Identitas Buku

Judul : Di Balik Dinding Rusunawa; Mengungkap Pengalaman Komunitas Syiah Sampang di Pengungsian
Penulis : Romel Masykuri, Binaridha Kusuma Ningtyas dan Novita Maulida Ikmal
Penerbit : Sulur, Yogyakarta
Tahun Terbit : Januari, 2018
Jumlah halaman : xiv dan 68
Ukuran buku : 13,5 X 20 cm

Barangkali karena lahir dan besar di Madura, saya memiliki ketertarikan dan concern tersendiri terhadap tragedi Syi’ah di Sampang. Tak sedikit pula rekan yang menanyakan perihal konflik Sunni-Syi’ah begitu mengetahui asal saya. Saya juga tak mungkin lupa ketika dengan terbatuk-batuk karena tak tahan dengan cuaca Canberra, awal 2016 lalu, saya menceritakan betapa rumit akar muasal kejadian tersebut di sebuah forum kecil dengan teman-teman dari DFAT Australia.

Sejauh ini saya memang hanya melakukan riset di balik meja dan belum pernah menyambangi langsung lokasi konflik ataupun GOR Sampang serta Rusunawa Sidoarjo. Karenanya, saya menyambut baik sekali kehadiran buku yang seakan mengingatkan pada khalayak bahwa di tengah kasus-kasus lain yang datang silih berganti, masih banyak problem kebangsaan yang belum usai dan tak boleh dilupakan begitu saja, apalagi dianggap selesai.

***

Saya memiliki ekspektasi cukup tinggi terhadap buku Di Balik Dinding Rusunawa (DBDR) karena semakin hari, semakin sedikit peneliti atau penulis yang melirik isu lama ini di tengah isu-isu lain yang barangkali lebih menarik dan ‘menjual’. Kalaupun ada, sependek pengetahuan saya, bentuknya terbatas pada artikel atau tulisan pendek. Penelitian-penelitian etnografis, apalagi yang serius, semakin jarang ditemui seiring bertambah usang—dan rumit—nya persoalan ini.

Karenanya, saya sangat menikmati lembar demi lembar ulasan dalam DBDR yang seakan membawa saya ke bangunan Rusunawa Puspa Agro Sidoarjo. Membaca beberapa kutipan langsung dari transkrip wawancara membuat saya seolah-olah tengah berkomunikasi dengan mereka menggunakan Bahasa Madura. Saya turut membayangkan bagaimana sulitnya berdamai dengan keadaan baru ketika trauma dari rentetan kejadian memilukan belumlah sembuh.

Ulasan-ulasan lain dalam DBDR juga cukup informatif menunjukkan bahwa pemerintah tak sepenuhnya abai dan begitu saja menempatkan komunitas ini di negeri antah berantah tanpa ‘bekal’ apapun. Meski ada beberapa catatan, keterangan perihal bantuan beras yang kemudian diganti bantuan tunai bulanan (hlm 18), akses terhadap fasilitas umum yang semakin terbuka (hlm 47) serta adanya pegawai BPBD Jawa Timur yang ditugaskan mendampingi komunitas ini sejak awal kedatangan (hlm 16)cukup memberi keberimbangan data untuk setidaknya meng-counter asumsi buruknya kinerja pemerintah.

Dibandingkan karya-karya atau hasil penelitian sejenis yang mengangkat kasus ini, DBDR terbilang ringan sehingga renyah dibaca. Penyajian data yang lebih mirip laporan penelitian berbentuk narasi esai tanpa analisis teori-teori yang serius dan ‘berat’ menjadikan buku ini ramah untuk semua kalangan.Selain itu, informasi singkat perihal kronologi peristiwa yang dialami komunitas Syi’ah Sampang hingga akhirnya berada di Rusunawa membuat buku ini layak dikonsumsi newbie yang baru akan mendalami kasus ini.

Menariknya lagi, prolog dan epilog dalam buku ini membentuk kombinasi yang apik. Prolog yang ditulis oleh Dr. Siti Aminah, Kaprodi Program Magister Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya,tempat ketiga penulis DBDR belajar, menyinggung beberapa teori yang relevan dengan konteks penelitian sehingga terlihat sangat academically minded. Sementara itu, kekuatan diksi khas Muhammad Al-Fayyadl, intelektual serta aktivis muda lulusan Universitas Paris, melengkapinya dengan analisis dari perspektif teologis serta kultural berikut dua tawaran praktis yang layak dipertimbangkan.

Hal yang sebenarnya lebih penting dari buku ini adalah perannya sebagai kanal yang menggaungkan suara hati komunitas Syi’ah Sampang agar bisa didengar lebih banyak telinga, tak terkecuali pihak berwenang serta saudara-saudara mereka, kaum Sunni. Di luar sumbangsihnya untuk dunia akademik dan ilmu pengetahuan, sisi lain buku ini adalah potensinya untuk menyemai benih-benih perdamaian yang sempat hilang dalam masyarakat Madura yang memiliki riwayat guyub serta karakter nganggep (bersaudara) yang kuat.

***

Terlepas dari berbagai kelebihan buku yang berawal dari tugas kuliah ini, ada sedikitnya dua hal dari DBDR yang patut menjadi bahan evaluasi. Pertama,paparan di dalamnya terkesan sangat simplistis, untuk tidak mengatakan minimalis. Untuk ukuran penelitian etnografis, utamanya jika berkaca pada data wawancara, kehadiran peneliti ke lokasi maupun interaksi dengan informan tampak kurang intens. Akibatnya, emosi yang sedari awal diaduk-aduk harus padam begitu saja karena space yang sedikit tersebut. Kedua, adanya beberapa peristiwa ‘kunci’ yang sebenarnya penting untuk dipaparkan lebih panjang lebar karena menampilkan sisi lain yang tak banyak diulas. Dua di antaranya adalah pengalaman pulang ke Sampang pada hari raya serta hubungan harmonis dengan warga (di sekitar) Rusunawa.

***

Sebagai karya akademik, DBDR layak mengawali kembali semaraknya kerja-kerja ilmiah untuk memotret komunitas Syi’ah Sampang dalam rangka memerjuangkan hasrat terbesar mereka untuk kembali ke kampung halaman. Sementara itu, dengan iktikadnya yang mulya, karya ini harusnya juga menjadi panggilan bagi pemerintah, lembaga swasta atau tokoh kultural untuk memberi aksi nyata demi menjamin terpenuhinya hak-hak kewarganegaraan komunitas Syi’ah Sampang yang hingga saat ini masih terampas.

*Masyithah Mardhatillah, co-founder Yayasan Paddhang Bulan Tacempah, Plakpak, Pegantenan, Pamekasan.
Gambar: www.medium.com

Satu di antara grup WhasApp yang saya ikuti tengah ramai dengan beberapa perbincangan, salah satunya perihal mobil baru. Seorang anggota grup menyampaikan selamat kepada salah satu anggota lain karena yang bersangkutan baru saja membeli mobil. Sayangnya, ia telat merespon dan keduluan beberapa ucapan senada dari beberapa anggota lain yang sebagian di antaranya menagih syukuran. Tak lama, iapun muncul dan justru mengatakan bahwa kabar tersebut tidak benar adanya.

Masing-masing pihak mencoba meyakinkan bahwa dirinyalah yang berkata benar. Sayapun akhirnya tak tahan menjadi silent reader dan sedikit terlibat dalam obrolan tersebut. Belakangan, mereka berdua memang dekat karena suami keduanya berteman dekat, sehingga jika satu di antaranya memberi kabar perihal yang lain, maka berita tersebut seharusnya valid. Tulisan ini tentu tidak akan menelusuri ‘sengketa’ tersebut sebab meski sedikit penasaran, saya merasa tidak berkepentingan.

***

Pergantian tahun baru saja terlewat. Di antara resolusi-resolusi yang ingin diwujudkan pada 2018, memiliki mobil barangkali merupakan satu di antara list yang dimiliki banyak orang. Kendaraan roda empat tersebut saat ini tak lagi menjadi barang mewah dan atau kebutuhan sekunder/tersier, akan tetapi nyaris menjadi kebutuhan pokok. Dari hari ke hari, jumlahnya semakin meningkat tak hanya di perkotaan, akan tetapi juga di pelosok-pelosok kampung.

Hal demikian seharusnya menjadi kabar baik karena menunjukkan semakin tingginya daya beli masyarakat. Namun demikian bersamaan dengan itu, kabar-kabar lain bermunculan, mulai dari semakin sesaknya jalan, macet yang semakin subur di tempat-tempat yang awalnya lengang, polusi yang meningkat, meruginya pengusaha angkutan umum, sistem kredit yang mencekik dan masih banyak lagi. Sayang, dampak-dampak negatif tersebut nyaris tidak lebih diperhitungkan dibanding ‘kebutuhan’ memiliki mobil.

Bagi sebagian orang, memiliki mobil barangkali sekadar merupakan keinginan, baik keinginan yang sekadar merupakan angan-angan atau hal yang bisa saja diwujudkan. Mereka yang masuk dalam kategori ini biasanya masih memiliki alternatif lain dalam berkendara atau memiliki prioritas lain yang didahulukan. Namun demikian bagi sebagian lain, memiliki mobil terasa sebagai sebuah kebutuhan. Ini, sedikitnya, dapat dijelaskan dengan beberapa hal berikut.

Pertama, kondisi angkutan umum. Secara umum, angkutan umum yang tersedia belum menjangkau banyak titik serta memiliki fasilitas dan pelayanan yang belum memuaskan, mulai dari kualitas hingga faktor kenyamanan dan keamanan. Faktor pertama ini sangat kentara sebagai akar persoalan jika melihat bagaimana kualitas angkutan umum di negara-negara maju sangat efektif mengurangi jumlah kendaraan bermotor pribadi.

Kedua, pertimbangan (jumlah) penumpang. Ini utamanya dialami dan dirasakan oleh keluarga kecil yang baru memiliki buah hati, keluarga besar dengan banyak anggota atau karyawan yang commuting dengan menempuh jarak jauh. Selain berkait dengan faktor kenyamanan, kebersamaan dengan keluarga serta kesehatan, pilihan memiliki mobil juga dipengaruhi pertimbangan akan faktor kesehatan. Mengendarai mobil dinilai lebih aman untuk kesehatan karena mampu menjauhkan penumpang dari panas dan hujan serta gejala masuk angin.

Ketiga, gengsi. Bagi sebagian kita, memiliki mobil adalah salah satu di antara pencapaian membanggakan yang bisa menaikkan status sosial. Memiliki mobil seakan menjadi puncak kesuksesan setelah bekerja tekun dalam jangka waktu lama. Tak hanya itu, ia kerap juga menjadi hadiah untuk mengungkapan sayang kepada keluarga atau pasangan. Beberapa orang tua menghadiahkan mobil sebagai ucapan selamat atas pencapaian anak-anaknya atau ketika mereka memasuki jenjang pendidikan tertentu.

Keempat, penghasilan dan atau profesi. Tak sedikit orang yang mendahulukan mobil dibanding kebutuhan lain karena merasa bahwa penghasilan atau profesi yang ia miliki telah membuat dirinya pantas, wajar atau bahkan wajib memiliki mobil. Persoalan angka-angka dalam penghasilan sesungguhnya sangatlah relatif dan menyesuaikan dengan skala yang dimiliki masing-masing orang. Akan tetapi, hasrat memiliki mobil akan perlahan muncul ketika rekan seprofesi memutuskan untuk membeli mobil.

Kelima, sistem pembelian kredit. Peran lembaga leasing, dealer, gerai mobil bekas atau e-commerce yang menawarkan pembelian mobil dengan sistem kredit—lewat berbagai iming-iming menggiurkan—tidak bisa dilepaskan dari fenomena ini. Seperti halnya sistem kredit untuk membeli barang-barang lain, teknik marketing yang sedemikian rupa dapat dengan mudah menggoda banyak pembeli untuk menempuh jalur kredit betapapun mereka bukan tak berhitung soal bunga dan komponen pembiayaan serta ketentuan lain.

Keenam, alternatif dibanding menyewa atau meminjam. Dibanding menyewa mobil di rental setiap kali akan bepergian jauh, mengangkut barang atau bepergian dengan banyak penumpang, menggunakan mobil pribadi jauh lebih ramah di kantong serta lebih menjamin kenyamanan. Sementara itu, menggunakan mobil pinjaman milik teman atau keluarga berkait dengan persoalan hutang sosial tak tertulis serta antisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dari pertimbangan-pertimbangan kecil ini, mobil pribadi menjadi satu solusi dari berbagai problematika.
***

Baru-baru ini adik saya membeli telepon seluler keluaran terbaru dengan fitur andalan anti air. Seluler lamanya yang belum genap berumur dua tahun dan masih baik-baik saja dialihpakaikan pada umik saya yang sudah lama menginginkan seluler layar sentuh alias seluler pintar.

Keinginan umik sempat mengherankan kami anak-anaknya. Usut punya selidik, hasrat tersebut muncul karena teman-teman seprofesinya—guru TK swasta—sudah mulai menggunakan aplikasi Whassap sehingga umik merasa tak ada salahnya memensiunkan seluler lawas ‘nutninut’ berkartu ganda yang dipakainya sejak tiga-empat tahunan yang lalu.

***

Kisah di atas hanyalah contoh kecil betapa media sosial nyaris menjadi kebutuhan primer dewasa ini. Tak ada lagi segmentasi usia, gender, pekerjaan, suku, geografis atau stratifikasi sosial-ekonomi lain yang mampu mempolarisasi mana pengguna dan non-pengguna.
Media sosial sukses menjadi ‘raja’ dengan daya paksa demikian kuat yang menyulap pulsa, paket atau kuota internet, wifi dan fasilitas sejenis terasa sama mengenyangkan dengan nasi bagi perut orang Indonesia. Ia tidak hanya memudahkan komunikasi, penyebaran-penyerapan informasi hingga pemasaran barang dan jasa, akan tetapi juga menjadi ajang ‘berkreasi’ dan memperluas jaringan.

Namun demikian di balik itu, hal lain yang tak bisa dipisahkan dari media sosial adalah hilangnya sekat privasi individu para penggunanya. Begitu seorang pengguna bergabung, ia akan tergerak untuk memerhatikan kemudian meniru aktivitas pengguna lain, termasuk ‘menggerus’ privasinya sedikit demi sedikit. Ini misalnya dilakukan dengan memublikasi foto diri, informasi diri, status, pesan kilat dan yang semacamnya dalam frekuensi di luar batas kewajaran serta konten yang bersifat pribadi.

Sekilas, tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan gejala semacam ini, apalagi media sosial memang menjanjikan jejaring dan keterhubungan antarorang, komunitas hingga negara. Hanya saja, tak banyak yang menyadari bahwa bersamaan dengan semarak pertemanan dan lalu lintas informasi yang tanpa batas tersebut, privasi yang dulunya sedemikian mahal menjadi nyaris tak berharga sama sekali.

Dahulu, untuk mengetahui aktivitas detail seseorang, kita harus menggunakan semacam ‘mata-mata’ atau mencari informasi dari sumber terpercaya yang tak mudah didapat. Namun demikian hari ini, siapapun dari belahan dunia manapun bisa mengetahui informasi personal seseorang hanya dengan melacak akun media sosialnya.

Tak hanya itu, ia bahkan bisa dengan mudah mengetahui—bahkan mengikuti—apa yang baru saja dipikirkan, dilakukan dan dialami. Tak ketinggalan juga informasi-informasi lain seperti jaringan pertemanan, orang yang baru ditemui/dihubungi, rumah yang ditinggali, kantor tempat bekerja, jadwal keseharian dan lain sebagainya.

Tentu hal demikian tidak menjadi masalah jika stalker atau yang bersangkutan adalah saudara, teman, sahabat atau sekadar kenalan. Akan tetapi, cerita akan berbeda jika aktivitas tersebut dilakukan orang asing, mereka yang memiliki niat jahat atau katakanlah, hater yang tidak bertanggungjawab.

Informasi berlebihan yang dibagikan akan menjadi hidangan lezat untuk diolah kembali sesuai keinginan yang bersangkutan. Kasus-kasus nyata dengan alur demikian tentu tidak sulit kita temukan di kehidupan sehari-hari atau, paling jauh, di siaran berita kriminal, infotainment dan politik menjelang Pilkada.

Sayangnya, berbagai kasus tersebut tak banyak mengubah pola bermedia sosial sebagian besar kita. Kita tetap menggemari—bahkan merasa bangga dan ‘lengkap’—setelah menceritakan hal-hal pribadi pada masyarakat dunia maya. Tempat yang kita kunjungi, makanan yang kita santap, acara yang kita hadiri, film yang kita tonton, mood yang kita rasakan, keinginan yang kita dambakan, kecewa yang kita derita, hingga hal-hal pribadi seperti kehidupan rumah tangga, tempat kerja, dan keluarga kita informasikan secara cuma-cuma.

Tak salah jika kemudian ada yang mengatakan bahwa media sosial kini menjadi semacam diari publik yang menyimpan segala hal pribadi para penggunanya. Tentu saja ini tidak kemudian menafikan adanya sebagian pengguna yang rajin dan aktif bermedia sosial namun cerdas menjaga privasinya. Mereka bukan tak sering ‘berbagi’, hanya saja memberi nilai guna bagi pengguna lain karena membagikan semangat, inspirasi, kreativitas, informasi publik, wawasan, pengalaman serta hal-hal bermanfaat lain.

***

Sedikitnya, ada beberapa hal yang bisa menjelaskan mengapa pengguna media sosial memiliki kecenderungan bahkan kegemaran memublikasikan hal-hal pribadinya di laman publik.

Pertama, respon pengguna lain. Menampilkan apapun di publik media sosial memungkinkan seorang pengguna menerima komentar atau reaksi pengguna lain. Bagi sebagian besar kita, respon atau komentar semacam ini menjadi hal yang menyenangkan. Sebuah tampilan yang disukai sekian pengguna dan mendapat banyak komentar akan lebih ‘membahagiakan’ dibanding yang sepi respon. Luapan kebahagiaan tersebut bahkan seringkali membuat ‘kecanduan’.

Kedua, mindset bahwa menceritakan hal-hal pribadi di media sosial adalah hal yang wajar, menyenangkan dan tak perlu dipikir ulang. Anggapan bahwa segala hal yang kita bagikan di laman media sosial tidak akan membawa dampak buruk apa-apa adalah faktor lain yang memicu aktivitas semacam ini terjadi dan terjadi lagi. Hal-hal tidak menyenangkan yang berawal dari media sosial seringkali hanya tampak sebagai adegan di televisi semata.

Ketiga, meniru pengguna lain. Beberapa gaya dan kebiasaan kita bermedia sosial sedikit banyak dipengaruhi oleh pengguna yang terhubung dengan kita. Jika kita sering melihat tampilan yang mengungkap hal-hal pribadi berupa unggahan foto, curhat-an, screenshot percakapan atau hal-hal pribadi lain, kita akan memiliki kecenderungan untuk melakukan hal serupa. Meski demikian, tak sedikit pengguna yang justru tidak suka mengumbar hal-hal pribadinya karena terlalu sering melihat hal serupa di layar seluler pintarnya.

Keempat, gaya baru berkomunikasi dan dokumentasi pribadi. Selain mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat, media sosial ternyata juga menjadi sarana mendekatkan yang dekat. Ini misalnya tampak dari ungkapan sayang, ucapan selamat, ucapan terimakasih, atau komunikasi ‘intim’ lain antarpasangan, orang tua dan anak, saudara, keluarga hingga teman yang ‘disiarkan’ melalui media sosial. Daya jangkau yang demikian luas ini lebih diminati dibanding komunikasi lisan dan japri (jalur pribadi, pesan langsung pada yang bersangkutan).

Ada juga beberapa pengguna yang memilih memublikasikan foto, video, status atau catatan lain di media sosial dengan maksud menyimpan file dokumen tersebut agar suatu saat bisa diakses dan dinikmati lagi. Cara demikian dianggap solutif dalam mengantisipasi rusaknya file, hilangnya media penyimpanan (hardisk, laptop, kartu memori dan lain sebagainya) atau hal-hal lain yang tak diinginkan. Dalam konteks ini, perihal tereksposnya dokumen pribadi ke khalayak media sosial atau pengaturan visibilitas tampilan nyaris luput dari perhitungan.

Hal lain yang juga dapat menjelaskan kegemaran kita untuk berbagi melalui media sosial adalah intensitas interaksi kita dengan gawai. Semakin kita ‘hidup’ di dunia maya dan merasakan berbagai fasilitas dan kenikmatan di dalamnya, semakin kita merasa benar-benar tinggal di situ. Jika sudah demikian, otomatis, hal-hal yang awalnya terbiasa kita lakukan di dunia nyata akan perlahan berpindah tempat ke dunia maya. Ini misalnya tampak dalam aktivitas mencari teman curhat serta solusi atau jawaban atas masalah keseharian.

***

Pada akhirnya, perihal skala menjaga dan ‘mengumbar’ hal-hal privasi di media sosial sangat bergantung pada pilihan dan kecenderungan masing-masing pengguna. Namun demikian, seperti dalam beberapa keadaan, kita bisa menilai diri sendiri menggunakan ‘cerminan’ orang lain. Bagaimana kita menilai teman daring yang dengan skala berbeda membagi kehidupan pribadinya di laman media sosial dapat kita ‘bias’kan pada diri sendiri dalam hal yang sama.

Selain hal-hal yang lekat dengan mindset seperti tersebut di atas, pengaturan akun media sosial serta visibilitas ‘cerita’ yang kita bagikan layak mendapat perhatian. Jika kita sulit mengurangi kebiasaan mengeskpos hal-hal pribadi di dunia maya, minimal, kita lebih selektif berteman dan lebih waspada dalam berkomunikasi serta bertukar informasi. Tak ada salahnya pula kita meluangkan waktu untuk memastikan semua bagian pengaturan, utamanya keamanan akun, telah sesuai dengan keinginan. Pengetahuan umum soal literasi media serta hal-hal teknis lain juga perlu kita kuasai agar aktivitas di media sosial dapat bernilai lebih dari sekadar pertemanan dan pertukaran informasi.

Mari bermedia sosial dengan cerdas dan bijak!

Beberapa pekan belakangan jagat media sosial kita dihiasi sejumlah meme (gambar ringan dengan sindiran dan kritik sosial) tentang Wisata Jalan Rusak. Meme tersebut pertama kali menampilkan spot di wilayah Nambakor, Saronggi, Sumenep, dengan kondisi jalan yang rusak, berlubang dan mengganggu sekaligus membahayakan. WJB (Wisata Jalan Berlubang) tersebutpun menjadi buah bibir dunia maya yang mengundang beragam komentar serta reaksi netizen.

Tak lama, gagasan segar yang dikemas kreatif ini menjalar ke kabupaten Pamekasan, tepatnya di Kecamatan Pademawu. Tidak jauh berbeda dengan kasus pertama, titik yang digunakan dan disulap sebagai lokasi pengambilan gambar adalah badan jalan yang rusak dan berlubang serta plang/papan/tulisan sederhana bertuliskan ucapan selamat datang di lokasi wisata berikut beberapa model dan properti.

Dua kasus tersebut menunjukkan bahwa fenomena ini sangat mungkin akan semakin menyebar dan menjadi trend sekaligus ajang kreativitas dan kanal kritik sosial. Menemukan jalan rusak di Madura, utamanya di wilayah pedesaan, tentu bukan hal yang sulit. Sementara itu, perlengkapan dan aksesoris yang dibutuhkan relatif mudah didapaatkan.

***

Ide cemerlang demikian sebenarnya bukan merupakan hal yang sama sekali baru. Di beberapa daerah lain, sebut saja Lampung, Sragen, Bogor dan Ngawi, obyek-obyek semacam ini sudah lama menjadi dagelan publik dengan nama yang juga unik dan penuh satire, semisal Jeglongan Sewu (seribu lubang). Jika saat ini Madura memodifikasi ide tersebut dalam dua contoh kasus di atas, sedikitnya hal demikian menunjukkan tiga hal;

Pertama adalah kepedulian masyarakat terhadap kondisi fasilitas umum yang tidak hanya penting, akan tetapi juga mendasar. Di luar faktor-faktor sekunder semisal keinginan untuk eksis, menonjolkan diri sendiri dan komunitas serta ikut-ikutan trend, tindakan yang demikian senyatanya menyiratkan keprihatinan sekaligus harapan. Karena itu, sudah selayaknya aksi semacam ini dapat lebih menggugah pengambil kebijakan untuk tidak lagi menutup mata terhadap keadaan riil di lapangan.

Ini tentu tidak hanya berkait dengan proyek-proyek fisik semisal pelebaran, peremajaan maupun perbaikan jalan yang ditemui nyaris setiap menjelang lebaran. Hal lain yang tak kalah penting adalah monitoring dan evaluasi terhadap akuntabilitas dan integritas para eksekutor di lapangan, pemeliharaan (maintenance), serta kebijakan-kebijakan terkait regulasi beban maksimal kendaraan dan optimalisasi fungsi jembatan timbang.

Kedua adalah gejala ketakberdayaan serta keputusasaan masyarakat dalam menyalurkan aspirasi. Dibanding menyampaikan aspirasi pada para wakil rakyat dengan alur birokrasi dan prosedur yang cukup njelimet, media sosial tentu lebih efektif. Ia menawarkan kemudahan akses dan publikasi yang demikian luas, sehingga dipandang cocok menjadi instrument untuk mengangkat isu ini ke permukaan.

Persoalan jalan rusak menjadi krusial sebab ia berpengaruh terhadap banyak faktor, mulai dari soal kenyamanan hingga keselamatan. Keberadaannya tidak hanya merusak pemandangan serta menghambat mobilitas, akan tetapi juga merupakan salah satu pemicu utama terjadinya kecelakaan. Ia juga menjadi arena favorit terjadinya berbagai pelanggaran lalu lintas serta sangat tidak ramah bagi pengendara newbie yang belum mengenal medan.

Ketiga adalah semakin sensitif dan responsifnya masyarakat Madura terhadap ide-ide kreatif pariwisata dan pengembangan potensi lokal. Di luar dua hal pertama, munculnya inisiatif untuk me-launching wisata semacam ini senyatanya merupakan imbas positif dari semakin maju dan masifnya geliat pariwisata daerah, termasuk Madura. Jika ghirah demikian diseriusi dan diberdayakan, bukan tak mungkin industri pariwisata Madura akan semakin kompetitif.

Apalagi, sejauh ini masyarakat lokal baru menjadi konsumen—pengunjung—, karyawan dan endorser sukarela. Posisi sebagai aktor, eksekutor, terlebih konseptor dan investor belum banyak dipegang. Wisata Jalan Rusak, dalam konteks ini, tidak hanya menunjukkan kegamangan perihal jalan rusak, akan tetapi secara tidak langsung juga mengenai industri pariwisata yang belum menjadi ‘milik’ masyarakat.

***

Wisata Jalan Rusak mencerminkan dualisme harapan di satu sisi dan keputusasaan di sisi lain. Barangkali rakyat belum memiliki sandaran harapan lain setelah pemerintah, akan tetapi pada saat yang sama juga terlanjur lelah kondisi yang belum banyak berubah. Meski demikian, aksi pembukaan Wisata Jalan Rusak adalah bentuk nyata swadaya masyarakat yang tak hanya reflektif dan kreatif, akan tetapi juga patriotik.

Firstly published at Jawa Pos Radar Madura, Ahad, March 19, 2017






Setelah beberapa tahun merantau di luar Madura dan menghabiskan beberapa kali momentum Maulid Nabi di pulau seberang, dua tahun belakangan saya merayakan bulan Maulid di tanah kelahiran. Maulid Nabi di Madura ternyata menawarkan nuansa yang cukup berbeda dibanding tempat-tempat lain. Daerah yang saya kenal dan singgahi memang belum seberapa banyak, akan tetapi sangat mungkin penghayatan Maulid Nabi dengan kemasan ala Madura memang hanya ada di Madura.

Bagi kami yang tinggal di Madura, berdarah Madura atau berstatus sebagai “Madura swasta”, Maulid Nabi tak ubahnya lebaran lain setelah Idul Fitri dan Idul Adha. Ia bahkan lebih istimewa karena jika dua hari raya lain hanya berlangsung dalam hitungan hari, Maulid Nabi dapat terlaksana sepanjang bulan. Sebagian masyarakat bahkan tak ragu merayakan momentum ini sebelum atau setelah bulan Rabi’ul Awwal.

Dalam beberapa hal, maulid di Madura cukup berbeda dengan perayaan-perayaan lain atau event serupa di tempat lain sebab ia bisa di-tanggap oleh siapapun, baik individu maupun komunitas. Ini menjadikan Bulan Maulid begitu semarak sehingga dalam sehari, seorang warga (umumnya laki-laki) bisa menghadiri undangan Maulid Nabi di tiga tempat yang berbeda. Run down acara biasanya terdiri dari pembacaan shalawat, diba’, Barzanji, ceramah keagamaan serta makan bersama dan ramah-tamah.

Hidangan yang disajikan di acara maulid tidaklah jauh berbeda dengan perayaan-perayaan lain. Minuman ringan, rokok, kue-kue serta makanan besar disajikan secara dine in dan atau take away sesuai pilihan tuan rumah. Bedanya, perayaan maulid hampir tidak lepas dari suguhan berbagai macam buah. Kebiasaan ini konon didasarkan pada pertimbangan bahwa Rasulullah ibarat oase yang menyuburkan tanah gersang baik dalam makna metafor maupun nyata.

Hal lain yang membedakan Maulid Nabi dengan perayaan-perayaan serupa adalah sistem ‘sedekah’ di dalamnya. Jika tuan rumah dalam acara-acara lain biasa menerima ‘buah tangan’ dari para tamu, maka tidak demikian halnya dengan perayaan maulid. Para tamu (biasanya diwakili perempuan) datang tanpa menenteng tas berisi oleh-oleh namun akan pulang membawa taker atau sepaket souvenir berisi makanan take away untuk keluarga di rumah.

***

Dengan sistem kultural yang demikian, kekhawatiran memberatkan para tamu/undangan tak perlu terjadi sehingga tak sedikit warga Madura yang menghelat maulid secara rutin sebagai tak ubahnya momen bersedekah dan silaturrahim tahunan. Perayaan ini juga nyaris menjadi sebuah kewajiban sosial bagi sebagian warga, termasuk mereka yang baru mendapat kabar gembira, pekerjaan baru, keuntungan bisnis, panen hasil bumi, pulang merantau dan hal-hal serupa.

Tak sedikit pula yang memanfaatkan momen ini untuk perayaan lain, semisal selametan rumah, khatam Al-Qur’an, peringatan kematian, forum rutin bulanan, selametan kelahiran, pelet kandung dan lain-lain. Apresiasi terhadap momentum serta alasan efekivitas menjadi pertimbangan utama dari kebiasaan menyukuri/merayakan dua hal dalam satu perayaan semacam ini. Ada juga yang bahkan sengaja menunggu momentum Maulid Nabi untuk menghelat sebuah perayaan tertentu.

Beberapa hal di atas cukup menunjukkan betapa bagi masyarakat Madura, maulid masih memiliki nilai sakral yang amat dalam. Jika individu memandang momentum ini nyaris sebagai sebuah kewajiban sosial, maka lembaga-lembaga pendidikan, komunitas dan organisasi serupa nyaris tak pernah melewatkan perayaan Maulid Nabi dari daftar agenda tahunan yang rutin diselenggarakan. Tak heran beberapa surat undangan seringkali harus berebut “jadwal” saking seringnya acara ini digelar.

Selain perihal sakralitas yang dalam beberapa hal identik dengan relijiusitas, terjaganya tradisi Maulid Nabi merupakan bukti lain yang cukup jelas menunjukkan solidaritas masyarakat Madura yang kuat. Ini dapat dilihat dari komposisi undangan yang terdiri dari tetangga, keluarga, saudara, rekan kerja hingga kolega serta para koki dan pramusaji yang secara suka rela bekerja gotong royong menyukseskan acara.

***

Masyarakat Madura agaknya tidak ‘terganggu’ dan berhasrat menggubris kontroversi seputar Maulid Nabi yang kerap disebut bid’ah oleh sebagian kalangan. Dari waktu ke waktu, tradisi ini bukannya pudar, akan tetapi semakin berkembang dan bahkan mengalami berbagai modifikasi yang semakin menonjolkan ciri khas kemaduraannya. Ia menjadi kebanggaan dan kekayaan lokal sekaligus satu hal yang selalu membuat rindu kampung halaman.

~Tulisan lama, lumayan dibanding terbuang :)

Saya merasa kesulitan saat harus mencari padanan kata dari bahasa lain untuk bisa menggambarkan apa yang oleh Orang Madura disebut tengka. Dipadankan dengan kata tingkah yang seringkali disandingkan dengan ‘laku’ tidaklah cukup karena hanya mewakili satu dari sekain maknanya. Konotasinyapun seringkali negatif, seperti ketika mengatakan ‘jha’ aka-tengka’ yang kurang lebih berarti ‘jangan bertingkah laku yang negatif (neko-neko) dan atau tidak wajar’.

Dalam beberapa kesempatan atau penggunaan lain (dan tertentu), kata tengka juga bisa disepadankan dengan suatu kewajiban sosial yang umum berlaku di masyarakat Madura. Ini berlaku ketika seorang anggota masyarakat mengadakan kunjungan resmi ke kediaman tetangga/saudaranya yang tengah nanggap gawe (menggelar hajatan) atau mengalami musibah tertentu.

Tulisan ringan ini akan mengulas perihal tengka dalam pengertian terakhir, yang kurang lebih berarti partisipasi anggota masyarakat dalam hajatan sebagai tamu atau undangan. Hajatan dimaksud bisa berbentuk pernikahan, kelahiran, peringatan kematian, aqiqah, pelet kandung, dan lain sebagainya, termasuk menjenguk orang sakit dan atau korban kecelakaan.

Ulasan yang demikian menjadi penting sebab di satu sisi, ia begitu mengakar di masyarakat sehingga dalam keadaan apapun, baik tuan rumah maupun tamu harus menunaikan kewajiban sosial tersebut. Di sisi lain, keberlanjutan tradisi ini berjalan bukan tanpa kritik dan kegelisahan dari para pelakunya sendiri.

Tak Pernah Surutnya Tengka

Hal pertama yang identik dengan tengka adalah ‘jadwal main’ yang bisa datang kapan dan dalam keadaan apa saja. Pada musim uang—yang sering diidentikkan dengan musim panen tembakau—atau bukan, tengka tak pernah surut. Tak heran, sudah menjadi rahasia umum bahwa kebutuhan material untuk tengka bukan tak melebihi kebutuhan (konsumsi) sehari-hari.

Bagaimana tidak, sekali berangkat menunaikan tengka, para tamu/undangan akan datang membawa se-gantang (sekitar 2,5-3 kg) beras, amplop berisi sumbangan/santunan (dan atau salam tempel) atau buah tangan lain yang sepadan dan atau dianggap wajar. Tak hanya itu, beberapa hajatan tertentu memiliki durasi batas waktu sehingga para tamu/undangan tidak memiliki banyak kesempatan untuk mengulur dan menunda kunjungan. Ini menjadikan kebutuhan untuk tengka menjadi mendesak dan harus segera dipenuhi.

Meski tak ada jadwal rutin kapan tengka—dalam pengertian ini—harus ditunaikan, musim nikah (pada Bulan Syawal dan Rajab) adalah salah satu momen di mana keharusan sosial yang demikian akan lebih menjamur. Karenanya, alih-alih merasa tak dianggap, tiadanya undangan (lisan maupun tulisan) yang diterima warga kadang kala dianggap sebagai kebahagiaan tersendiri sebab yang bersangkutan tidak berkewajiban hadir dan menunaikan tengka.

Keadaan yang sama dialami tuan rumah di mana kewajiban untuk memperlakukan tamu/undangan dalam ‘kewajaran’ mengharuskan anggaran khusus yang terkadang tidak sedikit. Ini berkisar mulai dari hidangan ringan, berat hingga perlengkapan lain semisal makanan siap santap sebagai buah tangan, souvenir dan lain sebagainya. Tak hanya itu, dalam momen-momen seperti (peringatan) kematian, keadaan sakit atau musibah lain, timing-nya tidak bisa diperkirakan sehingga terlaksana otomatis tanpa persiapan mental pun material.

Serba-Serbi Tengka

Terlepas dari tinjauan sebelumnya perihal tengka yang dalam satu sisi cukup memberatkan, tradisi ini sebenarnya tidak lepas dari beberapa nilai dan kearifan lokal yang masih demikian terjaga. Beberapa di antaranya menjadi sistem baku meski terealisasi dalam format beragam di wilayah yang berbeda. Serba-serbi tersebut di antaranya adalah sebagai berikut;

Pertama, klasifikasi tengka ompangan dan tengka non-ompangan. Ragam pertama merupakan solidaritas sosial di mana tamu/undangan meringankan beban material si tuan rumah dengan sumbangan atau buah tangan di atas ukuran normal, semisal sekian ton beras, sekian puluh kilogram gula dan lain sebagainya. Jika sudah demikian, tuan rumah akan mencatatnya sebab ia berkewajiban ‘mengembalikan’ saat si tamu/undangan memiliki hajat serupa.

Uniknya, sumbangan yang demikian bisa muncul dari inisiatif si tamu ataupun permintaan si tuan rumah. Tuan rumah bahkan tak jarang menyebutkan besaran ‘bantuan’ yang dibutuhkannya secara lisan atau melalui kode tertentu, biasanya melalui rokok kemasan. Sistem yang demikian menjadi semacam cicilan atau tabungan untuk melaksanakan hajat-hajat tertentu—umumnya pernikahan—dengan perencanaan dan pengelolaan keuangan yang lebih matang.

Sementara itu, ragam kedua adalah tengka non-ompangan yang kurang lebih sama dengan tengka dalam ukuran kewajaran. Buah tangan yang dibawa umumnya berbentuk bahan makanan pokok (beras) yang dibawa dalam sebuah tas jinjing sederhana. Tas jinjing tersebut akan ‘berganti’ isi dengan makanan (nasi dan lauk seadanya) siap santap sebagai ucapan terimakasih dari tuan rumah.
Jika memilih opsi yang lebih praktis, atau dalam keadaan-keadaan tertentu, tamu/undangan bisa menggunakan amplop berisi sejumlah uang. Adapun besarannya disesuaikan dengan kebiasaan setempat, kemampuan si tamu atau dekatnya hubungan kekeluargaan/pertemanan. Meski memilih opsi ini, si tamu biasanya juga akan pulang dengan souvenir yang sama seperti mereka yang datang dengan membawa tas jinjing.

Persoalan buah tangan atau santunan dari tamu yang demikian hampir menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dalam praktik tengka. Buktinya, meski ada mekanisme pengumuman/pemberitahuan baik secara kultural maupun tertulis—di surat undangan—bahwa pihak tuan rumah tidak menerima sumbangan apapun selain doa, keadaan tak banyak berubah. Selain perihal sedikitnya masyarakat—umumnya tuan rumah dengan tingkat ekonomi menengah ke atas—yang memilih ‘mekanisme’ ini, datang dengan tangan kosong ke sebuah hajatan masih dianggap hal tabu.

Cara lain yang dilakukan tuan rumah untuk tidak menerima sumbangan material dari tamu/undangan/saudara/tetangga adalah dengan hanya mengundang laki-laki (suami) baik secara lisan maupun tertulis. Ini biasanya berlaku dalam forum-forum insidental yang sudah direncanakan jauh-jauh hari semisal syukuran memiliki kendaraan baru, rumah, tanah, jabatan aqiqah bayi, peringatan 40-1000 hari kematian dan termasuk juga pernikahan. Mekanisme yang demikian berhubungan erat dengan serba serbi kedua di bawah ini:

Kedua, pembagian kerja laki-laki dan perempuan. Hampir dalam setiap undangan atau kesempatan menghadiri tengka, terdapat pembagian kerja yang ‘paten’ dalam struktur masyarakat Madura. Urusan membawa tas jinjing (dalam tengka non-ompangan) hampir selalu menjadi tugas perempuan (istri) dan tidak demikian halnya dengan instrumen amplop yang bisa menjadi wilayah keduanya. Ini senada dengan forum-forum yang berbalut nuansa keagamaan—tahlil, bacaan Al-Qur’an, istighasah atau doa bersama—serta acara seremonial yang menjadi wilayah utama laki-laki sementara forum ramah tamah dengan tuan rumah menjadi ‘tugas utama’ perempuan.

Ketiga adalah mekanisme ‘beda dapur-beda tengka’. Ini berlaku dalam relasi orang tua-anak atau menantu dalam sebuah keluarga besar. Ketika si anak dan atau menantu memutuskan untuk mandiri dalam hal belanja dapur, proses memasak hingga konsumsi—tidak bergantung pada dan atau bergabung dengan orang tua/mertua—maka secara otomatis beban tengka dikenakan baik bagi orang tua maupun si anak/menantu. Kebiasaan ini menjadi salah satu pertimbangan utama untuk mandiri secara material dalam urusan konsumsi sehari-hari karena beban residual tengka—bagi pasangan muda—yang terbilang tidak kecil.

TBC

Di pagi hari, sejak setelah Subuh, berbagai penjuru di dusun kami biasa dihiasi irama dan ritme tak beraturan namun indah. Suara-suara yang timbul tenggelam tersebut bukanlah kokok ayam, kicauan burung atau deru knalpot dan klakson kendaraan bermotor yang lalu lalang. Ia adalah pukulan batu perempuan-perempuan tangguh yang meng-gepeng-kan singkong rebus untuk dibikin kudapan semacam keripik. Batu/kayu di tangan kanan dengan jemari kiri berlumur air atau minyak goreng akan beradu dengan sebongkah batu besar berbidang atas datar sebagai landasan tempat eksekusi peng-gepeng-an dilakukan.

Di samping sepasang batu tersebut, tersedia sebuah wadah berisi irisan singkong rebus yang sudah ditakar sesuai dengan ukuran satu keping keripik. Satu irisan akan menjadi sekeping keripik dan begitu seterusnya. Sementara itu di sisi lain, terhampar papan berukuran kecil tempat singkong-singkong yang telah gepeng akan dijejer serapi mungkin untuk kemudian dijemur. Begitu menjadi gepeng dan berbentuk sesuai selera, memanjang atau membulat, lembar demi lembar keripik—mentah—akan dijejer sedemikian rupa agar mendapat ‘jatah’ sinar matahari yang sama . Satu papan yang berbingkai kayu dan berbidang janur kering atau kawat tersebut dapat memuat sekitar seratus lembar keripik.

Dengan peralatan dan ‘cara kerja’ yang demikian, aktivitas meng-gepeng-kan ini biasa dilakukan dengan duduk lesehan atau posisi semi jongkok di atas kursi kayu kecil super pendek (Madura; jhangka’). Sebagian besar melakukannya di dapur, beranda atau di tempat-tempat lain sekitar pekarangan rumah. Pilihan jadwal di pagi hari disesuaikan dengan supply sinar matahari yang biasanya available sejak pagi hingga sore, tentu saja jika tidak hujan. Sementara mengapa pelakunya kebanyakan—untuk tidak mengatakan semuanya—adalah perempuan, barangkali karena pekerjaan ini terbilang tidak begitu berat secara fisik, meski bukan tak memerlukan ketelatenan, keterampilan dan kecakapan.

Kultur masyarakat Madura yang cukup ketat mengatur aktivitas perempuan di luar rumah barangkali juga bermain dalam dominasi ini. Pekerjaan sambilan membuat kudapan organik yang demikian tidak mengharuskan aktivitas di luar rumah secara rutin. Ini tentu tak termasuk aktivitas distribusi produk dan pengadaan bahan mentah singkong yang kadang kala mengharuskan aktivitas publik (ke sawah dan atau pasar). Dengan itu semua, kesibukan yang demikian dianggap cukup pantas dan wajar sebagai sampingan urusan-urusan domestik lain yang masih banyak dibebankan pada perempuan.

Sayangnya, kompensasi modal serta jasa dalam proses pembuatan kudapan ini terbilang tidaklah seberapa. Untuk seratus lembar keripik singkong organik ini, atau satu papan jemur, harga jual ke pembeli terakhir biasanya tak lebih dari 7.000-12.000 IDR. Jika dijual ke pedagang atau distributor, tentu harganya akan lebih rendah. Dengan kualitas bahan—seratus persen organik—serta proses pembuatan yang juga organik, keuntungan finansial yang didapat relatif tak sebanding. Rasa yang ditawarkan juga jauh dari murahan. Keripik mentah organik ini bahkan bisa langsung digoreng tanpa penyedap apapun. Tak heran, kudapan ini menjadi oleh-oleh khas dari dusun—atau desa dan daerah—kami karena terkenal kualitas rasanya yang—menurut banyak orang—unggul dan berbeda dari yang lain.

Jika produsen kudapan organik ini mengambil bahan mentah singkong dari sawahnya sendiri, maka keuntungan yang ia dapatkan bisa lebih besar. Meski lagi-lagi, hemat saya, terlihat jauh dari sebanding dengan proses demi proses yang dilalaui. Bayangkan saja, sebelum direbus, singkong harus terlebih dahulu dikupas, dicuci, kemudian diiris sesuai takaran satu keping kudapan. Namun demikian jika bahan mentah bukanlah milik pribadi, alias dari sawah orang/tetangga/saudara, maka total keping keripik yang didapatkan—atau hasil penjualan—harus dibagi dua dengan si empunya singkong.

Jumlah keuntungan finansial yang relatif kecil tersebut agaknya dapat diimbangi dengan prinsip residual karena profesi semacam ini cukup prospektif untuk berkelanjutan, meski tanpa perkembangan dan kemajuan berarti. Singkong berkualitas renyah dan tidak pahit (Madura: gharbu) relatif mudah didapat dalam semua musim dengan harga yang juga terjangkau dan perawatan yang tidak seberapa. Proses pembuatan—dan atau pengolahan—menjadi kudapan keripikpun bisa dilakukan tanpa bantuan mesin atau alat canggih yang memakan biaya, sedang permintaan pasar dan jalur distribusi sudah terbilang ajeg. Barangkali hal-hal ini yang membuat kudapan satu ini tetap bertahan sebagai primadona kudapan organik murah-meriah andalan desa kami.

MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.