikasi. Untuk menulisnya, petugas hanya tinggal mencontoh alias menempel salin dua data itu label yang ditempel di belakang dan di punggung buku. Tampaknya tak sulit. Lalu, apakah sudah selesai di situ? Oh, beluuumm… .masih ada beberapa.

Kelima adalah menyampul buku dengan plastik mika. Sebelum sampai pada tahap ini, aku sudah terlebih dahulu mendengar info perihal menyampul buku dengan plastik mika. Merasa tidak memiliki tangan yang terampil dan terlatih untuk urusan semacam itu, aku buru-buru mengatakan bahwa jika sampai saatnya penyampulan, aku akan melakukan kerjaan lain. Dan, benar saja, meski penyampulannya tidak sama dengan penyampulan buku seperti biasa karena jauh lebih simple, aku tetap memilih kerjaan yang aman dan tidak memiliki efek merusak yang besar. Kerjaan itu adalah menggunting plastik mika sesuai ukuran buku. Alatnya hanya gunting dan bisa dikerjakan dengan cepat.

Keenam adalah menaruh pengaman di buku. Bagian ini confidential ya, teknis maupun materialnya. Intinya tahap ini, sejauh yang kupahami, ditujukan untuk memastikan para kleptomania tidak beraksi di ruangan sakral seperti perpustakaan. Tentu, material ini hanya satu dari sistem security perpustakaan selain pemindaian, CCTV dan lain sebagainya. Sayang, hanya ‘sistem’ Tuhan yang tidak bisa diakali. Alat dan prosedur ini tidak berlaku untuk menangkap adegan pengunjung yang dengan sengaja menyelipkan buku di rak lain dengan niat monopoli akses.

Tahap ini, aku bekerjasama dengan Mba Ria yang sebenarnya juga masih rada oneng dan kaku untuk memasang pengaman tersebut. Dipasangnya juga di setiap buku sehingga lumayan time consuming untuk orang baru seperti kami. Untungnya, juga, kami ketika itu banyak dibantu oleh Bu Enni dan Pak Iyadz yang tampak lebih akrab dan terlatih bergaul dengan si alat pengaman. Pada bagian ini pula, buku-buku yang berlabel C1 dipisahkan dari teman-temannya. Laluuuu.. Apakah sudah selesai? Oh, ternyata masih belum..

Ketujuh adalah, memindai sampul buku lalu mengintegrasikannya ke sistem. Tahapan ini tidak melibatkan banyak person karena hanya ada satu unit alat pindai—bentuknya asing buatku—yang digunakan. Aku sendiri ikut nimbrung di proses ini tidak dari awal, dengan Pak Faruq dan Pak Udin. Jadi, teknisnya, aku meletakkan buku yang akan dipindai sampulnya di bawah semacam shade alat pindai, lalu Pak Faruq akan memastikan data sudah masuk sistem. Setelah itu aku akan menyebut nomor urut buku agar Pak Udin memberi tanda centang di potokopian daftar buku baru yang dipegangnya. Begitu seterusnya sampai buku terakhir. Dan.. sayangnya,,

Kedelapan, adalah tahapan terakhir yang tak sengaja kulewatkan. Jadi ceritanya, setelah tahap ketujuh selesai, ada semacam pembagian ‘jatah’ untuk memroses sekian eksemplar buku. Aku kebagian nomor sekian hingga sekian. Kami sepakat mengerjakannya sepulang jam kantor, yakni sejak jam 16.00. Ketika itu, jam 4 sore, aku masih di rumah menunggu Rauhia benar-benar tidur sehingga bisa ditinggal dan sesampainya di depan perpustakaan, aku sudah diinstruksikan agar pulang karena kerjaan telah selesai. Lalu dengan muka tak bersalah, aku bubar jalan tanpa penghormatan.

***

Dari proses awal hingga akhir, kami para petugas benar-benar dimanjakan dengan fasilitas yang diupayakan suportif terhadap kerjaan yang digarap. Fasilitas yang dimaksud meliputi, tapi tak terbatas pada, ruangan ber-AC, alunan musik, cemilan dan minuman, hingga obrolan santai lucu-lucuan dengan sesama petugas. Ibarat kata pepatah, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Ketika kampus kami kedatangan menteri agama lalu secara kompak dan bersamaan kami tidak dapat jatah dan terlambat makan siang, kami kelaparan berjama’ah lalu makan siang telatpun berjama’ah.

Closing Statement-nya adalah.. seringkali kita ditakdirkan masuk pada keadaan agar dapat merenung dan mendulang pelajaran hidup darinya. Dulu semasa mahasiswa, aku gampang sekali complain pada petugas perpustakaan dan menuduh layanan mereka kurang optimal dan flawful di sana-sini. Saat ini, ndilalah aku tau rasanya jadi karyawan perpustakaan dan proses ‘perjuangan’ sebuah eksemplar buku bisa sampai ke tangan pengunjung, rasanya kok malu banget dulu pernah ‘sekritis’ itu sama pegawai dan sistem perpustakaan. Duh Tuhan, terimakasih atas pelajaran berharga ini. I am ready to learn much more!

Gambar: Dokumentasi Pribadi, dipoto dari Samsung J2 Pro gone dewe


Di antara sekian banyak pesan broadcast, meme atau postingan yang viral di dunia maya baru-baru ini, sebuah meme perihal kesulitan—baca: tantangan—menjadi pegawai menarik perhatianku. Di situ tertulis bahwa salah satu flaw terbesar menjadi pegawai adalah sulitnya mengembangkan diri. Harusnya aku tak perlu iseng merenungkan meme itu jika saja tidak merasa bersangkut paut dengan status yang baru aku punya sejak beberapa bulan terakhir.

Dari situ, muncul keisengan berikutnya untuk berbagi cerita perihal secuil hal dari keseharian pegawai yang barangkali belum banyak diketahui. To be short, sependek yang kupahami, pegawai sebenarnya hidup dengan berbagai sistem dan prosedur yang dirancang sedemikian rupa agar mengondisikan segala hal untuk bisa kondusif dan suportif meningkatkan kinerja dan produktivitasnya (bahasanya teknis banget sih). Salah satu di antaranya adalah sebuah sistem, prosedur atau mungkin instrument yang bernama checklog.

Entah spelling-nya benar atau tidak, mudahnya kata itu adalah prosedur absen digital bagi seluruh karyawan yang sifatnya harian. Ia memiliki dua varian, yakni check in dan check out. Dalam penggunaan keseharian ia bisa menjadi kata kerja sekaligus kata benda. Bagi para karyawan, mesin checklog tak ubahnya hajar aswad yang disambangi setiap mengunjungi Ka’bah. Setiap mereka datang ke kampus, mereka akan check in dan begitu juga ketika akan meninggalkan kampus, mereka akan check out. Idealnya sih begitu, meski ada juga kasus lupa checklog karena satu dan lain hal.

Jadi prosedurnya, tiap pegawai akan menampakkan wajah ke semacam cermin digital dan memastikan seluruh bagian inti wajahnya terlihat. Karena itu kalau pakai masker, maskernya harus dicopot dulu. Setelah itu, selama sekian detik, mesin akan mencocokkan wajah dengan database yang dia punya menggunakan barometer semacam kesamaan wajah—aku lupa istilahnya apa—yang diskalain pakai angka lalu tak lama, akan muncul data inti—pas ceklog pertama kali—serta ucapan ‘terimakasih’ yang khas sekali dari seorang perempuan yang entah siapa. Ucapan ini adalah salam default yang akan terdengar pada jam berapapun checklog dilakukan. Mau ontime, sregep atau terlambat, responnya sama.

***

Di kampus tempat aku bekerja, ada dua unit mesin checklog yang terletak dan berjejer di Kantor Pusat. Ini tentu semakin meneguhkan kantor pusat sebagai tempat yang benar-benar sentral karena minimal, ia akan dikunjungi karyawan dua kali sehari untuk keperluan checklog. Jumlah dan lokasi tersebut sangat cocok dengan demografi kampus dan (barangkali) kuantitas karyawan. Additionally, tidak tersebarnya mesin checklog
di tempat yang berbeda juga dapat mempererat silaturrahim antarkaryawan mulai dari ketua hingga yang bawah-bawah sepertiku. Ketika bertemu di area si mesin, minimal kami akan bertukar senyum, bersalaman hingga beramah tamah duduk dan ngobrol.

Check in paling akhir adalah jam 07.30 WIB berdasarkan itungan jam di mesin checklog. Tentu waktu istiwa’ tidak dipakai di sini dan jika ada perbedaan menit hingga second dengan jam tangan yang dikenakan atau jam di gawai masing-masing, maka yang dimenangkan adalah versi mesin checklog. Sementara itu, check out paling awal adalah jam 16.00 WIB (untuk Senin hingga Kamis) dan 16.30 (untuk Jum’at). Informasi perihal checklog paling awal dan akhir jam berapa awalnya belum bisa aku pastikan sebelum membaca selebaran pengumuman libur lebaran kemarin.

Sependek yang aku amati, ada beberapa karyawan yang checklog dengan sidik jari dan ada yang dengan wajah. Aku tidak tahu bedanya apa. Aku sendiri biasanya dengan wajah, sekalian ngaca di mesin checklog untuk memastikan whether I look ok already, utamanya di pagi hari dan di mesin sebelah kiri yang kacanya lebih bening. Pernah satu kali aku mencoba menggunakan sidik jari tapi ditolak oleh sistem. Ketika mendaftar data wajah untuk keperluan ini bersama Pak Ipul, aku memang tidak diminta menunjukkan sidik jari. Sayangnya ketika itu aku sedikit nervous sehingga data record yang menampakkan wajahku dalam ekspresi flat tanpa senyum seperti sedang poto session untuk keperluan bikin pasport. Tak kusangka rekam data pertama kali itu akan selalu muncul setiap kali aku checklog bersama semacam user name dan beberapa informasi lain.

***

Ngomong-ngomong soal waktu checklog, ada sedikitnya dua kaidah dasar yang berlaku. Pertama adalah bahwa checklog menerapkan sistem qadha’ dan kedua adalah bahwa checklog hanya memberlakukan sistem punishment tanpa diimbangi dengan reward. Jika seorang pegawai checklog jam delapan dan itu artinya dia terlambat 30 menit, maka ia baru boleh pulang setengah jam setelah jam awal ceklog pulang, yakni jam 16.30 untuk Senin-Kamis dan 17.00 untuk Jumat. Sebaliknya, jika seorang pegawai checklog datang jam 7, misalnya, maka ini tidak berarti bahwa yang bersangkutan dapat pulang 30 menit sebelum jam 16.00 alias jam 15.30. Aturan yang sama berlaku bagi pegawai yang pulang keri selepas jam 16.00 meski yang bersangkutan tidak memiliki hutang yang harus disaur. S/he deserves just the same.

Well, anyway, mengapa harus diatur sedemikian rupa dan terkesan sangat detail serta prosedural sekali? Sejauh yang kuamati, checklog memberi dampak prosedural dan eksistensial. Seorang pegawai yang datang ke kampus tapi tidak checklog, maka yang bersangkutan dianggap tidak masuk pada hari tersebut betapapun ia stay di situ dan do the job. Jika dia checklog datang saja dan tidak checklog pulang, maka ia akan dianggap hadir tapi tidak dijatah uang makan (ada yang bilang uang lauk-pauk dan uang transport) harian yang dicairkan tiap bulan. Sementara itu, jika checklog datang dan pulang, dengan jam yang sesuai, maka ia akan dianggap hadir dan dijatah uang makan. Nah semisal ada beberapa menit yang missing, aku belum tau pasti bagaimana dampaknya. Jatah makan dikurangi atau dianggap tidak hadir, entahlah.

Dampak eksistensialnya adalah bahwa checklog merupakan perangkat yang menjadi bagian dari sistem untuk mendisiplinkan pegawai. Idealnya begitu. Itulah mengapa ketentuannya diatur sedetail itu. Ia meniscayakan bahwa dalam jangka waktu sekian jam sehari, seorang pegawai berkesempatan sama untuk benar-benar melakukan tugas dan fungsinya sehingga—idealnya—tidak ada pekerjaan yang keteteran, jadwal yang terbengkalai atau hal-hal lain di luar kehendak sistem. Sampai di sini, checklog masih sempurna sebagaia sistem, aturan atau perangkat untuk menciptakan suasana kerja disiplin.

Namun demikian, checklog menjadi problematis sedikitnya karena beberapa alasan berikut.

Satu, tidak semua pegawai ‘bertugas’ di lingkungan kampus. Ada beberapa di antara mereka yang dalam kesehariannya bertugas di luar, semisal ketika dinas luar, lagi ngumpulin data di lapangan, menjadi delegasi kampus untuk agenda tertentu dan lain sebagainya. Karena tidak ada checklog daring yang bisa diakses kapan dan di manapun, maka sebagian dari mereka ini harus menambah rute ke kampus untuk checklog dua kali sehari, selama memungkinkan dan mau nyempetin. Kalau dinasnya di luar kota ya kejauhan.

Dua, seperti semua sistem yang bisa dipastikan memiliki flaw sesuai dengan karakternya masing-masing, checklog juga sangat potensial untuk diakali. Ini, satu sisi menjadikan aturan lebih fleksibel, namun di sisi lain juga seperti permisif terhadap indisiplin pegawai. Yang kualami dan kuamati, checklog terkadang kehilangan tupoksinya ketika ia hanya menjadi formalitas seperti dalam kasus berikut; checklog datang lalu—cepat atau lambat—ke luar kampus untuk urusan pribadi dan atau di luar kedinasan, checklog datang lalu berada di lingkungan kampus tapi disorientasi alias tidak (langsung) menggarap pekerjaan dan memrioritaskan hal-hal yang seharusnya tidak menjadi prioritas.

Tak heran, pemandangan checklog lalu pulang adalah hal yang sangat biasa dan tampak sengaja dimaklumi untuk menghormati kesibukan lain para pegawai di luar tugas-tugas kantor. Kesibukan dimaksud meliputi, namun tidak terbatas pada, urusan keluarga, mengantar-jemput anak ke sekolah, ke RS/atau public service center yang hanya buka di weekdays, merawat anggota keluarga yang sakit dan keperluan-keperluan lain. Ketika +7 lebaran kemarin, aka tellasan topak, pimpinanku bahkan membolehkan bawahannya untuk checklog saja tanpa masuk kantor demi merayakan hari lebaran ketujuh bersama keluarga. Kebijakan yang populis kupikir, sebab selain memang belum ada pekerjaan mendesak, masuk kerja di hari itu sangat tidak kondusif.

Dari situlah, checklog, meksi merupakan instrumen formal, memainkan secondary role sebagai semacam pelengkap prosedur perizinan kultural ketika ada keperluan yang memang benar-benar mendesak. Saat seorang pegawai harus menyelesaikan urusan urgent di luar kampus, termasuk urusan tengka, maka yang bersangkutan bisa checklog lalu idzin secara kulural pada pimpinan. Ini menjadikan aturan perihal absensi pegawai lebih fleksibel dan memudahkan, meski di sisi lain juga membuka potensi lain untuk diakali.

***

Di luar hal-hal teknis dan prosedural di atas, checklog sebenarnya tak lebih dari perangkat mekanis yang bekerja secara otomatis dan tak berinstink. Beda sekali dengan manusia yang tak hanya beruntung karena memiliki akal—untuk mengakali apapun yang tampak tak bisa diakali—akan tetapi juga perasaan untuk mengontrol kerja akal yang kadang tak mau ikut aturan. Seorang pegawai bisa mengakali sistem dengan setor muka di mesin checklog sebelum atau sesudah ngluyur untuk urusan pribadi, di dalam maupun di luar kampus, namun pastinya ia tak bisa berbohong dari dirinya sendiri. Ia juga tidak akan terbebas dari rasa sungkan kepada pimpinan, rekan kerja atau siapapun yang secara sengaja maupun tidak mengetahui aksi pseudo checklog-nya karena berbanding terbalik dengan kinerja dan atau produktivitasnya.

It was on sixth day of May, 2018, when I spent almost whole day with the baby for the first time since we arrived in Surabaya. Before the announcement of my Latsar schedule, I had planned to celebrate her birthday in a very simple way. However, as soon as I knew the upcoming schedule, I broke my focus and began to prepare many things for my departure and a-month stay far away from home. I forgot to think about the make-up celebration and so forth.

Rauhia knows nothing about birthday. Neither did I give her prize I prepared because the condition did not allow me to do so. As soon as I remebered, that day, I simly kissed and huged her many times while greeting her birthday. She responded just as the same as everytime I communicate and cuddle with her. However, I still felt like so blessed to have a first whole year as her mother, nurture her, breastfeed her, bathe her, accompany her, feed her, sleep with her and the cutest one, listen to her say something like ‘momma... mommmaaa’.

There was still no smart phone on my hand at that time so I had no documentation at all. It did not decrease my happiness as it was also the first time I could stay with her without thinking about any Latsar schedule or whether I am already late to come to any scheduled agenda. It was also such a cure of the bad experience when she needed to move out from BDK through the awkward and long series of, let say, drama.

***

In the last days of her 0-year, she experienced many surprising things that I wish, some day, she would learn a lot from. I know that for now, she does not really understand about what happens in her surrounding. For the very first time, she might question about what hectic her momma was in preparing the departure and how stubborn she was to bring her away from home in such a hard condition just to maintain the breastfeed program. She also a back and forth trip twice with unprecendented distance she ever had from home to Surabaya.

The pre-departure preparation took very much of my attention that it led other people to misunderstand about what I really did and concern about. Rauhia was on my side—and my arm—when I clarified that everything was not like what it was thaught. She was also with me for the first visit to BDK when I was informed about the special room—and policy—for any participant with the baby. Fortunately, she was ok during the trip and there was no serious bad thing except the ‘accident’ at the mosque where she and I also had a very late lunch.

The visit was, again, her first long trip that I could make it certain that she would be ok for any long-distance trip. Thankfully. She did not look that excited for riding a car in long time, the same condition when looking at the big city scene and its crowd. At general, she was unexpressive and looked like thinking much about what she looks at before giving any expression or response. She could sleep well and it helped me a lot to enjoy the trip and manage my excitement and nerve to, let say, go to school again,

For my myself, the trip learned technically—and perhaps emotionally—about bringing the baby in a trip so for the next, I could be more prepared. Above all, Rauhia was cooperative that I could focus to the thing I need to concentrate about. Hopefully she would be getting more cooperative in upcoming days.

***

Arriving for the second time at BDK which signified the stay, Rauhia needed to cope with everything and everyone new, except me her momma. She spent much of first day not with me as I needed to handle registration process, opening ceremony and so forth. She complained and cried loudly a lot and I felt like she had never been that spoiled. She looked very worry when I looked like about to leave, even for very short time like going to bathroom or doing prayers. It was very perhaps hard for her to accept that she moved into a very new planet.

At the second day, she needed to become her momma’s power when the drama started and she was required to move out from BDK very soon. She saw my tear many times when I felt like desperate and everything was unfair. Why was I told something different from what it was suppossed to be? Thankfully there are always good guys after various—let say—bad guys come. Many new friends helped me a lot to find the proper and comfotable boarding house for Rauhia. They gave me encouraging visits, supports and even technical helps like lending car, accompanying in the field and others.

I could not forget that she was in my arm when I failed to negotiate about her stay when some officers took off in the day off—June 1—that day. As typical, she just paid attention on the surrounding, turned left and turned right then hugged me firmly as like saying, Momma, what are you doing here? Who are these guys? I could not bear any tear (but I wiped up immediately) wishing she did not know I was crying. It would be ok if I came by me myself, but if with her—and her nanni—the condition would be very much different. She could not wait to stay in a comfortable place to assure her health kept well in a new place.

To be short, thankfully, on 2nd of May, four days before her birthday, she and her nanny moved to a boarding house—into some extent it looks like a home stay or a mini-hotel—not far from BDK. Some friends of mine helped a lot in moving time—at the afternoon, that day—so I felt so blessed to have them while I was away from family and relatives. It is true that I need to pay more, even much more than any cost I paid to rent a room, yet the fact that I was relieved on it is a very much big blessing. I could focus on my lessons and my baby stayed in a ‘secure’ and comfortable zone without any threat of extradition.

The first days of her a-year-toddler status are mainly about learning how to walk without holding to anybody or anything and enjoying a kinda luxurious room she spend most of her time in. She began to take bath while standing up, spending time with Air Conditioner and TV, meeting her momma in a bigger frequency than usual, eating various new foods and snacks and seeing new views while introducing with new people. She was still so expressive when looking at me come to her and hurry to find the center of her main food. What else I could thank for this blessing and happiness?

***
Talking about her first birthday also implies the day one previous year when I struggled to give her birth. Those seconds, minutes and hours are the things that I think I could not forget forever. It was such magical ability that I could endure the suffering in a couple of hours without thinking much about death and other bad things. I simply believed that I could give her birth in natural way and what I waited for is just the right time so I must keep trying and focusing on the purpose to push and push when the stimulus came up. Again, I need to say yes to people who state that the whole suffering of giving birth would disappear as soon as the baby comes. Rauhia did not cry directly yet I was sure she was alive as I saw her little move. The assistant of a midwife who helped me did something with pipes and she cried loudly. It officially ratified my new status as a mother.

As a typical mother, I wish nothing but the best for her. May she stay healthy, well grown up, cheerfully learning many things new on her upcoming days, and be ready for the life ahed. Rauhia, if you read this later, you need to know that you may cound your age by number but in my eyes, you are still the baby who could not do anything but crying, drinking the breastmilk and doing some little cuddley moves. Be well prepared for your shinning days, My Dear! I pray and love you everytime I breathe. I do.

image: http://welcometowillowlane.com/2017/07/23/1st-birthday-party-ideas/

MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.