Protes-Protes Bisu Si Rak Buku
Salah satu properti yang pasti ada di setiap perpustakaan adalah rak buku. Apapun bahan dan warnanya, bagaimanapun model dan peletakannya, tinggi atau rendah, lebar atau sempit, kokoh atau berdecit, benda satu ini tetap menjadi yang paling tepat untuk menampung buku-buku koleksi. Di rak, buku-buku dapat berdiri beriringan sehingga bagian sampingnya akan kelihatan dan memudahkan siapapun yang ingin menemukan dan meletakkan buku.
Sayangnya, seperti benda-benda mati lain, rak buku tak bisa bersuara. Andai saja ia bisa ngomong, atau setidaknya bereaksi terhadap keadaan sekitar, banyak yang bisa dilakukannya. Mungkin saja, ia akan dengan bahagia dan ramah menyambut pengunjung yang datang untuk mencari buku. Kalau kebetulan galak, ia barangkali akan menegur pengunjung yang berisik atau ngobrol, meski tidak harus dengan gaya Rangga ala AADC.
Soal kebiasaan ramai dan ngobrol di perpustakaan ini tentu tidak terjadi di semua belahan dunia. Terbiasa dengan kaidah sendirian ngantuk, bareng teman ngobrol ketika mengunjungi perpustakaan semasa kuliah, aku dibikin heran dengan beberapa perpustakaan yang benar-benar sepi dan senyap. Hebatnya, keadaan tersebut terjadi bukan karena tidak ada pengunjung atau di luar jam operasional, akan tetapi karena para pengunjung sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Bahkan, jika boleh lebay, andai ada semut yang kepleset, bunyinya akan terdengar ke semua ruangan. Saking-saking-nya.
Dari situ aku percaya bahwa scene perpustakaan yang sunyi semacam itu benar adanya, bukan hanya adegan di film-film Holywood yang entah itu fakta atau fiktif. Aku dan teman-teman yang ketika itu numpang berfoto di lokasi tersebut harus setengah mengendap dan benar-benar mengontrol suara agar tak menimbulkan bisik-bisik yang mengganggu. Jangan ditanya bagaimana perasaanku saat itu; antara excited, surprised dan sirik. Butuh berapa tahun untuk membangun budaya semacam itu di ruang sakral semacam perpustakaan?
***
Kembali lagi ke soal rak buku. Meski tak bisa bersuara dan bergerak, entah kenapa aku yakin benda-benda mati semacam itu sebenarnya punya perasaan. Andai saja bisa, mereka tentu akan protes jika tak dirawat, disatroni debu karena terlalu lama tak disentuh atau dijejali buku yang bukan seharusnya mereka tampung. Soal penataan buku di rak ini memang bikin baper betul. Bagaimana tidak, dalam sekali inspeksi sederhana oleh amatir macam aku saja, di satu lajur rak buku, ada sekian buku yang nyasar. Buku pendidikan kok ada di rak agama, dan begitu seterusnya.
Bagaimana mereka nyasar, bukannya sudah ada nomor klasifikasi? Jawabannya barangkali karena belum ada sistem atau perangkat yang bisa secara otomatis meletakkan dan mengembalikan buku ke rak yang seharusnya. Belum ada robot atau mesin yang bisa menggantikan tenaga manusia yang dengan naluri ketelitian dan keberaturannya dapat menyulap sesuatu yang berantakan menjadi rapi dan well managed. Apalagi pada praktiknya, proses mengembalikan buku ke rak ini tidak hanya dilakukan oleh pihak berwenang yang tidak ‘berkepentingan’ a.k.a petugas perpustakaan, akan tetapi juga oleh pihak yang meski tidak berwenang, sangat ‘berkepentingan’.
Berwenang dan berkepentingan bagaimana si? Ok, sederhanya begini, tak kandani. Salah satu tugas para petugas perpustakaan adalah shelving. Mudahnya, menurutku ketika mendengar kata ini pertama kali, shelf adalah kata berbahasa Inggris dari ‘rak’ yang tidak beraturan karena ketika jamak, ia akan berubah menjadi shelves dan bukannya shelfes. Jadi ketika sebuah kata benda ditambah embel-embel semacam ing, dengan seketika ia berubah menjadi kata kerja dan atau gerund. Kaya book, buku, kata benda, berubah jadi booking, berarti pembukuan atau pencatatan. Jadi, kira-kira, shelving adalah peng-rak-an atau penataan buku sesuai rak yang seharusnya.
Nah di perpustakaan tempat aku bekerja, shelving adalah tugas harian para pegawai perpustakaan. Sasaran utamanya adalah buku yang baru dikembalikan oleh anggota perpustakaan. Sekian tumpuk buku tersebut akan diklasifikasi berdasarkan nomor panggilnya, digotong ke rak menggunakan trolley lalu diletakkan bersama dengan teman sekoloninya. Biasanya menjelang jam tutup layanan. Selain buku yang baru dikembalikan, buku yang baru dibaca para pengunjung dan tercecer di meja-meja baca juga diamankan sehingga sebelum jam pulang, semua buku idealnya sudah kembali ke tempat asalnya masing-masing.
Jadi, dasarnya, sejauh yang kupahami, pegawai perpustakaanlah yang paling berwenang melakukan shelving. Selain memiliki ilmu dan teori tentang klasifikasi buku, mereka juga berpengalaman sehingga tugas yang bagi orang lain bisa jadi sangat berat, berubah renyah dan mudah buat mereka. Namun begitu, pengunjung perpustakaan juga diimbau untuk membantu tugas ini. Ini tampak dari beberapa tempelan di berbagai sudut perpustakaan untuk mengembalikan buku ke rak semula.
Redaksinya ‘ke rak semula’ lho ya, bukan ke rak sembarangan dengan tujuan tertentu. Jadi, inilah yang tak maksud dengan ‘kepentingan’ tadi. Sebagian pengunjung, dengan tangah sucitapi nakalnya, diduga kuat dengan sengaja dan sadar diri menyembunyikan buku di rak yang tak seharusnya dengan tujuan monopoli pribadi atau golongan. Masih menjadi misteri juga mengapa mereka tak langsung membaca atau sekalian meminjam buku yang memang dibutuhkan. Mengapa harus pakai acara sembunyi-sembunyian segala?
That dramatic? Yes, kenyataannya seperti itu. Buktinya, banyak sekali buku yang berada di rak yang tak seharusnya, padahal shelving sudah dilakukan setiap hari menjelang tutupnya layanan perpustakaan. Bingung juga motifnya apa. Perasaan senakal-nakalnya aku ketika menjadi mahasiswa, aku belum pernah kepikiran untuk menyembunyikan buku dengan cara menaruhnya di rak yang bukan tempat seharusnya dia berada.
Setelah menggunakan sekian lapis praduga tak bersalah, akhirnya didapatkan beberapa pembenaran yang sebenarnya tetap tidak bisa menjustifikasi perbuatan semacam ini. Pertama, jatah pinjaman sudah penuh sehingga tak bisa meminjam buku yang dibutuhkan. Kedua, jam layanan perpustakaan sudah akan berakhir sehingga tak memungkinkan membaca buku di tempat. Save dulu buat besok atau kunjungan berikutnya. Toh ga ada yang tau. CCTV ga sedetatil itu. Ketiga, koleksi yang tersedia sedikit, sedang yang memburu banyak orang. Simpan dulu biar aman. Keempat, sengaja menyembunyikan di tempat tertentu untuk selanjutnya dibaca/dipinjam oleh orang lain, misalnya temen sekelompok ketika proses penulisan makalah. Alasan lain-lainnya adalah tidak ada kerjaan, ingin membuat orang lain bingung, menambah kerjaan orang lain, ingin memonopoli akses terhadap literatur tertentu dan semacamnya yang kalau diteruskan bisa sangat jahat dan sadis.
Lalu, apakah cara ini berhasil? Berhasil membingungkan orang lain yang sedang berkepentingan terhadap buku yang disembunyikan, PASTI. Akan tetapi, temuan banyaknya buku nyasar di rak yang salah ketika layanan perpustakaan ditutup, menunjukkan bahwa, sedikit banyak, cara ini tidak banyak berhasil dan, barangkali, justru semakin membingungkan si pelaku. Barangkali mereka tak kembali lagi ke perpustakaan untuk menyambangi buku yang mereka sembunyikan karena satu atau beberapa hal. Atau jika tidak, ketika kembali, mereka tak lagi menemukan buku yang disembunyikan sebab berpindah ke tempat lain atau, yang paling mungkin, mereka lupa menaruhnya di rak mana dan lajur sebelah mana.
Setelah mendengar cerita teman-teman senior pegawai perpustakaan perihal sulitnya mengatasi praktik penggelapan buku ini, aku ikut-ikutan berpikir bahwa nyaris tak ada solusi yang benar-benar bisa memecahkan masalah ini. Paling mentog, jurus yang mungkin adalah pendekatan teologis (baca: karma) bahwa, Kau hanya akan menuai apa yang Kau tanam. Jika hari ini Kamu mempersulit orang lain mendapatkan buku yang mereka cari, akan ada beberapa hari lain di mana kamu akan lebih kesulitan menemukan yang Kamu cari setengah mati. Tapi, will it be effective?
***
At very last, rak buku memang tetap tidak bisa berbicara dan berbuat apa-apa, bahkan untuk sekadar memilih akan ditempatkan di perpustakaan macam apa, dengan latar belakang budaya bagaimana dan karakter pengunjung—serta petugas—seperti apa. Meski begitu, ia tetap tegak berdiri menjadi rumah bagi buku-buku yang terkadang kesepian menunggu untuk disentuh, dibuka, dibawa pulang, dibaca, didiskusikan lalu dilahirkan kembali. Barangkali, jika ia bisa bercerita, kesedihan yang paling menyiksanya bukanlah adegan penggelapan buku yang selalu menyebalkan para petugas perpustakaan atau mereka yang dengan niat suci ingin mencari buku tanpa berniat menyembunyikannya, akan tetapi ketika ia tak mendapatkan pembaca dan pencari yang sebenarnya.
Rak buku yang bisu, seperti benda bernyawa atau benda mati lain, barangkali lebih menyukai kerapian dan keteraturan. Buku berjejer di tempatnya masing-masing, bahkan berurut sesuai angka dan atau aksara sehingga tak hanya enak dipandang mata, akan tetapi luar biasa memudahkan penelusuran koleksi secara langsung. Namun, jika yang demikian terjadi terus-menerus tanpa ada lalu lalang manusia yang dengan jari-jemarinya menggilir masing-masing buku untuk menemukan yang dicarinya, bisa jadi ia tak lagi berhasrat akan kerapian. Hasrat terbesarnya, jika boleh sotoy, adalah menjadi rumah bagi buku-buku yang akan melahirkan buku dan peradaban baru.
Note: Picture was taken at State Library Reading Room, Melbourne, Australia, March 2016. Credit; Nur Shkembi.
Sayangnya, seperti benda-benda mati lain, rak buku tak bisa bersuara. Andai saja ia bisa ngomong, atau setidaknya bereaksi terhadap keadaan sekitar, banyak yang bisa dilakukannya. Mungkin saja, ia akan dengan bahagia dan ramah menyambut pengunjung yang datang untuk mencari buku. Kalau kebetulan galak, ia barangkali akan menegur pengunjung yang berisik atau ngobrol, meski tidak harus dengan gaya Rangga ala AADC.
Soal kebiasaan ramai dan ngobrol di perpustakaan ini tentu tidak terjadi di semua belahan dunia. Terbiasa dengan kaidah sendirian ngantuk, bareng teman ngobrol ketika mengunjungi perpustakaan semasa kuliah, aku dibikin heran dengan beberapa perpustakaan yang benar-benar sepi dan senyap. Hebatnya, keadaan tersebut terjadi bukan karena tidak ada pengunjung atau di luar jam operasional, akan tetapi karena para pengunjung sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Bahkan, jika boleh lebay, andai ada semut yang kepleset, bunyinya akan terdengar ke semua ruangan. Saking-saking-nya.
Dari situ aku percaya bahwa scene perpustakaan yang sunyi semacam itu benar adanya, bukan hanya adegan di film-film Holywood yang entah itu fakta atau fiktif. Aku dan teman-teman yang ketika itu numpang berfoto di lokasi tersebut harus setengah mengendap dan benar-benar mengontrol suara agar tak menimbulkan bisik-bisik yang mengganggu. Jangan ditanya bagaimana perasaanku saat itu; antara excited, surprised dan sirik. Butuh berapa tahun untuk membangun budaya semacam itu di ruang sakral semacam perpustakaan?
***
Kembali lagi ke soal rak buku. Meski tak bisa bersuara dan bergerak, entah kenapa aku yakin benda-benda mati semacam itu sebenarnya punya perasaan. Andai saja bisa, mereka tentu akan protes jika tak dirawat, disatroni debu karena terlalu lama tak disentuh atau dijejali buku yang bukan seharusnya mereka tampung. Soal penataan buku di rak ini memang bikin baper betul. Bagaimana tidak, dalam sekali inspeksi sederhana oleh amatir macam aku saja, di satu lajur rak buku, ada sekian buku yang nyasar. Buku pendidikan kok ada di rak agama, dan begitu seterusnya.
Bagaimana mereka nyasar, bukannya sudah ada nomor klasifikasi? Jawabannya barangkali karena belum ada sistem atau perangkat yang bisa secara otomatis meletakkan dan mengembalikan buku ke rak yang seharusnya. Belum ada robot atau mesin yang bisa menggantikan tenaga manusia yang dengan naluri ketelitian dan keberaturannya dapat menyulap sesuatu yang berantakan menjadi rapi dan well managed. Apalagi pada praktiknya, proses mengembalikan buku ke rak ini tidak hanya dilakukan oleh pihak berwenang yang tidak ‘berkepentingan’ a.k.a petugas perpustakaan, akan tetapi juga oleh pihak yang meski tidak berwenang, sangat ‘berkepentingan’.
Berwenang dan berkepentingan bagaimana si? Ok, sederhanya begini, tak kandani. Salah satu tugas para petugas perpustakaan adalah shelving. Mudahnya, menurutku ketika mendengar kata ini pertama kali, shelf adalah kata berbahasa Inggris dari ‘rak’ yang tidak beraturan karena ketika jamak, ia akan berubah menjadi shelves dan bukannya shelfes. Jadi ketika sebuah kata benda ditambah embel-embel semacam ing, dengan seketika ia berubah menjadi kata kerja dan atau gerund. Kaya book, buku, kata benda, berubah jadi booking, berarti pembukuan atau pencatatan. Jadi, kira-kira, shelving adalah peng-rak-an atau penataan buku sesuai rak yang seharusnya.
Nah di perpustakaan tempat aku bekerja, shelving adalah tugas harian para pegawai perpustakaan. Sasaran utamanya adalah buku yang baru dikembalikan oleh anggota perpustakaan. Sekian tumpuk buku tersebut akan diklasifikasi berdasarkan nomor panggilnya, digotong ke rak menggunakan trolley lalu diletakkan bersama dengan teman sekoloninya. Biasanya menjelang jam tutup layanan. Selain buku yang baru dikembalikan, buku yang baru dibaca para pengunjung dan tercecer di meja-meja baca juga diamankan sehingga sebelum jam pulang, semua buku idealnya sudah kembali ke tempat asalnya masing-masing.
Jadi, dasarnya, sejauh yang kupahami, pegawai perpustakaanlah yang paling berwenang melakukan shelving. Selain memiliki ilmu dan teori tentang klasifikasi buku, mereka juga berpengalaman sehingga tugas yang bagi orang lain bisa jadi sangat berat, berubah renyah dan mudah buat mereka. Namun begitu, pengunjung perpustakaan juga diimbau untuk membantu tugas ini. Ini tampak dari beberapa tempelan di berbagai sudut perpustakaan untuk mengembalikan buku ke rak semula.
Redaksinya ‘ke rak semula’ lho ya, bukan ke rak sembarangan dengan tujuan tertentu. Jadi, inilah yang tak maksud dengan ‘kepentingan’ tadi. Sebagian pengunjung, dengan tangah suci
That dramatic? Yes, kenyataannya seperti itu. Buktinya, banyak sekali buku yang berada di rak yang tak seharusnya, padahal shelving sudah dilakukan setiap hari menjelang tutupnya layanan perpustakaan. Bingung juga motifnya apa. Perasaan senakal-nakalnya aku ketika menjadi mahasiswa, aku belum pernah kepikiran untuk menyembunyikan buku dengan cara menaruhnya di rak yang bukan tempat seharusnya dia berada.
Setelah menggunakan sekian lapis praduga tak bersalah, akhirnya didapatkan beberapa pembenaran yang sebenarnya tetap tidak bisa menjustifikasi perbuatan semacam ini. Pertama, jatah pinjaman sudah penuh sehingga tak bisa meminjam buku yang dibutuhkan. Kedua, jam layanan perpustakaan sudah akan berakhir sehingga tak memungkinkan membaca buku di tempat. Save dulu buat besok atau kunjungan berikutnya. Toh ga ada yang tau. CCTV ga sedetatil itu. Ketiga, koleksi yang tersedia sedikit, sedang yang memburu banyak orang. Simpan dulu biar aman. Keempat, sengaja menyembunyikan di tempat tertentu untuk selanjutnya dibaca/dipinjam oleh orang lain, misalnya temen sekelompok ketika proses penulisan makalah. Alasan lain-lainnya adalah tidak ada kerjaan, ingin membuat orang lain bingung, menambah kerjaan orang lain, ingin memonopoli akses terhadap literatur tertentu dan semacamnya yang kalau diteruskan bisa sangat jahat dan sadis.
Lalu, apakah cara ini berhasil? Berhasil membingungkan orang lain yang sedang berkepentingan terhadap buku yang disembunyikan, PASTI. Akan tetapi, temuan banyaknya buku nyasar di rak yang salah ketika layanan perpustakaan ditutup, menunjukkan bahwa, sedikit banyak, cara ini tidak banyak berhasil dan, barangkali, justru semakin membingungkan si pelaku. Barangkali mereka tak kembali lagi ke perpustakaan untuk menyambangi buku yang mereka sembunyikan karena satu atau beberapa hal. Atau jika tidak, ketika kembali, mereka tak lagi menemukan buku yang disembunyikan sebab berpindah ke tempat lain atau, yang paling mungkin, mereka lupa menaruhnya di rak mana dan lajur sebelah mana.
Setelah mendengar cerita teman-teman senior pegawai perpustakaan perihal sulitnya mengatasi praktik penggelapan buku ini, aku ikut-ikutan berpikir bahwa nyaris tak ada solusi yang benar-benar bisa memecahkan masalah ini. Paling mentog, jurus yang mungkin adalah pendekatan teologis (baca: karma) bahwa, Kau hanya akan menuai apa yang Kau tanam. Jika hari ini Kamu mempersulit orang lain mendapatkan buku yang mereka cari, akan ada beberapa hari lain di mana kamu akan lebih kesulitan menemukan yang Kamu cari setengah mati. Tapi, will it be effective?
***
At very last, rak buku memang tetap tidak bisa berbicara dan berbuat apa-apa, bahkan untuk sekadar memilih akan ditempatkan di perpustakaan macam apa, dengan latar belakang budaya bagaimana dan karakter pengunjung—serta petugas—seperti apa. Meski begitu, ia tetap tegak berdiri menjadi rumah bagi buku-buku yang terkadang kesepian menunggu untuk disentuh, dibuka, dibawa pulang, dibaca, didiskusikan lalu dilahirkan kembali. Barangkali, jika ia bisa bercerita, kesedihan yang paling menyiksanya bukanlah adegan penggelapan buku yang selalu menyebalkan para petugas perpustakaan atau mereka yang dengan niat suci ingin mencari buku tanpa berniat menyembunyikannya, akan tetapi ketika ia tak mendapatkan pembaca dan pencari yang sebenarnya.
Rak buku yang bisu, seperti benda bernyawa atau benda mati lain, barangkali lebih menyukai kerapian dan keteraturan. Buku berjejer di tempatnya masing-masing, bahkan berurut sesuai angka dan atau aksara sehingga tak hanya enak dipandang mata, akan tetapi luar biasa memudahkan penelusuran koleksi secara langsung. Namun, jika yang demikian terjadi terus-menerus tanpa ada lalu lalang manusia yang dengan jari-jemarinya menggilir masing-masing buku untuk menemukan yang dicarinya, bisa jadi ia tak lagi berhasrat akan kerapian. Hasrat terbesarnya, jika boleh sotoy, adalah menjadi rumah bagi buku-buku yang akan melahirkan buku dan peradaban baru.
Note: Picture was taken at State Library Reading Room, Melbourne, Australia, March 2016. Credit; Nur Shkembi.