Ebrahim Moosa, profesor studi Islam di University of Notre Dame 



Penerjemah: Masyithah Mardhatillah


“Keberadaan jutaan jemaah haji di Mekkah dan Madinah akan membawa dampak yang mematikan.”

Meskipun pandemi Corona tengah mengguncang dunia, ibadah haji tahunan Muslim ke Mekkah, tempat tersuci dalam agama Islam, masih dijadwalkan pada akhir Juli. Kerajaan Arab Saudi memang telah meminta Muslim seluruh dunia menangguhkan perjalanan haji namun tanpa penangguhan resmi, risiko kesehatan yang dipertaruhkan sangat besar.

Setiap tahun, lebih dari dua juta Muslim melaksanakan ibadah haji. Bersama-sama, mereka melakukan serentetan ritual di Mekkah, mengunjungi beberapa situs di pinggiran kota lalu bertolak ke kota suci Madinah, tempat Nabi Muhammad dikebumikan, yang jauhnya 300 mil.

Haji merupakan salah satu rukun Islam selain syahadat (pengakuan akan keesaan Tuhan), salat lima waktu dalam sehari, zakat tahunan dan puasa di Bulan Ramadhan yang dimulai hari Jum’at yang lalu. Setiap Muslim taat yang secara ekonomi mampu membayar ongkos perjalanan haji dan secara fisik dapat melakukan serangkaian kegiatan di dalamnya diharuskan melaksanakan haji paling sedikit sekali seumur hidup. Para jemaah biasanya telah menabung sejak lama dan melakukan persiapan panjang sebelum berangkat ke Mekkah.

Pernah menjadi seorang jemaah haji, saya ingat betul bagaimana hebatnya pelaksanaan ibadah tersebut. Sejak sampai di Arab Saudi, melakukan serentetan ritual haji hingga kembali ke kampung halaman, jutaan jemaah dari seantero dunia saling berdesak dan berjejal satu sama lain. Mereka memuji dan melantunkan pujaan kepada Tuhan Ibrahim, Isa, dan Muhammad sebanyak yang mereka bisa. 

Penjarakan sosial dan isolasi merupakan antitesis dari irama haji yang sangat padat. Vaksinasi wajib, sanitasi lingkungan yang baik dan tempat tinggal khusus jemaah telah berhasil secara drastis menahan penyebaran penyakit-penyakit menular seperti tipoid dan kolera selama musim haji, namun belum ditemukan terobosan efektif untuk virus Corona.
Otoritas Saudi telah menunjukkan kesadaran akan bahaya kematian yang sangat mungkin diakibatkan pandemi ini. Pada 4 Maret kemarin, mereka telah membatalkan umrah, sebuah ziarah mulya yang sifatnya sukarela, bagi warganya sendiri. Adapun warga negara asing sudah sebelumnya dilarang mengunjungi Arab Saudi untuk keperluan yang sama.

Saudi Arabia harus segera mengumumkan penangguhan haji tahun ini karena pandemi virus Corona. Deklarasi demikian menekankan prioritas aspek keselamatan dalam etika Islam sehingga Muslim seluruh dunia diharapkan dapat membatasi pertemuan-pertemuan keagamaan yang melibatkan banyak orang.

Namun demikian, penangguhan haji merupakan perkara sensitif dan karenanya membutuhkan landasan kuat berupa konsensus ilmiah dari para pemimpin politik maupun tokoh-tokoh Muslim. Apalagi, keberadaan masjid-masjid suci Makkah dan Madinah yang belakangan sepi pengunjung menimbulkan kesedihan mendalam di kalangan Muslim taat. Arab Saudi sendiri masih ragu menangguhkan pelaksanaan haji karena mengkhawatirkan reaksi dunia.

Di dunia Muslim maupun level internasional, reputasi kerajaan Arab Saudi tengah menghadapi pukulan bertubi-tubi pada tahun-tahun terakhir. Ini di antaranya dipicu kerusuhan karena naik tahtanya Putra Mahkota Muhammed bin Salman, perang di Yaman yang penuh malapetaka dan pembunuhan mengerikan Jamal Khashoggi. Dari sinilah Arab Saudi tampak sangat berhati-hati.  

Akan tetapi, penangguhan ibadah haji merupakan keputusan yang harus diambil pemerintah Saudi dan para pemuka agama sebab selama perang, epidemi dan bahaya yang mengerikan, kewajiban melaksanakan ibadah haji tak berlaku lagi. Al-Qur’an secara jelas menyebutkan; “Dan jangan menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan.” Nabi Muhammad juga mengajarkan bahwa siapapun harus menghindari penularan penyakit selama terjadi epidemi.      


Dalam situasi semacam ini, Islam membolehkan segelintir orang tetap melaksanakan ibadah haji seperti biasa di bawah pengawasan yang ketat. Otoritas Saudi harusnya dapat memenuhi persyaratan tersebut dengan membolehkan beberapa warga lokalnya beribadah haji di bawah protokol penjarakan sosial dan penggunaan alat pelindung. 

Sejak ibadah haji diadopsi Islam, para sejarawan mencatat pernah terjadi sekitar 40 kali penangguhan. Wabah di Kesultanan Usmani membuat pelaksanaan haji pada 1814 begitu terganggu karena tiadanya jemaah.


Para ahli etika Muslim juga telah lama menjelaskan dengan gamblang bahwa keselamatan jiwa manusia selama pandemi merupakan hal yang harus diprioritaskan dibanding pelaksanaan ritual-ritual keagamaan. Cendekiawan Muslim Mesir abad ke-15, Ibnu Hajar al-Asqalani, mencatat perihal mudarat yang disebabkan pelaksanaan salat jama’ah besar-besaran ketika sebuah wabah terjadi. Pada Desember 1429, menurutnya, wabah tersebut menyebabkan 40 kematian setiap harinya di Kairo.


Sebulan kemudian, ketika orang-orang kembali dari perkumpulan massal di sebuah padang pasir untuk melaksanakan puasa dan salat taubat agar wabah tersebut segera diangkat, angka kematian justru meroket hingga 1000 perhari. Tak hanya itu, kegagalan menentukan tindakan tepat melawan penyebaran penyakit dalam masa wabah juga dialami Damaskus seabad sebelumnya yang menggiring negara tersebut pada sebuah bencana demikian besar, tulis Al-Asqalani.


Cendekiawan senior Ibnu Rusyd (bapak para filsuf, fisikawan serta ahli hukum yang juga dikenal dengan nama Averroes) berargumen bahwa perjalanan berisiko dan berbahaya yang dilakukan seorang Muslim merupakan perbuatan dosa. Ini merupakan peringatan keras pada siapapun yang mengabaikan bahaya pandemi yang tengah terjadi.


Para pemimpina agama seluruh dunia yang peka terhadap persoalan ini telah menutup masjid-masjid selama nyaris satu bulan. Para ulama juga mengimbau kaum Mukmin untuk melaksanakan ritual shalat sunnah di malam Ramadhan, tarawih, di rumah masing-masing. 

Raja Salman Abdul Aziz yang digelari “Pemelihara Dua Tempat Suci” akan berperan besar terhadap keselamatan global jika segera mengumumkan penangguhan haji kepada Muslim seluruh dunia. Musyawarah antara pihak kerajaan dan perwakilan negara-negara Muslim akan membantu penyusunan konsensus perihal keharusan penangguhan kewajiban haji di musim haji tahun ini.


Keputusan dini yang demikian juga akan menyelamatkan banyak nyawa karena secara empatik, ia menekankan bahwa pertemuan keagamaan apapun di negara manapun, selama krisis ini belum teratasi, akan sangat berbahaya.


Pamekasan, 28-29 April 2020


Penerjemah Inggris-Indonesia: Masyithah Mardhatillah 
Penerjemah Turki-Inggris: Ekin Olkap

Orang-orang selalu merespon epidemi dengan menyebar desas-desus dan berita bohong, menganggap penyakit layaknya mahluk asing yang datang karena dibawa maksud jahat.  
ISTANBUL-Empat tahun belakangan saya tengah menulis novel sejarah dengan latar tahun 1901 ketika apa yang dikenal dengan wabah pandemi ketiga tengah terjadi, sebuah wabah penyakit pes yang membunuh jutaan orang di Asia dan segelintir di Eropa. Selama dua bulanan terakhir, para teman dan saudara, editor dan jurnalis yang terlanjur mengetahui judul novel tersebut, “Malam-malam Wabah”, terus mengajukan rentetan pertanyaan tentang pandemi.
Hal yang paling ingin mereka ketahui adalah kesamaan antara virus Corona yang tengah melanda kita saat ini dengan sejarah serta wabah kolera. Ada banyak sekali kesamaan. Sepanjang sejarah manusia dan kesusastraan, apa yang menyamakan pandemi-pandemi tersebut bukanlah karena virus dan kuman yang serupa, akan tetapi respon pertama kita yang selalu sama.
Respon awal terhadap wabah pandemi selalu berupa penyangkalan. Pemerintah lokal maupun nasional selalu saja terlambat memberikan respon, mendistorsi fakta-fakta serta memanipulasi angka-angka untuk mengingkari keberadaan wabah.
Di halaman-halaman awal “A Journal of the Plague Year,” sebuah karya sastra paling terkemuka yang pernah ditulis perihal penularan wabah dan perilaku manusia; Daniel Defor mencatat bahwa pada 1664, otoritas-otoritas lokal di beberapa perkampungan London mencoba memanipulasi angka kematian akibat wabah dengan menjadikannya lebih sedikit dari yang sebenarnya sembari melaporkan penyakit lain sebagai penyebab dari kematian-kematian tersebut.
Pada 1827, dalam novel berjudul “The Betrothed,” barangkali novel paling realis yang pernah ditulis perihal wabah, penulis Italia Alessandro Manzone menggambarkan sekaligus membenarkan kemarahan penduduk lokal terkait respon pemerintah pada wabah 1630 di Milan. Meski sudah ada buktinya, gubernur Milan tetap mengabaikan ancaman penyakit tersebut bahkan urung menggagalkan perayaan ulang tahun sang pangeran. Manzonie menunjukkan bahwa wabah dengan cepat menyebar karena larangan yang diberlakukan tidak memadai, sementara penegakan hukum terbilang longgar dan para warga tidak mengindahkannya.
Banyak karya sastra tentang wabah dan penularan penyakit yang menggambarkan kecerobohan, inkompetensi dan egoisme pemerintah yang hanya menjadikan mereka sebagai pemicu kemarahan massa. Namun demikian, penulis-penulis terbaik, seperti Defoe dan Camus, memungkinkan para pembacanya melihat sesuatu yang lain di luar politik, yakni hal intrinsik dalam keadaan manusia.
Novel Defoe menunjukkan bahwa di balik keluhan yang tak berujung dan kegusaran yang tak berbatas, ada juga kemarahan terhadap takdir dan kehendak ilahiyah yang menyaksikan bahkan mungkin merestui semua kematian dan penderitaan manusia. Kemarahan juga dialamatkan terhadap lembaga keagamaan yang tampak tidak yakin bagaimana mereka ikut andil mengatasi wabah.
Respon kemanusiaan lain yang juga universal dan tampak spontan terhadap pandemi selalu berputar di soal membuat desas-desus dan menyebarkan informasi palsu. Selama pandemi-pandemi terakhir, desas-desus paling banyak dipicu oleh informasi yang salah dan ketidakmungkinan melihat masalah secara utuh.
Defoe dan Manzoni menulis tentang orang-orang yang menjaga jarak ketika bertemu di jalan selama wabah terjadi. Menariknya, mereka ini diceritakan saling bertanya satu sama lain perihal informasi dan berita dari masing-masing kampung dan lingkungan sekitar. Ini memungkinkan mereka mendapat gambaran yang lebih utuh soal wabah sehingga sama-sama berharap dapat selamat dari kematian dan menemukan tempat perlindungan yang aman.
Di dunia tanpa surat kabar, radio, televisi atau internet, kaum buta huruf yang menjadi mayoritas hanya mengandalkan imajinasi untuk mengenali di mana bahaya berada, seberapa ia mengerikan serta seperti apa rasa sakit yang diakibatkan. Kepercayaan pada imajinasi semacam ini membuat masing-masing orang memiliki bentuk ketakutan sendiri-sendiri, apalagi ketika ia dijiwai oleh hal-hal yang liris—lokalitas, spiritualitas dan mitos.
Desas-desus yang paling banyak muncul selama masa wabah adalah perihal siapa yang membawa penyakit atau dari mana sebuah wabah berasal. Sekitar pertengahan Maret, begitu kepanikan dan ketakutan mulai menyebar di seantero Turki, manager bank saya di Cihangir, Istanbul, mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa ‘sesuatu ini’ merupakan respon ekonomi China terhadap Amerika Serikat dan seluruh dunia.
Seperti halnya iblis, wabah selalu dianggap sebagai hal yang datang dari luar. Ia dibayangkan sudah pernah menyerang tempat lain namun upaya untuk menekannya tidak cukup berhasil. Terkait penyebaran wabah di Athena, Thucydides memulai paparannya dengan mengatakan bahwa wabah telah lama menyebar di tempat yang jauh, yakni Ethiopia dan Mesir.
Sebagai mahluk asing, wabah penyakit juga dipercaya datang dari luar dan berhasil masuk karena ‘dibawa’ oleh maksud jahat. Rumor-rumor soal identitas yang dianggap sebagai pembawa dan penyebar wabah selalu menjadi hal paling lazim dan populer.
Dalam “The Betrothed,” Manzoni menggambarkan seorang tokoh yang merupakan representasi dari imajinasi paling umum selama wabah di Abad Pertengahan: Setiap hari bakal ada desas-desus soal orang berhati dengki yang datang dengan niat jahat untuk melumuri gagang-gagang pintu atau air mancur dengan cairan terinfeksi wabah. Atau mungkin seorang lelaki tua kelelahan yang duduk di lantai gereja lalu dituduh menyebarkan virus oleh wanita yang lewat hanya karena si tua menggosok-gosokkan jasnya. Lalu tak lama, segerombolan orang yang main hakim sendiri ikut bergabung.
Ledakan kekerasan yang tak diharapkan pun tak dapat dikendalikan ini, kabar angin, kepanikan dan pemberontakan menjadi lazim selama epidemi wabah sejak Abad Pencerahan. Marcus Aurelius menyalahkan Kaum Kristiani di Kekaisaran Romawi karena ketidakmauan mereka mengikuti ritual yang bertujuan mengambil hati dewa Romawi dianggap menjadi penyebab wabah cacar Antonine. Selama wabah yang terjadi selanjutnya, Kaum Yahudi juga disalahkan karena dituduh meracuni sumur Kesultanan Usmani dan Kristen Eropa.
Sejarah dan kesusastraan soal wabah sama-sama menunjukkan intensitas penderitaan, ketakutan akan kematian, rasa takut yang metafisik serta rasa aneh luar biasa yang dialami rakyat terdampak dan pada gilirannya menentukan kadar kemarahan dan ketidakpuasan politik.
Sebagaimana pandemi-pandemi tua tersebut, desas-desus yang tidak berdasar dan tuduhan berdasarkan identitas negara, agama, etnik dan daerah saat ini juga berefek signifikan terhadap bagaimana kejadian-kejadian selama wabah Corona ini ditafsiri. Kecondongan media sosial dan media populer sayap kanan yang memperkuat kebohongan juga ikut ambil bagian.
Namun hari ini, kita memiliki akses informasi terpercaya soal pandemi ini yang jauh lebih banyak dan lebih leluasa dibandingkan orang-orang yang menghadapi pandemi lama.  Ini jugalah yang membuat rasa takut yang kita rasakan semakin kuat dan masuk akal sebab apa yang kita alami saat ini begitu berbeda. Teror yang kita hadapi bukanlah sekadar desas-desus, akan tetapi informasi yang akurat.    
Saat kita melihat titik-titik merah di peta negara yang kita tinggali dan di dunia semakin bertambah bahkan berlipat, kita menyadari bahwa tak ada tempat untuk melarikan diri dan berlindung. Kita bahkan tidak membutuhkan imajinasi apapun untuk mulai merasakan hal terburuk. Kita tinggal menyaksikan video pawai truk-truk tentara besar dan hitam yang mengangkut jenazah dari kota-kota kecil Italia ke pemakaman terdekat sambil membayangkan bahwa kita tengah menyaksikan prosesi pemakaman kita sendiri.
Akan tetapi, teror yang kita rasakan meniadakan imajinasi dan individualitas. Ia mengungkapkan betapa secara tak terduga, kehidupan kita dan umat manusia lain sama-sama berada di ujung tanduk. Ketakutan, seperti pikiran akan kematian, membuat kita merasa sendiri, namun pengakuan bahwa kita semua tengah mengalami kesedihan mendalam yang sama dapat mengeluarkan kita dari kesepian semacam itu.
Pengetahuan bahwa seluruh umat manusia, mulai dari Thailand hingga New York, memiliki kecemasan yang sama soal bagaimana dan di mana harus mengenakan masker wajah, bagaimana cara teraman memperlakukan makanan yang baru dibeli dan apakah karantina mandiri dibutuhkan merupakan pengingat yang konstan bahwa kita tak sendiri. Ini melahirkan perasaan solidaritas. Kita tak lagi dibuat malu oleh rasa takut yang kita rasakan. Ia justru menuntun kita menemukan kerendahan hati yang memunculkan kesalingpengertian.
Ketika di televisi saya melihat orang-orang menunggu di luar rumah sakit-rumah sakit besar, saya dapat begitu merasakan bahwa teror yang saya hadapi juga dialami umat manusia yang lain, dan saya pun tidak merasa sendirian. Terkadang, saya merasa sedikit malu dengan ketakutan yang saya alami, namun lambat laun saya melihatnya sebagai sebuah respon yang sangat wajar. Saya lalu teringat sebuah adagium tentang pandemi dan wabah yang mengatakan bahwa mereka yang merasa takut akan hidup lebih lama.
Pada akhirnya saya menyadari bahwa ketakutan memunculkan dua respon berbeda pada diri saya, mungkin juga pada diri kita semua. Terkadang ia membuat saya seperti menarik diri menuju kesendirian dan kesunyian. Namun di waktu yang lain, ia mengajarkan saya untuk rendah hati dan bersolidaritas
Saya bermimpi menulis novel tentang wabah sejak 30 tahun yang lalu, dan ketika itu saya sudah ingin membidik perihal ketakutan akan kematian. Pada 1561, penulis Ogier Ghiselin de Busbecq—yang merupakan duta Kekaisaran Hapsburg di Kesultanan Usmani selama pemerintahan Sulaiman Agung—berhasil meloloskan diri dari wabah di Istanbul dengan membawa para pengungsi sejauh enam jam perjalanan ke Pulau Prinkipo, kepulauan Pangeran terbesar di tenggara Istanbul yang terletak di Laut Marmara. Ia menganggap UU karantina di Istanbul tidak memadai serta menegaskan bahwa rakyat Turki adalah kaum fatalis karena agama yang mereka anut, yakni Islam. 
Sekitar satu setengah abad kemudian, Defoe yang bijaksana menulis di novelnya tentang wabah London bahwa rakyat Turki dan Mahometans (Muslim, pengikut Nabi Muhammad, pent) “mengakui ide soal takdir dan meyakini bahwa akhir cerita setiap orang sudah ditentukan”. Novel wabah yang saya tulis akan membantu saya berpikir soal fanatisme Muslim dalam konteks sekularisme dan modernitas.   
Baik fatalis atau bukan, sejarah mencatat bahwa meyakinkan Muslim untuk sabar menjalani karantina selama epidemi jauh lebih sulit dibanding meyakinkan umat Kristiani, khususnya di Kesultanan Usmani. Protes yang dipicu masalah perdagangan karena para penjaga toko dan rakyat pedesaan dari semua agama cenderung mengalami kenaikan gaji ketika menolak karantina, di kalangan Muslim, diperparah dengan isu kesopanan perempuan dan privasi domestik. Komunitas Muslim di awal abad 19 juga menuntut layanan dari “dokter-dokter Muslim,” sebab saat itu kebanyakan dokter adalah kaum Kristiani, bahkan di kekasairan Utsmani sekalipun.
Sejak dasawarsa 1850-an, ketika bepergian dengan kapal api semakin murah, perjalanan ziarah haji Muslim ke kota suci Mekkah dan Madinah menjadi perantara penyebaran penyakit menular terbesar di dunia. Tak heran pada abad ke-20, untuk mengendalikan laju jemaah haji ke Makkah dan Madinah sekaligus perjalanan pulang ke negaranya masing-masing, Pemerintah Inggris mendirikan kantor-kantor karantina pertama di dunia yang terletak di Iskandariah, Mesir.
Perkembangan sejarah ini dapat menjelaskan tak hanya soal menyebarnya stereotip perihal ‘fatalisme’ Muslim, akan tetapi juga soal prakonsepsi bahwa mereka dan orang Asia lain merupakan satu-satunya muasal dan pembawa penyakit menular.
Di bagian-bagian akhir-akhir novel Fyodor Dostoyevsky yang berjudul Crime and Punishment, Raskolnikov, tokoh utama dalam novel tersebut, bermimpi tentang wabah. Dalam tradisi kesusasteraan, ia digambarkan seperti berikut: “Dia bermimpi bahwa seluruh dunia dikutuk oleh sebuah wabah asing yang datang ke Eropa dari kedalaman Asia.”
Di peta-peta dari abad ke-17 dan 18, batas politis Kesultanan Usmani—yang dianggap akan menjadi awal terbentuknya dunia yang melampaui Barat—ditandai dengan Sungai Donau. Namun demikian, batas budaya dan antropologi antara dua dunia tersebut adalah wabah dan fakta bahwa kemungkinan terjangkit wabah jauh lebih tinggi di sebelah timur sungai Donau. Ini diperkuat tidak hanya dengan ide fatalisme sejak lahir yang sering dihubungkan dengan kebudayaan Timur dan Asia, tetapi juga prakonsepsi bahwa wabah dan epidemi lain selalu datang dari ceruk tergelap di timur.
Gambaran yang kita dapat sedikit demi sedikit dari sejarah lokal cukup menunjukkan bahwa selama pandemi wabah-wabah besar, masjid-masjid di Istanbul tetap menyelenggarakan pemakaman. Mereka yang berkabung juga masih saling mengunjungi untuk mengungkapkan belasungkawa dan berbalas pelukan penuh air mata. Bukannya mengkhawatirkan dari mana datangnya penyakit dan bagaimana ia menyebar, orang-orang justru lebih peduli soal bagaimana mereka lebih siap menghadapi pemakaman selanjutnya. 
Namun demikian, selama pandemi virus Corona yang tengah terjadi ini, pemerintah Turki telah mengambil pendekatan sekuler, yakni melarang penguburan jenazah yang meninggal karena wabah dan mengeluarkan keputusan tegas untuk menutup masjid-masjid pada Hari Jum’at ketika orang-orang dalam jumlah besar biasa datang demi menunaikan ibadah paling penting dalam sepekan. Warga Turki tidak melawan tindakan-tindakan ini. Seperti ketakutan kami yang besar, demikian halnya dengan sikap bijaksana dan kesabaran.
Untuk menciptakan dunia yang lebih baik setelah pandemi ini, kita harus memiliki dan memelihara perasaan rendah hati dan solidaritas yang timbul dari momentum ini.   

Orhan Pamuk, peraih penghargaan Nobel Sastra pada 2006, penulis Novel "Nights of Plague" yang akan terbit.

Pamekasan, 26-27 April 2020


Penerjemah: Masyithah Mardhatillah

Indonesia tidak siap menghadapi pandemi Covid-19. Baru diumumkannya segelintir kasus hingga akhir Maret cukup jelas menunjukkan kegagalan dan ketidamampuan pemerintah mengambil tindakan tepat untuk menghadapi epidemi ini. Pada 2 Februari, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto bahkan dengan naif mengatakan bahwa kekuataan doa akan mampu melindungi Indonesia dari pandemi ini. Kasus pertama secara resmi diumumkan pada 02 Maret. Sementara pada akhir Maret,  jumlah kasus yang dilaporkan sudah melampaui angka 1400 dan tak lama, ia meroket menjadi 4.000-an pada 12 April. Pada 21 April, jumlah keseluruhan kasus melampaui 7000 dengan angka kematian terbesar di negara-negara Asia selain Tiongkok. Pemerintah Indonesia di level pusat maupun daerah terbilang lamban merespon situasi. Baru pada 21 April perjalanan Ramadhan atau yang populer disebut mudik resmi dilarang.

Pandemi ini merupakan tantangan yang luar biasa baru bagi umat Muslim dengan datangnya Bulan Ramadhan sejak 23 Maret. Organisasi-organisasi Muslim, termasuk Muhammadiyah dan NU, menyadari betul perihal krisis kesehatan ini sejak awal. NU langsung mengubah aktivitas rutin Ramadhan-nya untuk menghindari persebaran virus dalam acara-acara rutin tahunan tersebut. Secara khusus, organisasi ini menghadapi tantangan yang unik sekaligus menjengkelkan karena dua alasan. Pertama adalah tantangan dari aspek organisasi. NU merupakan federasi yang terstruktur secara longgar dari beberapa pesantren yang bergerak secara swadaya dan dipimpin oleh seorang ilmuwan kharismatik atau biasa disebut kiai. Kesetiaan begitu terpusat kepada masing-masing kiai dan bukan pada organisasi. Kedua adalah soal bagaimana mengkontekstualisasi makna keagamaan pada pandemi Covid-19.


Nahdlatul Ulama

NU didirikan pada 1926 di Surabaya untuk merespon penaklukan Mekkah oleh kaum Wahabi. Beberapa pendirinya, termasuk K.H. Hasyim Asy’ari (1871-1947), pernah belajar di kota suci tersebut selama beberapa dasawarsa dan merupakan salah satu sarjana Muslim yang paling terkemuka. NU memiliki kurang lebih 80 juta anggota yang mendaulatnya sebagai organisasi Muslim terbesar di Indonesia. Sebagian besar pengikut NU adalah orang Jawa dan orang Madura. Ada segelintir elite perkotaan berpendidikan tinggi di tubuh NU, namun sebagian besar berasal dari desa dan kota kecil. Organisasi serupa dapat ditemukan di Lombok (Nahdlatul Wathan) dan Sulawesi (As’adiyah).

Dalam hal keagamaan, NU mendefinisikan dirinya sebagai ahlus sunnah wal jama’ah (komunitas yang meneladani Rasulullah). Warga NU mengikuti satu di antara empat madzhab Sunni dalam wilayah hukum Islam, berteologi Asy’ariyah yang menekankan pada penafsiran rasional terhadap Al-Qur’an serta berpedoman pada Al-Ghazali (1058-1111) dan al-Junaid (830-910) dalam bidang sufisme syar’i (mistisisme Islam). Pemujaan orang-orang suci merupakan salah satu dasar kesalehan dalam NU. Jutaan pengikut NU biasa berziarah ke makam-makan para wali, utamanya sembilan wali yang menjadi tokoh penyebar Islam di Jawa. Logika berpikir NU, termasuk yang ada kaitannya dengan kewajiban keagamaan, didasarkan pada madzhab Syafi’i serta penerapan prinsip-prinsip dalam Al-Qur’an dan hadist. NU secara aktif mempromosikan tradisi  dan budaya Jawa ataupun budaya lain di Indonesia, utamanya dalam bentuk acara-acara berskala publik.

Para kiai terkemuka sedari awal menyadari bahwa penjarakan sosial harus dilakukan untuk menekan pandemi Corona. Ini tentu mengharuskan penyesuaian dengan prosedur pesantren yang berlaku serta perubahan perilaku keagamaan dan sosial Muslim di level individu. Begitu Ramadhan menjelang, kyai yang biasanya sibuk menyiapkan beberapa perlengkapan untuk acara-acara sosial keagamaan selama Ramadhan kini lebih fokus merespon pandemi dan memimpin pesantren dalam keadaan luar biasa ini.

Namun demikian, kenyataannya, Ramadhan memang menjadikan penjarakan sosial sangat sulit. Pandemi ini tidak akan mungkin bisa ditekan jika Muslim tetap dengan suka cita melakukan aktivitas Ramadhan seperti biasa. Ada juga kecenderungan mengaburkan perkara wajib dalam konteks keagamaan dan dalam konteks sosial-budaya NU, seperti doa Nishfu Sya’ban dan mengunjungi kuburan (nyadran) sebelum Ramadhan dimulai. Termasuk pula di antaranya adalah buka puasa bersama, bazar harian Ramadhan, pengajian, pawai, perayaan-perayaan, anjangsana keluarga, perayaan Idul Fitri dan tradisi mudik yang biasanya mampu seketika mengosongkan kota-kota karena orang-orang kembali ke kampungnya di akhir Ramadhan.

Ada lebih dari empat belas ribu pesantren di Indonesia. Sebagian besar di antaranya menawarkan perpaduan antara pendidikan Islam dan modern sekuler. Sebagian lain hanya mengajarkan pelajaran-pelajaran keagamaan. Pesantren menawarkan pendidikan Islam yang setara dengan lembaga pendidikan di Asia Tenggara dan Timur Tengah. Masing-masing memiliki keunikan dan menggambarkan spesialisasi dari kiai yang memimpin. Ada juga yang menawarkan pendidikan Islam dasar. Yang lain fokus pada kajian-kajian hukum Islam tingkat tinggi, pembacaan Al-Qur’an, kajian teologi dan tradisi yang dilakukan Muslim Indonesia. Jumlah santri di masing-masing pesantren berbeda mulai yang kurang dari 100 hingga yang lebih dari 12 ribu. Kehidupan pesantren terbilang keras. Sebanyak 20-an santri tinggal di satu kamar yang sama. Beberapa di antaranya tidur di masjid karena terlalu penuh.


NU, Pesantren, Imbauan Keagamaan dan Virus Corona

Respon NU terhadap pandemi Covid-19 memadukan antara logika berpikir ala Syafi’i dengan pragmatisme medis. Muslim NU begitu memperhitungkan otoritas dan kearifan kiai. NU maupun kiai secara individu mengakui bahwa penjarakan sosial merupakan satu-satunya cara untuk menekan penyebaran virus dan ini mengharuskan Muslim mengubah perilaku sosial keagamannya. Untuk itu, NU mendirikan pos-pos komando di seluruh Indonesia untuk menyediakan informasi soal pandemi ini serta bantuan terhadap korban. Pada pertengahan Maret, dibentuk juga pos-pos untuk membantu upaya disinfektasi dan mengumpulkan paket makanan untuk para korban serta orang miskin.

Di level lokal maupun nasional, NU memberi imbauan serta arahan soal apa yang seharusnya dilakukan Muslim selama pandemi belum berakhir.

Pada pertengahan Maret, makam-makan para wali ditutup. Selanjutnya pada 28 Maret, lembaga kesehatan NU mengimbau Muslim untuk tetap di rumah dan tidak mudik untuk libur Lebaran. Tak sampai di situ, pada 04 April, majelis pusat NU mengedarkan arahan yang menegaskan bahwa aktivitas rutin Ramadhan harus dibatasi. Edaran tersebut juga mengharuskan Muslim melakukan salat tarawih, shalat khusus yang hanya dikerjakan pada malam Bulan Ramadhan, di rumah masing-masing, bukan di masjid. Selain itu, instruksi pembatalan juga diberlakukan pada salat Idul Fitri yang merupakan perayaan puncak puasa.

Pada 09 April, NU menyelenggarakan istighasah kubro Nisfu Sya’ban secara daring, memohon pertolongan Allah untuk menyelamatkan Indonesia dari COVID-19. Lebih dari 100.000 orang berpartisipasi. Acara ini juga disiarkan di 14 channel televisi. Nisfu Sya’ban adalah hari kelima belas dalam Bulan Sya’ban, bulan sebelum Ramadhan. Muslim NU umumnya meyakini bahwa Allah mengabulkan doa yang dipanjatkan pada hari tersebut. Puluhan perayaan nyadran pada momen ini juga dibatalkan. Beberapa di antaranya merupakan anjangsana keluarga dalam level kecil, sedang lainnya adalah nyadran massal di kuburan orang-orang suci yang biasanya melibatkan ribuan orang.

Sementara itu di pesantren, para kiai menghadapi dilema yang juga sangat sulit. Kondisi yang ramai membuat pesantren sangat rentan menjadi tempat penyebaran virus Corona. Biasanya, Ramadhan merupakan waktu libur santri. Memperbolehkan mereka pulang ke rumah dapat semakin menambah risiko meluasnya pandemi ini. Sebaliknya, menampung santri ‘di pesantren’ juga berpotensi menyebarkan virus di wilayah-wilayah yang layanan kesehatannya masih belum sempurna. Beberapa kiai memilih untuk memajukan liburan Ramadhan. Lirboyo, salah satu pesantren terbesar, menyiapkan peralatan screening dan treatment khusus bagi santri sebelum mereka pulang. Yang lain tetap membiarkan santri tinggal di pesantren namun membatasi kontak dengan orang luar untuk memastikan pesantren tetap aman dan steril dari virus. Ini adalah pilihan-pilihan yang sulit. Namun demikian, apapun keputusan yang diambil, kepedulian kiai yang demikian besar terhadap santri-santrinya begitu tampak.                


Korban sebagai Syahid

Berapa banyak orang Indonesia yang telah meninggal dunia karena Covid-19 belum dapat benar-benar dipastikan. Namun demikian, jumlahnya akan semakin banyak dalam beberapa pekan dan bulan mendatang. Terkait ini, NU telah memberi penegasan serta—semacam—pelipur lara bahwa mereka yang meninggal karena pandemi ini dianggap syahid dan karenanya akan menerima pahala dari apa yang diderita. Beberapa pernyataan menyebutkan bahwa hadist di bawah ini menjelaskan perihal derajat syahid korban Covid-19.

Suatu ketika Rasulullah menanyai para sahabatnya:
“Siapakah di antara kalian yang syahid?” Mereka menjawab: “Mereka yang meninggal dunia di medan perang adalah syahid”. Lalu Rasulullah menimpali, “Jika demikian, sangat sedikit umatku yang syahid.” Para sahabat kembali bertanya, “Lalu siapa?” Rasulullah menjawab “Mereka yang meninggal dunia di medan perang adalah syahid, termasuk juga yang meninggal di jalan Allah (bukan ketika berperang), karena wabah, karena sakit perut, juga karena tenggelam”

Mark Woodward adalah profesor peneliti di Center for the Study of Religion and Conflict di Arizona State University









Oleh: Yuval Noah Harari
Penerjemah: Masyithah Mardhatillah

Akankah pandemi virus Corona mengembalikan kita pada sikap lama yang nrimo dan pasrah terhadap kematian—atau justru semakin memicu upaya memperpanjang usia manusia?

Dunia modern dibentuk oleh kepercayaan bahwa manusia dapat mengakali dan menundukkan kematian. Ini merupakan sikap revolusioner yang terbilang baru. Di sebagian besar sejarah, manusia cenderung menerima kematian tanpa perlawanan apapun. Hingga akhir masa modern, sebagian besar agama dan ideologi melihat kematian tak hanya sebagai takdir dan karenanya tak dapat dihindari, akan tetapi juga sebagai sumber utama makna kehidupan. Kejadian paling penting dalam keberadaan manusia terjadi ketika Anda menghembuskan nafas terakhir. Hanya dari situlah  Anda dapat belajar tentang rahasia-rahasis kehidupan yang sejati. Hanya dari situ pulalah Anda akan mendapat keselamatan yang kekal atau menderita kutukan abadi. Dalam dunia tanpa kematian—dan karenanya tanpa surga, neraka atau kebangkitan kembali—agama seperti Kristen, Islam dan Hinduisme menjadi tak masuk akal. Dalam sebagian besar sejarah, pikiran terbaik manusia sibuk memberi makna pada kematian, bukan berupaya menundukkannya.

The Epic of Gilgamesh, mitos Orpheous dan Eurydice, Bible, Al-Qur’an, Veda, dan kitab suci atau cerita sakral yang tak terhitung jumlahnya menekankan bahwa manusia akan meninggal dunia karena Tuhan, Kosmos, atau Dewi Alam telah menentukan yang demikian. Karena itu, kita umat manusia harus menerimanya dengan rasa syukur dan kepasrahan. Mungkin suatu hari, Tuhan akan menghapus kematian melalui gerak tubuh metafisika yang menakjubkan, seperti kedatangan Yesus untuk kedua kalinya. Namun, mengorkestrasi bencana semacam ini tentu di luar kemampuan manusiawi.

Lalu revolusi ilmu pengetahuan terjadi. Bagi para ilmuwan, kematian bukanlah takdir ilahiyah—ia semata-mata merupakan masalah teknis. Manusia meninggal dunia bukan karena Tuhan menghendaki demikian, tapi karena adanya kesalahan teknis. Jantung berhenti memompa darah. Kangker merusak liver. Virus berkembang biak di paru-paru. Lalu siapa/apa yang bertanggungjawab terhadap semua masalah teknis tersebut? Masalah teknis yang lain. Jantung berhenti memompa darah karena kurangnya oksigen yang sampai ke ototnya. Sel kanker menyebar di liver karena beberapa faktor genetik atau mutasi. Sementara virus menetap di paru-paru karena terkena cipratan bersin orang di bus. Tak ada campur tangan metafisika apapun dalam hal ini.
Lebih jauh, ilmu pengetahuan meyakini bahwa setiap masalah teknis juga memiliki solusi teknis. Kita tak perlu menunggu kedatangan Nabi Isa yang kedua untuk mengalahkan kematian. Beberapa ilmuwan di laboratorium bisa melakukannya. Jika sebelumnya persoalan ini merupakan wilayah pendeta dan ahli agama yang berjubah hitam, kini ia berpindah pada awak laboratorium dengan jas putihnya. Jika jantung tak berdenyut, kita bisa merangsangnya dengan alat pacu jantung atau bahkan menggantinya dengan jantung baru. Ketika kangker mengamuk, kita dapat membunuhnya dengan radiasi. Jika virus berkembang biak di paru-paru, kita dapat menundukkanya menggunakan obat-obat baru.

Benar, saat ini, kita tidak dapat memecahkan semua permasalahan teknis tersebut. Namun kita tengah melakukannya. Pikiran terbaik manusia tidak lagi berjibaku untuk memaknai kematian, akan tetapi soal bagaimana usia kehidupan dapat diperpanjang. Mereka mengamati sistem mikrobiologi, psikologi dan genetika yang berkait erat dengan penyakit dan usia lanjut lalu mengembangkan obat-obat dan layanan kesehatan yang revolusioner.
***
Dalam usahanya memperpanjang usia kehidupan, manusia terbilang cukup sukses. Selama dua abad terakhir, rata-rata harapan hidup meningkat dari 40 tahun ke 72 tahun di seluruh dunia, bahkan hingga 80 tahun di negara-negara maju. Anak-anak juga berhasil lepas dari ancaman kematian. Hingga abad ke-20, sedikitnya sepertiga anak-anak tidak pernah bertahan hidup hingga usia dewasa. Para pemuda biasanya meninggal dunia karena menderita penyakit anak-anak semisal disentri, campak dan cacar. Pada abad ke-17 di Inggris, sekitar 150 dari setiap 1000 bayi yang baru lahir meninggal dunia di tahun pertamanya dan hanya 700 di antaranya yang bertahan hidup hingga usia 15 tahun. Hari ini, hanya 5 dari 1000 bayi di Inggris yang meninggal dunia di tahun pertamanya sementara 933 di antaranya dapat merayakan ulang tahun ke-15. Di dunia secara keseluruhan, angka kematian anak turun hingga kurang dari 5%.
Sekali lagi, manusia  bisa dikatakan berhasil dalam usahanya melindungi kehidupan dan memperpanjang usia sehingga wawasan dunia kita juga telah demikian berubah. Ketika agama-agama tradisional menganggap akhirat sebagai sumber utama dari semua makna, sejak abad ke-18, ideologi-ideologi semacam liberalisme, sosialisme dan feminisme mampu menghilangkan ketertarikan terhadap kehidupan akhirat. Apa yang persisnya terjadi pada seorang komunis setelah kematiannya? Apa pula yang menimpa seorang kapitalis? Seorang feminis? Tentu tak ada gunanya mencari jawaban tersebut di tulisan-tulisan Karl Marx, Adam Smith atau Simone de Beauvoir.
Satu-satunya ideologi modern yang masih menganggap kematian memiliki peran sentral hanyalah nasionalisme. Dalam moment-moment puitik penuh keputusasaan, nasionalisme menjanjikan bahwa siapapun yang meninggal dunia dalam perjuangan membela negara akan hidup selamanya di ingatan banyak orang. Namun demikian, janji ini cukup membingungkan sebab orang paling nasionalis sekalipun tidak benar-benar tahu bagaimana ‘cara kerjanya’. Bagaimana Anda bisa benar-benar hidup dalam kenangan? Jika Anda meninggal dunia, bagaimana Anda bisa tahu apakah orang-orang masih mengingat Anda atau tidak? Woody Allen pernah ditanya apakah dia ingin hidup selamanya di ingatan para pecinta film. Allen menjawab: “Aku mending hidup di apartemenku”. Terkait ini, beberapa agama tradisional sebenarnya sudah mengubah fokus. Dibanding menjanjikan surga di akhirat, mereka mulai lebih menekankan apa yang bisa dilakukan para pemeluknya di kehidupan ini.
Lalu apakah pandemi yang tengah kita hadapi saat ini akan mengubah sikap kita terhadap kematian? Mungkin tidak, bahkan sebaliknya. Covid-19 bisa jadi akan membuat kita semakin gencar melindungi kehidupan manusia. Umumnya, reaksi kultural terhadap Covid-19 bukanlah kepasrahan, akan tetapi perpaduan antara akibat pelanggaran dan harapan.
Saat sebuah pandemi meledak di masyarakat pra-modern seperti Eropa pada abad pertengahan, orang-orang tentu mengkhawatirkan kehidupan mereka dan begitu terpukul dengan kematian orang-orang tersayangnya, namun reaksi kultural mereka yang paling utama adalah kepasrahan. Ahli psikologi mungkin akan menyebut ini dengan “hikmah dari ketidakberdayaan”. Namun demikian, orang-orang tersebut cenderung meyakini bahwa hal demikian adalah kehendak Tuhan—atau mungkin adzab karena dosa umat manusia. “Tuhan tahu yang terbaik. Kita, manusia-manusia berdosa, layak mendapatkan musibah ini. Dan Anda akan lihat, semuanya akan indah di akhir cerita. Jangan khawatir, orang baik akan mendapat pahalanya di surga. Jangan buang waktu mencari obat. Penyakit ini dikirim Tuhan untuk menghukum kita. Mereka yang menganggap bahwa manusia bisa mengatasi epidemi ini dengan kepintarannya hanya menambah dosa dari kejahatan lain yang telah dilakukan. Siapa kita untuk menggagalkan rencana Tuhan?”
Sikap kita hari ini bertolak belakang 180 derajat. Kapanpun terjadi bencana yang memakan nyawa—kecelakaan kereta api, kebakaran besar, bahkan badai—kita cenderung melihatnya sebagai kesalahan manusia yang bisa dihindari, bukan adzab ilahiyah atau malapetaka alam yang tak terhindarkan. Andai perusahaan kereta api tidak memangkas anggaran keselamatannya, andai kepala kotamadya memberlakukan tata cara pencegahan kebakaran yang lebih baik, dan andai pemerintah lebih dini mengirimkan bantuan—orang-orang tersebut pasti bisa diselamatkan. Pada abad 21, kematian massal berubah menjadi sebab dilakukannya investigasi atau pemejahijauan sebuah perkara.
Seperti ini pulalah sikap kita terhadap wabah. Ketika sebagian pendakwah menjelaskan bahwa AIDS adalah hukuman Tuhan bagi kaum gay, masyarakat modern untungnya menggeser pandangan tersebut pada orang-orang ‘gila’ sehingga hari ini kita cenderung beranggapan bahwa penyebaran Aids, Ebola dan epidemi lain yang baru-baru ini melanda merupakan buah dari kegagalan organisasi kesehatan. Kita berpikir bahwa manusia memiliki pengetahuan dan peralatan yang memadai untuk mengatasi wabah-wabah tersebut sehingga jika penyakit menular yang demikian tak dapat lagi dikendalikan, keadaan tersebut lebih disebabkan inkompetensi manusia, bukan murka ilahi. Covid-19 tidaklah terkecuali. Krisis ini masih jauh dari selesai, namun permainan saling menyalahkan sudah dimulai. Negara-negara saling menyalahkan satu sama lain. Para pesaing politik juga saling  melempar tanggungjawab layaknya granat tangan tanpa peniti.
Sepanjang situasi sulit ini, ada juga harapan yang demikian besar. Pahlawan kita saat ini bukanlah pendeta yang menguburkan jenazah dan memaklumi bencana—akan tetapi ahli medis yang menyelematkan nyawa dan kehidupan manusia. Adapun pahlawan yang sebenarnya adalah para ilmuwan yang bekerja di laboratorium. Seperti para pecinta film yang tahu betul bahwa Spiderman dan Wonder Woman akhirnya akan mengalahkan orang jahat dan menyelamatkan dunia, kitapun juga yakin bahwa dalam bulan-bulan mendatang, mungkin tahun depan, para awak di laboratorium akan menemukan treatment yang efektif untuk Covid-19 bahkan dalam bentuk vaksinasi. Lalu kita akan mempertontonkan virus Corona yang menjijikkan sebagai organisme alfa di planet ini! Sementara itu, pertanyaan yang muncul dari mulut setiap orang di Gedung Putih, di Wall Street atau sepanjang balkon Italia adalah  “kapan vaksinnya siap?” Kapan.   
***
          Ketika vaksin benar-benar siap dan pandemi ini berakhir, apa yang akan menjadi bekal utama manusia untuk kehidupan setelahnya? Apapun itu, kita harus berinvestasi lebih besar untuk melindungi kehidupan manusia. Kita harus memiliki lebih banyak rumah sakit, dokter dan perawat. Kita juga harus menyediakan lebih banyak mesin bantu pernapasan, alat pelindung, dan alat test. Kita harus menginvestasikan lebih banyak uang untuk meneliti patogen yang tidak dikenal dan mengembangkan treatment yang benar-benar baru dan efektif. Kita tidak boleh tertangkap basah kembali oleh wabah semacam ini.
Beberapa di antara kita mungkin mengatakan bahwa keharusan-keharusan tersebut adalah salah, sebab krisis harusnya mengajarkan kerendahan hati. Kita tidak boleh terlalu meyakini kemampuan manusia untuk menundukkan kekuatan alam. Sebagian orang yang pesimistis semacam ini masih percaya dengan doktrin abad pertengahan yang menyerukan kerendahan hati namun pada waktu yang sama meyakini bahwa (hanya) merekalah yang mengetahui jawaban di balik semua persoalan. Orang-orang fanatik tidak dapat membantu diri mereka sendiri—seorang pastor yang memimpin kajian Bible di kabinet Donald Trump mengatakan bahwa epidemi ini merupakan azab tuhan terhadap homoseksualitas. Akan tetapi, teladan paling sempurna dalam tradisi tersebut dewasa ini justru lebih mempercayai ilmu pengetahuan dibanding kitab suci. 
Gereja Katolik memerintahkan orang-orang beriman untuk jauh dari gereja. Israel juga telah menutup sinagog-sinagognya sementara Republik Islam Iran menyarankan warganya agar tidak mengunjungi masjid. Candi dan yang semacamnya ditutup dari acara-acara publik. Ini semua terjadi karena ilmuwan telah melakukan kalkulasi dan memberi saran untuk menutup tempat-tempat suci tersebut.  
Tentu saja, tidak setiap orang yang memperingatkan kita tentang hal mimpi keangkuhan manusia mempercayai doktrin abad pertengahan. Para ilmuwan pun akan setuju bahwa kita harus realistis dalam berekspekstasi dan tidak boleh beriman buta terhadap kekuatan dokter untuk melindungi manusia dari semua bencana kehidupan. Ketika kemanusiaan secara keseluruhan semakin kuat, orang-orang harus tetap menghadapi kelemahannya masing-masing. Mungkin dalam satu atau dua abad ke depan, ilmu pengetahuan akan mampu memperpanjang usia kehidupan manusia hingga tak terbatas, namun hal demikian belum terjadi saat ini. Selain segelintir bayi berharga milyaran, masing-masing kita suatu hari akan meninggal dunia dan kehilangan orang-orang yang kita sayangi. Kita harus sepenuhnya mengakui kefanaan kita.
Selama berbad-abad, manusia menggunakan agama sebagai mekanisme pertahanan, percaya bahwa mereka akan kekal selamanya di akhirat. Namun saat ini, mereka terkadang berbalik menggunakan ilmu pengetahuan sebagai mekanisme pertahanan alternatif, percaya bahwa dokter akan selalu bisa menyelamatkan nyawa, dan bahwa mereka akan hidup selamanya di apartemen. Kita memerlukan pendekatan yang berimbang di sini. Kita harus mempercayai ilmu pengetahuan untuk melawan epidemi, namun kita tetap harus menanggung beban ketika berurusan dengan kematian dan kefanaan yang sifatnya individu.
Krisis yang tengah terjadi mungkin akan membuat kita secara individu lebih sadar akan kehidupan dan capaian manusia yang sementara. Namun, peradaban modern kita sangat mungkin akan mengambil arah yang berlawanan. Mengingat kelemahannya di sana-sini, peradaban modern akan bereaksi dengan membangun pertahanan yang lebih kuat. Saat krisis ini berakhir, saya tidak berharap kita akan melihat penambahan signifikan dalam anggaran fakultas filsafat. Namun demikian, saya bertaruh kita akan menyaksikan drastisnya penambahan anggaran untuk sekolah kedokteran dan sistem layanan kesehatan.  
Mungkin itulah hal terbaik yang dapat diharapkan manusia. Pemerintah tidak terlalu pandai berfilsafat. Filsafat bukanlah wilayah mereka. Pemerintah harusnya lebih fokus membangun sistem layanan kesehatan. Bagaimana masing-masing individu bisa semakin baik melakukan kerja filosofisnya bergantung pada selera dan pilihan masing-masing. Para dokter tidak bisa memecahkan teka-teki keberadaan kita, tetapi mereka bisa memberi kita lebih banyak waktu untuk bergelut dan bergulat dengannya. Apa yang akan kita lakukan dengan waktu tersebut, lagi-lagi, tergantung pilihan masing-masing.
Pamekasan, 23-24 April 2020
Original version: https://www.theguardian.com/books/2020/apr/20/yuval-noah-harari-will-coronavirus-change-our-attitudes-to-death-quite-the-opposite


                  




Penerjemah: Masyithah Mardhatillah

Pandemi COVID-19 memberi tantangan yang sama sekali baru bagi Muslim Indonesia bersamaan dengan Ramadhan yang sudah di depan mata. Muhammadiyah merupakan satu di antara organisasi-organisasi Muslim yang melakukan persiapan menghadapi bulan puasa di tengah wabah ini. Sejak awal merebaknya pandemi ini, pimpinan Muhammadiyah telah menegaskan dua hal: Pertama bahwa isolasi sosial atau al-taba’ud al-ijtima’i dalam Bahasa Arab—untuk menguatkan legitimasinya—merupakan satu-satunya tindakan yang dapat dilakukan untuk  menahan persebaran virus ini. Kedua adalah keharusan masyarakat Muslim mengubah perilaku keberagamaannya.

Muslim Indonesia menghadapi situasi sulit sebab ketentuan beribadah harus tetap mereka penuhi ketika pada waktu yang sama mereka juga harus melindungi diri serta orang lain dari penularan virus. Biasanya, begitu Ramadan menjelang, para pemimpin Muslim akan menyiapkan berbagai perlengkapan yang dibutuhkan untuk acara-acara sosial maupun keagamaan. Ramadan menjadikan agenda pembatasan sosial sangat sulit. Mustahil menahan laju pandemi ini jika umat Muslim tetap dengan suka cita melaksanakan ibadah Ramadhan seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Padahal, masih banyak yang meyakini bahwa mengabaikan kewajiban-kewajiban yang demikian akan menggiring pada dosa ahkan azab.

Ada juga kecenderungan mengaburkan perilaku-perilaku keagamaan antara mana yang wajib dan mana yang sunnah karena sebagian merupakan praktik yang dilakukan Rasulullah sedang yang lain merupakan bagian dari Islamicate yang sangat melekat dengan kultur setempat. Masyarakat juga enggan membatalkan acara-acara yang sifatnya opsional, semisal buka bersama, bazar Ramadhan harian, Tabligh Akbar, pawai, pesta, anjangsana keluarga, perayaan lebaran hingga tradisi mudik di akhir Ramadhan yang mampu seketika menyulap kota-kota menjadi sepi. Praktik-praktik tersebut bukanlah kewajiban agama, akan tetapi lebih merupakan bagian dari budaya Muslim Indonesia yang populer dan digemari.

Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi modern Islam Indonesia terbesar dan paling berpengaruh. Ia didirikan pada 1912 oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan, seorang pejabat agama di Kesultanan Yogyakarta. Ahmad Dahlan memiliki dua tujuan: Untuk ‘memurnikan’ Islam Jawa dari apa yang dipercayanya sebagai bid’ah (inovasi yang tidak tepat) dan politeisme (menyekutuhkan Tuhan) serta mempromosikan modernitas.

Muhammadiyah merupakan gerakan Salafi moderat yang dipengaruhi oleh ajaran tokoh modernis Muslim abad 19, Muhammad Abduh, dan ahli hukum abad ke-14, Ibnu Taimiyyah. Pendekatan yang digunakan Muhammadiyah dalam bidang teologi, ritual dan logika berpikir murni didasarkan pada Al-Qur’an dan hadist (tradisi terkait Nabi Muhammad). Seperti halnya gerakan Salafi lain, ia menentang Sufisme (mistisme Islam) dan praktik kebaktian yang didasarkan padanya. Namun demikian, berbeda dengan gerakan Salafi lain, Muhammadiyah terbuka kebudayaan lokal termasuk teater, musik dan tari. Ia bahkan menolak berbagai gerakan Wahhabisme Arab Saudi yang menerapkan Arabisasi/Saudisasi dalam kehidupan sosial Muslim Indonesia.

Agenda para tokoh modernis Muhammadiyah berpusat di wilayah pendidikan dan layanan kesehatan. Organisasi ini memiliki jaringan sekolah dan kampus yang demikian luas untuk menyediakan akses pendidikan modern, selain juga pusat layanan kesehatan serta rumah sakit. Dewasa ini secara formal, ia memiliki 30 juta pengikut yang sebagian besarnya adalah kaum urban dan kelas menengah, menjadikannya organisasi Muslim terbesar kedua di Indonesia. Secara rutin, Muhammadiyah memberi arahan pada para anggota dan pengikutnya perihal berbagai topik pembahasan melalui khutbah, pengajian atau ceramah agama yang digelar di masjid, serta publikasi termasuk Suara Muhammadiyah, portal web dan media sosial.

Imbauan Keagamaan dan Pandemi Virus Corona
Pada waktu-waktu seperti ini, imbauan keagamaan dapat mendukung praktik dan kebijakan kesehatan publik. Respon Muhammadiyah terhadap pandemi virus Corona memadukan logika berpikir Salafi dengan pragmatisme medis. Seperti negara-negara lain, Indonesia tampak kurang bersiap diri menghadapi pandemi virus ini. Kasus-kasus pertama dialaporkan pada pertengahan Maret. Sebelumnya pada 10 Maret, Muhammadiyah telah memfokuskan sistem layanan kesehatannya pada pencegahan dan perawatan pasien yang terinfeksi virus ini. Dua puluh Rumah Sakit di Pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatra didaulat sebagai pusat rujukan Covid-19. Tak hanya itu, lebih dari 30.000 kantor cabang Muhammadiyah Philantropic Initiative dan puluhan masjid mulai menggencarkan kampanye kesadaran publik.

Muhammadiyah mulai memasifkan imbauan keagamaannya begitu pandemi ini semakin tampak dan menyebar. Pada 19 Maret, Pusat Komando Covid-19 Muhammadiyah mengeluarkan edaran khutbah Jum’at berjudul ‘Merespon Wabah Virus Corona (Covid-19)’
Khutbah tersebut dimulai dengan menyebutkan data obyektif skala global pandemi seperti berikut:

Saat ini, kita semua tengah menghadapi wabah Covid-19 atau yang juga disebut dengan virus Corona. WHO menyebut wabah virus ini sebagai masalah dan pandemi global, sementara Pemerintah Indonesia juga menyatakan ia sebagai bencana nasional. Virus baru ini pertama kali muncul di Wuhan, China, pada akhir 2019 dan saat ini sudah menyebar ke lebih dari 140 negara dan wilayah. Wabah virus ini bukanlah bencana alam. 

Khutbah kemudian berlanjut dengan refleksi teologis perihal determinisme ilahiah dan peran manusia dalam merespon bencana yang saling berpengaruh. Manusia diimbau untuk memadukan kesabaran, sikap nrimo, iman dan tindakan yang berangkat dari kebulatan tekad. Ada beberapa dasar dalam pemikiran keagamaan Muhammadiyah. Di beberapa khutbah Muhamadiyah lebih dari empat dasawarsa, saya pernah mendengar bahwa kesulitan-kesulitan duniawi sebenarnya merupakan ujian keimanan yang menuntut tindakan nyata dan kebulatan tekad. Bagian khutbah ini merupakan penafsiran dari ayat Al-Qur’an berikut;

Dan kami pasti akan mengujimu dengan ketakutan dan kelaparan serta kekurangan harta, jiwa serta buah-buahan, akan tetapi berilah berita gembira bagi mereka yang sabar (Al-Baqarah 155).
Ayat ini mengajarkan bahwa bencana merupakan sesuatu yang pasti dihadapi siapapun. Bencana, dalam bentuk apapun, adalah ekspresi cinta Tuhan terhadap manusia. Apapun yang menimpa manusia sebenarnya merupakan cobaan dan ujian keimanan sekaligus akibat dari perbuatannya di masa lalu. Namun begitu, orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah meyakinkani bahwa apapun yang melanda manusia bukanlah hal yang luar biasa, sebab manusia pasti akan diuji dengan berbagai macam masalah. Kejadian-kejadian yang penuh malapetaka sudah ditakdirkan oleh Allah. Ini juga berarti bahwa Allah telah menentukan apa yang tengah kita hadapi saat ini. Hanya Allah yang mengetahui apa yang sudah ditetapkan-Nya. Manusia hanya bisa mengetahui begitu suatu hal tertentu terjadi. Mereka tidak punya akses untuk mengetahui semua itu sebab Allah-lah yang maha mengetahui. Karena itu, manusia diperintakan memohon petunjuk kepada Allah dan menghadapi situasi apapun dengan sabar sehingga kondisi yang mereka hadapi akan berangsur membaik.
Teks khutbah tersebut diakhiri dengan arahan perihal bagaimana Muslim seharusnya merespon pandemi ini. Pertama, menguatkan iman pada Allah karena mereka yang beriman tidak akan merasa takut. Kedua, menerapkan isolasi sosial termasuk mengurangi aktivitas di masjid selama waktu Shalat Jum’at dan pengajian. Ketiga adalah membantu mereka yang benar-benar membutuhkan.
Pada 24 Maret, Muhammadiyah mengedarkan fatwa yang menyebutkan bahwa perjuangan melawan pandemi ini adalah kewajiban agama  seperti halnya jihad. Ia  menegaskan bahwa pandemi ini bukan merupakan balasan atau azab, akan tetapi ujian bagi umat manusia secara umum dan Muslim secara khusus. Perjuangan melawan pandemi juga dinpadang berkorelasi dengan ayat yang mengatakan, “Siapa yang menyelamatkan hidup seorang saja, maka sesungguhnya ia menyelamatkan hidup seluruh manusia. (Al-Ma’idah: 32)”. Lebih jauh, fatwa tersebut juga sementara kewajiban Salat Jumat berjama’ah dan mengimbau Muslim melaksanakan Salat Dzuhur di rumah sebagai gantinya. Bagian fatwa yang ini begitu menekankan bahwa di tengah situasi semacam ini, tidak mungkin melaksanakan shalat Juma’t berjamaah di masjid.

Jihad Melawan Pandemi
Sebuah surat edaran bertanggal 26 Maret memberikan arahan yang lebih spesifik dalam menjalani Ramadhan. Point-point dasarnya adalah sebagai berikut;

  1. Tarawih, salat sunnah yang dikerjakan hanya pada malam Bulan Ramadhan, yang biasanya dilaksanakan di masjid, harus dipindah ke rumah. Pertemuan keagamaan yang disponsori Muhammadiyah setiap malam Bulan Ramadhan tahun ini tidak diselenggarakan. 
  2. Puasa berlaku wajib bagi Muslim kecuali mereka yang tengah sakit. Orang sakit harus mengikuti aturan syari’ah yang berlaku dengan mengganti  puasa di hari-hari yang dilewatkan. 
  3. Petugas kesehatan tidak diwajibkan berpuasa ketika tengah bertugas. Mereka juga harus mengganti hari-hari puasa yang terlewat di hari lain. 
  4. Tidak perlu melaksanakan Salat idul Fitri dan salat jama’ah di akhir Ramadhan. Masyarakat tidak boleh terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang melibatkan banyak orang, termasuk buka bersama, mudik, juga mengunjungi saudara dan keluarga di akhir Ramadhan, atau menggelar pawai dan perhelatan-perhelatan sosial lain.
Semua rekomendasi ini didukung dalil dari Al-Qur’an dan hadis dan sebagian di antaranya mengharuskan pengorbanan yang tidak kecil.

Puluhan juta orang Indonesia biasanya mudik untuk merayakan lebaran. Bagi mereka yang tinggal di kota, inilah satu-satunya kesempatan mempererat silaturrahmi dengan keluarga di pelosok-pelosok desa. Adat lain yang menarik dan dirindukan banyak orang adalah prosesi Takbir Keliling di malam lebaran dengan pawai para pemuda yang sepanjang jalan melantunkan takbir. Beberapa merakayannya dengan menyalakan dan membawa obor sambil berarak. Muhammadiyah biasanya menyelenggarakan perhelatan demikian di Yogyakarta dengan kendaraan besar penuh hiasan diiringi ribuan pemuda berpakaian tradisional berarak sepanjang jalan.

Pimpinan Muhammadiyah tidak akan mengimbau masyarakat untuk tetap di rumah tanpa melalui pertimbangan matang terhadap risiko yang mungkin ditimbulkan wabah ini, termasuk juga arti penting festival-festival lebaran dalam aspek sosial, budaya dan agama. Menunda atau membatalkan serentatan acara tersebut, barangkali, merupakan hal terpenting yang bisa dilakukan rakyat Indonesia untuk memperlambat laju penyebaran wabah Covid-19. Ini juga berarti bahwa orang-orang yang selamat dari wabah ini akan dapat menyaksikan dan menyemarakkan Ramadhan di tahun mendatang.

Pamekasan, 22-23 April 2020
Mark Woodward, peneliti, profesor di Centre for the Study of Religion and Conflict, Arizona State University.
Versi Bahasa Inggris, https://www.insideindonesia.org/ramadan-in-the-time-of-covid-19
 




Penerjemah: Masyithah Mardhatillah
Penyelaras Bahasa: Hamdani 

Siapa yang hari ini dapat mengucapkan ‘kuman virus’ tanpa sedikitpun merasa ngeri? Siapa yang saat ini dapat melihat benda-benda—pegangan pintu, lemari kardus, sekeranjang sayur—tanpa membayangkannya bergumul dengan senyawa tak terlihat, mayat hidup atau gumpalan tak bernyawa yang dipenuhi cawan pengisap dan tinggal menunggu waktu untuk memasuki paru-paru manusia?

Siapa pula yang dapat membayangkan bahwa mencium orang asing, melompat naik bus atau melepas anak pergi sekolah akan menghadirkan rasa takut luar biasa? Siapa yang juga masih sempat berpikir soal kesenangan yang biasa dilakoni tanpa menghawatirkan risikonya? Siapa di antara kita yang tidak menjadi ahli penyakit dadakan, ahli virus, ahli statistik, atau bahkan nabi? Dokter atau ilmuwan mana yang tak diam-diam berharap datangnya keajaiban? Pendeta mana pula yang, meski dengan sembunyi-sembunyi, mulai percaya pada teori ilmu pengetahuan?

Dan meski virus tersebut memang berkembang biak, siapa yang tak tergetar mendengar cuitan burung di kota-kota, melihat merak menari-nari di penyeberangan jalan, atau langit yang tidak lagi bising?        

Pekan ini, jumlah kasus Corona di seluruh dunia bergerak menuju angka jutaan. Lebih dari 50.000 nyawa telah melayang. Berbagai prediksi menyebut angka tersebut akan membengkak hingga ratusan ribu atau bahkan lebih. Virus ini bergerak bebas melintasi jalur yang biasa dilalui modal-modal usaha dan perdagangan antarnegara ketika pada saat yang sama, kesakitan mengerikan yang diakibatkannya telah mengunci dan memenjara manusia di negara, kota dan rumahnya.

Namun demikian, tidak seperti laju modal, virus tidak mencari keuntungan. Ia sekadar ingin berkembangbiak dan karenanya dalam batas-batas tertentu, secara tak sengaja, ia justru bertolakbelakang dari arus modal. Ia berhasil mengejek sistem kontrol imigrasi, biometrik, pengintaian digital dan teknik analisa data lain serta memukul telak—sementara ini—negara terkaya dan terdigdaya di muka bumi sembari menyeret mesin kapitalisme ke titik henti yang menggetarkan. Sementara waktu, mungkin, atau setidaknya dalam waktu yang cukup lama, kita semua akan memperhatikan bagian-bagian dari mesin tersebut, menilai kemudian memutuskan apakah kita akan ikut memperbaikinya atau mencari mesin lain yang lebih baik.

Bangsa Mandarin yang menangani pandemi ini tak sungkan berbicara soal perang dalam arti yang sebenarnya, bukan sebagai metafor. Akan tetapi, jika ini benar-benar merupakan perang, siapa yang lebih siap menghadapinya kalau bukan Amerika Serikat? Jika bukan masker dan sarung tangan yang dibutuhkan tentara garda depannya melainkan senjata, bom pintar, lubang perlindungan, kapal selam, jet perang, dan bom nuklir, apa lagi yang kurang?

Hari demi hari, dari ruas-ruas jalan seantora dunia, sebagian kita menyaksikan pengarahan pers wali kota New York dengan pesona yang susah dijelaskan. Kita juga mengikuti perkembangan statistik, mendengar cerita rumah sakit-rumah sakit Amerika Serikat yang kebanjiran pasien, para perawat dengan gaji kecil yang lembur dan harus mengenakan masker bekas serta jas hujan usang demi mempertaruhkan segalanya untuk menolong pasien. Tentang negara-negara bagian yang saling berebut dan menawar harga ventilator atau dilema dokter memilih pasien mana yang akan dirawat dan mana yang akan dibiarkan meninggal dunia. Dan kita pun menggumam sendiri, “Ya Tuhan, padahal ini Amerika Serikat!”

---------------

Tragedi ini datang begitu saja, nyata, epik dan terbentang di hadapan mata. Akan tetapi sebenarnya ia tidaklah sama sekali baru. Ia merupakan rongsokan dari kereta yang telah lama melenceng dari jalurnya. Siapa yang tidak ingat video-video tentang “pasian terbuang”, orang-orang sakit yang masih mengenakan baju pasiennya, bertelanjang pantat, dan diam-diam dibuang di ujung-ujung jalan? Pintu rumah sakit terlalu sering tertutup bagi warga Amerika Serikat yang kurang beruntung. Masalahnya bukan soal bagaimana mereka bisa sakit atau bagaimana derita yang mereka alami.

Keadaan saat ini berbeda sebab di masa virus, sakitnya orang miskin dapat mempengaruhi kesehatan mereka yang sejahtera. Dan bahkan, saat ini, Bernie Sanders, Senator yang getol mengampanyekan layanan kesehatan bagi semua telah dianggap orang asing karena tawaran yang ia dan partainya ajukan pada Gedung Putih.

Lalu bagaimana dengan negara saya, negara kaya tapi miskin, India, yang menggantungkan diri antara feodalisme dan fundamentalisme agama, kasta dan kapitalisme, dan dipimpin oleh nasionalis Hindu sayap kanan?

Pada Bulan Desember, ketika Tiongkok tengah berperang melawan merebaknya virus tersebut di Wuhan, pemerintah India tengah mengurus protes massal ratusan ribu warganya terhadap undang-undang kewarganegaraan anti-Muslim yang baru disahkan parlemen dan dinilai diskriminatif.

Kasus pertama Covid-19 dilaporkan di India pada 30 Januari, beberapa hari setelah tamu kehormatan Republic Day Parade yang juga pemakan hutan Amazon dan pengingkar keberadaan Covid, Jair Bolsonaro, meninggalkan Delhi. Akan tetapi selama Bulan Februari, terlalu banyak agenda yang harus diselesaikan pemerintah sehingga urusan virus lagi-lagi ini terabaikan. Ada kunjungan resmi Presiden Donald Trump yang dijadwalkan di pekan terakhir bulan tersebut. Ia tampaknya terpikat dengan iming-iming akan berbicara di depan satu juta rakyat India di gelanggang olah raga negara bagian Gujarat. Acara yang sangat menguras biaya, juga waktu.

Lalu ada pemilihan Majelis Delhi dengan kekalahan telak Partai Bharatiya Janata (BJP) yang sudah diperkirakan sebelumnya. BJP telah mengantisipasi kekalahan ini dengan mengimbangi permainan, meninggalkan gaya kampanye nasionalis Hindu yang luar biasa kejam dan penuh dengan ancaman kekerasan fisik serta teriakan ‘penghianat’.         

Namun BJP tetap kalah. Lalu Muslim Delhi dijatuhi hukuman dengan tuduhan penghinaan. Pasukan bersenjata rakyat Hindu yang dilindungi polisi menyerang Muslim di perkampungan pekerja di timur laut Delhi. Rumah-rumah, toko-toko, masjid, dan sekolah dibakar. Muslim yang sudah memperkirakan serangan tersebut menyerang balik. Lebih dari 50 orang, sebagian besar Muslim, juga Hindu, terbunuh.

Ribuan orang mengungsi ke kampung pengungsian di pemakaman umum lokal. Jasad-jasad yang dimutilasi tetap dijejalkan pada tempat-tempat dekil, memberi aroma busuk pada saluran-saluran air. Ini terjadi ketika pemerintah India pertama kalinya bertemu untuk membahas Covid-19 dan saat itu juga, sebagian besar rakyat India baru mendengar sesuatu yang disebut pencuci tangan tanpa air.

Bulan Maret juga dipenuhi kesibukan. Dua pekan pertama diisi upaya-upaya melengserkan Kongres pemerintah negara bagian India Tengah Madhya Pradesh dan menggantinya dengan kandidat dari BJP. Pada 11 Maret, WHO mengumukan status Covid-19 sebagai pandemi. Namun anehnya, dua hari setelah pengumuman tersebut, pada 13 Maret, Menteri Kesehatan India malah mengatakan bahwa Corona “bukan merupakan masalah kesehatan yang sifatnya darurat.”

Akhirnya, pada 19 Maret, Perdana Menteri menyampaikan pidato kenegaraan. Dia belum melakukan banyak hal dan sekadar meminjam playbook dari Prancis dan Italia. Ia memberitahu rakyat perihal “pembatasan sosial” (mudah dipahami bagi masyarakat yang sudah muak dengan praktik diskriminasi kasta) dan mengumumkan berlakunya “jam malam rakyat” pada 22 Maret. Sayangnya, ia tak mengatakan apa saja yang pemerintahannya akan lakukan di masa kritis ini dan justru meminta warga keluar dari balkon, menyalakan bel, serta memukul pot bunga dan panci untuk menghormati tenaga kesehatan.

Dia juga tak menyampaikan apa-apa, termasuk bahwa India telah mengekspor alat pelindung dan alat bantu pernapasan daripada menyimpannya untuk pekerja kesehatan dan rumah sakit di seantero negeri.

Tak mengherankan, permintaan Narendra Modi dikabulkan dengan penuh antusiasme. Ada banyak mars memukul pot bunga, tari rakyat hingga pawai. Pembatasan sosial tak banyak dilakukan. Di hari-hari selanjutnya, orang-orang melompat ke tong-tong tahi sapi yang dianggap sakral, sementara pendukung BJP mengadakan pesta minum air kencing sapi. Tak mau kalah, beberapa organisasi Muslim mengumumkan bahwa Tuhan adalah solusi dari virus yang tengah mereka hadapi dan karenanya mengimbau orang-orang beriman untuk datang bersama-sama ke masjid.

---------------
Pada 24 Maret, jam 8 malam, Modi kembali muncul di TV dan mengumumkan bahwa mulai tengah malam nanti, beberapa jam setelah itu, semua bagian India akan di-lockdown. Pasar-pasar akan ditutup dan semua transportasi pemerintah maupun swasta tidak dibolehkan beroperasi.

Ia juga menambahkan bahwa keputusan itu ia ambil bukan hanya sebagai perdana menteri, akan tetapi sebagai tetua sebuah keluarga. Siapa lagi yang dapat membuat keputusan demikian tanpa berkonsultasi sedikitpun dengan pemerintah negara-negara bagian yang akan menanggung dampak kebijakan 1.38 milyar rakyat di-lockdown tanpa persiapan sama sekali dan akan dimulai 4 jam setelah pemberitahuan? Metode yang dipilihnya benar-benar mengesankan bahwa perdana menteri India melihat rakyat tak ubahnya musuh bebuyutan yang harus diserang dan ditangkap tiba-tiba tanpa pernah diberi kepercayaan.

Kamipun menjalani lockdown. Beberapa profesional kesehatan dan ahli epidemi mendukung keputusan ini. Barangkali mereka memang benar secara teori. Akan tetapi yang pasti, tidak ada satupun dari mereka yang dapat mengatasi bencana karena kurangnya persiapan atau persiapan serampangan yang menggiring pada lockdown paling mengerikan di dunia karena menyebabkan keadaan yang bertolak belakang sepenuhnya dengan yang diharapkan.

Seseorang yang menyukai pertunjukan menciptakan awal mula dari seluruh pertunjukan.

Seperti yang kemudian menggegerkan dan disaksikan seluruh dunia, India menampilkan diri dengan seluruh rasa malu yang dimiliki—kebrutalan, ketimpangan struktural, sosial dan ekonomi, kelalaian tak berperasaan hingga penderitaan.

Lockdown bekerja layaknya percobaan kimia yang secara tiba-tiba menampakkan hal yang awalnya tersembunyi. Begitu pertokoan, restoran, pabrik dan industri pembangunan tak beroperasi, begitu kelas menengah dan atas mengunci diri di rumah-rumah berpagarnya, kota-kota kecil maupun besar kami menampilkan warga dari kelas pekerja—termasuk pekerja migran—persis seperti akrual yang tak diinginkan.

Sebagian mereka diusir oleh para juragan dan pemilik rumah. Jutaan orang seketika miskin, haus dan lapar. Laki-laki tua maupun muda, perempuan, anak-anak, orang sakit, orang buta, orang berkebutuhkan khusus, mereka yang tak punya tujuan dan tanpa transportasi publik mulai berarak untuk pulang kampung. Mereka berjalan kaki selama berhari-hari menuju Badaun, Agra, Azamgarh, Aligarh, Lucknow, Gorakhpur—yang letaknya ratusan kilometer. Sebagian meninggal dunia di perjalanan.

Mereka sadar bahwa kepulangan mereka dapat memperlambat laju kelaparan. Mungkin, merekapun tahu bahwa mereka berpotensi membawa serta virus dan menulari keluarga, orang tua dan kakek-nenek di kampung halaman. Akan tetapi, mereka begitu membutuhkan kehangatan keluarga, rumah dan martabat, juga makanan, jika bukan cinta.

Di tengah perjalanan, sebagian mereka dipukul secara brutal bahkan dipermalukan oleh polisi yang ditugaskan memberlakukan jam malam. Laki-laki muda disuruh membungkuk dan berjalan jongkok menyusuri jalan-jalan besar. Di luar Kota Bareily, sekelompok orang dikumpulkan dan disemprot cairan kimia.

Beberapa hari kemudian, khawatir populasi yang melarikan diri justru menyebar virus ke desa-desa, pemerintah menyegel perbatasan negara bahkan untuk pejalan kaki. Orang-orang yang sudah berjalan berhari-hari dihentikan dan dipaksa kembali ke kampung-kampung pengungsian di kota yang baru saja mereka tinggalkan juga karena desakan pemerintah.

Bagi para lansia, kejadian ini mengingatkan pada kenangan perpindahan populasi di tahun 1947 ketika India dibagi dua dan Pakistan lahir. Tak banyak perbedaan kecuali bahwa situasi saat ini dipicu oleh kelas sosial, bukan agama. Juga karena orang-orang yang keluar dari India saat ini bukanlah orang-orang yang sangat miskin. Mereka adalah orang yang (setidaknya hingga waktu terakhir) bekerja di kota dan memiliki rumah di kampung halaman. Sementara itu, mereka yang tak punya pekerjaan, tak punya rumah, atau yang putus asa tetap tak ke mana-mana,  baik di kota maupun di pinggiran; dua tempat di mana kemelaratan hebat sudah lama tumbuh sebelum tragedi ini terjadi. Selama hari-hari mengerikan ini, ironisnya, menteri dalam negeri Amit Shah tak jua menampakkan diri di depan publik.

Ketika parade jalan kaki ini mulai tampak di Delhi, saya menggunakan tiket pers dari sebuah majalah tempat saya rutin menulis untuk berkendara ke Ghazipur, perbatasan antara Delhi dan Uttar Pradesh.

Adegan yang saya lihat sangat khas Bibel. Atau mungkin tidak. Bibel mungkin tak pernah melihat jumlah sebanyak itu. Lockdown yang mengharuskan pembatasan sosial ternyata menghasilkan kondisi yang  bertolak belakang dengan tujuan—ketertekanan fisik dalam skala yang tak terbayangkan. Inilah yang benar-benar terjadi bahkan di kota-kota kecil ataupun kota besar di India. Jalan utama mungkin tampak sepi, tapi orang-orang miskin terpenjara dan berjejal di tempat-tempat sempit perkampungan miskin dan pondok yang jelek.

Setiap pejalan kaki yang saya ajak bicara mengaku sama-sama takut akan virus tersebut. Namun, hal demikian tampak kurang nyata dibanding melambungnya angka pengangguran, kemiskinan, dan kekerasan dari polisi. Di antara orang-orang yang saya temui hari itu, termasuk sekelompok penjahit Muslim yang baru berhasil bertahan dari serangan anti-Muslim beberapa pekan sebelumnya, saya bertemu seorang lelaki yang kata-katanya begitu mengacaukan perasaan. Ia adalah seorang tukang kayu bernama Ramjeet yang berencana berjalan kaki menuju  Gorakhpur dekat perbatasan Nepal.

“Mungkin saat Modiji memutuskan ini, tak ada yang memberitahunya perihal kami. Mungkin dia tak tahu apapun tentang kami,” ucapnya.
“Kami” yang disebutnya berjumlah sekitar 460 juta orang.

--------------
Pemerintah negara bagian di India (seperti juga di Amerika Serikat) menunjukkan simpati dan pengertian yang lebih dalam masa krisis ini. Perkumpulan dagang, masyarakat sipil dan elemen lain membagikan makanan dan rangsum darurat. Sementara itu, pemerintah pusat lambat merespon permohonan dana dan belakangan diketahui bahwa Perdana Menteri National Relief Fund  tidak memiliki dana yang bisa dikucurkan. Dana dari para pendukungnya mengalir pada PM-CARES baru yang sedikit misterius. Makanan berat dengan gambar Modi di bagian depan kemasannya mulai muncul.

Selain itu, perdana menteri juga membagikan video-video yoga nidranya. Ia tampak asyik mengubah posisi berkali-kali dan dengan tubuh idealnya mempraktikkan gerakan yoga asana untuk meredakan stres warga India karena isolasi diri.

Narsisme semacam ini sangat amat mengganggu. Baiknya, barangkali, salah satu gerakan asana yang dipamerkannya menunjukkan permintaan pada Perdana Menteri Perancis untuk membolehkan kami warga India membatalkan kesepakatan jet tempur Rafale yang sangat mengganggu sehingga anggaran 7.8 milyar dapat digeser untuk menyelematkan sekian juta orang yang kelaparan. Pemerintah Prancis tentu akan mengerti.

Di pekan kedua lockdown, mata rantai persediaan barang telah lumpuh, sementara obat dan kebutuhan pokok mulai menipis. Ribuan supir truck terdampar di jalan-jalan berbekal sedikit air dan makanan. Tanaman-tanaman yang berdiri tegak dan siap dipanen perlahan membusuk. 

Krisis ekonomi benar-benar terjadi di sini. Sementara krisis politik seperti tak berhenti. Media-media utama menghubungkan cerita Covid 19 dengan kampanye racun 24/7 anti-Muslim. Sebuah organisasi bernama Tablighi Jamaat yang menggelar pertemuan di Delhi sebelum lockdown diumumkan ternyata berperan sebagai ‘penyebar yang tangguh’. Ini digunakan untuk menstigma dan menjelekkan Muslim dengan narasi besar bahwa Muslimlah yang menemukan virus tersebut dan dengan sengaja menyebarkannya sebagai sebuah bentuk jihad.

Krisis Covid masih akan datang. Atau sebenarnya masih belum. Kita tidak tahu. Jika itu benar-benar terjadi, kita bisa pastikan bahwa krisis demikian akan dikaitkan dengan prasangka agama, kasta dan kelas sosial sekaligus.

Hari ini (2 April) di India, ada hampir 2000 kasus terkonfirmasi dan 58 kematian akibat virus ini. Tentu, kita tidak bisa percaya pada angka-angka ini karena ia hanya didasarkan pada uji periksa yang, sayangnya, sangat sedikit. Pendapat para pakar sangat berbeda satu sama lain. Beberapa memperkirakan jutaan kasus. Yang lain menyebut jauh di bawahnya. Kami mungkin tak pernah tahu bentuk krisis yang sesungguhnya, meski keadaan tersebut tengah benar-benar terjadi. Yang kami tahu hanyalah bahwa rumah sakit belum mulai melaksanakan tugasnya dengan sigap dan siaga.

Klinik dan rumah sakit umum India—yang tidak bisa menangani hampir satu juta anak yang mati karena diare, kurang gizi dan masalah kesehatan lain tiap tahunnya, dengan ratusan ribu pasien TBC (seperempat dari kasus di seluruh dunia) dari populasi dengan tingkat anemia dan kurang gizi yang tinggi dan rentan menyebabkan sakit-sakit ringan yang ternyata fatal—tidak akan mampu menghadapi krisis seperti yan dilakukan Eropa dan Amerika Serikat saat ini.   

Seluruh layanan kesehatan di rumah sakit India telah dialihkan untuk menangani virus tersebut. Pusat pelayanan trauma yang terkenal di All India Institute of Medical Science di Delhi juga ditutup. Ini menyebabkan ratusan pasien kangker yang disebut pengungsi kangker dan tinggal tak jauh dari rumah sakit besar tersebut juga digiring jauh layaknya hewan ternak.

Rakyat akan jatuh sakit dan mati di rumahnya. Kita mungkin tak akan pernah mendengar cerita-cerita ini karena tak masuk di angka statistik. Kita hanya bisa berharap bahwa penelitian yang mengatakan virus tersebut menyukai udara dingin adalah benar adanya (meski peneliti lain meragukan hal tersebut). Rasanya belum pernah orang-orang sangat merindukan musim panas India yang begitu membara sebelum hari ini.

Lalu apa yang sebenarnya menimpa kita? Ya, Corona adalah virus. Esensi di luar maupun di dalam dirinya sama sekali tak mengenal ajaran moral apapun. Tapi sebenarnya, ia lebih dari sekadar virus. Sebagian percaya bahwa ia adalah ‘cara’ Tuhan mengembalikan hakikat kemanusiaan kita. Yang lain meyakininya sebagai bagian dari konspirasi China untuk umat manusia seluruh dunia.

Apapun itu, virus Corona telah berhasil membuat raja yang begitu berkuasa jatuh bertekuk lutut dan menggiring dunia ke titik pemberhentian yang tiada seorang pun pernah mampu melakukannya. Sementara itu pikiran kita masih maju mundur, rindu untuk kembali pada kehidupan normal sembari menjahit masa depan ke robekan masa lalu tanpa mau mengakui adanya bagian yang retak. Namun keretakan tersebut nyata adanya. Dan di tengah ketidakberdayaan yang mengerikan ini, virus tersebut memberi kita kesempatan untuk memikirkan mesin kiamat yang kita buat sendiri sehingga kita pun sadar, tak ada yang lebih buruk dibanding kembali pada keadaan yang belum lama kita tinggalkan.

Dalam sejarahnya, pandemi selalu berhasil memaksa manusia lepas dari masa lalu dan membayangkan dunia yang baru. Tak terkecuali dengan pandemi satu ini. Ia adalah portal dan gerbang antara satu dunia dan dunia selanjutnya.

Kita dapat memilih antara melewati portal tersebut dengan melepas segala yang pernah kita miliki; prasangka, kebencian, ketamakan, data bank, gagasan kosong, sungai kering dan langit berasap. Atau, kita akan melewatinya dengan tenang sambil menggeret kopor kecil dan membayangkan sebuah dunia baru lalu bersiap berjuang untuk mewujudkannya.

Pamekasan, 18-20 April 2020
Original version; https://www.ft.com/content/10d8f5e8-74eb-11ea-95fe-fcd274e920ca

MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.