Kalau Kalian mengunjungi perpustakaan, baik bangunannya di dunia nyata atau rumahnya di dunia maya, aktivitas yang Kalian lakukan rasanya tidak akan jauh-jauh dan masih berkisar seputar pencarian buku atau bahan pustaka lain. Nah, menyusul semakin canggihnya teknologi informasi belakangan, maka untuk menyukseskan misi itu, Kalian tak perlu memeriksa satu persatu judul buku di rak klasifikasi sesuai tema buku yang dicari. Selain dibantu oleh klasifikasi desimalnya Pak Dewey, perpustakaan-perpustakaan umumnya telah memanfaatkan kemajuan teknologi computer dengan menyediakan mesin pencarian semacam Google atau Yahoo.

Mesin pencarian tersebut biasanya terintegrasi dengan software yang digunakan. Sependek yang kuketahui, mesin pencarian yang biasa digunakan di perpustakaan lazim disebut OPAC, meski software yang digunakan tidak sama. Di kampus tempat aku berkuliah dan tempat aku mengabdi, OPAC-lah yang dipakai sebagai jalan pintas untuk menemukan sebuah bahan pustaka. OPAC sendiri menjadi familiar karena mudah diucapkan lidah Indonesia dan nyaris serupa dengan jajanan ala Jawa Barat yang kalau di Madura mungkin tak berbeda denga keripik atau kerupuk. OPAC adalah kepanjangan dari Online Public Access System yang kurang lebih berarti Sistem Akses Publik Daring. Dari namanya, terkesan bahwa aplikasi ini western centered. Barangkali memang produk mereka, tak apalah. Menggunakannya tak menjadikanmu kafir.

Sayangnya, tak sedikit pengguna perpustakaan yang mengaku tetap kesulitan mendapatkan informasi perihal bahan pustaka yang dicari meski sudah menggunakan OPAC. Padahal, tak jarang, ketika dicari di rak koleksi, buku yang dicari nangkring di situ. OPAC bilangnya tidak ada, padahal ternyata ditemukan. Kasus lain, dan ini paling banyak terjadi, adalah ketika OPAC mengatakan bahwa buku tertentu ada di rak segitu, tapi ketika disamperi ternyata raib. Dari ujung atas paling kiri sampai ujung bawah paling kanan, dari rak depan hingga rak belakang, buku yang dicari tidak muncul juga. Padahal OPAC memastikan ketersediaannya, seringkali dalam jumlah eksemplar yang fantastis untuk mendatangkan keheranan kemudian keputusasaan si pencari.

Mengapa hal demikian masih terjadi di dunia yang sudah canggih ini? Ada banyak faktor tentunya. Bisa jadi pengunjung yang typo menulis kata kunci di kotak pencarian, kata kunci yang terlalu umum, terlalu spesifik, diksi atau spelling yang rawan typo, semangat juang—mencoba berbagai kata kunci dan men-scroll hingga bagian bawah—yang tak seberapa, buku yang sengaja disasarkan di rak lain oleh tangan-tangan mulya—yang sayangnya tidak bertanggungjawab—atau kemungkinan terakhirnya adalah… Data di server perpustakaan yang belum diperbaharui alias belum di-update. Jadi khan, setiap koleksi yang dimiliki perpustakaan itu tidak hanya dipajang begitu saja di rak atau dipinjamkan, akan tetapi juga dicatat identitasnya di database. Istilah teknisnya kalau tidak salah entri data. Data itulah yang kemudian akan diintegrasikan dengan sistem computer sehingga pengunjung bisa memanfaatkannya untuk mendapatkan informasi perihal keberadaan, identitas hingga jumlah bahan pustaka yang tengah dicari.

Karena pentingnya data di sistem itulah, barangkali, atau mungkin juga sudah SOP, atau paling pragmatisnya, menjelang akreditasi, liburan semester kali ini kami isi dengan melaksanakan agenda pembaharuan bibliografi (UB, to be short). Jadi FYI, meski mahasiswa liburan semester, kampus tetap buka dan karyawan tetap ngantor. Ketika jumlah pengunjung surut karena sebagian besar mereka sedang berlibur, tidak berarti karyawan kemudian bisa lepas dari kesibukan. Kami hanya ganti ritme. Kalau biasanya melayani pengunjung langsung, kali ini tugas kami menyiapkan layanan yang lebih baik (apa sih bahasanya).

Agenda ini, sepembacaanku, juga menjadi urgen karena tak jarang, ditemukan informasi penting yang tidak terisi atau penulisan data yang salah. Ini akan menyulitkan pengunjung yang sedang mencari informasi atau keberadaan sebuah buku. Yang lebih parah lagi, pengunjung yang putus asa mencari buku yang mereka butuhkan akan dengan mudah sesumbar, buku di perpustakaan sini ga lengkap. Aku cari ga ada. Dan itu, kemudian, dipolitisir menjadi alasan melakukan copy paste makalah di internet untuk tugas kuliah. Padahal, seringkali, itu hanya soal teknis. Kata kunci yang kurang tepat, pengunjung yang kurang ngotot, atau kalau bukan, ya seperti kusebut tadi, data di server yang memang perlu peremajaan.

Jadilah, dengan satu atau beberapa alasan seperti disebut di atas, dan mungkin juga alasan lain, sejak hari kedua tahun 2019, kami ber-21—ya kurang lebih segitu—memulai kerja update bibliography (UB ya UB). Dikomandani oleh Mas Umam yang ditunjuk langsung oleh Bu Neli, disepakati Pak Syakur dan didukung aklamatif oleh peserta forum, kerjapun dimulai dengan simbolisasi pembukaan ruang tandon di sebelah ruang Kapus. Hampir sama dengan arti lain dari tandon, yakni tempat menampung air sebelum dialirkan ke bak terakhir, koleksi tandon menampung satu eksemplar bahan pustaka dari masing-masing koleksi yang masuk wilayah sirkulasi. Jadi idealnya, jika ada buku yang dipastikan benar-benar raib di rak koleksi, maka cadangan terakhirnya adalah di tandon. Itulah kenapa, koleksi di tandon tidak dipinjamkan dan ruang tandon, setauku, baru dibuka ketika ada agenda ini.

Lalu, apa aja yang terjadi selama proses UB itu?

Karena ruang tandon terletak di lantai II, maka ruangan yang disasar untuk menjadi markas UB adalah ruangan yang juga di lantai II. Di antara ruangan-ruangan yang ada, ruang P2SD lah yang paling layak karena selain letaknya berseberangan dengan ruang tandon, luasnya terbilang lumayan, meski masih luas ruang Kapus. Ruangan terpilih harus dekat dengan ruang tandon karena untuk tahap pertama, buku-buku dari rak sirkulasi-lah—yang cadangan sekaligus ‘arsip’nya disimpan di tandon— yang akan diproses. Kalau jauh, kerja bisa tidak efektif karena acara gotong-menggotong buku bolak balik dari ruang tandon ke pusat berlangsungnya agenda UB akan lebih melelahkan.

Jadilah, lagi-lagi barangkali, dengan alasan itu, Ruang P2SD kemudian disulap menjadi ruang kerja dengan menggotong 5 unit computer dan beebrapa kursi serta meja. Idealnya, dalam sekali waktu, di ruang tersebut, ada 5 pustakawan yang bekerja melakukan UB. Selain di situ, ada juga yang menggunakan fasilitas di ruang administrasi, perawatan hingga BI Corner, baik menggunakan fasilitas computer umum atapun milik pribadi.

Bagiku, yang paling preferrable di antara semua adalah di ruang P2SAD karena pekerjaan baru tak hanya membutuhkan semangat, akan tetapi juga kondisi menyenangkan dan bimbingan serta pengarahan. Percuma semangat membara tanpa suasana kondusif dan bimbingan. Jatuhnya ia akan mudah padam karena ditempa kesulitan teknis berkali-kali. Di ruang itu juga, ada Bu Neli yang menjadi tempat bertanya hampir semua pustakawan perihal kesulitan yang mereka temui. Selain itu, obrolan-obrolan santai di tengah pekerjaan—yang meski tak membutuhkan konsentrasi penuh tetap melelahkan—tersebut sangat membantu mencairkan suasana dan menetralisir ketegangan sendi maupun lalu lintas otak. Belum alunan audio dari satu—atau lebih—computer yang membuat waktu seolah-olah berlalu lebih cepat dari biasanya.

Sekali waktu, ketika tidak kebagian seat di ruang P2SAD—berlaku prinsip SCDD alias siapa cepat dia dapat—aku harus pindah ke ruangan lain dan bolak-balik ke situ untuk bertanya pada Bu Neli. Energy and emotion consuming sekali. Niat kerja dari awal jadi terganggu dengan hal-hal teknis sehingga sebisa mungkin, aku booked kursi di ruang P2SAD agar kejadian sama tak terulang lagi. Most of time, it works, meski kadang kalah mruput dari yang lebih sregep. Konsultasi pada senior, dalam pekerjaan ini, begitu dibutuhkan karena meski pada rapat pertama sebelum kerja ini dimulai, kami sudah menyepakati beberapa hal, ada kejadian-kejadian di lapangan yang wilayahnya di luar kebiasaan.

Jika kubandingkan dengan agenda pada liburan semester tahun lalu, yakni entri data buku baru, maka agenda UB ini, kurasa, lebih melelahkan. Entri data, secara umum, lebih pada naluri ketelitian mata dan jari, ketahanan stamina serta penguasaan teori. Lebih jauh dari itu, UB punya lebih banyak dimensi karena juga melibatkan emosi dan etos kerja (baca: kesabaran, kejelian dan, kalau kata Orang Madura, ke-sele’­-an) berhadapan dengan data yang dientri sekian tahun lalu, buku yang diterbitkan puluhan tahun lalu atau bahasa yang dicetak dengan font huruf ala negeri dongeng karena susah dipahami. Perihal jarak dan waktu memang lebih sering mendatangkan chaos daripada harmony (kenapa bahasannya sampai sini sih)

UB memang tidak mudah dan jauh dari kata sederhana. Karena itulah, Bu Neli bilang, agenda ini, ia harapkan bisa menjadi salah satu amal jariyah-nya. Tapi ngomong-ngomong, UB ngapain aja si? To Be Continued

PS: Gambar hanya deskripsi, bukan pemanis. Digandakan dari WAG Pustaka 07 :)

Sejak ada mesin ceklok baru yang dipasang di kantor pusat beberapa waktu lalu, kini aku tak lagi bingung dan sudah yakin dengan ejaannya. Meski ya, tetap saja, lebih simple dan ramah ditulis dengan simply CEKLOK. Kalau ejaannya nurut yang asli dan benar, nulisnya lama dan space yang dihabiskan jadi banyak. Jadi ya, di sepanjang tulisan ini, selain pada judul, aku akan menulis CEKLOK instead of CHECK-CLOCK yang barangkali, kurang lebih berarti pengecekan jam. Jam berapa datang dan jam berapa pulang. Idealnya sih begitu. Ceklok dua kali sehari. Ya meski belakangan, aku sempat mendengar cerita dari seorang teman yang suaminya berprofesi sama denganku, CPNS satu angkatan denganku (tapi beda kampus), dan dia ceklok empat kali sehari.

Oh, Tuhan, ngapain aja ceklok empat kali sehari? Benarkah sesumbar yang mengatakan bahwa ceklok adalah berhala baru? Nah sesumbar ini aku dapat dari seorang pemateri yang bawain presentasinya boring banget. Saking boring¬-nya, hal yang aku inget dari dia sebatas soal berhala ini. Yang lain ga ada. Padahal ekspektasiku tinggi sekali. Balik lagi ke soal ceklok empat kali sehari. Jadi menurut temanku yang sekamar denganku ketika di Palu itu, sejak beberapa bulan sebelumnya, rute ceklok si suami ada empat: Ceklok pertama adalah ketika datang, ceklok kedua ketika istirahat mulai, ketiga ketika istirahat selesai dan terakhir ketika akan pulang. Benar-benar berhala sekaligus penjara. Eh baru kemarin ada yang mosting di salah satu WAG bahwa kabupaten tetangga sudah menerapkan mekanisme ceklok yang begitu pada karyawannya.

Would that be effective?
Tidak selalu. Sekali lagi ceklok hanya symbol. Ia tak lebih dari mekanisme untuk mendisiplinkan pegawai. Durasi setelah ceklok datang hingga sebelum ceklok pulang idealnya dipakai untuk mengerjakan tugas dan fungsi masing-masing. Baik di kantor maupun di luar kantor. Berdiam di kantor tapi tidak melakukan tugas tentu tidak lebih baik dibanding ngeluyur (atau istilah kerennya dines luar, meski artinya bisa luar kantor atau luar kota) dalam rangka mengerjakan tugas. Jadi ukurannya bukan soal apakah abis ceklok langsung masuk kantor atau malah ngeluyur ke luar ya. Meski ya tetap aja visually, ceklok langsung ngantor itu terlihat lebih ‘lurus’ daripada ceklok langsung ngeluyur. Sekilas lo sekilas, sebab yang catatannya gabisa dikibuli cuma Malaikat Raqib dan Atid, bukan mesin ceklok.

Nah, jadi, soal ceklok empat kali sehari yang frekeuensinya bahkan lebih tinggi dari jadwal minum obat itu, aku melihatnya juga sebagai rangsangan agar pegawai atau karyawan lebih bertanggungjawab terhadap tugasnya. Asumsi yang dibangun adalah bahwa the longer they stay at the ofiice, the better their works would be. Jadi dasarnya aku sangat mengapresiasi aturan tersebut meski tidak bisa membayangkan jika aturan demikian diberlakukan di tempat aku bekerja. Selama ini aku sudah kewalahan—meski merasakan banyak manfaat—ceklok dua kali sehari. Bagaimana jika empat kali dan ada kejadian tidak biasa semisal harus beristirahat di rumah, ada hajatan di luar kampus atau tengka lain yang harus ditunaikan? Jadi ya, sudah, dua kali ceklok itu sudah cukup menjadikanku sebagai pseudo robot.

***
Mesin ceklok baru yang tidak lagi mengucapkan terimakasih saja itu, akan tetapi dengan sudah tersimpan sukses menjadi berhala sedikitnya karena beberapa hal berikut. Pertama, ia kini terintegrasi dengan sistem yang versi full-nya sudah ter-launching bernama SIMPADU. Setiap pegawai memiliki ID dan password dalam sistem SIMPADU yang memungkinkan ybs mengecek jam datang dan jam pulangnya setiap hari. Selama ini aku belum pernah menemukan missedrecording dalam sistem tersebut meski tak mengeceknya tiap hari. Yang kurasakan justru sistem ini membantu bagi mereka yang lupa ceklok datang jam berapa. Awalnya aku kira kelupaan dalam hal ini tidak mungkin terjadi karena aku nyaris selalu mengingat angka yang menyambutku ketika menampakkan wajah seraya bercermin dan testing sedikit senyum setiap pagi itu. Tapi ternyata, belakangan, setelah mengalaminya sendiri, aku bersyukur dengan adanya sistem tersebut karena terselamatkan. Biasanya karena lagi banyak errand list di kepala jadinya potensi gagal fokus jadi besar.


Kedua
, ia juga terintegrasi dengan sistem pembayaran, baik untuk UM alias Uang Makan, Tukin pegawai dan—kabarnya—Tukin Dosen yang isu tentangnya ngalah2i debat pendukung capres nomor 1 dan nomor 2. Meski ini tidak berlaku bagi semua yang melakukan ritual ceklok, aku pribadi merasakan betul financial impact-nya. Kalau tidak salah, hitungan tiap hari kerja, jika ceklok in dan outnya sesuai prosijer, dapatnya Rp.35.150. Tinggal kalikan ada berapa hari kerja dalam sebulan. Siapa yang mau berbaik hati rutin memberi uang segitu setiap hari kerja kalau bukan mesin ceklok? Eh. Selain soal itu, menurutku, perihal ceklok ini juga tak jauh kaitannya dengan soal sanksi sosial. Mereka yang datang pada atau sebelum jam 07.30 dapat segera bubar jalan begitu jam 16.00 (pada hari biasa dan 16.30 pada Hari Jum’at). Hambatannya paling hanya perlu antri sebentar untuk bisa ceklok pulang. Antrian yang tidak panjang tersebut akan dengan segera surut dan berganti pemandangan dengan mereka yang masih mondar-mandir, duduk-duduk (kadang sambil ngobrol dengan manusia lain atau gawai) atau simply spending time sambil menunggu deretan angka tertentu muncul di mesin ceklok sesuai durasi keterlambatan.

Dan percayalah, itu tidak enak. Meski merupakan semacam punishment dari keterlambatan, tetap saja waktu njagong dengan pandangan kosong itu relatif terbuang. Waktu dengan keluarga atau apapun di luar jam kantor jadi berkurang dan pandangan orang-orang yang tak sengaja bertemu, betapapun terlihat indah, tidaklah benar-benar seperti yang terlihat. Masih lebih indah ketika ceklok datang tepat waktu dan berpapasan dengan hilir mudik di kantor pusat yang meski tak ada sinyal-sinyal apapun, terdengar menyiratkan selamat pagi dan *wah, selamat. Kamu datang tepat waktu. Have a good day!* Berbeda sekali dengan pemandangan ketika datang terlambat. Mesin ceklok terasa lebih jauh posisinya daripada letak ia yang biasa. Pandangan mata orang-orang jadi terasa menghakimi padahal mereka sebenere biasa aja dan saat mesin ceklok akhirnya berbunyi, rasa lega pada akhirnya sudah sampai di situ langsung disambut dengan bayangan *nanti nunggu ceklok pulang mau ngapain aja*.


Yang ketiga
, ceklok menjadi berhala karena meski ia terberdayakan oleh sambungan listrik sehingga asumsinya kalau listrik mati, ceklok manual bisa menjadi pilihan, itu tidak berlaku lagi. Ini tentu berita buruk bagiku yang suka kegirangan ketika listrik mati di jam-jam ceklok. Sore itu listrik mati dan you know what, ada genset (diesel) di kampus yang nyala sehingga mesin ceklok juga tetap nyala. Aku ingat sekali ketika itu, aku dan beberapa karyawan senior harus pindah tempat ceklok ke area seputar genset dan melakukan let say transaksi di dekat mesin genset yang gede dan bising banget. Seingatku, aku pernah mengisi ceklok manual tak lebih dari dua kali dan kenangan indah itu sepertinya akan susah terulang.

***

Anyway, namanya aja berhala. Meski punya kekuatan tersendiri yang dapat menggerakkan orang lain, tetap aja mesin ceklok tidak bisa leluasa bergerak seperti kami manusia, para pemakai dan pemujanya. Setelah berbagai cerita soal akal-akalan para pegawai di seantero negeri untuk mengalahkan kesaktian mesin ini, mulai dari mengguyurinya kopi, membawanya pulang ke rumah, memformulasi cara untuk membobol sistem keamaannya, tetap aja ia bisa diakali meski tidak dengan cara-cara sakti juga. Yang paling gampang ya begini. Ceklok pagi sebelum keramaian dimulai, lalu melanglang buana untuk urusan non-kerjaan dan kembali ceklok pulang ketika kantor uda sepi. Atau ya tidak usah ceklok sekalian. Kalau tidak demikian ya, ceklok seperti biasa. Stay di kantor untuk sekian persen kerjaan, sekian persen non-kerjaan. Khan prinsipnya fleksibilitas dan multiperan di berbagai lini. Modus semacam ini tidak bisa langsung distempel begini dan begitu karena barangkali, sistem yang kaku memang perlu sedikit polesan kelenturan di sana sini.

Apapun itu, tidak berlebihan kiranya jika resolusi tahun depan adalah bersahabat lebih intim dengan mesin ceklok dan lebih produktif mengelola waktu produktif! Happy Welcoming 2019!

Image: http://humancapital-management.net

Awal bulan kemarin Rauhia genap berusia 1.5 tahun menurut hitungan kalender Masehi. Seperti yang banyak diungkapkan orang-orang, rasanya waktu berlalu cepat sekali. Baru kemarin rasanya aku hamil, melahirkan, lalu menjalani hari-hari pertama penuh kejutan dan hal baru. Tiba-tiba, seperti hanya melalui beberapa kedipan mata, bayi yang betah berlama-lama di perutku itu sudah ada di dunia. Bisa berjalan, —belajar—berbicara, bisa protes, bisa merespon ok atau no, juga memiliki cara untuk mutung atau ngambul.

***

Sejak memiliki kewajiban ngantor setiap hari kerja, praktis beberapa hal yang aku bangun dari awal harus mengalami beberapa modifikasi. Ini tentu bukan hal baru dan sudah lama kujalani, tapi tetap saja idealisme-idealisme itu sering datang hingga hari ini dan menuduhku semacam unsuccessful mother . Program MPASI Rauhia nyaris sepenuhnya berhasil ketika aku masih full di rumah. Setiap hari aku mengenalkannya berbagai jenis makanan dan leluasa mengatur nyaris semua-muanya. Porsi, cara masak, bebas garam gula, hingga penyajian. Sekarang, menu harian Rauhia saja aku sering tak tahu. Aku berangkat sebelum ia sarapan dan pulang setelah ia makan malam/sore. Rasanya tak ada yang lebih tidak becus daripada itu.

Hal yang bisa kulakukan sementara, di masa—ya katakanlah—orientasi ini sekadar memastikan bahan makanan—beras merah dan buah—aman dan tersedia. Untuk sayur, prothew dan prona, biasanya Rauhia sudah mengonsumsi menu keluarga. Tidak perlu lagi ada sesi masak khusus untuk santapannya. Sesekali kubelikan ia kudapan, semisal S*ri Roti atau cemilan favoritnya sejak baru berusia 6 bulan, S*N biscuit. Rauhia juga sering minta join ketika melihatku makan, tapi ini tak selalu bisa kukabulkan karena menuku tak bisa lepas dari cabai.

Sejak beberapa bulan yang lalu, Rauhia ditemani Mb Hasnah, tetangga yang juga masih family, ketika aku tak di rumah. Saat akhir pekan Mb Hasnah juga sering datang meski biasanya tidak full sehari. Aku merasa cukup leluasa mengontrol menu makanan dan kudapan Rauhia via Mb Hasnah dan beberapa kali kukatakan, gapapa anaknya nangis dibanding nyantap makanan yang ga sehat. Mengetahui kehati-hatianku, Mb Hasnah sering bertanya apa makanan tertentu boleh dikonsumsi Rauhia atau tidak. Itu sedikit membuatku lega.

Aku bukan tak memertimbangkan mitos atau kepercayaan berantai bahwa semakin anak diatur makanannya—dan dilarang makan sembarangan—, semakin mudah dan sering ia akan jatuh sakit. Hal yang sama kurang lebih juga kutemui dalam diriku sendiri. Dibanding dua adikku yang tidak bermasalah menyantap air mentah, aku adalah yang paling ronyik dan dikit-dikit sakit. Tentu sebelum aku ikutan FC. Cuma tak pikir-pikir, kalau anak dibiarkan jajan apapun hanya demi agar dia tidak nangis dan sama dengan preferensi teman-temannya, rasanya ga bener juga.

Misalnya nih, misalnya, aku yang sudah dewasa saja emoh menyantap sosis goring dengan bubuk cabe atau saus sambal, masa anakku mau dibolehin? Fine lah sekali-kali dia jajan coklat atau snack semacamnya, tapi kalau dibikin sering, bukannya nanti akan ketagihan dan dikit-dikit jajannya itu? Sepertinya jauh lebih baik mengarahkan anak untuk menyukai buah, kudapan basah atau kering yang sehat dan –terlihat—higienis. Dalam hal ini aku punya pegangan prinsip bahwa semakin cepat kadaluarsa/pendek durasi bertahan sebelum basi, semakin baik dan sehat makanan tersebut. Rauhia tak pernah kubatasi menyantap camilan basah, termasuk pentol bakso atau oleh-oleh dari hajatan, tapi agak kufilter untuk kudapan-kudapan kering yang tanggal kadaluarsanya masih lama.

Nyinyiran dan komentar tidak perlu mesti ada, tapi aku tetap keukeuh dan meniatkannya untuk membentuk pola makan Rauhia hingga ia dewasa nanti. Sekali waktu aku melihat Rauhia doyan sekali minum Susu Yak*lt. Entah siapa yang memberinya pertama kali. Dia kelihatan suka dengan rasanya dan dengan cepat menandaskan setengah isi botolnya. Aku buru-buru melihat keterangan di kemasan dan tidak mendapatkan keterangan apakah minuman tersebut aman dikonsumsi anak belum 2 tahun. Jika sudah begini, aku akan bertanya pada Ibu Bidan karena seringkali, mencari informasi di internet bikin pusing dan tambah was-was karena everybody could easily say something about or out of his/her expertise.

Saat akhir pekan dan full di rumah, aku seringkali terkejut mengetahui perkembangan-perkembangan yang terjadi pada Rauhia. Tiba-tiba dia sudah bisa melakukan hal baru, mampu mengatakan kata baru, atau menunjukkan gelagat baru yang belum pernah kulihat di sela-sela berangkat pagi pulang soreku. Dia yang dulu masih disuapi dalam posisi terlentang atau duduk di baby walker sekarang sudah bisa menunjukkan reaksi emoh ketika disuapi makanan yang barangkali secara tampilan kurang menarik. Buah naga yang dulu disukainya sekarang tak banyak menarik seleranya. Dia tetap suka sayur bahkan seringkali emoh makan nasi dan lebih memilih sayur dengan metode Baby Led Weaning ala dia; diacak-acak dan seringkali pakai tangan telanjang. Terkadang dia request ‘kok’, ikan dalam Bahasa Madura, atau baru mau lahap makan jika santapanya ditaburi remahan kerupuk yang dia sebuah ‘puk’. Lain dari itu, sekarang, Rauhia juga sudah pintar menyuapiku, tak hanya bisa disuapi.

Rauhia suka sekali menyantap mie dan aku harus memastikan mie instant tidak masuk di daftar makanan yang ia santap. Emaknya aja ga mau makan mie instant, masa anaknya dikasih. Entah karena rasa atau bentuknya, aku melihat Rauhia begitu antusias memakan mie. Ketika kuajak dia ngebakso, Rauhia sering lebih fokus pada mie dibanding pada baksonya. Kali lain aku mengajaknya menghadiri undangan manten dan, you know what, dia langsung mendekati piring berisi mie dan menyantapnya langsung tanpa makanan lain. Bihun juga demikian. Makanan campor begitu ia sukai karena ada unsure mie di dalamnya.

***

Selain soal pola dan menu makan, banyak perkembangan lain dari Rauhia. Meski masih tak lepas dari popok sekali pakai, ia sudah kubiasakan mandi di kamar mandi dan bukan di outdoor lagi. Ini sebenarnya bermula ketika ia tinggal di kos dan tak menemukan lincak andalan orang Madura ketika memandikan anak kecil. Ia yang ketika itu sudah belajar berdiri mandi sambil berpegangan ke kloset duduk di kamar mandi kosnya. Dari situ ia terbiasa mandi indoor sehingga sepulangnya dari Surabaya, ia tak terkejut lagi ketika kuajak mandi di kamar mandi. Rauhia juga sering kuajak ke kamar mandi ketika akan BAK dan wudhu’. Setelah menaruhnya di tempat aman—tidak licin dan bebas dari najis—aku melaksanakan hajatku dan memberitahunya apa yang baru saja kulakukan.

Ketika BAB, Rauhia juga sudah belajar member kode selain aromanya yang seringkali tercium. Ia biasanya akan tengkurep lalu mengangkat bokong untuk mengejan. Jika tidak demikian, ia akan jongkok dan terlihat berusaha mengeluarkan sesuatu dari tubuhnya. Jika sudah demikian, sering kutanyakan apakah dia ngeng*k atau e*k. Terkadang jawabannya sesuai dengan isi popoknya, terkadang juga tidak. Seringkali juga, aku menanyai demikian karena mencium bau tak sedap yang ternyata adalah kentut. Satu hal yang istiqamah dia lakukan adalah memeluk betisku saat aku mencebokinya seperti mencari pegangan dan berlindung dari guyuran air.

Mengamati perkembangan Rauhia belakangan juga membuatku percaya bahwa anak adalah imitator terbaik dari orang tuanya. Sering melihat orang lain di rumahnya shalat, Rauhia mulai ikut-ikutan salat. Posisi favoritnya adalah sujud meski dengan bentuk tak beraturan. Ia juga suka berdiri lalu langsung sujud tanpa melewati ruku’. Sekali waktu ia juga menirukan ujaran amin ketika ada orang berdoa. Karena kebiasaan ini dan suatu kejadian saat dia berebut mukena milik sepupunya, aku belikan ia mukena. Kadang ia mengenakannya ketika ikut-ikutan jama’ah atau di waktu-waktu lain saat ia ingin. Sebalum mukena itu datang, Rauhia terlebih dahulu mendapat lungsuran mukene parasit dari sepupunya yang lain.

Ketika melihat aku mengerok bapaknya, ia sering memerhatikan lalu menyambar koin dari tanganku dan langsung menirukan apa yang baru saja aku lakukan. Ini terjadi beberapa kali sehingga meski tak sedang mendapati pemandangan serupa, ketika tanpa sengaja menemukan koin, dia lalu beraksi. Sama seperti saat melihat mbah putrinya nginjakin mbah kakungnya, Rauhia spontan meniru aksi tersebut meski ia tergopoh-gopoh memastikan badannya stabil dan tidak jatuh. Ia juga ingin duduk di kursi makan ketika yang lain makan, ingin mengulek bumbu masak di cobek hingga menyapu lantai dengan sapu yang panjangnya melebihi tinggi badannya.

Lain dari itu, Rauhia mulai mengenal hal-hal yang identik dengan orang-orang di sampingnya, termasuk barang apa milik siapa. Suatu ketika, ia menemukan kemasan rokok milik bapaknya bergeletakan. Ia lalu membukanya dan mengambil satu batang. Ia mencari sang bapak dan mendapati sang bapak tengah tidur lelap. Rauhia mendekatinya dan memasukkan sebatang rokok itu di sela-sela mulut si bapak. Memorinya begitu merekam bahwa barang itu sangat identik dengan bapaknya, bukan dengan yang lain. Hal yang sama terjadi ketika ia menggeledeh tas yang biasa aku bawa ke kantor. Mendapati kotak pensil, dia akan mengeluarkan isinya dan menuliskan spidol atau pulpen ke manapun objek yang ia temui, termasuk betis dan lengannya sendiri. Jika yang ia ambil adalah kota make-up minimalis, maka ia akan memasang gincu di mulutnya dan mengibas-ngias kuas blush-on ke pipi hingga dahinya. Ketika merasa bosan di rumah dan ingin mengajak jalan-jalan, terlebih dahulu ia mengambil jilbabku lalu menyuruhku mengenakannya sebelum mengode untuk menggendongnya lalu keluar rumah.

Gerak-gerik Rauhia, karena itu, memerlukan pengawasan penuh seiring dengan banyaknya keterampilan baru yang ia miliki. Jika dulu ia masih membutuhkan bantuan orang untuk membuka kotak pensil, membuka kemasan baby oil atau parfumnya dengan kode kak yang berarti perintah untuk membuka, saat ini ia bisa melakukannya sendiri. Termasuk keterampilan membuka gincu dan memutar bagian silindernya hingga ujung merahnya muncul. Keterampilan ini menyebabkan gincu ibunya yang baru saja dibeli harus patah. Rauhia juga bukan tipikal anak yang takut ketinggian seperti ibunya. Ketika sekian menit saja ia luput dari pandangan, ia sudah berhasil naik ke meja rias ibunya dan mencari adakah sesuatu yang menarik untuk ia comot di situ.

Rauhia juga sudah mulai bisa notice wajah orang-orang di sekitarnya. Ketika melihat poto ibunya, ia akan dengan sontak berkomentar mama. Begitu juga dengan wajah anggota keluarga lain. Ketika ditanya siapa orang yang ada di depannya, spontan ia akan menyebut bagaimana dia memanggil yang bersangkutan. Omo, tati, kakung, tatek, umik, con dan keke. Ketika ditanya soal dirinya sendiri, ia sering tersipu malu dan bergumam hia, ia dan yang semacamnya.

***

Banyak bottom line dan kebiasaan dan karakter Rauhia yang sejauh ini tampak. Jika tidurnya pulas, ia akan bangun dengan bahagia tanpa tangisan atau rengekan. Beberapa kali aku mendapatinya bangun lalu langsung bangkit dan mencari di mana ibu atau anggota keluarga lainnya berada. Jika tidurnya tidak pulas atau kurang lama, ia biasanya akan bangun dengan rengekan hingga tangisan. Setelah itu, diperlukan beberapa waktu untuk menytabilkan emosinya dan dia akan kembali riang seperti biasa. Rauhia tetap menyukai udara dingin dan akan tidur nyenyak lebih lama ketika cuaca dingin atau saat pulang ke Pananggungan. Ia juga masih sering terjaga di malam hari ketika udara panas dan merasa gatal di sekujur tubuhnya. Belakangan ini mulai teratasi dengan agenda ganti sabun mandi dan krim anti gatal yang biasanya digunakan ketika gatal datang dan ia, dengan mata terpejam, refleks menggaruk-garuk menunjukkan betapa ia terganggu.

Kali terakhir membawa Rauhia menaiki angkutan umum, terjadi perubahan cukup drastis di mana yang bersangkutan tidak mau diam di tempat seperti biasa. Ia juga tidak tidur di pelukan dan bisa diam dengan iming-iming nenen. Rauhia berusaha berjalan dan menyapa teman sebayanya di jok belakang sambil menepuk-nepukkan tangannya pada kaca mobil. Aku cukup kelabakan dengan perubahan ini karena Rauhia tampak mulai belajar menikmati perjalanan dan tidak mau diam saja seperti sebelum-sebelumnya. Satu hal lagi yang kupahami dari Rauhia, ia cenderung ramah dan seperti ngajak main pada anak yang tampak lebih tua darinya dan bisa jadi berbahaya bagi anak yang lebih muda. Mengapa bisa begitu, aku belum faham.

Saat terakhir kubawa ke kampus, Rauhia kurang kuperatif. Mungkin ia bosan dan tak menemukan teman sebaya atau mainan di sekelilingnya. Orang-orang yang ia lihat juga baru dan suasana tak begitu akrab dengan lingkungannya setiap hari. Ia sempat tidur di pelukan tapi ketika hendak kulantaikan, dia bangun. Berkali-kali seperti itu. Sepertinya ia tak suka kebisingan selain yang sudah akrab di telinganya. Ketika om-omnya sedang latihan musik dengan suara kencang, ia bisa tetap lelap tidur karena barangkali sudah terbiasa dengan dentumannya. Ketika aku bergeser sedikit ke rumah Mb Af, Rauhia berubah mood meski ia tetap mencari ibunya begitu si ibu menghilang sedikit dari pandangan. Ia sibuk bermain dan malah tampak keenakan seperti di rumah sendiri. Rauhia yang mulai mengenal asyiknya bermain sering mengajakku bermain meski sebatas cilukba atau mengangkat tangannya tinggi-tinggi hingga bayangan tampak di tembok.

Fase-fase ini juga menandai beberapa kosa kata baru yang dimiliki Rauhia, meski ia tidak sepenuhnya fasih melafalkannya. Sebagian Bahasa Madura, Jawa, Indonesia, sebagian kecil lagi Inggris. Di luar itu, Rauhia suka meniru kata-kata yang baru diucapkan orang di sekitarnya, meski yang keikut seringnya hanya di bagian buntut. Aku suka memerhatikan ekspresinya ketika bahagia, gemes, marah, sebel, cape, ngantuk tapi masih ingin bermain, serta saat ia terbangun ketika orang-orang di sekitarnya (pura-pura) tidur. Aku belajar banyak hal dari anakku soal betapa attached-nya perilaku orang tua dan orang sekitar terhadap dirinya. Kecenderungan Rauhia yang lebih menyukai barang milik orang lain, termasuk botol Tu*py gedeku dibanding botok Pige*n mini miliknya, seringkali meyakinkanku perihal kencenderungan manusia untuk sawang-sinawang. Sikapnya yang tenang ketika ada yang mem-body shaming dirinya juga membuatku yang geram kembali terkontrol. Barangkali dia belum mengerti, tapi auranya yang tenang seperti tak ada apa-apa seringkali mengkodeku agar please be calm, Mama. Everythings ok.

Rauhia juga lebih suka membolak-balik buku lain dibanding miliknya yang kubeli khusus dalam rangka agenda mendongengi. Alih-alih terlaksana, Rauhia justru lebih fokus pada gambarnya dan tidak pada kata-kata yang aku baca. Tak hanya fokus mengamati, ia seringkali mencorat-coret hingga menyobek kertas di buku itu kemudian meremasnya tak beraturan. Soal ini aku bertekad untuk tak menyerah dan menjadikan anakkku kutu buku yang sukses, tak seperti aku yang gagal. Aku tahu betapa menderitanya menjadi akademisi yang jauh dari buku dan semoga Rauhia tidak menjadi generasi itu. Be all you can, Sayang, tapi stay closed with the books.

***

Last but not least, tentang ASI. Selain ketika test CAT untuk CPNS pada 2017 lalu, beberapa bulan yang lalu aku pernah meninggalkan Rauhia dua kali. Ke Palu dan ke Surabaya. Dua moment itu sama-sama tak memungkinkan aku membawa Rauhia karena berbagai alasan teknis. Aku di Palu 5 harian dan di Surabaya 3 harian. Selama itu Rauhia tidak mengonsumsi ASI, termasuk ASIP yang sudah aku siapkan. Kali pertama aku tinggal ke Palu, drama cukup dramatis terjadi karena ia tak biasa tidur tanpa skin to skin denganku. Alhamdulillah hari kedua teratasi dengan mengamati pattern-nya sehingga ketika ke Surabaya, dramanya tak sedramatis saat aku di Palu. Aku ke Palu September dan ke Surabaya Oktober.

Selama LDR itu, aku bertekad meneruskan program hawlayn kamilayn dengan amunisi berupa pumping tool. Meski berkali-kali harus ijin demi kepentingan biologis, semua terkendali. Aku kembali menyusui Rauhia sepulangnya bepergian meski bukan tak banyak yang menyarankan untuk disapih saja agar drama tidak perlu berulang. Aku menepis saran itu meski aku tak ada pengalaman sama sekali tentang menyapih dan sebetulnya sedikit kuatir soal drama apa yang akan terjadi dengan babak itu. Aku berpikir bahwa Rauhia berhak atas dua tahun emas itu dan aku berkewajiban memenuhinya betapapun dengan segala keterbatasanku. Tanpa bermaksud yang tidak-tidak, aku merasa kemampuan menyusui adalah hal istimewa yang tidak bisa begitu saja aku sia-siakan, apalagi karena urusan teknis dan kekhawatiran akan hal yang belum terjadi di depan. Dalam hal ini sepertinya aku perlu memakai stubborn character-ku.

What’s wrong dengan cita-citaku memberi ASI dua tahun bagi Rauhia? Membandingkan Rauhia dengan bayi lain yang bisa skin to skin dengan ibunya selama 24 jam penuh saja aku iri bukan main, kenapa kesempatan ini justru aku sia-siakan? Akupun yakin Rauhia memahami bahwa persoalan skin to skin bukan semata ketika dia ingin minum sesuatu dari tubuhku, tapi juga ekspresi kerinduan, ketenangan dan kedamaian setelah seharian penuh kami berpisah. Soal ini, Rauhia juga mengalami perkembangan baru yang nyaris membuatku kapok untuk membawanya ke venue-venue di ruang terbuka tanpa ada sekat antara lelaki dan perempuan sementara ruang laktasi di tempat-tempat umum masih jauh di dunia andai-andai dan kapan-kapan.

ASI jugalah yang membuatku masih istimewa dan spesial bagi Rauhia, sebab hal-hal lain sudah bisa ia lakukan dengan orang lain. Ia bisa mandi tidak denganku, bisa berpakaian tidak denganku, bisa bermain, makan, jalan-jalan, tidur dan menghabiskan waktu tidak denganku. Tapi untuk urusan ASI, ia hanya bisa mendapatkannya dariku. Pikiran ini kadang membawaku seperti terbang ke awan dan rasanya tidak ingin waktu cepat-cepat berlalu agar agenda menyapih Rauhia itu masih lama. Dan aku tetap bisa menikmati hak istimewa itu.

Aku bukan tak khawatir perihal nutrisi Rauhia mengingat aku hanya bisa mengASIhinya tak lebih dari 15-an jam sehari pada hari kerja. Ia tak mau ASIP dan aku masih ingin menghindarkannya dari sufor untuk mengantisipasi ketidaksukaannya pada ASI jika ada nutrisi lain yang sejenis. Aku juga tak bisa seleluasa dulu mengontrol menu dan pola makannya. Menyerahkannya pada keadaan bermodal doa aku rasa juga tak cukup. Aku harus terus melakukan sebisa yang aku mampu di tengah keterbatasanku untuk menjamin semuanya on track tanpa kurang suatu hal apapun.

***

Di luar beberapa perubahan itu, Rauhia, Kau tetap bayi kecilku yang mungil berambut tebal dan berpipi bakpao. Sama seperti sebelumnya, masalah medismu dominan di kulit, sedang keluhan-keluhan kecil bisa teratasi dengan air degan. Pilek dan batuk sering tak kunjung pergi tapi itu relatif tak mengganggu keceriaanmu bermain dan mengenal hal-hal baru. Tanpa kata-kata, kau suka minta dipijat, digendong hingga dibawa jalan-jalan cuci mata. Kini, seringkali kau tampil dengan kuncir di kanan kiri meyakinkanku bahwa youve grown up very well! I love you, Nak. Maafkan mama tak bisa 24 jam sehari menemanimu bermain seperti saat jantungmu masih berdenyut di perutku.

By Masyithah Mardhatillah

Kehamilan adalah fase alamiah yang menyempurnakan status seorang perempuan. Terlahir sebagai putri lalu menjadi istri, predikat seorang ibu menjadi gerbang paripurna dari siklus kehidupannya. Gelar tersebut bahkan sudah ia sandang sebelum tangis pertama sang bayi pecah. Bagaimana tidak, yang ditanggung dan dipanggulnya tak hanya nyawa, akan tetapi juga jiwa. Keduanyapun terhubung secara biologis, psikologis juga spiritual-esoteris.

Itulah mengapa, pembentukan karakter dan kecenderungan seorang anak terjadi sejak dirinya masih meringkuk di rahim hangat ibu. Sesekali, meski tak sering, jabang bayi ikut menyicipi makanan yang dikonsumsi ibunya. Ini tentu tak hanya soal asupan yang ia dan ibunya butuhkan, akan tetapi juga soal selera. Apa yang biasa dimakan ibu selama kehamilan cenderung akan menjadi makanan kesukaannya.

Sebagian besar ibu hamil mengalami apa yang disebut ngidam. Ngidam identik dengan keinginan mengonsumsi makanan, minuman atau kudapan yang tiba-tiba diidamkan, seringkali tanpa alasan jelas atau di waktu-waktu tak terduga dan dipercaya berasal dari request jabang bayi. Skalanya pun beragam. Ada yang ngebet harus kesampaian, sekadar keinginan yang numpang lewat hingga yang tak pernah sekalipun mengalami. Gejala ini, tentu saja, tak bisa diremehkan sebab ia juga berpotensi ikut andil membentuk pola makan hingga perilaku bahkan karakter bayi di kemudian hari.

Jika seluruh hasrat ngidam dituruti hingga dalam skala yang tidak wajar, misalnya, bukan tak mungkin pola demikian akan ‘nurun’ pada bayi. Ini tentu berbeda dengan ibu hamil yang dapat mengontrol keinginan konsumsinya tak hanya karena pertimbangan gizi, higienitas atau kandungan makanan, akan tetapi juga sebagai ikhtiar memberi uswatun hasanah bagi bayinya. Pendidikan kultural soal pola makan ini, dengan demikian, nyaris dinahkodai tunggal oleh sang ibu. Tak salah jika ibu disebut sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya.

Selain menjadi sekolah, dalam waktu yang sama ibu senyatanya tengah bersekolah. Sejak kehamilan, persalinan, menyusui hingga proses-proses setelahnya, secara naluriah ia akan menggali sebanyak mungkin informasi untuk memastikan seluruh proses berjalan lancar. Salah satu yang tak boleh luput dari penelusurannya adalah perihal 1000 hari pertama bayi, yakni sejak kehamilan hingga usia dua tahun. Selain soal pembentukan karakter termasuk pola makan, golden period tersebut menjadi penting karena secara ilmiah terbukti sebagai periode yang begitu menentukan kesehatan bahkan masa depan anak, khususnya terkait dengan
ancaman stunting.

Stunting kurang lebih adalah gejala gagal tumbuh yang menyebabkan tumbuh kembang fisik, emosi bahkan intelektual penderitanya tidak maksimal. Ia adalah penyakit jangka panjang sebab efeknya akan terasa hingga dewasa. Uniknya, penyakit ini hanya bisa dicegah namun tak bisa disembuhkan jika terlanjur menyerang. Nah, pencegahan terhadap stunting bisa dimaksimalkan dalam periode 1000 hari tersebut sehingga para orang tua tidak bisa mengentengkan hal ini. Apalagi pada 2017, Indonesia menempati urutan ke-5 dunia sebagai Negara dengan penderita stunting terbanyak.


***

Lain kehamilan, lain pula fase setelah melahirkan. Selama hamil, ibu memiliki otoritas penuh atas apa yang dikonsumsinya, termasuk variasi dan kombinasi menu, higienitas, frekuensi maupun teknik konsumsi. Ia bisa dengan mudah mengajarkan pola makan yang baik melalui perilakunya sendiri. Namun demikian, pasca persalinan, keadaan mulai berbeda. Cita-cita melakukan IMD dan memberi ASI eksklusif selama 6 bulan bisa jadi tak senada dengan keyakinan keluarga atau mitos yang terlanjur mengakar.

Tak jarang, ada ‘tangan-tangan perhatian’ yang justru memberi minum air gula untuk mencegah bayi dari penyakit kuning, mencekoki pisang, susu formula kental bahkan bubur agar ia tidur nyenyak, hingga menyuapi kurma, madu dan air zam-zam untuk mengikuti sunnah Nabi. Di sini, ibu harus ngotot dan asertif meyakinkan semua anggota keluarga untuk menyukseskan IMD dan program ASI eksklusif. Ia juga harus membiasakan diri dengan manajemen ASI perah ketika cuti melahirkan sudah berakhir.

Pada masa ini pula, dampak makanan yang dikonsumsi ibu akan lebih terasa pada bayi. Ada kalanya, ibu harus mengonsumsi makanan yang tak disukainya, semisal jamu pahit, yang tengah dibutuhkan bayi. Begitu juga, ibu terkadang harus menjauhi makanan kesukaannya karena memicu alergi pada bayi kecil yang hanya mendapat asupan dari air susunya. Ini tentu tak mudah dan membutuhkan kerja sama serta pengorbanan yang meski terlihat spele, tidak bisa begitu saja dianggap remeh.

Selanjutnya, fase MPASI menghadirkan tugas lain yang tak kalah menantang. Ibu kali ini harus pandai-pandai menyeleksi dan mengenalkan berbagai macam makanan sesuai ‘madzhab’ MPASI yang dipilihnya. Buah, karbohidrat, protein hewani maupun nabati, serta sayur adalah menu utama yang idealnya diperkenalkan sehingga lidah anak akan terbiasa dengan aroma maupun rasanya. Tak hanya itu, varian menu dan teknik penyajian juga harus diatur sedemikian rupa untuk menjaga mood dan selera makan anak sehingga pola makannya tetap terjaga.

Tantangan terberat pada masa ini adalah menghindarkan makanan dan minuman instant yang bisa jadi sangat menarik perhatian bayi. Bayi juga sudah mulai belajar berkomunikasi sehingga ketika teman sebayanya mengonsumsi makanan yang dilarang untuknya, ia akan complain. Beberapa orang tua juga memiliki aturan cukup strict dengan menjauhkan makanan bergula-garam sebelum bayi berumur setahun. Lagi-lagi, ini membutuhkan kerjasama banyak pihak dan persoalan teknis yang tidak sederhana karena makanan untuk si kecil harus dimasak secara eksklusif.

Fase ini akan terus berjalan hingga proses penyapihan pada usia 2 tahun. Semakin banyak gigi yang tumbuh, semakin beragam pula makanan yang bisa dicerna bayi. Seiring dengan itu, orang tua semakin dituntut untuk aktif mengontrol pola makan bayi. Fondasi yang dibangun susah payah pada bulan-bulan pertama MPASI, utamanya perihal kombinasi menu yang sehat, lengkap dan variatif, harus tetap dipertahankan agar kebiasaan dan pola makan tersebut tetap terjaga. Hasilnya, kesehatan bayi dapat terjaga dan hal-hal tak diinginkan semacam stunting bisa dicegah dan dihindari.

***

Demikianlah, 1000 hari pertama merupakan kurikulum pembelajaran dengan skala tantangan dan kesulitan yang berbeda di tiap tahapannya. Orang tua dan keluarga tetap berperan sebagai aktor utama yang mengarahkan bahkan membentuk pola hidup si bayi, termasuk pola makannya. Seperti salah satu nama lainnya, windows of opportunities, periode ini adalah kesempatan untuk menentukan masa depan bayi tidak hanya dalam hal-hal yang sifatnya fisik, akan tetapi juga kebiasaan, karakter hingga cara pandangnya, termasuk terhadap pola makan. Karenanya, jika diarahkan dengan baik, aktivitas dan pola menyantap makanan akan ia lihat tidak hanya sebagai rutinitas fisik, akan tetapi juga investasi jangka panjang untuk kesehatan, tercapainya target dan cita-cita hidup serta komitmen pada diri sendiri dan orang-orang terkasih.

Masyithah Mardhatillah*

Ada banyak hal yang identik dengan Bulan Dzul Hijjah, mulai dari Idul Adha, perayaan pernikahan hingga kedatangan jama’ah haji. Di antara ketiganya, yang disebut terakhir merupakan selebrasi yang tak hanya terbilang besar, akan tetapi juga khas. Berbagai rentetan ‘ritual’ kedatangan haji yang lumrah digelar menampilkan ciri-ciri khusus yang barangkali tak banyak didapatkan di luar Madura.

Momentum yang biasa dibahasakan dengan istilah hajjiyan ini biasanya dimulai dengan agenda menjemput jama’ah haji ke tempat kedatangan terdekat. Setelah itu, rombongan akan menuju kediaman tuan rumah dengan iring-iringan semacam konvoi yang tak jarang sampai melibatkan pengawalan dari aparat keamanan.
Bagian depan konvoi biasanya terdiri dari pengendara sepeda motor dengan salah satu atau beberapa pengendaranya yang menampilkan atraksi akrobatik. Belakangan, barisan tersebut juga kerap diisi dengan becak motor tanpa penumpang yang berjalan beriringan menambah kemeriahan sekaligus kebisingan suasana.

Ini masih ditambah dengan pick-up yang memutar lagu-lagu Arab atau salawat lewat sound system ber-volume tinggi di barisan belakang. Iring-iringan yang demikian mau tak mau menarik perhatian masyarakat, mulai pengguna jalan hingga warga sekitar. Mereka biasanya menyaksikan konvoi sembari mengisi waktu, menghindari macet, atau sekadar menghitung jumlah mobil rombongan.

Episode satu ini barangkali tidak secara langsung tampak berhubungan atau relevan dengan sakralitas ibadah haji yang baru selesai ditunaikan. Nuansa yang ditampilkan juga cenderung konsumtif, untuk tidak mengatakan hedonis. Namun demikian dalam beberapa hal, kemeriahan tersebut tak lebih merupakan ungkapan syukur atas kesempatan melaksanakan ibadah haji dengan lancar hingga kembali ke tanah air.

Alasan tersebut tampak masuk akal jika melihat masa tunggu berangkat yang belakangan menembus 20 tahun. Waktu yang demikian tentu memberikan banyak sekali kemungkinan dan sebagian di antaranya merupakan hal yang tak diharapkan. Lain dari itu, nominal biaya pendaftaran yang bukan tak fantastis dan harus ngendon dalam jangka waktu yang tak sebentar menuntut pertaruhan prioritas yang juga tak main-main.

***
Rentetan selanjutnya dari ritual kedatangan jama’ah haji di Madura adalah open house yang berlangsung sekitar 40 hari. Untuk keperluan ini, kediaman yang bersangkutan biasanya dihiasi dengan labang saketeng—semacam gapura—atau plastik banner di tempat-tempat strategis berisi ucapan “selamat datang” dan do’a-do’a yang relevan. Aksesoris-aksesoris seperti tenda, kursi, hingga ‘singgasana’ jama’ah haji ketika menemui tamu kerap kali juga dipasang.

Selama jangka waktu tersebut, para saudara, sahabat tetangga, rekan atau kolega ramai-ramai berkunjung. Ini biasanya diniatkan untuk menguatkan silaturrahmi, mendengar kisah perjalanan, hingga menambah motivasi sembari mengharap barokah doa agar segera ketularan menunaikan ibadah haji. Pada kesempatan ini, tuan rumah biasanya tampil dengan balutan busana ala Arab dan parfum khas serta menyalami dan memeluk setiap tamu.

Tak hanya menyuguhkan air zam-zam, kurma atau camilan khas Arab lain, tuan rumah biasanya menyiapkan suguhan makanan berat serta oleh-oleh haji kepada setiap pengunjung. Sementara itu, pengunjung—biasanya perempuan—datang dengan buah tangan berupa bahan pokok seperti beras atau gula. Tradisi take and give yang demikian merupakan salah satu varian tengka yang begitu populer di Madura.

Beberapa ilustrasi di atas kurang lebih menggambarkan bahwa biaya tengka haji di Madura memang tergolong tinggi. Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa biaya lain-lain semacam itu bahkan melebihi ongkos berangkat seorang jama’ah haji. Sayangnya, berhaji tanpa menggelar tengka yang demikian akan mendatangkan sanksi sosial yang bagi sebagian besar orang tak dapat dispelekan.
***
Terlepas dari hitung-hitungan soal apakah selebrasi yang demikian merupakan gaya hidup konsumtif—bahkan hedonis—ataukah sebagai ekspresi syukur, naik haji masih menjadi salah satu mimpi terbesar orang Madura. Menunaikan haji benar-benar menjadi penyempurna ‘status’ sosial sekaligus identitas mereka sebagai Muslim secara ritual hingga spiritual.

Menjadi ‘haji’ atau ‘hajah’ juga merupakan passage of life tersendiri utamanya dalam kehidupan sosial di Madura. Setelah berhaji, embel-embel ‘H’ atau ‘Hj’ tidak hanya tercantum di bahasa tulis, akan tetapi juga komunikasi lisan. Panggilan ‘haji’ ‘abah’ atau ‘umi’ akan disematkan pada yang bersangkutan, termasuk oleh keluarga terdekat bahkan orang tua atau saudara yang lebih tua.

Panggilan yang demikian biasanya akan membawa nuansa—positif—baru dalam banyak sisi kehidupan si jama’ah sedatangnya ia berhaji, mulai dari etika busana, tingkah laku, kebiasaan, tutur kata dan lain-sebagainya. Ini lebih dari cukup menunjukkan bahwa predikat haji tak hanya memberi konskuensi spiritual dalam hubungan dengan Tuhan maupun diri sendiri, akan tetapi juga dalam kehidupan sosial.

Pada akhirnya, selebrasi meriah nan konsumtif seperti tergambar di atas, dalam beberapa hal, kurang lebih merupakan sugesti ‘alam’ agar ‘gelar’ sebagai seorang haji dapat benar-benar dipertanggungjawabkan, minimal secara sosial.

*Ibu satu anak, dosen IAIN Madura dan co-founder Yayasan Paddhang Bulan Tacempah, Pamekasan.
Dimuat di Radar Madura, Jawa Pos, 09 September 2018.
Image captured by Samsung J2 Pro :)

Salah satu properti yang pasti ada di setiap perpustakaan adalah rak buku. Apapun bahan dan warnanya, bagaimanapun model dan peletakannya, tinggi atau rendah, lebar atau sempit, kokoh atau berdecit, benda satu ini tetap menjadi yang paling tepat untuk menampung buku-buku koleksi. Di rak, buku-buku dapat berdiri beriringan sehingga bagian sampingnya akan kelihatan dan memudahkan siapapun yang ingin menemukan dan meletakkan buku.

Sayangnya, seperti benda-benda mati lain, rak buku tak bisa bersuara. Andai saja ia bisa ngomong, atau setidaknya bereaksi terhadap keadaan sekitar, banyak yang bisa dilakukannya. Mungkin saja, ia akan dengan bahagia dan ramah menyambut pengunjung yang datang untuk mencari buku. Kalau kebetulan galak, ia barangkali akan menegur pengunjung yang berisik atau ngobrol, meski tidak harus dengan gaya Rangga ala AADC.

Soal kebiasaan ramai dan ngobrol di perpustakaan ini tentu tidak terjadi di semua belahan dunia. Terbiasa dengan kaidah sendirian ngantuk, bareng teman ngobrol ketika mengunjungi perpustakaan semasa kuliah, aku dibikin heran dengan beberapa perpustakaan yang benar-benar sepi dan senyap. Hebatnya, keadaan tersebut terjadi bukan karena tidak ada pengunjung atau di luar jam operasional, akan tetapi karena para pengunjung sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Bahkan, jika boleh lebay, andai ada semut yang kepleset, bunyinya akan terdengar ke semua ruangan. Saking-saking-nya.

Dari situ aku percaya bahwa scene perpustakaan yang sunyi semacam itu benar adanya, bukan hanya adegan di film-film Holywood yang entah itu fakta atau fiktif. Aku dan teman-teman yang ketika itu numpang berfoto di lokasi tersebut harus setengah mengendap dan benar-benar mengontrol suara agar tak menimbulkan bisik-bisik yang mengganggu. Jangan ditanya bagaimana perasaanku saat itu; antara excited, surprised dan sirik. Butuh berapa tahun untuk membangun budaya semacam itu di ruang sakral semacam perpustakaan?

***

Kembali lagi ke soal rak buku. Meski tak bisa bersuara dan bergerak, entah kenapa aku yakin benda-benda mati semacam itu sebenarnya punya perasaan. Andai saja bisa, mereka tentu akan protes jika tak dirawat, disatroni debu karena terlalu lama tak disentuh atau dijejali buku yang bukan seharusnya mereka tampung. Soal penataan buku di rak ini memang bikin baper betul. Bagaimana tidak, dalam sekali inspeksi sederhana oleh amatir macam aku saja, di satu lajur rak buku, ada sekian buku yang nyasar. Buku pendidikan kok ada di rak agama, dan begitu seterusnya.

Bagaimana mereka nyasar, bukannya sudah ada nomor klasifikasi? Jawabannya barangkali karena belum ada sistem atau perangkat yang bisa secara otomatis meletakkan dan mengembalikan buku ke rak yang seharusnya. Belum ada robot atau mesin yang bisa menggantikan tenaga manusia yang dengan naluri ketelitian dan keberaturannya dapat menyulap sesuatu yang berantakan menjadi rapi dan well managed. Apalagi pada praktiknya, proses mengembalikan buku ke rak ini tidak hanya dilakukan oleh pihak berwenang yang tidak ‘berkepentingan’ a.k.a petugas perpustakaan, akan tetapi juga oleh pihak yang meski tidak berwenang, sangat ‘berkepentingan’.

Berwenang dan berkepentingan bagaimana si? Ok, sederhanya begini, tak kandani. Salah satu tugas para petugas perpustakaan adalah shelving. Mudahnya, menurutku ketika mendengar kata ini pertama kali, shelf adalah kata berbahasa Inggris dari ‘rak’ yang tidak beraturan karena ketika jamak, ia akan berubah menjadi shelves dan bukannya shelfes. Jadi ketika sebuah kata benda ditambah embel-embel semacam ing, dengan seketika ia berubah menjadi kata kerja dan atau gerund. Kaya book, buku, kata benda, berubah jadi booking, berarti pembukuan atau pencatatan. Jadi, kira-kira, shelving adalah peng-rak-an atau penataan buku sesuai rak yang seharusnya.

Nah di perpustakaan tempat aku bekerja, shelving adalah tugas harian para pegawai perpustakaan. Sasaran utamanya adalah buku yang baru dikembalikan oleh anggota perpustakaan. Sekian tumpuk buku tersebut akan diklasifikasi berdasarkan nomor panggilnya, digotong ke rak menggunakan trolley lalu diletakkan bersama dengan teman sekoloninya. Biasanya menjelang jam tutup layanan. Selain buku yang baru dikembalikan, buku yang baru dibaca para pengunjung dan tercecer di meja-meja baca juga diamankan sehingga sebelum jam pulang, semua buku idealnya sudah kembali ke tempat asalnya masing-masing.

Jadi, dasarnya, sejauh yang kupahami, pegawai perpustakaanlah yang paling berwenang melakukan shelving. Selain memiliki ilmu dan teori tentang klasifikasi buku, mereka juga berpengalaman sehingga tugas yang bagi orang lain bisa jadi sangat berat, berubah renyah dan mudah buat mereka. Namun begitu, pengunjung perpustakaan juga diimbau untuk membantu tugas ini. Ini tampak dari beberapa tempelan di berbagai sudut perpustakaan untuk mengembalikan buku ke rak semula.

Redaksinya ‘ke rak semula’ lho ya, bukan ke rak sembarangan dengan tujuan tertentu. Jadi, inilah yang tak maksud dengan ‘kepentingan’ tadi. Sebagian pengunjung, dengan tangah suci tapi nakalnya, diduga kuat dengan sengaja dan sadar diri menyembunyikan buku di rak yang tak seharusnya dengan tujuan monopoli pribadi atau golongan. Masih menjadi misteri juga mengapa mereka tak langsung membaca atau sekalian meminjam buku yang memang dibutuhkan. Mengapa harus pakai acara sembunyi-sembunyian segala?

That dramatic? Yes, kenyataannya seperti itu. Buktinya, banyak sekali buku yang berada di rak yang tak seharusnya, padahal shelving sudah dilakukan setiap hari menjelang tutupnya layanan perpustakaan. Bingung juga motifnya apa. Perasaan senakal-nakalnya aku ketika menjadi mahasiswa, aku belum pernah kepikiran untuk menyembunyikan buku dengan cara menaruhnya di rak yang bukan tempat seharusnya dia berada.

Setelah menggunakan sekian lapis praduga tak bersalah, akhirnya didapatkan beberapa pembenaran yang sebenarnya tetap tidak bisa menjustifikasi perbuatan semacam ini. Pertama, jatah pinjaman sudah penuh sehingga tak bisa meminjam buku yang dibutuhkan. Kedua, jam layanan perpustakaan sudah akan berakhir sehingga tak memungkinkan membaca buku di tempat. Save dulu buat besok atau kunjungan berikutnya. Toh ga ada yang tau. CCTV ga sedetatil itu. Ketiga, koleksi yang tersedia sedikit, sedang yang memburu banyak orang. Simpan dulu biar aman. Keempat, sengaja menyembunyikan di tempat tertentu untuk selanjutnya dibaca/dipinjam oleh orang lain, misalnya temen sekelompok ketika proses penulisan makalah. Alasan lain-lainnya adalah tidak ada kerjaan, ingin membuat orang lain bingung, menambah kerjaan orang lain, ingin memonopoli akses terhadap literatur tertentu dan semacamnya yang kalau diteruskan bisa sangat jahat dan sadis.

Lalu, apakah cara ini berhasil? Berhasil membingungkan orang lain yang sedang berkepentingan terhadap buku yang disembunyikan, PASTI. Akan tetapi, temuan banyaknya buku nyasar di rak yang salah ketika layanan perpustakaan ditutup, menunjukkan bahwa, sedikit banyak, cara ini tidak banyak berhasil dan, barangkali, justru semakin membingungkan si pelaku. Barangkali mereka tak kembali lagi ke perpustakaan untuk menyambangi buku yang mereka sembunyikan karena satu atau beberapa hal. Atau jika tidak, ketika kembali, mereka tak lagi menemukan buku yang disembunyikan sebab berpindah ke tempat lain atau, yang paling mungkin, mereka lupa menaruhnya di rak mana dan lajur sebelah mana.

Setelah mendengar cerita teman-teman senior pegawai perpustakaan perihal sulitnya mengatasi praktik penggelapan buku ini, aku ikut-ikutan berpikir bahwa nyaris tak ada solusi yang benar-benar bisa memecahkan masalah ini. Paling mentog, jurus yang mungkin adalah pendekatan teologis (baca: karma) bahwa, Kau hanya akan menuai apa yang Kau tanam. Jika hari ini Kamu mempersulit orang lain mendapatkan buku yang mereka cari, akan ada beberapa hari lain di mana kamu akan lebih kesulitan menemukan yang Kamu cari setengah mati. Tapi, will it be effective?

***

At very last, rak buku memang tetap tidak bisa berbicara dan berbuat apa-apa, bahkan untuk sekadar memilih akan ditempatkan di perpustakaan macam apa, dengan latar belakang budaya bagaimana dan karakter pengunjung—serta petugas—seperti apa. Meski begitu, ia tetap tegak berdiri menjadi rumah bagi buku-buku yang terkadang kesepian menunggu untuk disentuh, dibuka, dibawa pulang, dibaca, didiskusikan lalu dilahirkan kembali. Barangkali, jika ia bisa bercerita, kesedihan yang paling menyiksanya bukanlah adegan penggelapan buku yang selalu menyebalkan para petugas perpustakaan atau mereka yang dengan niat suci ingin mencari buku tanpa berniat menyembunyikannya, akan tetapi ketika ia tak mendapatkan pembaca dan pencari yang sebenarnya.

Rak buku yang bisu, seperti benda bernyawa atau benda mati lain, barangkali lebih menyukai kerapian dan keteraturan. Buku berjejer di tempatnya masing-masing, bahkan berurut sesuai angka dan atau aksara sehingga tak hanya enak dipandang mata, akan tetapi luar biasa memudahkan penelusuran koleksi secara langsung. Namun, jika yang demikian terjadi terus-menerus tanpa ada lalu lalang manusia yang dengan jari-jemarinya menggilir masing-masing buku untuk menemukan yang dicarinya, bisa jadi ia tak lagi berhasrat akan kerapian. Hasrat terbesarnya, jika boleh sotoy, adalah menjadi rumah bagi buku-buku yang akan melahirkan buku dan peradaban baru.

Note: Picture was taken at State Library Reading Room, Melbourne, Australia, March 2016. Credit; Nur Shkembi.


Beberapa hal tersebut kemudian dengan jelas menunjukkan bahwa WAG benar-benar memodifikasi gaya baru berkomunikasi, berinteraksi dengan orang lain bahkan dengan diri sendiri. Asumsi ini sedikitnya bisa dilihat—dan dicari pembenarannya—dari point-point berikut;


1. Lahir dan Semakin Suburnya Generasi Copy Paste atau Salin Tempel

Sebagian dari percakapan yang terjadi di WAG biasanya bermula dari kiriman (teks/gambar/videao) salah seorang pengguna perihal sesuatu yang tengah viral, dianggap in atau timeless. Varian teks identik dengan pesan broadcast yang biasanya berakhir dengan keterangan semacam; copy paste dari group sebelah. Informasi yang disajikanpun beragam. Mulai dari salinan konten laman, informasi dari anonim, tulisan lain yang tak bertuan, hingga tulisan yang bisa dipertanggungjawabkan karena jelas sumber ataupun penulisnya. Pesan-pesan semacam inilah yang pelan namun pasti melahirkan dan menyuburkan generasi copy paste atau salin tempel.

Dalam taraf tertentu, tidak ada problem dalam gejala ini, apalagi jika diniatkan sebagai upaya berbagi informasi, pembuka diskusi ataupun pencair suasana. Namun di balik itu, kita para pengguna kemudian memiliki kecenderungan untuk tempel salin dalam frekuensi dan keperluan di luar kebiasaan—atau kewajaran. Seringkali, baik yang tak alami maupun tak amati, kita menempel salin informasi dari sebuah WAG ke WAG lain sebelum selesai membaca atau teliti menyerap informasi di dalamnya, termasuk melakukan penelusuran sumber dan atau memastikan validitas informasi.

Asal salin tempel semacam itu menjadi menarik untuk dilakukan sebab aktivitas tersebut kurang lebih menunjukkan ketidatertinggalan seorang pengguna atas informasi terbaru, keaktifannya di media sosial ataupun sikapnya terhadap isu tertentu. Sayangnya, seperti yang sudah jamak diperbincangkan, masifnya aktivitas sharing seringkali tidak diimbangi dengan filtering atau penyaringan sehingga tak sedikit yang tidak dapat memertanggungjawabkan pesan berantai yang terlanjur disebarnya. Bersama teman-temannya, WAG membuat arus informasi menjadi tak terbendung sehingga problem yang kita hadapi saat ini bukan lagi kelangkaan informasi, akan tetapi justru, adalah melimpahnya informasi sehingga kebenaran menjadi semakin relatif dan siapapun bisa mengkalim diri sebagai tuannya, meski hanya bermodal pesan berantai di dunia maya. Ini yang dimaksud zaman post-truth kali ya

Ini tentu belum merembet pada minimnya produktivitas dan kreativitas menuangkan ide dalam tulisan. Perlahan, kebiasan tempel salin tak hanya berlaku bagi informasi yang biasa disebar luas, akan tetapi juga percakapan di WAG Seorang pengguna yang pertama kali mengucapkan selamat atas kelulusan pengguna lain, misalnya, sangat mungkin menmroduksi pesan yang kemudian ditempel salin oleh sekian pengguna lain yang turut memberikan greeting namun dengan jalan yang berbeda. Jika Anda adalah penerima ucapan tersebut, kira-kira Anda pilih mendapat ucapan demikian atau tidak mendapat ucapan sekalian? 

2. Bekerjanya Mesin Iklan Otomatis

Tidak seperti WAG-WAG lain yang mewadahi mereka yang tiap hari bertemu, semisal WAG kantor, tempat kerja, sekolah atau tetangga, WAG alumni, keluarga atau komunitas yang tidak secara rutin bertemu di darat biasanya memiliki semacam musim ramai dan musim sepi. Sekalinya ramai, percakapan menjadi ramai sekali dan begitu juga sebaliknya. Jika musim sepi telah datang, satu atau segelintir anggota grup biasanya akan mulai memancing perbincangan baru atau sekadar berkomentar ini grup atau kuburan? Kok sepi amat? Dari situ, biasanya, akan kembali muncul percakapan meski tak semua anggota yang tergabung ikut nimbrung.

Gejala ini sedikitnya menunjukkan dua kecenderungan. Pertama, bahwa intensitas pertemuan darat seringkali berbanding lurus dengan frekuensi komunikasi udara dan kedua adalah bahwa WAG semakin meneguhkan posisi media sosial, apapun platform-nya, sebagai kebutuhan sekaligus sarana komunikasi primer dewasa ini. Lepas dari iklan provider-nya, ‘godaan’ dari sesama pengguna adalah faktor yang sangat berperan mendongkrak angka konsumsi akan media sosial. Media sosial, dengan demikian, sebenarnya tidak terlalu membutuhkan iklan sebab semakin banyak pelanggannya, semakin besar pula mesin iklan otomatisnya untuk memastikan the business still runs well and gets bigger.

3. Munculnya Sebab-Sebab Baru untuk Baper

Jika dijabarkan, point ini mungkin akan memakan banyak sekali space. Untuk itu, saya hanya ingin mengulasnya sesingkat mungkin. Jadi, ada banyak sekali hal yang bisa bikin baper alias bawa perasaan dalam lalu lintas di WAG. Kasus paling kecilnya adalah saat obrolan salah seorang anggota tidak mendapat respon apapun dari siapapun di dalam sebuah WAG tertentu.

Cerita lainnya, di salah satu WAG yang saya ikuti, ada anggota lama yang baru bergabung kembali setelah rampung menyelesaikan urusan teknis ponselnya. Setelah si anggota ini masuk, tiba-tiba ada seorang anggota lain yang keluar. Beberapa hari kemudian, si anggota baru tersebut tiba-tiba ikut keluar dari group setelah—menurut pengakuannya—menemukan fakta kecil di lapangan. Kurang lebih, ia menuturkan bahwa sebab si anggota kedua keluar adalah karena dirinya baru bergabung kembali. Ia juga mencium komunikasi yang tidak sehat antaranggota grup yang membuat dirinya seolah-olah sebagai api dalam sekam. Dari situ ia memutuskan untuk keluar dari grup setelah pamit dan memberi klarifikasi semu karena terkesan tidak ingin lagi membicarakan hal tersebut. Barangkali terlalu kebawa perasaan.

Cerita tak berhenti di situ sebab tak lama, si admin kembali memasukkan anggota kedua yang keluar tadi. Si anggota pertama secara permanen keluar dari grup dan membatasi komunikasi yang awalnya sangat intens dan intim dengan masing-masing anggota grup. FYI, grup tersebut berisi komunitas yang sering keluar, main dan nongkrong bareng karena kesamaan kultur dan hobi. Keadaan kembali seperti biasa meski satu orang tidak pernah lagi muncul dalam kapasitasnya seperti biasa.

Kasus ini barangkali hanya secuil dari cerita-cerita lain di WAG yang seperti menandai gaya baru komunikasi zaman ini. Seperti pertemenan yang bisa dipererat dengan sosial media, sosial media pulalah yang bisa berandil merenggangkan sebuah hubungan. Banyak yang menjadi asosial justru karena terlalu keranjingan media sosial. Apalagi, kini, tak hanya mulut yang menjadi harimau, jaripun bisa menjelma singa.

Selain soal exit group, ke-emoh-an berada dalam satu grup dengan orang yang tidak disukai hingga renggangnya pertemanan seperti cerita di atas, kasus yang barangkali jamak ditemui adalah perihal jualan di WAG yang sedikit banyak mengganggu beberapa anggota. Ini utamanya terjadi ketika aktivitas marketing tersebut dilakukan di grup non-marketing, semisal grup keluarga, alumni, kantor dan lain sebagainya dalam intensitas yang demikian tinggi.
Belum jika setting-an hape tidak diubah sehingga setiap kali terhubung dengan paket data atau wifi, semua gambar dagangan akan terunduh otomatis.

Ketika grup non-marketing sementara beralih kepada grup marketing, anggota yang merasa tidak berkepentingan terhadap barang atau jasa yang ditawarkan atau tertarik tapi tak bisa afford harganya akan gerah dan menggerutu. Sebab terkadang, saking semangatnya jualan, tidak sedikit bakul yang terlalu menghayati perannya sehingga abai bahwa dalam waktu yang sama, ia berkewajiban menghargai privasi dan kepentingan orang lain, termasuk orang yang tidak berkepentingan. Karena itulah, tidak sedikit group yang memiliki aturan internal, utamanya terkait soal jualan semacam ini.

Meski demikian, bukan tak ada pengguna yang tetap bisa buka lapak dengan santun dan wajar di WAG, misalnya dengan jualan dalam intensitas kecil ataupun melayani pembeli atau calon pembeli viajapri (jalur pribadi) dan tidak jarkom (jalur komunitas/komunal). Jika tidak demikian, maka yang bersangkutan biasanya akan woro-woro agar menghubunginya secara japri jika ada anggota lain yang tertarik membeli barang/menggunakan jasanya. Atau, yang lebih simpel, ya ngiklan di WA Story sehingga semua kontak yang dimiliki, baik yang tergabung dalam WAG atau tidak, bisa lebih leluasa memilih untuk nonton atau skip the running ad.

Gambar: www.as.com

MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.