Jadi, aktivitas meremajakan data pustaka itu isinya ngapain aja si? Jawabannya kira-kira begini... 

#1 hal teknis: Langkah pertama yang harus dilakukan dalam agenda UB adalah, tentu saja, memindahkan buku dari rak tandon ke meja kerja. Ini bisa dilakukan secara mandiri atau nebeng ke teman lain yang sedang melakukan aktivitas tersebut. Aku pribadi jarang sekali mengambil buku dari rak tandon. Selain karena males bergerak dan bertanya rak mana yang masih belum tersentuh, ada semacam kesepakatan tak tertulis bahwa tugas semacam itu sudah di-handle orang-orang tertentu. Biasanya nggotong buku pakai tangan, kalau tidak ya trolley. Bukan trolley belanja sih.

#1 hal non-teknis: Selain soal ruangan utama yang sebenarnya kurang ideal karena hanya memungkinkan, mentok, lima orang dengan masing-masing satu set computer, AC di ruangan tersebut juga antara on dan off yang intinya kurang bisa memberi nuansa sejuk di ruangan. Ini tentu cukup mengganggu tapi lama-lama, terasanya sudah biasa dan tidak begitu membuat sowap. Setidaknya bisa jadi pemanasan menyambut semester baru bulan depan kalau kemudian tidak sengaja dapat kelas yang AC-nya nyala tapi tidak mendinginkan udara.

#2 hal teknis: Setelah buku di tangan, pustakawan akan mencari rekaman data buku tersebut di sistem. Cara termudahnya adalah dengan menggunakan penelusuran berdasarkan kata kunci. Memasukkan kata kunci tertentu di search box atau kotak pencarian. Bisa nama pengarang, judul buku, dan info-info lain. Namun, pilihan pertama ini tak selalu berhasil karena seringkali ada ketidaksesuaian antara data yang tertulis di buku dan tercatat di sistem.  Solusinya adalah menggunakan nomor barkod (kode batang, asline artinya) yang tertera di sampul belakang buku. Kode ini biasanya terdiri dari tahun buku tersebut dientri ke sistem kemudian dirangkai langsung dengan semacam nomor urut di antara buku-buku lain yang juga ‘seangkatan’. Ada juga nomor barkod yang tidak demikian dan ini biasanya ditemukan di buku-buku yang masuk perpus lebih awal. Solusi ini adalah solusi semi terakhir sebab jika ada buku di rak tandon yang datanya tidak direkam di sistem, maka solusi terakhirnya adalah.. ENTRI BARU. Dan percayalah, nyunting/ngubah entri lebih bikin baper dibanding bikin entri baru. Apa pasal? Next di point ketiga. 

#2 hal non-teknis: Mengingat pekerjaan semacam ini adalah kerja otot yang sedikit sekali melibatkan otak, maka, untungnya, aku bisa tetap bekerja meski nyambi melakukan hal-hal lain yang biasanya kuanggap mengganggu, semisal ngobrol hingga dengerin musik. Dua aktivitas ini, selain mengunyah makanan ringan atau sarapan buah, justru merupakan pendukung utama lancar dan suksesnya proses penyuntingan sekaligus peremajaan info buku yang entah kapan berakhirnya itu.

#3 hal teknis: Sebagian besar kegagalan pencarian data buku disebabkan oleh yang namanya salah ketik atau typo, istilah kerennya. Karena itu, mereka yang mengentri data harus jeli dan teliti memasukkan kata kunci seperti yang tertulis plek di buku. Mau tulisan itu menyalahi EYD atau ngga, taklid yang demikian harus tetap dilakukan. Jika sudah bertaklid namun belum mendapatkan hasil yang diinginkan, maka yang bersangkutan bisa melacak kata-kata yang dianggap rentan ditulis dengan ejaan yang salah. Perihal Muhammad pakai U atau O, disingkat pakai titik atau tidak, dan lain sebagainya, harus masuk di list pertimbangan si pengentri data. Proses awal ini cukup menentukan proses-proses selanjutnya sebab jika data buku mudah dan segera ditemukan, semangat untuk menyelesaikan tugas entri satu buku akan meletup sehingga pekerjaan juga akan cepat selesai. Dan begitu juga, tentu, sebaliknya. Ketika data yang diinginkan tidak muncul-muncul juga, lelah yang awalnya kecil jadi terasa mengembang seketika. 

#3 hal non-teknis: as the time goes on, semua seperti mulai menemukan zona nyamannya masing-masing. Ruang utama biasanya diisi oleh orang yang itu-itu aja. Salah satunya aku. Bahkan posisi kursinya juga tidak banyak berubah dari hari ke hari. Selain itu, spot lain adalah di ruang admin. Di sini ada dua set komputer, dan lainnya adalah di BI Corner. Karpet yang terhampar memungkinkan spot ini diisi banyak orang, meski hanya ada dua set computer. Sebagian penghuni spot ini biasanya membawa laptop/notbuk pribadi sehingga bisa lebih fleksibel kerjanya. Spot lain yang juga adalah pilihan terakhir adalah di ruang kepala. Di situ ada meja oval panjang gede dengan beberapa kursi dan sekian set computer. Uniknya, hanya Bu Zaki yang betah—dan mau—melakukan tugas dari ruangan sakral itu. :) 

#4 hal teknis: Sejak awal kami menyepakati beberapa hal, salah satunya adalah perihal tata cara penulisan judul. Judul utama ditulis menggunakan huruf kapital, sedang anak judul atau subjudul menggunakan title case alias kapital hanya di awal kata saja, kecuali kata sambung. Nah di lapangan, kami kerap kebingungan menentukan mana judul utama dan anak judul karena tampilan sampul biasanya dibikin menarik dan meningkatkan penjualan. Untuk menentukan dua hal tersebut, kami harus membuka halaman identitas buku dan kadang kala menemukan perbedaan-meski tidak esensial—antara yang tertulis di situ dan di sampul. Ketika ini terjadi, biasanya kami lebih berpijak pada halaman di identitas buku. 

Jika sebuah judul utama memiliki anak judul, maka kami harus menambahkan titik dua setelahnya. Setelah pungtuasi itu, jelas ada spasi. Tapi soal apakah sebelum meletakkan titik dua tersebut juga harus ada spasi atau tidak, itu masih menjadi pertanyaan pribadi yang belum sempat tak lontarkan pada siapapun. Tapi biasanya, aku tidak membubuhkan spasi sebelum menulis titik dua demi alasan lebih enak dilihat dan tidak kelihatan too crowded. Ini baru lika-liku judul. Apa cukup di sini? Ternyata tidak.  

#4 hal non-teknis: Yang juga menyedihkan, tapi sekaligus mendukung kinerja adalah sinyal waifai yang tidak maksimal sampainya ke ruang P2SAD. Jadi selama di sana, aku dkk hanya bisa memanfaatkan internet dari computer yang kami pakai. Dengerin musik fesbukan sambil sesekali baca artikel di situs-situs populer yang tidak memerlukan kerja otak yang serius. Sayangnya, kami tidak bisa on di Whatsapp web dengan jaringan waifai dan harus menggunakan paket data. Ini berbeda dengan spot-spot lain yang terjangkau jaringan waifai dengan aman dan leluasa.

#5 hal teknis: Seringkali, kami kebingungan dan harus melakukan ijtihad ilmiah ketika berhadapan dengan buku-buku berbahasa Arab. Sebagian buku berbahasa Arab tidak menaruh harakat termasuk di bagian sampul. Untuk judul, kami masih bisa meminta petunjuk dari barkod belakang buku yang selain berisi kode batang serta nomor inventaris, juga menyebut judul kitab/buku sesuai dengan yang tersimpan di sistem (terentri sebelumnya). Sayangnya, tidak semua judul yang terlanjur direkam sistem sesuai dengan judul yang sebenarnya—menurut ijtihad terbaru—sehingga ketika ini terjadi, kami harus menentukan akan mengikuti data lama yang dianggap keliru atau membuat data baru yang tampak lebih benar. Persoalan semacam ini biasanya mblunder  pada kata-kata yang berawal alif lam alias al, baik al syamsiyah atau al-qamariyah. Jika ada buku berjudul Al-Maharat al-Ammah fi Ilmi Al-Nahwi dan di data lama terlanjur disebut bahwa judul berawalan huruf A sedang menurut ijtihad belakangan dianggap huruf M-lah inisialnya (ini juga akan berefek dan tampak pada nomor panggil), maka di sinilah kebingungan akan terjadi. Sebagian dikonsultasikan pada yang dianggap lebih tahu persoalan ini dan sebagian lain di-skip berdasarkan ijtihad pribadi demi efisiensi waktu.

#5 hal non-teknis: Dalam proses ini, ada kalanya, dan bahkan sanga sering, di awal-awal, kami menemukan kebuntuan. Banyaklah kasusnya. Mulai dari buku yang tidak ditemukan datanya, ketidaksesuaian data yang sudah terlanjur direkam sistem dan atau ditempel di buku yang bersangkutan dengan yang seharusnya, kesulitan menentukan mana yang harus ditulis di kolom mana, dan lain sebagainya. Mengatasi hal ini, kami semua memiliki, sekali lagi, aturan tak tertulis bahwa tempat kami berkonsultasi adalah Bu Naili. Pengaduan dari sana-sini yang datang tiap hari membuat ibu tiga anak tersebut dijuluki—sekaligus menjuluki dirinya sendiri—sebagai pegadaian karena berslogan, menyelesaikan masalah tanpa masalah. Bu Naili sendiri, ketika mengalami kebuntuan, akan berkonsultasi kepada Bapak Syakur, kepala perpustakaan kami. Jadi demikianlah hirarkinya. Above all, sebenarnya, konsultasi adalah jalan terakhir ketika ijtihad pribadi kami tidak membuahkan hasil selain keraguan.

#6 hal teknis: Setelah judul ditemukan lalu dipastikan penulisannya bebas dari typo maupun  aturan penulisan huruf kecil dan besarnya, kami akan beralih pada bagian selanjutnya, yakni Pengarang. Bagian ini terintegrasi dengan menu lain dalam Slims, yakni Master File. Jadi seluruh pengarang yang bukunya masuk dalam sistem kami, supposed to be, terdaftar dalam menu ini. Eh FYI dulu, yang ada di Master File tidak hanya pengarang, tapi juga beberapa submenu lain termasuk penerbit, kota terbit, tema dan lain-lain. Nah jadi, setelah data nama seorang pengarang masuk di Master File, maka ia secara otomatis akan muncul di menu Nama Pengarang begitu beberapa huruf awal namanya diketikkan. Masalahnya, ada banyak sekali data nama pengarang yang tidak ditulis seperti seharusnya. Kasus paling banyak adalah seluruh huruf dalam nama diketik dengan huruf kapital. Kasus kedua adalah nama yang dibalik seperti penulisan dalam daftar pustaka. Kasus lain adalah gelar yang dimasukkan dan masih banyak lainnya. Nah, jika ada kesalahan penulisan dalam nama pengarang ini, maka pengentri tak bisa begitu saja melakukan perubahan seperti dalam kolom judul. Ia harus balik dulu ke Master File sehingga, demi alasan efektivitas, seorang pengentri disarankan membuka dua tab di layarnya. Satu untuk data bibliografi dan yang lain untuk Master File.

#6 hal non-teknis: Meski tak tiap hari, kami sering dimanjakan oleh bendahara dengan camilan-camilan yang sengaja dibeli untuk menunjang kerja dan kiner UB ini. Biasanya camilan atau kudapan ini akan diatur beragam dengan tujuan tak membosankan. Jadwal distribusinyapun hampir selalu bisa dipastikan, yakni setelah jam istirahat. Jadi, bisa dipastikan, jika abis istirahat kami tidak balik ke kampus/perpus tepat waktu, maka alamat akan tidak kebagian ataupun kalaupun masih, tidak seleluasa para early birds. Entah alasan teknis operasional atau pertimbangan lain, timing yang demikian sebenarnya sangat tepat karena, to be honest, kuantitas personil setelah jam istirahat biasanya tidak sebanyak jam pagi, termasuk semangat juang dan kerjanya. Balik ke kampuspun tidak seontaim pagi karena tidak ada ceklok ketiga setelah istirahat kelar. #eh  

#7 hal teknis: Another information to take a note adalah bahwa dalam kolom pengarang, ada banyak item yang bisa dimasukkan. Pengarang (utama dan tambahan), penerjemah, penyunting, direktur, produser, penggubah, ilustrator, pencipta dan kontributor. Yang paling sering disebut ya pengarang utama. Penerjemah dan penyunting hanya dalam sebagian keadaan, tidak semua. Aku pribadi, jika menemukan data nama penyunting atau penerjemah yang salah penulisannya, lebih memilih untuk delete it right away dibanding harus ke menu Master File dulu. Miris sih, karena kerjaan editor dan penerjemah itu jauh dari kata mudah. Tapi ya, kalah sama lelahnya.

#7 hal non-teknis: Aku lupa tepatnya tapi sependek yang dapat kuingat, di tengah-tengah proses UB, kami kedatangan bala bantuan dari SMK yang memercayakan enam siswanya untuk magang di tempat kami. Jadilah, Pak Faruk yang awalnya harus sendirian memindai semua buku dari beberapa spot UB, patut berbahagia karena anak-anak magang tersebut langsung distaffkan untuk membantunya.

#8 hal teknis: Masih di soal penulisan nama pengarang. Buku keroyokan tak jarang ditemui dalam proses UB ini dan aturan yang berlaku adalah demikian: Jika penulisnya tiga orang, maka ketiga-ketiganya, harus ditulis. Namun jika lebih dari tiga, maka diwakilkan oleh seorang penulis yang namanya disebut pertama lalu ditambah dengan keterangan DKK alias dan kawan-kawan. Aku beberapa kali menembahkan atau menyunting data di Master File dengan membubuhkan tiga huruf ini meski kadang bingung soal pungtuasi. Apakah sebelum dkk membutuhkan koma dan setelahnya membutuhkan titik. Sayangnya aku tidak bertanya dan lebih memilih ijtihad pribadi sebagai rujukannya.

#8 hal non-teknis: Nyaris separuh perjalanan bulan Januari di mana UB adalah agenda terbesar dan paling dominan di antara kegiatan-kegiatan lain, aku merasa energiku cukup terkuras. Rasanya harus makan lebih banyak untuk bisa konsentrasi dan menjaga endurence di tengah kebosanan yang rasanya semakin menumpuk seperti buku-buku yang tiap hari hanya bisa kami bolak-balik lalu taruh di tempatnya untuk menjalani proses lanjutan. Monoton seperti itu rasanya menakutkan. Untuk menyiasati keadaan, aku membawa headset dari rumah yang kucolokin di computer begitu work time starts. Jadi, selain nyemil dan ngobrol, aku bisa merasa pura-pura dan seolah-olah tengah karaoke meski di tengah jam kerja. Efek negatifnya ya aku merasa asosial dan seringkali ketinggalan berita, hanya karena kupikir efek positifnya lebih besar, I keep doing it. Kupastikan saja suaraku tidak terlalu nyaring ketika bersuara sebab biasanya, ketika telinga ketutupan alat semacam itu dan suara yang masuk focused, nada suara dari mulut biasanya lebih kenceng dari biasa kaya lagi ngomong dengan orang yang mengalami gangguan pendengaran.

#9 hal teknis: Barangkali, ini adalah item terakhir soal penulisan nama pengarang. Di buku-buku tertentu, ada kalanya yang ditulis di sampul depan hanyalah nama terakhir dari si pengarang. Biasanya buku berbahasa Inggris yang masih tampak tak tersentuh. Jadi misalnya, nih, nama pengarangnya Harry James Potter, maka yang tertulis di sampul depan adalah Potter. Nama lengkap si penulis baru ditulis pada halaman dalam. Jika bertemu dengan buku kaya gini, aku bela-belain bolak-balik ke Master File untuk membubuhkan nama lengkap pengarangnya. Selain alasan profesionalitas, ini juga aku niatkan untuk mengapresiasi kerja si penulis, selain pertimbangan bahwa nama belakang yang sama bisa dimiliki oleh banyak sekali orang.

#9 hal non-teknis: Selain camilan resmi dari kantor, buah yang tak bawa dari rumah, meja kami juga nyaris tidak sepi dari asupan lain. Yang paling pasti adalah minuman.  Bu Naili biasanya ditemani kopi panas, Bu Enni dan aku air putih dari botol Tupp*rwar* kami masing-masing, Pak Roviki dengan air dalam botol kemasan, dan entah kalau Pak Habi dan Bu Zaki, aku lupa. Demikian seterusnya pemandangan ini takes place, mungkin di spot lain juga begitu. Aku pribadi merasa tanpa asupan air yang kuteguk sedikit-sedikit namun sering, kerjaan UB tak akan berjalan lancar. Ada juga di antara kami, biasanya Pak Roviki dan Bu Enni, yang sering membawa camilan untuk disantap bersama. Kalau sudah begini, rasanya kerjaan lebih ringan meski kadang melihat tumpukan buku saja sudah melelahkan, membayangkan detik-detik yang terasa lambat ketika memrosesnya satu persatu.  

#10 hal teknis: Setelah kolom Pengarang, ada kolom Pernyataan Tanggungjawab yang biasanya di-skip. Di bawahnya, ada kolom Edisi yang biasanya juga tak skip kareka aku masih bertanya-tanya whether edisi sama dengan cetakan. Hanyasaja, kalau ada yang terdata edisi revisi, aku biarin gitu. Kupikir ini terprovokasi dari keterangan dari sampul depan. Baru kalau ada data yang aneh-aneh, semisal EDISI ASLI, aku tak ragu menghapusnya. Apaan sih, maksudnya. Emang ada edisi asli, edisi KW, edisi repro, gitu?  

#10 hal non-teknis: Alasan lain mengapa aku membawa dan menggunakan headset adalah karena masing-masing kami memiliki selera yang tidak sama. Satu ingin dengerin ceramah, satunya solawat, ada yang reggae Malaysia, dangdut koplo, Standup Comedy dan seterusnya. Sementara itu, kami sama-sama bosan, cape, dan rasanya ingin leyeh-leyeh lalu ke tukang pijat tapi sadar bahwa pekerjaan ini begitu penting dan tidak bisa ditinggalkan. Dalam keadaan semacam ini, untuk melemaskan otot dan otak, audio dan visual dari yutub atau laman lain adalah andalan. Namun, kadang kala, satu atau dua computer ‘berbunyi’ dalam saat yang sama dan alih-alih menjadi harmoni, kedengarannya malah sumbang dan potensial worsen the boredom. Solusi sehatnya, dengerin lewat headset. Kerjaan selesai dan sekali-kali bisa tetap ikutan ngobrol atau dengerin suara dari home computer.

Foto: Dokumentasi pribadi
Caption: Ketika dunia terasa sesempit layar ini

Diari 28 Januari 2019

Among others, hari ini cukup bersejarah bagiku karena aku dan keempat temanku menjalani prosesi yang biasa disebut sumpah jabatan. Prosesi tersebut sekaligus menandakan transisi dari CPNS menuju PNS beserta seluruh implikasi dan konsekuensinya. I was supposed to be happy, sebenarnya. Perjalanan singkat untuk lulus CPNS hingga ke tahap ini sungguh jauh dari kata sederhana, meski tidak terlalu banyak suspense-nya. And here the summit is!
Selain ‘acara’ kami berlima, beberapa dosen dan karyawan senior juga menjalani ritual yang sama, meski namanya berbeda. Sebagian dari mereka diresmikan sebagai pejabat setelah sebelumnya memangku amanah sebagai PLT alias pelaksana tugas (kaya UPT ga si, kedengarannya) dan sebagian lain—yang jumlahnya lebih banyak—mendapat promosi setelah, if I am not mistaken, menjalani semacam test kenaikan pangkat. Naik pangkat, bagi sebagian besar dari mereka, adalah juga berarti pindah unit. Dari satu unit ke unit lain dan begitu seterusnya, meski ada segelintir yang tetap di unit lama hanya memangku jabatan yang lebih tinggi.
Salah satu pejabat yang naik pangkat adalah Bapak Abdus Syakur, kepala perpustakaan tempat aku bekerja. Sayangnya, Pak Syakur tidak dipromosikan untuk tetap di perpus (mbok ya bisa menjadi supervisor atau advisor gitu, batinku) dan beliau dipastikan akan pindah unit per 1 Februari besok. Di antara sederet nama yang disebutkan Pak Kabiro di atas mimbar, Pak Syakur disebut, kalau tidak salah, nomor 7. Feeling-ku sangat tidak enak begitu namanya disebut. Dredeg dan seperti ingin nyumbat telinga. And it turns out to be true; beliau dipindah ke unit lain dan bersama itu telingaku mengirim pesan ke hati lalu ke mata yang selanjutnya terasa panas sebelum menggenang dan mengelurakan sebulir dua bulir air.
WHAT A LOSS! Everybody loves him!
Pertama kali bertatap muka dengannya, ketika itu baru abis terima SK CPNS, dianter oleh Pak Saifur kepegawaian, kami berlima menemui Pak Syakur di ruangannya yang spacy dan tertata rapi. Kami ngobrol ringan lalu saling memerkenalkan diri dan dari situ aku tahu bahwa ia adalah tetangga rumah. Komentar Mbak Ria ketika itu, “bapak ini wajahnya adem.” Aku mengiyakan dan belakangan, penilaian yang barangkali terburu-buru itu terbukti benar.
Pak Syakur adalah pemimpin yang nyaris ideal. Ia murah senyum, suka berbaur dengan bawahan (biasanya di meja sirkulasi dan belakangan di BI Corner) tanpa sedikitpun mengurangi wibawanya. Ia juga istiqamah shalat jama’ah di masjid, puasa Senin Kamis, dan yang paling penting, tidak pernah telat ceklok seperti aku. Seharian, ia bisa stay di depan komputernya dan available menerima siapapun tamu yang mengetuk pintu ruangan.Hes doing what hes supposed to do and that's enough. 
Sependek yang kuamati, Pak Syakur sering sekali mengenakan kemeja putih, bahkan di luar hari Senin dan Selasa. Sesekali batik, tapi hanya sesekali. Langkahnya pelan namun mantap, seperti menunjukkan proses dan tempaan lahir batin yang telah dilaluinya. Pak Syakur juga tegas namun lembut, artikulatif dan, IMHO, berwawasan. Ia selalu welcome setiap aku berkonsultasi dan bisa menjadikan obrolan mengalir dan suasana carir meski aku tak selalu punya chat list.
Yang juga tak boleh dilupakan, Pak Syakur selalu memerhatikan bawahan. Ketika belakangan kami menggarap update bibliography, ia sempat mengatakan pada Bu Yenni agar memastikan ‘kesejahteraan’ kami para pekerja. Kasus yang sama juga terjadi perihal honor panitia User Education, kompensasi shelving dan lain-lain. Ketika memimpin rapat, Pak Syakur juga pandai sekali memosisikan diri sehingga suasana akan selalu 'pecah' meski point-point rapat tetap tercapai. Lain dari itu, dalam rapat, Pak Syakur sangat menghargai insight-insight yang ditawarkan teman-teman meski ia tegas menentukan sikap. 

Sekilas kuperhatikan, Pak Syakur tidak hanya berbaur dengan bawahannya secara fisik, akan tetapi juga batin. Ketika kami sambang orang sakit, lelayu, tilik bayi, makan-makan, Pak Syakur akan duduk sama rendah bersama kami dengan guyonan-guyonan lucu yang justru membuatnya semakin berwibawa sekaligus dekat di hati kami. He makes our happiness complete. 
Dan pastinya, setiap hari kerja, bahkan ketika acara User Education di suatu Sabtu, ketika itu, Pak Syakur datang bersama (seringkali sebelum) kami dan pulang juga bersama (atau sesudah) kami bubar jalan. Dari pola itu, aku kerap kali menilai Pak Syakur sebagai tipikal yang luar biasa konsisten, tahan terhadap pola monoton yang kerap membosankan tapi juga memiliki inisiatif yang inovatif.
Pak Syakur juga merupakan  sosok yang diidealkan oleh semua teori yang aku pelajari selama Latsar. Abis ceklok dia akan ke ruangannya. Boro-boro keluyuran untuk keperluan pribadi, aku tak yakin selama jam kerja dia membuka akun media sosial atau yutub-an. Dan begitulah seterusnya hingga jam ceklok pulang. Seingatku, Pak Syakur pernah ijin sekali karena sakit dan keesokan harinya, ia sudah kembali masuk kantor.
Dari beberapa perbincangan dengan Pak Syakur, aku mencatat beberapa hal perihal agenda pembenahan perpustakaan yang ia mulai sejak masa kepemimpinannya. Meski tak ada insight yang lebih akademik maupun perbandingan dengan tempat lain dan atau masa kepengurusan sebelumnya, aku memandang bahwa arah menuju perbaikan tersebut mulai jelas. Perpustakaan, tak lama lagi, bayanganku, benar-benar akan menjadi jantung kampus. Slogan tersebut sepertinya tak hanya akan menjadi pemanis belaka lagi.
Kami baru saja merapatkan pra-design gedung perpustakaan yang baru serta mereka-reka apa saja hal baik yang dapat dieksekusi selanjutnya. Kami juga belum rampung menggarap update bibliography yang kurang lebih sama dengan peremajaan rekaman data digital koleksi perpustakaan. Eh, ujuk-ujuk kepala perpustakaan yang kami sayangi akan dipindah. Di tengah kegalauan dan harapan agar pengganti Pak Syakur dapat memberi hal yang sama, bahkan lebih, aku berpikir nakal perihal there is no growth in any comfort zone.
Asumsinya nih, katakanlah, kami ‘dimanjakan’ dengan zona nyaman di bawah kepemimpinan Pak Syakur. Kerjaan tidak seberapa, suasana penuh kekeluargaan, kesejahteraan selalu diupayakan, beliau yang ‘berjarak’ namun selalu available kapanpun dibutuhkan, what could be better than that? Lalu, apakah di situ berarti tidak ada growth? Ah, tidak juga. Justru keadaan ideal demikianlah yang memfasilitas banyak growth dan produktivitas yang kami capai, meski sekali lagi itu belum seberapa. Well berarti slogan itu doesnt apply in every condition. 
Jadi, kalaulah ending-nya Pak Syakur harus dipindah, itu semata-mata tantangan agar kami tetap membuktikan profesionalisme di lingkungan baru yang barangkali membutuhkan banyak adaptasi serta tampak tidak se-comfort suasana kemarin yang memang, terasa lebih indah ketika dikenang. Banyak hal yang memang terasa sangat dan lebih wow sebelum dimiliki/dijalani atau setelah tak lagi dimiliki/dijalani.Tugas selanjutnya, ya move on, menciptakan comfort zone di tempat--atau suasana baru--lalu fokus mengembangkan diri, produktivitas dan kontribusi (bahasanya technical sekali ya). 

Above all, Pak Syakur adalah sosok panutan ideal. Ia sangat melek teknologi tapi ketika rapat atau forum lain tidak sibuk main hp. Ia juga—terlihat—begitu mencintai anak-anaknya, gemar membaca, pendengar yang baik atas keluh kesah bawahan, serta memberi teladan melalui lisan al-hal-nya. Sulit rasanya sosok Pak Syakur tergantikan, ia ibarat paket lengkap yang nyaris sempurna. Akan tetapi, semua orang tahu, perubahan dan dinamika adalah keniscayaan dan bagian tak terpisahkan dalam siklus hidup manusia. Dan kita, manusia, bersama makhluk lainnya, berada di antara kutub kehendak Tuhan yang tak terbatas dan keinginan yang juga tak ingin dibatasikarena maunya enak-enak terus.
Selamat dan sukses, Pak Syakur! All the best!   
Foto: Dokumentasi Pribadi



Kalau Kalian mengunjungi perpustakaan, baik bangunannya di dunia nyata atau rumahnya di dunia maya, aktivitas yang Kalian lakukan rasanya tidak akan jauh-jauh dan masih berkisar seputar pencarian buku atau bahan pustaka lain. Nah, menyusul semakin canggihnya teknologi informasi belakangan, maka untuk menyukseskan misi itu, Kalian tak perlu memeriksa satu persatu judul buku di rak klasifikasi sesuai tema buku yang dicari. Selain dibantu oleh klasifikasi desimalnya Pak Dewey, perpustakaan-perpustakaan umumnya telah memanfaatkan kemajuan teknologi computer dengan menyediakan mesin pencarian semacam Google atau Yahoo.

Mesin pencarian tersebut biasanya terintegrasi dengan software yang digunakan. Sependek yang kuketahui, mesin pencarian yang biasa digunakan di perpustakaan lazim disebut OPAC, meski software yang digunakan tidak sama. Di kampus tempat aku berkuliah dan tempat aku mengabdi, OPAC-lah yang dipakai sebagai jalan pintas untuk menemukan sebuah bahan pustaka. OPAC sendiri menjadi familiar karena mudah diucapkan lidah Indonesia dan nyaris serupa dengan jajanan ala Jawa Barat yang kalau di Madura mungkin tak berbeda denga keripik atau kerupuk. OPAC adalah kepanjangan dari Online Public Access System yang kurang lebih berarti Sistem Akses Publik Daring. Dari namanya, terkesan bahwa aplikasi ini western centered. Barangkali memang produk mereka, tak apalah. Menggunakannya tak menjadikanmu kafir.

Sayangnya, tak sedikit pengguna perpustakaan yang mengaku tetap kesulitan mendapatkan informasi perihal bahan pustaka yang dicari meski sudah menggunakan OPAC. Padahal, tak jarang, ketika dicari di rak koleksi, buku yang dicari nangkring di situ. OPAC bilangnya tidak ada, padahal ternyata ditemukan. Kasus lain, dan ini paling banyak terjadi, adalah ketika OPAC mengatakan bahwa buku tertentu ada di rak segitu, tapi ketika disamperi ternyata raib. Dari ujung atas paling kiri sampai ujung bawah paling kanan, dari rak depan hingga rak belakang, buku yang dicari tidak muncul juga. Padahal OPAC memastikan ketersediaannya, seringkali dalam jumlah eksemplar yang fantastis untuk mendatangkan keheranan kemudian keputusasaan si pencari.

Mengapa hal demikian masih terjadi di dunia yang sudah canggih ini? Ada banyak faktor tentunya. Bisa jadi pengunjung yang typo menulis kata kunci di kotak pencarian, kata kunci yang terlalu umum, terlalu spesifik, diksi atau spelling yang rawan typo, semangat juang—mencoba berbagai kata kunci dan men-scroll hingga bagian bawah—yang tak seberapa, buku yang sengaja disasarkan di rak lain oleh tangan-tangan mulya—yang sayangnya tidak bertanggungjawab—atau kemungkinan terakhirnya adalah… Data di server perpustakaan yang belum diperbaharui alias belum di-update. Jadi khan, setiap koleksi yang dimiliki perpustakaan itu tidak hanya dipajang begitu saja di rak atau dipinjamkan, akan tetapi juga dicatat identitasnya di database. Istilah teknisnya kalau tidak salah entri data. Data itulah yang kemudian akan diintegrasikan dengan sistem computer sehingga pengunjung bisa memanfaatkannya untuk mendapatkan informasi perihal keberadaan, identitas hingga jumlah bahan pustaka yang tengah dicari.

Karena pentingnya data di sistem itulah, barangkali, atau mungkin juga sudah SOP, atau paling pragmatisnya, menjelang akreditasi, liburan semester kali ini kami isi dengan melaksanakan agenda pembaharuan bibliografi (UB, to be short). Jadi FYI, meski mahasiswa liburan semester, kampus tetap buka dan karyawan tetap ngantor. Ketika jumlah pengunjung surut karena sebagian besar mereka sedang berlibur, tidak berarti karyawan kemudian bisa lepas dari kesibukan. Kami hanya ganti ritme. Kalau biasanya melayani pengunjung langsung, kali ini tugas kami menyiapkan layanan yang lebih baik (apa sih bahasanya).

Agenda ini, sepembacaanku, juga menjadi urgen karena tak jarang, ditemukan informasi penting yang tidak terisi atau penulisan data yang salah. Ini akan menyulitkan pengunjung yang sedang mencari informasi atau keberadaan sebuah buku. Yang lebih parah lagi, pengunjung yang putus asa mencari buku yang mereka butuhkan akan dengan mudah sesumbar, buku di perpustakaan sini ga lengkap. Aku cari ga ada. Dan itu, kemudian, dipolitisir menjadi alasan melakukan copy paste makalah di internet untuk tugas kuliah. Padahal, seringkali, itu hanya soal teknis. Kata kunci yang kurang tepat, pengunjung yang kurang ngotot, atau kalau bukan, ya seperti kusebut tadi, data di server yang memang perlu peremajaan.

Jadilah, dengan satu atau beberapa alasan seperti disebut di atas, dan mungkin juga alasan lain, sejak hari kedua tahun 2019, kami ber-21—ya kurang lebih segitu—memulai kerja update bibliography (UB ya UB). Dikomandani oleh Mas Umam yang ditunjuk langsung oleh Bu Neli, disepakati Pak Syakur dan didukung aklamatif oleh peserta forum, kerjapun dimulai dengan simbolisasi pembukaan ruang tandon di sebelah ruang Kapus. Hampir sama dengan arti lain dari tandon, yakni tempat menampung air sebelum dialirkan ke bak terakhir, koleksi tandon menampung satu eksemplar bahan pustaka dari masing-masing koleksi yang masuk wilayah sirkulasi. Jadi idealnya, jika ada buku yang dipastikan benar-benar raib di rak koleksi, maka cadangan terakhirnya adalah di tandon. Itulah kenapa, koleksi di tandon tidak dipinjamkan dan ruang tandon, setauku, baru dibuka ketika ada agenda ini.

Lalu, apa aja yang terjadi selama proses UB itu?

Karena ruang tandon terletak di lantai II, maka ruangan yang disasar untuk menjadi markas UB adalah ruangan yang juga di lantai II. Di antara ruangan-ruangan yang ada, ruang P2SD lah yang paling layak karena selain letaknya berseberangan dengan ruang tandon, luasnya terbilang lumayan, meski masih luas ruang Kapus. Ruangan terpilih harus dekat dengan ruang tandon karena untuk tahap pertama, buku-buku dari rak sirkulasi-lah—yang cadangan sekaligus ‘arsip’nya disimpan di tandon— yang akan diproses. Kalau jauh, kerja bisa tidak efektif karena acara gotong-menggotong buku bolak balik dari ruang tandon ke pusat berlangsungnya agenda UB akan lebih melelahkan.

Jadilah, lagi-lagi barangkali, dengan alasan itu, Ruang P2SD kemudian disulap menjadi ruang kerja dengan menggotong 5 unit computer dan beebrapa kursi serta meja. Idealnya, dalam sekali waktu, di ruang tersebut, ada 5 pustakawan yang bekerja melakukan UB. Selain di situ, ada juga yang menggunakan fasilitas di ruang administrasi, perawatan hingga BI Corner, baik menggunakan fasilitas computer umum atapun milik pribadi.

Bagiku, yang paling preferrable di antara semua adalah di ruang P2SAD karena pekerjaan baru tak hanya membutuhkan semangat, akan tetapi juga kondisi menyenangkan dan bimbingan serta pengarahan. Percuma semangat membara tanpa suasana kondusif dan bimbingan. Jatuhnya ia akan mudah padam karena ditempa kesulitan teknis berkali-kali. Di ruang itu juga, ada Bu Neli yang menjadi tempat bertanya hampir semua pustakawan perihal kesulitan yang mereka temui. Selain itu, obrolan-obrolan santai di tengah pekerjaan—yang meski tak membutuhkan konsentrasi penuh tetap melelahkan—tersebut sangat membantu mencairkan suasana dan menetralisir ketegangan sendi maupun lalu lintas otak. Belum alunan audio dari satu—atau lebih—computer yang membuat waktu seolah-olah berlalu lebih cepat dari biasanya.

Sekali waktu, ketika tidak kebagian seat di ruang P2SAD—berlaku prinsip SCDD alias siapa cepat dia dapat—aku harus pindah ke ruangan lain dan bolak-balik ke situ untuk bertanya pada Bu Neli. Energy and emotion consuming sekali. Niat kerja dari awal jadi terganggu dengan hal-hal teknis sehingga sebisa mungkin, aku booked kursi di ruang P2SAD agar kejadian sama tak terulang lagi. Most of time, it works, meski kadang kalah mruput dari yang lebih sregep. Konsultasi pada senior, dalam pekerjaan ini, begitu dibutuhkan karena meski pada rapat pertama sebelum kerja ini dimulai, kami sudah menyepakati beberapa hal, ada kejadian-kejadian di lapangan yang wilayahnya di luar kebiasaan.

Jika kubandingkan dengan agenda pada liburan semester tahun lalu, yakni entri data buku baru, maka agenda UB ini, kurasa, lebih melelahkan. Entri data, secara umum, lebih pada naluri ketelitian mata dan jari, ketahanan stamina serta penguasaan teori. Lebih jauh dari itu, UB punya lebih banyak dimensi karena juga melibatkan emosi dan etos kerja (baca: kesabaran, kejelian dan, kalau kata Orang Madura, ke-sele’­-an) berhadapan dengan data yang dientri sekian tahun lalu, buku yang diterbitkan puluhan tahun lalu atau bahasa yang dicetak dengan font huruf ala negeri dongeng karena susah dipahami. Perihal jarak dan waktu memang lebih sering mendatangkan chaos daripada harmony (kenapa bahasannya sampai sini sih)

UB memang tidak mudah dan jauh dari kata sederhana. Karena itulah, Bu Neli bilang, agenda ini, ia harapkan bisa menjadi salah satu amal jariyah-nya. Tapi ngomong-ngomong, UB ngapain aja si? To Be Continued

PS: Gambar hanya deskripsi, bukan pemanis. Digandakan dari WAG Pustaka 07 :)

Sejak ada mesin ceklok baru yang dipasang di kantor pusat beberapa waktu lalu, kini aku tak lagi bingung dan sudah yakin dengan ejaannya. Meski ya, tetap saja, lebih simple dan ramah ditulis dengan simply CEKLOK. Kalau ejaannya nurut yang asli dan benar, nulisnya lama dan space yang dihabiskan jadi banyak. Jadi ya, di sepanjang tulisan ini, selain pada judul, aku akan menulis CEKLOK instead of CHECK-CLOCK yang barangkali, kurang lebih berarti pengecekan jam. Jam berapa datang dan jam berapa pulang. Idealnya sih begitu. Ceklok dua kali sehari. Ya meski belakangan, aku sempat mendengar cerita dari seorang teman yang suaminya berprofesi sama denganku, CPNS satu angkatan denganku (tapi beda kampus), dan dia ceklok empat kali sehari.

Oh, Tuhan, ngapain aja ceklok empat kali sehari? Benarkah sesumbar yang mengatakan bahwa ceklok adalah berhala baru? Nah sesumbar ini aku dapat dari seorang pemateri yang bawain presentasinya boring banget. Saking boring¬-nya, hal yang aku inget dari dia sebatas soal berhala ini. Yang lain ga ada. Padahal ekspektasiku tinggi sekali. Balik lagi ke soal ceklok empat kali sehari. Jadi menurut temanku yang sekamar denganku ketika di Palu itu, sejak beberapa bulan sebelumnya, rute ceklok si suami ada empat: Ceklok pertama adalah ketika datang, ceklok kedua ketika istirahat mulai, ketiga ketika istirahat selesai dan terakhir ketika akan pulang. Benar-benar berhala sekaligus penjara. Eh baru kemarin ada yang mosting di salah satu WAG bahwa kabupaten tetangga sudah menerapkan mekanisme ceklok yang begitu pada karyawannya.

Would that be effective?
Tidak selalu. Sekali lagi ceklok hanya symbol. Ia tak lebih dari mekanisme untuk mendisiplinkan pegawai. Durasi setelah ceklok datang hingga sebelum ceklok pulang idealnya dipakai untuk mengerjakan tugas dan fungsi masing-masing. Baik di kantor maupun di luar kantor. Berdiam di kantor tapi tidak melakukan tugas tentu tidak lebih baik dibanding ngeluyur (atau istilah kerennya dines luar, meski artinya bisa luar kantor atau luar kota) dalam rangka mengerjakan tugas. Jadi ukurannya bukan soal apakah abis ceklok langsung masuk kantor atau malah ngeluyur ke luar ya. Meski ya tetap aja visually, ceklok langsung ngantor itu terlihat lebih ‘lurus’ daripada ceklok langsung ngeluyur. Sekilas lo sekilas, sebab yang catatannya gabisa dikibuli cuma Malaikat Raqib dan Atid, bukan mesin ceklok.

Nah, jadi, soal ceklok empat kali sehari yang frekeuensinya bahkan lebih tinggi dari jadwal minum obat itu, aku melihatnya juga sebagai rangsangan agar pegawai atau karyawan lebih bertanggungjawab terhadap tugasnya. Asumsi yang dibangun adalah bahwa the longer they stay at the ofiice, the better their works would be. Jadi dasarnya aku sangat mengapresiasi aturan tersebut meski tidak bisa membayangkan jika aturan demikian diberlakukan di tempat aku bekerja. Selama ini aku sudah kewalahan—meski merasakan banyak manfaat—ceklok dua kali sehari. Bagaimana jika empat kali dan ada kejadian tidak biasa semisal harus beristirahat di rumah, ada hajatan di luar kampus atau tengka lain yang harus ditunaikan? Jadi ya, sudah, dua kali ceklok itu sudah cukup menjadikanku sebagai pseudo robot.

***
Mesin ceklok baru yang tidak lagi mengucapkan terimakasih saja itu, akan tetapi dengan sudah tersimpan sukses menjadi berhala sedikitnya karena beberapa hal berikut. Pertama, ia kini terintegrasi dengan sistem yang versi full-nya sudah ter-launching bernama SIMPADU. Setiap pegawai memiliki ID dan password dalam sistem SIMPADU yang memungkinkan ybs mengecek jam datang dan jam pulangnya setiap hari. Selama ini aku belum pernah menemukan missedrecording dalam sistem tersebut meski tak mengeceknya tiap hari. Yang kurasakan justru sistem ini membantu bagi mereka yang lupa ceklok datang jam berapa. Awalnya aku kira kelupaan dalam hal ini tidak mungkin terjadi karena aku nyaris selalu mengingat angka yang menyambutku ketika menampakkan wajah seraya bercermin dan testing sedikit senyum setiap pagi itu. Tapi ternyata, belakangan, setelah mengalaminya sendiri, aku bersyukur dengan adanya sistem tersebut karena terselamatkan. Biasanya karena lagi banyak errand list di kepala jadinya potensi gagal fokus jadi besar.


Kedua
, ia juga terintegrasi dengan sistem pembayaran, baik untuk UM alias Uang Makan, Tukin pegawai dan—kabarnya—Tukin Dosen yang isu tentangnya ngalah2i debat pendukung capres nomor 1 dan nomor 2. Meski ini tidak berlaku bagi semua yang melakukan ritual ceklok, aku pribadi merasakan betul financial impact-nya. Kalau tidak salah, hitungan tiap hari kerja, jika ceklok in dan outnya sesuai prosijer, dapatnya Rp.35.150. Tinggal kalikan ada berapa hari kerja dalam sebulan. Siapa yang mau berbaik hati rutin memberi uang segitu setiap hari kerja kalau bukan mesin ceklok? Eh. Selain soal itu, menurutku, perihal ceklok ini juga tak jauh kaitannya dengan soal sanksi sosial. Mereka yang datang pada atau sebelum jam 07.30 dapat segera bubar jalan begitu jam 16.00 (pada hari biasa dan 16.30 pada Hari Jum’at). Hambatannya paling hanya perlu antri sebentar untuk bisa ceklok pulang. Antrian yang tidak panjang tersebut akan dengan segera surut dan berganti pemandangan dengan mereka yang masih mondar-mandir, duduk-duduk (kadang sambil ngobrol dengan manusia lain atau gawai) atau simply spending time sambil menunggu deretan angka tertentu muncul di mesin ceklok sesuai durasi keterlambatan.

Dan percayalah, itu tidak enak. Meski merupakan semacam punishment dari keterlambatan, tetap saja waktu njagong dengan pandangan kosong itu relatif terbuang. Waktu dengan keluarga atau apapun di luar jam kantor jadi berkurang dan pandangan orang-orang yang tak sengaja bertemu, betapapun terlihat indah, tidaklah benar-benar seperti yang terlihat. Masih lebih indah ketika ceklok datang tepat waktu dan berpapasan dengan hilir mudik di kantor pusat yang meski tak ada sinyal-sinyal apapun, terdengar menyiratkan selamat pagi dan *wah, selamat. Kamu datang tepat waktu. Have a good day!* Berbeda sekali dengan pemandangan ketika datang terlambat. Mesin ceklok terasa lebih jauh posisinya daripada letak ia yang biasa. Pandangan mata orang-orang jadi terasa menghakimi padahal mereka sebenere biasa aja dan saat mesin ceklok akhirnya berbunyi, rasa lega pada akhirnya sudah sampai di situ langsung disambut dengan bayangan *nanti nunggu ceklok pulang mau ngapain aja*.


Yang ketiga
, ceklok menjadi berhala karena meski ia terberdayakan oleh sambungan listrik sehingga asumsinya kalau listrik mati, ceklok manual bisa menjadi pilihan, itu tidak berlaku lagi. Ini tentu berita buruk bagiku yang suka kegirangan ketika listrik mati di jam-jam ceklok. Sore itu listrik mati dan you know what, ada genset (diesel) di kampus yang nyala sehingga mesin ceklok juga tetap nyala. Aku ingat sekali ketika itu, aku dan beberapa karyawan senior harus pindah tempat ceklok ke area seputar genset dan melakukan let say transaksi di dekat mesin genset yang gede dan bising banget. Seingatku, aku pernah mengisi ceklok manual tak lebih dari dua kali dan kenangan indah itu sepertinya akan susah terulang.

***

Anyway, namanya aja berhala. Meski punya kekuatan tersendiri yang dapat menggerakkan orang lain, tetap aja mesin ceklok tidak bisa leluasa bergerak seperti kami manusia, para pemakai dan pemujanya. Setelah berbagai cerita soal akal-akalan para pegawai di seantero negeri untuk mengalahkan kesaktian mesin ini, mulai dari mengguyurinya kopi, membawanya pulang ke rumah, memformulasi cara untuk membobol sistem keamaannya, tetap aja ia bisa diakali meski tidak dengan cara-cara sakti juga. Yang paling gampang ya begini. Ceklok pagi sebelum keramaian dimulai, lalu melanglang buana untuk urusan non-kerjaan dan kembali ceklok pulang ketika kantor uda sepi. Atau ya tidak usah ceklok sekalian. Kalau tidak demikian ya, ceklok seperti biasa. Stay di kantor untuk sekian persen kerjaan, sekian persen non-kerjaan. Khan prinsipnya fleksibilitas dan multiperan di berbagai lini. Modus semacam ini tidak bisa langsung distempel begini dan begitu karena barangkali, sistem yang kaku memang perlu sedikit polesan kelenturan di sana sini.

Apapun itu, tidak berlebihan kiranya jika resolusi tahun depan adalah bersahabat lebih intim dengan mesin ceklok dan lebih produktif mengelola waktu produktif! Happy Welcoming 2019!

Image: http://humancapital-management.net

Awal bulan kemarin Rauhia genap berusia 1.5 tahun menurut hitungan kalender Masehi. Seperti yang banyak diungkapkan orang-orang, rasanya waktu berlalu cepat sekali. Baru kemarin rasanya aku hamil, melahirkan, lalu menjalani hari-hari pertama penuh kejutan dan hal baru. Tiba-tiba, seperti hanya melalui beberapa kedipan mata, bayi yang betah berlama-lama di perutku itu sudah ada di dunia. Bisa berjalan, —belajar—berbicara, bisa protes, bisa merespon ok atau no, juga memiliki cara untuk mutung atau ngambul.

***

Sejak memiliki kewajiban ngantor setiap hari kerja, praktis beberapa hal yang aku bangun dari awal harus mengalami beberapa modifikasi. Ini tentu bukan hal baru dan sudah lama kujalani, tapi tetap saja idealisme-idealisme itu sering datang hingga hari ini dan menuduhku semacam unsuccessful mother . Program MPASI Rauhia nyaris sepenuhnya berhasil ketika aku masih full di rumah. Setiap hari aku mengenalkannya berbagai jenis makanan dan leluasa mengatur nyaris semua-muanya. Porsi, cara masak, bebas garam gula, hingga penyajian. Sekarang, menu harian Rauhia saja aku sering tak tahu. Aku berangkat sebelum ia sarapan dan pulang setelah ia makan malam/sore. Rasanya tak ada yang lebih tidak becus daripada itu.

Hal yang bisa kulakukan sementara, di masa—ya katakanlah—orientasi ini sekadar memastikan bahan makanan—beras merah dan buah—aman dan tersedia. Untuk sayur, prothew dan prona, biasanya Rauhia sudah mengonsumsi menu keluarga. Tidak perlu lagi ada sesi masak khusus untuk santapannya. Sesekali kubelikan ia kudapan, semisal S*ri Roti atau cemilan favoritnya sejak baru berusia 6 bulan, S*N biscuit. Rauhia juga sering minta join ketika melihatku makan, tapi ini tak selalu bisa kukabulkan karena menuku tak bisa lepas dari cabai.

Sejak beberapa bulan yang lalu, Rauhia ditemani Mb Hasnah, tetangga yang juga masih family, ketika aku tak di rumah. Saat akhir pekan Mb Hasnah juga sering datang meski biasanya tidak full sehari. Aku merasa cukup leluasa mengontrol menu makanan dan kudapan Rauhia via Mb Hasnah dan beberapa kali kukatakan, gapapa anaknya nangis dibanding nyantap makanan yang ga sehat. Mengetahui kehati-hatianku, Mb Hasnah sering bertanya apa makanan tertentu boleh dikonsumsi Rauhia atau tidak. Itu sedikit membuatku lega.

Aku bukan tak memertimbangkan mitos atau kepercayaan berantai bahwa semakin anak diatur makanannya—dan dilarang makan sembarangan—, semakin mudah dan sering ia akan jatuh sakit. Hal yang sama kurang lebih juga kutemui dalam diriku sendiri. Dibanding dua adikku yang tidak bermasalah menyantap air mentah, aku adalah yang paling ronyik dan dikit-dikit sakit. Tentu sebelum aku ikutan FC. Cuma tak pikir-pikir, kalau anak dibiarkan jajan apapun hanya demi agar dia tidak nangis dan sama dengan preferensi teman-temannya, rasanya ga bener juga.

Misalnya nih, misalnya, aku yang sudah dewasa saja emoh menyantap sosis goring dengan bubuk cabe atau saus sambal, masa anakku mau dibolehin? Fine lah sekali-kali dia jajan coklat atau snack semacamnya, tapi kalau dibikin sering, bukannya nanti akan ketagihan dan dikit-dikit jajannya itu? Sepertinya jauh lebih baik mengarahkan anak untuk menyukai buah, kudapan basah atau kering yang sehat dan –terlihat—higienis. Dalam hal ini aku punya pegangan prinsip bahwa semakin cepat kadaluarsa/pendek durasi bertahan sebelum basi, semakin baik dan sehat makanan tersebut. Rauhia tak pernah kubatasi menyantap camilan basah, termasuk pentol bakso atau oleh-oleh dari hajatan, tapi agak kufilter untuk kudapan-kudapan kering yang tanggal kadaluarsanya masih lama.

Nyinyiran dan komentar tidak perlu mesti ada, tapi aku tetap keukeuh dan meniatkannya untuk membentuk pola makan Rauhia hingga ia dewasa nanti. Sekali waktu aku melihat Rauhia doyan sekali minum Susu Yak*lt. Entah siapa yang memberinya pertama kali. Dia kelihatan suka dengan rasanya dan dengan cepat menandaskan setengah isi botolnya. Aku buru-buru melihat keterangan di kemasan dan tidak mendapatkan keterangan apakah minuman tersebut aman dikonsumsi anak belum 2 tahun. Jika sudah begini, aku akan bertanya pada Ibu Bidan karena seringkali, mencari informasi di internet bikin pusing dan tambah was-was karena everybody could easily say something about or out of his/her expertise.

Saat akhir pekan dan full di rumah, aku seringkali terkejut mengetahui perkembangan-perkembangan yang terjadi pada Rauhia. Tiba-tiba dia sudah bisa melakukan hal baru, mampu mengatakan kata baru, atau menunjukkan gelagat baru yang belum pernah kulihat di sela-sela berangkat pagi pulang soreku. Dia yang dulu masih disuapi dalam posisi terlentang atau duduk di baby walker sekarang sudah bisa menunjukkan reaksi emoh ketika disuapi makanan yang barangkali secara tampilan kurang menarik. Buah naga yang dulu disukainya sekarang tak banyak menarik seleranya. Dia tetap suka sayur bahkan seringkali emoh makan nasi dan lebih memilih sayur dengan metode Baby Led Weaning ala dia; diacak-acak dan seringkali pakai tangan telanjang. Terkadang dia request ‘kok’, ikan dalam Bahasa Madura, atau baru mau lahap makan jika santapanya ditaburi remahan kerupuk yang dia sebuah ‘puk’. Lain dari itu, sekarang, Rauhia juga sudah pintar menyuapiku, tak hanya bisa disuapi.

Rauhia suka sekali menyantap mie dan aku harus memastikan mie instant tidak masuk di daftar makanan yang ia santap. Emaknya aja ga mau makan mie instant, masa anaknya dikasih. Entah karena rasa atau bentuknya, aku melihat Rauhia begitu antusias memakan mie. Ketika kuajak dia ngebakso, Rauhia sering lebih fokus pada mie dibanding pada baksonya. Kali lain aku mengajaknya menghadiri undangan manten dan, you know what, dia langsung mendekati piring berisi mie dan menyantapnya langsung tanpa makanan lain. Bihun juga demikian. Makanan campor begitu ia sukai karena ada unsure mie di dalamnya.

***

Selain soal pola dan menu makan, banyak perkembangan lain dari Rauhia. Meski masih tak lepas dari popok sekali pakai, ia sudah kubiasakan mandi di kamar mandi dan bukan di outdoor lagi. Ini sebenarnya bermula ketika ia tinggal di kos dan tak menemukan lincak andalan orang Madura ketika memandikan anak kecil. Ia yang ketika itu sudah belajar berdiri mandi sambil berpegangan ke kloset duduk di kamar mandi kosnya. Dari situ ia terbiasa mandi indoor sehingga sepulangnya dari Surabaya, ia tak terkejut lagi ketika kuajak mandi di kamar mandi. Rauhia juga sering kuajak ke kamar mandi ketika akan BAK dan wudhu’. Setelah menaruhnya di tempat aman—tidak licin dan bebas dari najis—aku melaksanakan hajatku dan memberitahunya apa yang baru saja kulakukan.

Ketika BAB, Rauhia juga sudah belajar member kode selain aromanya yang seringkali tercium. Ia biasanya akan tengkurep lalu mengangkat bokong untuk mengejan. Jika tidak demikian, ia akan jongkok dan terlihat berusaha mengeluarkan sesuatu dari tubuhnya. Jika sudah demikian, sering kutanyakan apakah dia ngeng*k atau e*k. Terkadang jawabannya sesuai dengan isi popoknya, terkadang juga tidak. Seringkali juga, aku menanyai demikian karena mencium bau tak sedap yang ternyata adalah kentut. Satu hal yang istiqamah dia lakukan adalah memeluk betisku saat aku mencebokinya seperti mencari pegangan dan berlindung dari guyuran air.

Mengamati perkembangan Rauhia belakangan juga membuatku percaya bahwa anak adalah imitator terbaik dari orang tuanya. Sering melihat orang lain di rumahnya shalat, Rauhia mulai ikut-ikutan salat. Posisi favoritnya adalah sujud meski dengan bentuk tak beraturan. Ia juga suka berdiri lalu langsung sujud tanpa melewati ruku’. Sekali waktu ia juga menirukan ujaran amin ketika ada orang berdoa. Karena kebiasaan ini dan suatu kejadian saat dia berebut mukena milik sepupunya, aku belikan ia mukena. Kadang ia mengenakannya ketika ikut-ikutan jama’ah atau di waktu-waktu lain saat ia ingin. Sebalum mukena itu datang, Rauhia terlebih dahulu mendapat lungsuran mukene parasit dari sepupunya yang lain.

Ketika melihat aku mengerok bapaknya, ia sering memerhatikan lalu menyambar koin dari tanganku dan langsung menirukan apa yang baru saja aku lakukan. Ini terjadi beberapa kali sehingga meski tak sedang mendapati pemandangan serupa, ketika tanpa sengaja menemukan koin, dia lalu beraksi. Sama seperti saat melihat mbah putrinya nginjakin mbah kakungnya, Rauhia spontan meniru aksi tersebut meski ia tergopoh-gopoh memastikan badannya stabil dan tidak jatuh. Ia juga ingin duduk di kursi makan ketika yang lain makan, ingin mengulek bumbu masak di cobek hingga menyapu lantai dengan sapu yang panjangnya melebihi tinggi badannya.

Lain dari itu, Rauhia mulai mengenal hal-hal yang identik dengan orang-orang di sampingnya, termasuk barang apa milik siapa. Suatu ketika, ia menemukan kemasan rokok milik bapaknya bergeletakan. Ia lalu membukanya dan mengambil satu batang. Ia mencari sang bapak dan mendapati sang bapak tengah tidur lelap. Rauhia mendekatinya dan memasukkan sebatang rokok itu di sela-sela mulut si bapak. Memorinya begitu merekam bahwa barang itu sangat identik dengan bapaknya, bukan dengan yang lain. Hal yang sama terjadi ketika ia menggeledeh tas yang biasa aku bawa ke kantor. Mendapati kotak pensil, dia akan mengeluarkan isinya dan menuliskan spidol atau pulpen ke manapun objek yang ia temui, termasuk betis dan lengannya sendiri. Jika yang ia ambil adalah kota make-up minimalis, maka ia akan memasang gincu di mulutnya dan mengibas-ngias kuas blush-on ke pipi hingga dahinya. Ketika merasa bosan di rumah dan ingin mengajak jalan-jalan, terlebih dahulu ia mengambil jilbabku lalu menyuruhku mengenakannya sebelum mengode untuk menggendongnya lalu keluar rumah.

Gerak-gerik Rauhia, karena itu, memerlukan pengawasan penuh seiring dengan banyaknya keterampilan baru yang ia miliki. Jika dulu ia masih membutuhkan bantuan orang untuk membuka kotak pensil, membuka kemasan baby oil atau parfumnya dengan kode kak yang berarti perintah untuk membuka, saat ini ia bisa melakukannya sendiri. Termasuk keterampilan membuka gincu dan memutar bagian silindernya hingga ujung merahnya muncul. Keterampilan ini menyebabkan gincu ibunya yang baru saja dibeli harus patah. Rauhia juga bukan tipikal anak yang takut ketinggian seperti ibunya. Ketika sekian menit saja ia luput dari pandangan, ia sudah berhasil naik ke meja rias ibunya dan mencari adakah sesuatu yang menarik untuk ia comot di situ.

Rauhia juga sudah mulai bisa notice wajah orang-orang di sekitarnya. Ketika melihat poto ibunya, ia akan dengan sontak berkomentar mama. Begitu juga dengan wajah anggota keluarga lain. Ketika ditanya siapa orang yang ada di depannya, spontan ia akan menyebut bagaimana dia memanggil yang bersangkutan. Omo, tati, kakung, tatek, umik, con dan keke. Ketika ditanya soal dirinya sendiri, ia sering tersipu malu dan bergumam hia, ia dan yang semacamnya.

***

Banyak bottom line dan kebiasaan dan karakter Rauhia yang sejauh ini tampak. Jika tidurnya pulas, ia akan bangun dengan bahagia tanpa tangisan atau rengekan. Beberapa kali aku mendapatinya bangun lalu langsung bangkit dan mencari di mana ibu atau anggota keluarga lainnya berada. Jika tidurnya tidak pulas atau kurang lama, ia biasanya akan bangun dengan rengekan hingga tangisan. Setelah itu, diperlukan beberapa waktu untuk menytabilkan emosinya dan dia akan kembali riang seperti biasa. Rauhia tetap menyukai udara dingin dan akan tidur nyenyak lebih lama ketika cuaca dingin atau saat pulang ke Pananggungan. Ia juga masih sering terjaga di malam hari ketika udara panas dan merasa gatal di sekujur tubuhnya. Belakangan ini mulai teratasi dengan agenda ganti sabun mandi dan krim anti gatal yang biasanya digunakan ketika gatal datang dan ia, dengan mata terpejam, refleks menggaruk-garuk menunjukkan betapa ia terganggu.

Kali terakhir membawa Rauhia menaiki angkutan umum, terjadi perubahan cukup drastis di mana yang bersangkutan tidak mau diam di tempat seperti biasa. Ia juga tidak tidur di pelukan dan bisa diam dengan iming-iming nenen. Rauhia berusaha berjalan dan menyapa teman sebayanya di jok belakang sambil menepuk-nepukkan tangannya pada kaca mobil. Aku cukup kelabakan dengan perubahan ini karena Rauhia tampak mulai belajar menikmati perjalanan dan tidak mau diam saja seperti sebelum-sebelumnya. Satu hal lagi yang kupahami dari Rauhia, ia cenderung ramah dan seperti ngajak main pada anak yang tampak lebih tua darinya dan bisa jadi berbahaya bagi anak yang lebih muda. Mengapa bisa begitu, aku belum faham.

Saat terakhir kubawa ke kampus, Rauhia kurang kuperatif. Mungkin ia bosan dan tak menemukan teman sebaya atau mainan di sekelilingnya. Orang-orang yang ia lihat juga baru dan suasana tak begitu akrab dengan lingkungannya setiap hari. Ia sempat tidur di pelukan tapi ketika hendak kulantaikan, dia bangun. Berkali-kali seperti itu. Sepertinya ia tak suka kebisingan selain yang sudah akrab di telinganya. Ketika om-omnya sedang latihan musik dengan suara kencang, ia bisa tetap lelap tidur karena barangkali sudah terbiasa dengan dentumannya. Ketika aku bergeser sedikit ke rumah Mb Af, Rauhia berubah mood meski ia tetap mencari ibunya begitu si ibu menghilang sedikit dari pandangan. Ia sibuk bermain dan malah tampak keenakan seperti di rumah sendiri. Rauhia yang mulai mengenal asyiknya bermain sering mengajakku bermain meski sebatas cilukba atau mengangkat tangannya tinggi-tinggi hingga bayangan tampak di tembok.

Fase-fase ini juga menandai beberapa kosa kata baru yang dimiliki Rauhia, meski ia tidak sepenuhnya fasih melafalkannya. Sebagian Bahasa Madura, Jawa, Indonesia, sebagian kecil lagi Inggris. Di luar itu, Rauhia suka meniru kata-kata yang baru diucapkan orang di sekitarnya, meski yang keikut seringnya hanya di bagian buntut. Aku suka memerhatikan ekspresinya ketika bahagia, gemes, marah, sebel, cape, ngantuk tapi masih ingin bermain, serta saat ia terbangun ketika orang-orang di sekitarnya (pura-pura) tidur. Aku belajar banyak hal dari anakku soal betapa attached-nya perilaku orang tua dan orang sekitar terhadap dirinya. Kecenderungan Rauhia yang lebih menyukai barang milik orang lain, termasuk botol Tu*py gedeku dibanding botok Pige*n mini miliknya, seringkali meyakinkanku perihal kencenderungan manusia untuk sawang-sinawang. Sikapnya yang tenang ketika ada yang mem-body shaming dirinya juga membuatku yang geram kembali terkontrol. Barangkali dia belum mengerti, tapi auranya yang tenang seperti tak ada apa-apa seringkali mengkodeku agar please be calm, Mama. Everythings ok.

Rauhia juga lebih suka membolak-balik buku lain dibanding miliknya yang kubeli khusus dalam rangka agenda mendongengi. Alih-alih terlaksana, Rauhia justru lebih fokus pada gambarnya dan tidak pada kata-kata yang aku baca. Tak hanya fokus mengamati, ia seringkali mencorat-coret hingga menyobek kertas di buku itu kemudian meremasnya tak beraturan. Soal ini aku bertekad untuk tak menyerah dan menjadikan anakkku kutu buku yang sukses, tak seperti aku yang gagal. Aku tahu betapa menderitanya menjadi akademisi yang jauh dari buku dan semoga Rauhia tidak menjadi generasi itu. Be all you can, Sayang, tapi stay closed with the books.

***

Last but not least, tentang ASI. Selain ketika test CAT untuk CPNS pada 2017 lalu, beberapa bulan yang lalu aku pernah meninggalkan Rauhia dua kali. Ke Palu dan ke Surabaya. Dua moment itu sama-sama tak memungkinkan aku membawa Rauhia karena berbagai alasan teknis. Aku di Palu 5 harian dan di Surabaya 3 harian. Selama itu Rauhia tidak mengonsumsi ASI, termasuk ASIP yang sudah aku siapkan. Kali pertama aku tinggal ke Palu, drama cukup dramatis terjadi karena ia tak biasa tidur tanpa skin to skin denganku. Alhamdulillah hari kedua teratasi dengan mengamati pattern-nya sehingga ketika ke Surabaya, dramanya tak sedramatis saat aku di Palu. Aku ke Palu September dan ke Surabaya Oktober.

Selama LDR itu, aku bertekad meneruskan program hawlayn kamilayn dengan amunisi berupa pumping tool. Meski berkali-kali harus ijin demi kepentingan biologis, semua terkendali. Aku kembali menyusui Rauhia sepulangnya bepergian meski bukan tak banyak yang menyarankan untuk disapih saja agar drama tidak perlu berulang. Aku menepis saran itu meski aku tak ada pengalaman sama sekali tentang menyapih dan sebetulnya sedikit kuatir soal drama apa yang akan terjadi dengan babak itu. Aku berpikir bahwa Rauhia berhak atas dua tahun emas itu dan aku berkewajiban memenuhinya betapapun dengan segala keterbatasanku. Tanpa bermaksud yang tidak-tidak, aku merasa kemampuan menyusui adalah hal istimewa yang tidak bisa begitu saja aku sia-siakan, apalagi karena urusan teknis dan kekhawatiran akan hal yang belum terjadi di depan. Dalam hal ini sepertinya aku perlu memakai stubborn character-ku.

What’s wrong dengan cita-citaku memberi ASI dua tahun bagi Rauhia? Membandingkan Rauhia dengan bayi lain yang bisa skin to skin dengan ibunya selama 24 jam penuh saja aku iri bukan main, kenapa kesempatan ini justru aku sia-siakan? Akupun yakin Rauhia memahami bahwa persoalan skin to skin bukan semata ketika dia ingin minum sesuatu dari tubuhku, tapi juga ekspresi kerinduan, ketenangan dan kedamaian setelah seharian penuh kami berpisah. Soal ini, Rauhia juga mengalami perkembangan baru yang nyaris membuatku kapok untuk membawanya ke venue-venue di ruang terbuka tanpa ada sekat antara lelaki dan perempuan sementara ruang laktasi di tempat-tempat umum masih jauh di dunia andai-andai dan kapan-kapan.

ASI jugalah yang membuatku masih istimewa dan spesial bagi Rauhia, sebab hal-hal lain sudah bisa ia lakukan dengan orang lain. Ia bisa mandi tidak denganku, bisa berpakaian tidak denganku, bisa bermain, makan, jalan-jalan, tidur dan menghabiskan waktu tidak denganku. Tapi untuk urusan ASI, ia hanya bisa mendapatkannya dariku. Pikiran ini kadang membawaku seperti terbang ke awan dan rasanya tidak ingin waktu cepat-cepat berlalu agar agenda menyapih Rauhia itu masih lama. Dan aku tetap bisa menikmati hak istimewa itu.

Aku bukan tak khawatir perihal nutrisi Rauhia mengingat aku hanya bisa mengASIhinya tak lebih dari 15-an jam sehari pada hari kerja. Ia tak mau ASIP dan aku masih ingin menghindarkannya dari sufor untuk mengantisipasi ketidaksukaannya pada ASI jika ada nutrisi lain yang sejenis. Aku juga tak bisa seleluasa dulu mengontrol menu dan pola makannya. Menyerahkannya pada keadaan bermodal doa aku rasa juga tak cukup. Aku harus terus melakukan sebisa yang aku mampu di tengah keterbatasanku untuk menjamin semuanya on track tanpa kurang suatu hal apapun.

***

Di luar beberapa perubahan itu, Rauhia, Kau tetap bayi kecilku yang mungil berambut tebal dan berpipi bakpao. Sama seperti sebelumnya, masalah medismu dominan di kulit, sedang keluhan-keluhan kecil bisa teratasi dengan air degan. Pilek dan batuk sering tak kunjung pergi tapi itu relatif tak mengganggu keceriaanmu bermain dan mengenal hal-hal baru. Tanpa kata-kata, kau suka minta dipijat, digendong hingga dibawa jalan-jalan cuci mata. Kini, seringkali kau tampil dengan kuncir di kanan kiri meyakinkanku bahwa youve grown up very well! I love you, Nak. Maafkan mama tak bisa 24 jam sehari menemanimu bermain seperti saat jantungmu masih berdenyut di perutku.

MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.