Busiyah; Pahlawan Kami di Pagi Hari (1)

Tempat tinggal saya terletak 3 KM-an dari pasar tradisional terdekat. Jarak tersebut bukan hanya terasa jauh untuk dilalui dengan berjalan kaki—di kultur kami—, akan tetapi juga memiliki beberapa bagian dengan keadaan badan jalan yang rusak. Karenanya, jika tak penting-penting amat dan sedang tidak kepingin atau butuh ‘belanja serius’, sebagian besar kami emoh ke pasar. Kejauhan jika harus berjalan kaki dan pakai motorpun, malas harus melewati jalan rusak.

Sebagai alternatifnya, kami memilih menunggu welijo (belijjha; Madura) yang menjajakan bahan keperluan masak harian. Sejak pagi, ada sekitar 3 mas (penjual) sayur dan 3 ibu welijo yang rutin mampir dan menjadikan rumah kami tak ubahnya shelter. Ada semacam kesepakatan tidak tertulis bahwa tempat tinggal kami bukanlah ‘teritori’ semua penjaja dagangan yang lewat, sehingga tak semua yang lewat akan mampir.

Para penjual tersebut tak ubahnya pahlawan kami di pagi hari. Kami tidak perlu meluangkan waktu, tenaga atau bensin untuk sampai di pasar dan mendapatkan barang yang diperlukan. Item yang tersedia memang tak selengkap di pasar dan harga jual juga lebih tinggi, akan tetapi hal-hal tersebut tidak menjadi big issue. Kami tetap sangat terbantu dengan kehadiran para pahlawan tersebut.

Kehadiran dan peran penjual keliling begitu terasa ketika dalam suatu hari, tak ada satupun di antara mereka yang ‘masuk kerja’. Ini biasanya terjadi pada hari-hari pertama setelah hari besar tiba, semisal hari raya dan maulid Nabi, atau di sebuah hari random ketika mereka tampak bersepakat untuk cuti bersama. Tak hanya lelah dan bosan berharap dan menunggu, kami harus memasak seadanya jika tidak mau merapat ke pasar tradisional terdekat yang sudah akan sepi pada jam 09.30-an pagi.

***

Hal utama yang membedakan mas-mas sayur dan ibu-ibu welijo adalah sarana transportasi yang dipakai. Kelompok pertama menggunakan sepeda motor dengan keranjang penuh bawaan di bagian belakang dari sisi kanan hingga sisi kiri. Adapun ibu-ibu welijo memilih berjalan dengan membawa barang dagangan dalam wadah-wadah tradisional (gaddhang serta budhag, cobbhu’ atau bak plastik besar; lihat ilustrasi gambar) yang dijunjung di atas kepala.

Sebagai penyeimbang sekaligus penguat, sehelai kain yang dilipat dengan desain khusus diselipkan di antara kepala dan wadah-wadah tersebut. Dengan alat dan ‘formasi’ demikian, mereka yang sudah terbiasa dengan posisi seperti ini—umumnya dengan bawaan ringan—seringkali bisa berjalan normal tanpa perlu menggunakan tangan untuk memegang dan menyeimbangkan posisi wadah di atas kepala.

Satu di antara enam penjual tersebut adalah perempuan setengah baya yang biasa dipanggil Busiyah. Entah nama aslinya siapa. Perempuan tersebut saya pilih sebagai tokoh cerita di sini karena beberapa alasan berikut. Pertama, dibanding para penjual lain, Busiyah paling jarang mengambil ‘cuti’. Kedua, barang dagangan Busiyah terbilang lengkap sehingga kedatangannya begitu ditunggu sebagai one for all solution. Ketiga, setiap hari, jika tidak sedang cuti, Busiyah menghampiri rumah kami dua kali; sebelum dan sesudah ia ke pasar. Karena beberapa hal inilah, meski tak sepi dari pesaing, Busiyah tetap menjadi the most wanted hero kami di pagi hari.

***

Selain dalam momen transaksi, saya jarang sekali bertemu Busiyah. Melihatnya di jalanpun nyaris tak pernah kecuali saat ia tengah mampir menjajakan barang ke ‘shelter’ atau spot langganannya yang lain. Sejauh yang saya ingat, saya baru bertemu dia—di luar ritme-ritme rutin tersebut—dalam sebuah acara lelayu. Ketika itu kami bersalaman dan dengan candaan khas Madura ia berkelakar, “kalau bukan di sini, kapan lagi salaman sama aku? Pas aku jajakan jualan (ajuwal jhuko’, bahasanya) tidak mungkin.

Selain itu, ketika kebetulan ke pasar, saya beberapa kali melihat atau berpapasan dengannya. Di momen-momen semacam itu, kami biasanya hanya bertukar senyum dan sapa singkat. Apalagi kalau pasar lagi ramai. Jika sudah bertemu saya di pasar, Busiyah biasanya tak terlalu semangat menjajakan dagangannya pada ibu mertua atau tante-tante sebelah karena sudah bisa meramalkan bahwa list belanjaan tidak akan sebanyak biasanya, bahkan mungkin ‘libur’ dulu.

***

Busiyah adalah tetangga jauh. Sampai saat ini saya belum tau di mana rumahnya. Namun demikian setiap pagi, sebelum jam 6, ia seringkali sudah lewat depan rumah untuk ke pasar dengan atribut lengkap. Jika hendak langsung ke pasar , ia biasanya diantar sang suami menggunakan motor atau menyewa jasa ojek. Namun begitu jika barang di lapak portable-nya—hasil kulakan kemarin—masih bersisa, ia akan terlebih dahulu menawarkan dan menjajakan barang-barang tersebut. Harga barang biasanya akan sedikit turun dibanding sehari sebelumnya.

Dengan keadaan kedua ini, Busiyah biasanya berupaya sedemikian rupa agar barang dagangannya laku. Uang hasil penjualan tentu bisa kembali ia ‘putar’ dengan kulakan di pasar sehingga dapat membawa lebih banyak barang dalam perjalanan pulang. Setelah berhasil membuat lapaknya ludes atau nyaris habis, ia akan bergegas ke pasar menggunakan jasa ojek dari tempat di mana dagangan terakhirnya laku. Sistem semacam ini juga memungkinkan pelanggan untuk memesan barang apa yang ingin mereka beli dari pasar. Busiyah akan membeli barang tersebut kemudian menjualnya kembali.

Busiyah kadang juga menjajakan jualan di pagi hari yang demikian meski dirinya tak hendak ke pasar hari itu. Biasanya ini terjadi karena dirinya akan bepergian atau ada acara keluarga. Jika sudah demikian, kami yang biasanya lebih memburu dagangan ‘segar’ sepulang dari pasar kadangkala terpaksa membeli dagangan yang ia kulak kemarin. Dibanding harus repot-repot ke pasar atau bahkan tidak mendapat amunisi lengkap untuk masak harian, tidak apa-apalah.

Sampai sekarang saya belum tau pasti seberapa jauh jarak tempuh Busiyah. Yang jelas sepulang dari pasar, ia biasa menggunakan jasa ojek sebelum berhenti di shelter pertamanya kemudian melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki hingga sampai di tujuan akhirnya; rumahnya. Saya hanya sempat mengetahui beberapa spot yang sering dikunjungi Busiyah, sekitar 1,5 km dari rumah.
Jika tempat itu adalah shelter pertama (dari arah timur) tempat ia turun dari ojek, maka dalam perjalanan pulang dari pasar saja, Busiyah menempuh jarak tidak kurang dari 2, 5 km. Setiap hari. Profesi ini agaknya benar-benar menyita waktu, tenaga, pikiran dan perasannya.

Dalam momen-momen random, Busiyah kerap kali curcol perihal hal-hal yang ia temui di sela-sela profesinya. Harga-harga yang pada naik, keuntungan yang menipis, barang kulakan yang ketinggalan, uang kulakan yang kurang, kesehatan yang menurun, soal utang-pituang, cuaca yang tak menentu, kejadian tertentu di pasar dan lain sebagainya. Ini bisa terjadi ketika ia menjawab pertanyaan salah satu dari kami atau secara tiba-tiba, memulai curhat begitu saja.

TBC