#11 hal teknis: Selain dan setelah kolom pernyataan tanggungjawab, kolom Info Detail Spesifik dan Pemrosesan Nomor Eksemplar juga dilewati. Entah seharusnya diisi bagaimana. Ini sebenarnya kabar gembira karena dengan begitu, itu berarti tak (terlalu) banyak titik yang harus dilihat, diedit dan atau dikoreksi.  

#11 hal non-teknis: Ketika melakukan proses penyuntingan, biasanya di bagian judul dan pengarang, tak jarang kami harus sambat terhadap data yang sebelumnya tersimpan. Ini utamanya terjadi pada kesalahan yang cukup fatal dan tidak sekadar typo. Biasanya juga, demi pos-ngapose (Maduresse meaning) diri sendiri karena merasa ikut menanggung dosa warisan dengan kewajiban mengubahnya sesuai pedoman dan kesepakatan, ada beberapa nama yang disebut seolah-olah ybs adalah yang bertanggungjawab atas kesalahan tersebut. Seringkali juga dengan perkiraan waktu dan suasana ketika yang bersangkutan melakukan input data ke sistem. Buat lucu-lucuan aja sih, jadi harapannya malaikat pencatat amal mengerti kalau itu semua sekadar joke and not taking it seriously.
 
#12 hal teknis: Selanjutnya, setelah beberapa kolom yang dibiarkan tidak tersentuh tersebut dilewati, akan datang kolom bernama Data koleksi. Sampai di sini, kehidupan mulai terlihat ribet. Ada beberapa subbagian di kolom yang, among others, spesial karena memiliki semacam subwindow dengan beberapa menu di dalamnya yang juga bisa di-scroll up-down.  Beberapa menu tersebut adalah Edit, Delete, Kode Eksemplar, Lokasi, Lokasi Rak, Tipe Koleksi dan Status Eksemplar. Apa semuanya harus dilihat kemudian dipastikan kecocokan datanya? Yes absolutely! 

#12 hal non-teknis: Untuk meredakan kebosanan dan ketegangan syaraf otak serta otot, kami juga dituntut untuk kreatif membuat acara selingan. Pernah, sekali ketika itu, kami rujakan meski tidak semua anggota nimbrung dan sepertinya, hanya dua orang yang membawa amunisi dari rumah. Kultur Madura memang nyaris tidak bisa dilepaskan dari rujakan dengan bahan utama petis yang juga khas Madura. Semua kebosanan dan kelelahan di UB kemudian tumpek blek di atas sebuah cobek lumayan besar yang menampung sambal petis dan ulek-an cabai. Enak dan bahagia sekali.

#13 hal teknis: Di kolom data koleksi ini, ada menu Tambah Eksemplar baru dengan beberapa subkolom di dalamnya consisting of Judul, Kode Eksemplar, Nomor Panggil, Kode Onventaris, Lokasi, Lokasi Rak, Tipe Koleksi, Status Eksemplar, Nomor Pemesanan, Tanggal Pemesanan, Tanggal Penerimaan, Agen, Sumber Perolehan, Faktur, Tanggal Faktur lalu Harga (8 terakhir di-skip). Kolom TE ini hanya diklik jika ditemukan eksemplar yang belum terdata di sistem, sementara identitasnya sudah well recorded. Most of cases, yang diklik adalah kolom Edit dan subkolom di dalamnya sama plek dengan kolom TE. Hanya, karena namanya saja menyunting, bukan menambahkan data baru, ada beberapa kolom yang sudah terisi otomatis dari sistem, semisal Judul dan Kode Eksemplar (nomor barkode di sampul belakang buku), yang sekaligus disebut sebagai Kode Inventaris. FYI, dua nomor yang sama ini dibikin sendiri oleh perpustakaan berdasarkan daftar inventarisnya (sudah tak jelaskan di tulisan sebelumnya) dan biasanya disertai dengan huruf C di belakang sekian digit nomor tersebut. Nah, seringkali, yang harus diedit/ditambahkan di bagian ini—utamanya kode inventaris—adalah huruf C (mungkin kependekan dari copy) dan digit di belakangnya yang kira-kira merupakan nomor eksemplar buku yang dimiliki perpustakaan. C1 biasanya ditaruh di tandon atau di koleksi sirkulasi tapi tidak dipinjamkan, sementara C setelah/selain 1 bisa masuk di sirkulasi. Dari mana pengedit data bisa tahu  soal C1 dan seterusnya? Biasanya dari data di Kode Eksemplar, jadi Kode Inventaris tinggal menyesuaikan dengan hanya Ctrl C kemudian Ctrl V. Untuk buku yang berjilid, dua kode ini biasanya ditambah dengan J standing for Jilid, mungkin. Seringkali juga, ketika kursor mendekati kolom Kode Eksemplar, ada informasi berwarna merah sounding “ID Already Exists! Please use another ID”. Barangkali untuk memastikan bahwa ID yang sama tidak terdata dua kali. Apakah selesai sampai di situ? Tunggu dulu.

#13 hal non-teknis: Sejak beberapa bulan yang lalu, perpustakaan kami memiliki Corner pertama called BI Corner. As far as I can tell you, kami dapat bantuan dari BI berupa sekian kardus buku dan beberapa properti untuk membuat Corner. Satu set computer, TV, meja, kursi, rak buku sofa dan yang jelas tulisan BI Corner untuk dipasang di spot yang strategis. Buku-buku koleksi BI Corner cukup beragam dan tidak hanya melulu soal banking. Koleksi tersebut juga tidak dipinjamkan, tidak terkecuali bagi mereka yang bekerja di perpustakaan sepertiku. Karena itu, selama Januari dan UB berlangsung, aku sambi membaca Origins, novel terbaru Dan Brown yang merupakan salah satu koleksi di BI Corner. Sensasinya cukup berbeda dengan momen-momen membaca novel Dan Brown sebelumnya karena pikiranku terasa lebih terforsir pada agenda UB, selain karena aku tak bisa bebas bertemu buku itu 24 jam sehari 7 hari sepekan. Aku juga sadar betapa penting dan urgennya agenda ini untuk perbaikan data, peremajaan konten sistem juga amal jariyah pribadi, sehingga betapapun santifik novelnya, unsur fiksi di dalamnya excitement-ku tak sebesar biasanya. Semacam berpikir, “mari lebih seriusi dunia nyata dibanding bayang-bayang dunia imanjinasi, betapapun santifiknya.”

#14 hal teknis: Dalam beberapa kasus luar biasa, ada satu judul buku yang eksemplarnya atau kuantitas fisik yang dimiliki perpustakaan berada di atas ukuran normal. Ini biasanya terjadi pada buku-buku hibah hasil anggaran pemerintah. Seingatku, aku pernah menggarap UB untuk dua item buku yang jumlah eksemplarnya 70-80an. Kerasanya memang jalan di tempat, ketika teman-teman lain uda berhasil meng-gedebuk-kan buku ke lantai pertanda buku tersebut selesai diproses, aku masih bolak-balik ke C sekian lalu ke C sekian. Monoton seperti itu bukannya bisa dispelekan, justru membutuhkan fokus dan konsentrasi lebih penuh, juga akal yang lebih cerdik. Apalagi, setelah satu data C selesai, jendela akan kembali ke C1 lagi sehingga pengentri harus mengingat betul, C berapa yang baru saja dikerjakannya. Untuk meredakan kebosanan, aku biasanya ngerjain dari digit paling bontot, balik lagi ke digit paling awal, begitu seterusnya meski peluang ada C yang terlewati juga besar.   

#14 hal non teknis: Agenda UB ini, kalau boleh kubilang, semacam agenda tambahan alias lembur yang statusnya di luar tugas pokok. Gampangnya, kami mendapat bayaran tambahan--selain gaji bulanan--dari garapan ini. Hitungannya harian, sehingga tiap hari kami harus mengisi absen untuk kepentingan arsip dan rekap honor. Dalam praktiknya, tidak semua dari kami rutin mengisi absen harian. Ada beberapa yang lebih suka rapelan ttd agar tidak ribet dan bolak-balik. Ada juga, sependek yang kulihat, gejala di mana para pengentri tidak mau membubuhkan namanya di urutan pertama daftar hadir. Entah alasannya apa. Aku pernah sesekali, ketika merasa kerjaku penuh dan deserves for appreciation, kutaruh namaku di urutan pertama. Tapi jika tidak maksimal, aku biasanya ikut trend. Rule-nya seperti kalau kita kencing, maunya jauh dari orang lain. Btw soal honor ini, barangkali, ia jugalah yang membuat kami harus mencari cara untuk menyalakan semangat menyelesaikan garapan dalam posisi secapai, selelah dan semembosankan apapun. Di tengah perjalanan, sebagian dari kami mulai mewacanakan apakah honor bisa dicairkan sebelum agenda berakhir, sayangnya wacana tersebut tidak terealisasi. Kami harus menyelesaikan dahulu dan baru boleh membincangkan bayaran. :)
 
#15 hal teknis: Selain Kode Eksemplar dan Kode Inventaris, nomor lain yang juga harus dipastikan kecocokan datanya adalah Nomor Panggil. Nomor Panggil ini, suppossed to be, sudah terinput otomatis jika data di menu utama juga sudah terisi. Sebagian besar terisi dan sebagian lain mengharuskan pengedit untuk menambahkan data baru. Rumusnya tidak sulit, yakni klasifikasi (Desimal Dewey), tiga huruf pertama nama pengarang dan huruf pertama judul. Kelihatannya sederhana tapi keadaan jadi berubah rumit ketika nomor panggil, yang tertempel di buku dan terekam di data, ternyata keliru. Bingung antara mau mbenerin dengan resiko akan ada perbedaan data antara di sistem dan di fisik buku atau dibiarin salah seperti itu demi alasan kesamaan data. Untuk kesalahan fatal, semisal nomor klasifikasi yang keliru, biasanya akan dilakukan pelepasan data di buku. Akan tetapi, sependek yang kutahu, tidak banyak yang melakukan ini. Barangkali dan yang kutahu, hanya Bu Neli yang memang berkompeten dan otoritas keilmuannya bisa dipertanggungjawabkan.

#15 hal non-teknis: Di sela-sela garapan UB, kami disegarkan oleh angin semilir bernama jasket alias jas jaket. Akhir tahun lalu kami memang sempat bertemu dengan penjahit yang diundang langsung ke ruangan Pak Kapus untuk memastikan ukuran masing-masing kami. Ngukurnya tidak pakai S M L XL atau yang lain, akan tetapi diukur secara manual untuk memastikan presisi tidak meleset. Soal rembukan warna aku tidak ikut-ikut, tapi pas jasketnya baru diambil dari rumah si penjahit, aku bersyukur tidak jadi beli jasket temen2 DTNP karena warnanya nyaris sama. Hanya memang, tidak ada sablon tulisan di manapun, seperti “IAIN Madura” di jasket teman-teman DTNP. Selain soal warna, kualitas jasket juga oke punya, Bahan berkualitas dan ukuran pas. Sepertinya semua anggota perpustakaan bertestimoni sama. Bahagia rasanya, dapat jasket cuma-cuma di tengah tuntutan kerja yang padat dan sudah mulai terasa membosankan. Kami lalu merayakannya dengan foto bersama meski tidak semua anggota nampang karena beberapa lagi ada keperluan di luar, termasuk Kepala Perpustakaan. Jadilah kami adakan momen photo session kedua dengan formasi lengkap dan persiapan yang lebih matang.   
 
#16 hal teknis: Di bawah kolom Kode Inventaris, ada kolom-kolom Lokasi (hanya ada satu pilihan, yakni My Library, jadi bisa di-skip saja), Lokasi Rak (disesuaikan dengan nomor klasifikasi, atau bagian paling awal dalam nomor panggil),  Tipe Koleksi (terdiri dari Reference, Textbook, Fiction, Skripsi, Tesis, Disertasi, Jurnal dan Laporan Penelitian, tinggal pilih salah satu), Status Eksemplar (Tersedia, Repair, No Loan dan Missing, tinggal pilih satu juga), lalu beberapa kolom terakhir yang biasa di-skip, terdiri dari 8 kolom yang sudah tak jabarin di bagian 13. Melihat menu yang sebegitu banyak dan lengkapnya, aku hanya berpikir sederhana, ini sempat dan serius banget ya, yang bikin aplikasi. Semoga amal jariyahnya ngalir terus. Seperti kami para pengentri yang berharap agar kerjaan kecil ini dapat menjadi amal jariyah, minimal karena telah memutus rantai turun-temurunnya kesalahan data yang terekam di sistem dan memudahkan siapapun yang mengakses laman perpustakaan dan tengah berburu informasi perihal bahan pustaka.
#16 hal non-teknis: Selain momen kedatangan jasket dan foto bersama dua sesi, kami juga menggelar acara lain, yakni makan-makan akbar. Kali ini edisi ketiga sejak aku bertugas di perpustakaan. Jika dua sesi sebelumnya aku ditugasi membawa buah, maka dalam sesi ketiga ini, aku ditugasi ikan goreng. Yah ndilalah aku suka nyantap ikan laut, jadi H-1 acara makan-makan, aku dan Bu Septi hunting ikan segar ke Pasar Branta kisaran jam dua siang ketika nelayan baru pulang melaut. Heroik dan militan sekali. Rasanya selalu menyenangkan bertemu dengan sisi-sisi lain kehidupan yang jauh dari pemandangan keseharian. Aku jadi menurunkan standard menawar harga di depan penjual kalau ingat bahwa proses menangkap ikan bukannya tak memertaruhkan nyawa di tengah laut. Duh ampuni aku, Gusti.

Dan soal makan bersama, masing-masing kami membawa bekal dari rumah. Ada yang dengan menu andalan (jangan kelor Pak Faruk, pepes cakalan Pak Agus, terung balado Pak Rofiki dan sambel pete Bu Septi), ada juga yang rolling-an (Pak Iyad bawa air mineral, biasanya tahu tempe goreng, Bu Enni ganti bawa tahu tempe, biasanya dadar telur, Bu Zaki ganti dadar telur, biasanya bakwan udang, dan Mas Ojik yang biasanya buah, ganti bawa bakwan udang). Makan bersama juga menjadi moment aku citing sepenuhnya dari jalan lurus FC seharian, bahkan jeniper sekalipun. Menunya benar-benar tak bisa ditolak dan meski ada satu dua suap buah, sarapan pagi itu sukses membuat kantuk luar biasaku datang. Kami juga masih sempat makan siang karena ada sisa amunisi yang bahkan masih bisa dibawa pulang setelah dibuat makan siang, sebab beberapa di antara kami ada yang diundang ke fakultas sebelah, acara makan-makan juga. Syukuran sidah terbuka disertasi.


FYI makan-makan ini berani kami gelar bahkan sebelum garapan selesai, meski memang sudah tinggal sedikit lagi. Idealnya sebagai selebrasi kebebasan dari agenda UB ya, tapi dengan beberapa pertimbangan, selain karena agenda ini adalah rutinitas ketika liburan semester, jadilah kami menggelarnya prematur saja. Agenda tetap terlaksana aman dan terkendali karena ini adalah rutinan, sehingga sudah ada kode-kode tak tertulis terkait SOP-nya.



 #17 hal teknis: Setelah terbebas dari belantara kolom Data Koleksi, sedikit angin segar akan datang dengan beberapa kolom yang biasa di-skip terdiri dari GMD, Tipe Isi, Tipe Media, Tipe Pembawa serta Kala Terbit. Setelah itu, akan muncul kolom ISBN/ISSN yang biasanya juga di-skip ketika sudah ada data yang terekam di situ. Tapi, seringkali, banyak data yang tidak dilengkapi ISBN-nya.  Ketika ini terjadi, biasanya kesal sendiri sambil bertanya-tanya kenapa sih, ada yang masih mengosongkan ISBN/ISSN? Apa karena tidak tahu arti pentingnya atau simply karena malas? Padahal, ISBN/ISSN tak susah dicari. Ia biasanya ada di halaman identitas buku, kadang di sampul belakang (sebagian kasus harus diterawang karena sudah ketindih oleh Kode Inventaris). Meski memang, sebagian besar buku kadang memang tidak mencantumkan ISBN/ISSN, seperti buku-buku terbitan timur tengah berbahasa Arab. Aku belum pernah menghitung ada berapa digit, tapi sepertinya tidak selalu sama dan seringkali dipisah dengan strip, mungkin untuk memudahkan sekaligus agar tidak salah ketik juga. Ohya, buku terbitan luar berbahasa Inggris biasanya berdigit lebih sedikit dan huruf-huruf awalnya beda dengan buku terbitan dalam negeri yang biasanya dimulai dengan 979.
#17 hal non-teknis: Yang paling mengenaskan dari proses UB adalah, saat pengentri hanya bisa berinteraksi dengan buku secara fisik. Mereka sekadar mengetahui identitasnya, keadaan fisiknya dan detail-detail lain, tanpa ada waktu leluasa untuk membacanya. Kadangkala ini bikin melo, selain karena minat baca pribadi yang cetek. Ketika segepok buku yang berhasil diproses hanya lewat di meja tanpa sedikitpun disentuh isinya, rasanya kok ya ironis dan paradoks sekali. Pegawai perpustakaan kok bacannya sedikit sekali. Kok wacananya minim banget. Kerja cerdas memang membutuhkan kombinasi seimbang antara endurence tenaga fisik dan supply wacana yang adequate. Wes lah, minimal faham teorinya dulu. Praktiknya nyusul belakangan.


#18 hal teknis: ISBN/ISSN done lalu beralih ke beberapa data penting meliputi Penerbit, Tahun Terbit dan Tempat Terbit. Dibilang penting utamanya karena tiga hal ini akan diburu oleh pembaca yang mengambil informasi dari sebuah buku untuk ditulis di daftar pustaka atau catatan kakinya. Kolom Penerbit dan Tempat Terbit terintegrasi dengan Master File seperti pada kolom Pengarang, sementara tahun terbit bisa dibubuhkan begitu saja. Anehnya, ada segelintir data yang tahun terbitnya ditulis lebih dari satu. Setelah tak cek di fisik bukunya, ini terjadi pada buku-buku yang mengalami cetak lebih dari satu kali. Jika cetakan pertama pada 2018 dan kedua pada 2019, misalnya, maka dua-duanya itu ditulis. Freak sekali. Makanya harus dan wajib diubah, biar tidak menjadi dosa turunan. Ohya, ada cerita khusus soal kolom Tempat Terbit di mana cukup banyak buku yang di sistem tertulis tempat terbitnya di Hoboken NJ. Jika sudah bertemu dengan data yang demikian, dipastikan data tersebut perlu diubah, seringkali dengan nama penerbitnya karena Hoboken—yang entah nama apa itu—adalah indikasi kuat bahwa sebuah buku tertentu dientri datanya ke sistem tidak dalam proporsi yang seharusnya. 
Sekali lagi, seperti beberapa kolom lain, tiga kolom ini, meski terlihat sederhana, tidak sesimpel itu. Beberapa kasus di lapangan membuktikannya. Beberapa di antaranya adalah perihal kota terbit yang kadang susah ditentuin. Sebabnya ada dua, minimal. Pertama adalah tertulis dengan huruf Arab dan yang pasti tanpa harakat, dan kedua adalah buku-buku berbahasa Inggris yang penerbitnya sudah memiliki banyak branch di berbagai kota dan parahnya, semua kota itu ditulis. Kalau sudah kasus kedua ini, maka proses UB tidak bisa dilakukan cepat dengan teknik scanning and skimming. Informasi buku menuntut pembacaan cukup intensif sehingga seringkali, skipping-lah yang akhirnya dilakukan mencantumkan salah satu kota yang disebut. Bodo amat, suruh siapa semua cabangnya dicantumin, seolah-oleh mengatakan demikian. Tentu saja, dua kasus tersebut lebih rumit dibanding jika sebuah buku tidak ketahuan identitasnya. Cukup tulis aja s.a (jika tidak ada tahun terbit) atau s.l (jika tidak ada tempat terbit). 


Selain itu, terkait Master File, persoalannya juga jadi sedikit ribet ketika ada beberapa item yang esensinya sama cuma ditulisnya beda. Ada item Beirut Libanon, ada juga yang BEIRUT, misalnya. Idealnya ya Beirut doank, hanya karena malas bolak-balik ke Master File, dipilihnya yang pertama. Harapannya ya semoga pengentri lain pikirannya tidak se-jalan pintas sentris aku. Bukan tidak pernah sih, sesekali menyambangi Master File untuk ngubah atau nambah. Cuma pas posisi ngubah, biasanya sistem secara otomatis menolak jika ada data yang persis sama esensi dan penulisannya sebab satu data yang sama bisa tersimpan ganda di Master File karena berbeda penulisan (terkait kapital, biasanya). 


#18 hal non-teknis: Di sela-sela proses UB, pikiran lain yang juga menyedihkan, selain konsumsi bacaan, adalah tentang produktivitas menulis. Ketika memroses buku yang datang dari berbagai penjuru dan sekian set otak serta proses, mau tak mau muncul pertanyaan pada diri sendiri perihal, masa iya kerjamu hanya mroses dan baca buku? Apa tidak ingin ikut menulis juga? Antara pesimis dan optimis, antara keyakinan dan keraguan, impian-impian masa kecil dan ambisi-ambisi selama menjadi mahasiswa itu muncul lagi. Well, jadi program UB ini menjadi semacam recharging moment juga, misal saat mengetik nama seorang penulis lalu ada sederet judul buku yang pernah dihasilkannya. Rasanya tidak sah kalau tidak iri. Aku kapan aku kapan?
#19 hal teknis: Kolom yang juga harus di-bleteti adalah Deskripsi Fisik, sehingga kesabaran dan ketahanan sangat dibutuhkan di sini. Tugasnya sounds spele sih, cuma kalau dilakukan berkali-kali dalam ritme yang monoton, akhirnya kelelahan juga. Data yang dibutuhkan di kolom ini adalah jumlah halaman, baik halaman inti maupun halaman pengantar, lalu panjang dan lebar buku dalam ukuran cm. Sebagian besar buku yang kujumpai memiliki halaman awal dan halaman inti. Yang pertama dengan angka Romawi kecil dan yang kedua menggunakan angka Arab. Dibanding yang kedua, yang pertama lebih jarang dicantumkan, entah karena kesengajaan atau tujuan lain. Deskripsi ini kadangkala tercantum secara jelas di lembar identitas buku, akan tetapi sebagian besar buku tidak menyantumkannya.

Lucunya, ada buku yang bahkan tidak menyantumkan halamannya, sehingga pengentri harus menghitung masing-masing halaman dan tidak bisa straightforward ke halaman terakhir untuk menulis jumlah halaman. Aku pernah sekali bertemu dengan buku semacam ini dan untungnya, jumlah halaman tidak seberapa sehingga jariku tak jadi keriting karena berlebihan menghitung halaman buku dengan gaya menghitung uang. Ada juga, kasus lain, buku-buku berbahasa Arab yang halaman pengantarnya tidak ditandai dengan huruf Romawi kecil, akan tetapi justru dengan aksara alif ba’ ta’ versi semacam ABCD. Jadi kerasanya sangat wagu dan juga melelahkan karena harus kembali berhitung. Kasus lain yang juga berbeda dengan kebanyakan buku yang ditangani adalah buku-buku berbahasa Inggris yang di bagian belakang masih ada appendix-nya dengan lembaran yang kadang jauh dari kategori sedikit. Mau dicantumin bingung aol mau ditaruh di mana dan bagaimana, tidak dicantumin rasanya kok kurang menghargai usaha penulisnya yang uda nyusun appendix. Akhirnya ya ditinggalin gitu aja. Dan yang pasti, untuk ukuran PXL, para pengentri membutuhkan penggaris. Bisa joinan dengan teman sebelah sih, tapi more preferable kalau one man one ruler sih sebenarnya.

#19 hal non-teknis: Dari moment UB, telingaku yang berkenalan dengan genre musik baru diam-diam mulai menyukai, sedikitnya, dua hal baru. Dangdut Koplo dan Reggae Malaysia. Aku mulai faham bahwa untuk kerja-kerja yang menunt endurence tinggi dan fokus yang relatif tidak besar di mayoritas bagiannya, bukan instrumen-lah yang paling pantas menemani. Instead, musik dengan beat yang tinggi adalah jawabannya kaena ia bisa menghidupkan suasana dan menemani bekerja sehingga otak dan jari terasa tidak terlalu keriting karena aliran dari telinga ke otak juga lancar dan membawa nuansa cheerful dan happy!
#20 hal teknis: Kolom di bawah Deskripsi Fisik adalah Judul Seri (biasanya hanya dipakai untuk buku-buku serial, semisal Seri Pengembangan Diri, dll), Klasifikasi (yang bisa langsung nyontek dari Nomor Panggil di punggung buku), Subyek (juga terintegrasi dengan Master File dan aku pribadi hanya memahamia aturan soal item-item di bagian ini by practice, instead by theory), Bahasa (yang ternyata hanya ada empat opsi; Arab, Inggris, Indonesia dan Madura) lalu Abstrak/Catatan, Gambar Sampul, Lampiran Berkas, Data Biblio Terkait yang semuanya di-skip lalu tiga pilihan terakhir, Sembunyikan di OPAC dan Promosikan ke Beranda serta Label yang juga di-skip.   


#20 hal non-teknis: Selain perihal selera dan genre musik, berkumpul di ruang P2SAD juga menghadirkan banyak cerita baru dari obrolan-obrolan dengan teman setim. Obrolan inilah yang bertugas memecah keadaan ketika kami tiba-tiba sibuk ngomong dengan komputer masing-masing. Biasanya, satu orang menjadi narasumber lalu yang lain sibuk menanggapi. Tema obrolannya macam-macam, mulai dari cerita-cerita lama di kampus, cerita dari rumah masing-masing, cerita yang sedang trending hingga obrolan-obrolan renyah lain yang ragamanya melebihi rubrik di siaran berita atau kabar koran.

#21 hal teknis: Setelah beberapa kolom tersebut dilewati, tibalah pada kolom kemenangan di bagian bawah bertulis Perbaharui. Sebelumnya, akan ada gedebug buku ke lantai yang menandakan bahwa buku tersebut sudah diperbaharui datanya sehingga bisa dilanjutkan prosesingnya ke tahap lanjutan. Yah, proses UB tidak berhenti di situ sebab masih ada proses pemindaian sampul buku yang dikomandai Pak Faruk dengan pasukan anak magang. Dari beberapa spot UB, tim pemindaian ini akan mengangkut buku ke meja pemindaian lalu memrosesnya dan setelah itu, mengembalikan buku ke tandon.     
#21 hal non-teknis: Seolah-olah direncanakan detail dan matang, agenda UB turns out semacam agenda Januari. Kami mulai menggarapnya sejak 2 Januari dan menyelesaikannya tepat pada 31 Januari. Prediksi awal, pekerjaan ini akan take time sekitar dua pekan, tapi ternyata tidak demikian adanya karena selain garapan yang tak bisa dikategorikan mudah dan enteng, banyak juga selipan acara lain di tengah-tengah agenda. Yang paling menyedihkan, namun syukurlah karena muncul di penghujung agenda, adalah rolling-an karyawan yang ‘mengambil’ empat karyawan Perpustakaan dan salah satunya adalah Kepala Perpustaaan kami. Semacam klimaks, kami begitu merasakan kepuasan dan kegembiraan karena UB seles
ai—yang artinya honor untuk proyek ini juga akan cair—namun juga menderita sedih luar biasa dengan rutinitas promosi kenaikan jabatan tersebut. Bagiku sendiri, kegembiraan menyelesaikan UB sedikit terasa hambar ketika belakangan menyadari—lewat obrolan dengan Bu Naili—bahwa yang kami garap barulah buku-buku koleksi di sirkulasi dan referensi. Karya ilmiah lain, semisal jurnal, skripsi, laporan penelitian dan majalah belumlah tersentuh dan, supposed to be, well updated as well. Above all I appreciate the work and so grateful for having it done.  
Last but not least, meski masih jauh dari kesempurnaan dan flaw masih di sana-sini, aku meyakini proses ini adalah ikhtiyar dan perwujudan iktikad untuk melakukan sesuatu demi diri sendiri dan orang lain. Semoga tercatat sebagai amal jariyah, semoga program ini kembali--kalau bisa rutin-- diselenggarakan dan semoga perpustakaan semakin kondusif mewadahi aktivitas literasi masyarakat kampus.

Foto: Photosession II setelah makan akbar. Courtesy Umarul Faruq, S. Kom 
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 




Jadi, aktivitas meremajakan data pustaka itu isinya ngapain aja si? Jawabannya kira-kira begini... 

#1 hal teknis: Langkah pertama yang harus dilakukan dalam agenda UB adalah, tentu saja, memindahkan buku dari rak tandon ke meja kerja. Ini bisa dilakukan secara mandiri atau nebeng ke teman lain yang sedang melakukan aktivitas tersebut. Aku pribadi jarang sekali mengambil buku dari rak tandon. Selain karena males bergerak dan bertanya rak mana yang masih belum tersentuh, ada semacam kesepakatan tak tertulis bahwa tugas semacam itu sudah di-handle orang-orang tertentu. Biasanya nggotong buku pakai tangan, kalau tidak ya trolley. Bukan trolley belanja sih.

#1 hal non-teknis: Selain soal ruangan utama yang sebenarnya kurang ideal karena hanya memungkinkan, mentok, lima orang dengan masing-masing satu set computer, AC di ruangan tersebut juga antara on dan off yang intinya kurang bisa memberi nuansa sejuk di ruangan. Ini tentu cukup mengganggu tapi lama-lama, terasanya sudah biasa dan tidak begitu membuat sowap. Setidaknya bisa jadi pemanasan menyambut semester baru bulan depan kalau kemudian tidak sengaja dapat kelas yang AC-nya nyala tapi tidak mendinginkan udara.

#2 hal teknis: Setelah buku di tangan, pustakawan akan mencari rekaman data buku tersebut di sistem. Cara termudahnya adalah dengan menggunakan penelusuran berdasarkan kata kunci. Memasukkan kata kunci tertentu di search box atau kotak pencarian. Bisa nama pengarang, judul buku, dan info-info lain. Namun, pilihan pertama ini tak selalu berhasil karena seringkali ada ketidaksesuaian antara data yang tertulis di buku dan tercatat di sistem.  Solusinya adalah menggunakan nomor barkod (kode batang, asline artinya) yang tertera di sampul belakang buku. Kode ini biasanya terdiri dari tahun buku tersebut dientri ke sistem kemudian dirangkai langsung dengan semacam nomor urut di antara buku-buku lain yang juga ‘seangkatan’. Ada juga nomor barkod yang tidak demikian dan ini biasanya ditemukan di buku-buku yang masuk perpus lebih awal. Solusi ini adalah solusi semi terakhir sebab jika ada buku di rak tandon yang datanya tidak direkam di sistem, maka solusi terakhirnya adalah.. ENTRI BARU. Dan percayalah, nyunting/ngubah entri lebih bikin baper dibanding bikin entri baru. Apa pasal? Next di point ketiga. 

#2 hal non-teknis: Mengingat pekerjaan semacam ini adalah kerja otot yang sedikit sekali melibatkan otak, maka, untungnya, aku bisa tetap bekerja meski nyambi melakukan hal-hal lain yang biasanya kuanggap mengganggu, semisal ngobrol hingga dengerin musik. Dua aktivitas ini, selain mengunyah makanan ringan atau sarapan buah, justru merupakan pendukung utama lancar dan suksesnya proses penyuntingan sekaligus peremajaan info buku yang entah kapan berakhirnya itu.

#3 hal teknis: Sebagian besar kegagalan pencarian data buku disebabkan oleh yang namanya salah ketik atau typo, istilah kerennya. Karena itu, mereka yang mengentri data harus jeli dan teliti memasukkan kata kunci seperti yang tertulis plek di buku. Mau tulisan itu menyalahi EYD atau ngga, taklid yang demikian harus tetap dilakukan. Jika sudah bertaklid namun belum mendapatkan hasil yang diinginkan, maka yang bersangkutan bisa melacak kata-kata yang dianggap rentan ditulis dengan ejaan yang salah. Perihal Muhammad pakai U atau O, disingkat pakai titik atau tidak, dan lain sebagainya, harus masuk di list pertimbangan si pengentri data. Proses awal ini cukup menentukan proses-proses selanjutnya sebab jika data buku mudah dan segera ditemukan, semangat untuk menyelesaikan tugas entri satu buku akan meletup sehingga pekerjaan juga akan cepat selesai. Dan begitu juga, tentu, sebaliknya. Ketika data yang diinginkan tidak muncul-muncul juga, lelah yang awalnya kecil jadi terasa mengembang seketika. 

#3 hal non-teknis: as the time goes on, semua seperti mulai menemukan zona nyamannya masing-masing. Ruang utama biasanya diisi oleh orang yang itu-itu aja. Salah satunya aku. Bahkan posisi kursinya juga tidak banyak berubah dari hari ke hari. Selain itu, spot lain adalah di ruang admin. Di sini ada dua set komputer, dan lainnya adalah di BI Corner. Karpet yang terhampar memungkinkan spot ini diisi banyak orang, meski hanya ada dua set computer. Sebagian penghuni spot ini biasanya membawa laptop/notbuk pribadi sehingga bisa lebih fleksibel kerjanya. Spot lain yang juga adalah pilihan terakhir adalah di ruang kepala. Di situ ada meja oval panjang gede dengan beberapa kursi dan sekian set computer. Uniknya, hanya Bu Zaki yang betah—dan mau—melakukan tugas dari ruangan sakral itu. :) 

#4 hal teknis: Sejak awal kami menyepakati beberapa hal, salah satunya adalah perihal tata cara penulisan judul. Judul utama ditulis menggunakan huruf kapital, sedang anak judul atau subjudul menggunakan title case alias kapital hanya di awal kata saja, kecuali kata sambung. Nah di lapangan, kami kerap kebingungan menentukan mana judul utama dan anak judul karena tampilan sampul biasanya dibikin menarik dan meningkatkan penjualan. Untuk menentukan dua hal tersebut, kami harus membuka halaman identitas buku dan kadang kala menemukan perbedaan-meski tidak esensial—antara yang tertulis di situ dan di sampul. Ketika ini terjadi, biasanya kami lebih berpijak pada halaman di identitas buku. 

Jika sebuah judul utama memiliki anak judul, maka kami harus menambahkan titik dua setelahnya. Setelah pungtuasi itu, jelas ada spasi. Tapi soal apakah sebelum meletakkan titik dua tersebut juga harus ada spasi atau tidak, itu masih menjadi pertanyaan pribadi yang belum sempat tak lontarkan pada siapapun. Tapi biasanya, aku tidak membubuhkan spasi sebelum menulis titik dua demi alasan lebih enak dilihat dan tidak kelihatan too crowded. Ini baru lika-liku judul. Apa cukup di sini? Ternyata tidak.  

#4 hal non-teknis: Yang juga menyedihkan, tapi sekaligus mendukung kinerja adalah sinyal waifai yang tidak maksimal sampainya ke ruang P2SAD. Jadi selama di sana, aku dkk hanya bisa memanfaatkan internet dari computer yang kami pakai. Dengerin musik fesbukan sambil sesekali baca artikel di situs-situs populer yang tidak memerlukan kerja otak yang serius. Sayangnya, kami tidak bisa on di Whatsapp web dengan jaringan waifai dan harus menggunakan paket data. Ini berbeda dengan spot-spot lain yang terjangkau jaringan waifai dengan aman dan leluasa.

#5 hal teknis: Seringkali, kami kebingungan dan harus melakukan ijtihad ilmiah ketika berhadapan dengan buku-buku berbahasa Arab. Sebagian buku berbahasa Arab tidak menaruh harakat termasuk di bagian sampul. Untuk judul, kami masih bisa meminta petunjuk dari barkod belakang buku yang selain berisi kode batang serta nomor inventaris, juga menyebut judul kitab/buku sesuai dengan yang tersimpan di sistem (terentri sebelumnya). Sayangnya, tidak semua judul yang terlanjur direkam sistem sesuai dengan judul yang sebenarnya—menurut ijtihad terbaru—sehingga ketika ini terjadi, kami harus menentukan akan mengikuti data lama yang dianggap keliru atau membuat data baru yang tampak lebih benar. Persoalan semacam ini biasanya mblunder  pada kata-kata yang berawal alif lam alias al, baik al syamsiyah atau al-qamariyah. Jika ada buku berjudul Al-Maharat al-Ammah fi Ilmi Al-Nahwi dan di data lama terlanjur disebut bahwa judul berawalan huruf A sedang menurut ijtihad belakangan dianggap huruf M-lah inisialnya (ini juga akan berefek dan tampak pada nomor panggil), maka di sinilah kebingungan akan terjadi. Sebagian dikonsultasikan pada yang dianggap lebih tahu persoalan ini dan sebagian lain di-skip berdasarkan ijtihad pribadi demi efisiensi waktu.

#5 hal non-teknis: Dalam proses ini, ada kalanya, dan bahkan sanga sering, di awal-awal, kami menemukan kebuntuan. Banyaklah kasusnya. Mulai dari buku yang tidak ditemukan datanya, ketidaksesuaian data yang sudah terlanjur direkam sistem dan atau ditempel di buku yang bersangkutan dengan yang seharusnya, kesulitan menentukan mana yang harus ditulis di kolom mana, dan lain sebagainya. Mengatasi hal ini, kami semua memiliki, sekali lagi, aturan tak tertulis bahwa tempat kami berkonsultasi adalah Bu Naili. Pengaduan dari sana-sini yang datang tiap hari membuat ibu tiga anak tersebut dijuluki—sekaligus menjuluki dirinya sendiri—sebagai pegadaian karena berslogan, menyelesaikan masalah tanpa masalah. Bu Naili sendiri, ketika mengalami kebuntuan, akan berkonsultasi kepada Bapak Syakur, kepala perpustakaan kami. Jadi demikianlah hirarkinya. Above all, sebenarnya, konsultasi adalah jalan terakhir ketika ijtihad pribadi kami tidak membuahkan hasil selain keraguan.

#6 hal teknis: Setelah judul ditemukan lalu dipastikan penulisannya bebas dari typo maupun  aturan penulisan huruf kecil dan besarnya, kami akan beralih pada bagian selanjutnya, yakni Pengarang. Bagian ini terintegrasi dengan menu lain dalam Slims, yakni Master File. Jadi seluruh pengarang yang bukunya masuk dalam sistem kami, supposed to be, terdaftar dalam menu ini. Eh FYI dulu, yang ada di Master File tidak hanya pengarang, tapi juga beberapa submenu lain termasuk penerbit, kota terbit, tema dan lain-lain. Nah jadi, setelah data nama seorang pengarang masuk di Master File, maka ia secara otomatis akan muncul di menu Nama Pengarang begitu beberapa huruf awal namanya diketikkan. Masalahnya, ada banyak sekali data nama pengarang yang tidak ditulis seperti seharusnya. Kasus paling banyak adalah seluruh huruf dalam nama diketik dengan huruf kapital. Kasus kedua adalah nama yang dibalik seperti penulisan dalam daftar pustaka. Kasus lain adalah gelar yang dimasukkan dan masih banyak lainnya. Nah, jika ada kesalahan penulisan dalam nama pengarang ini, maka pengentri tak bisa begitu saja melakukan perubahan seperti dalam kolom judul. Ia harus balik dulu ke Master File sehingga, demi alasan efektivitas, seorang pengentri disarankan membuka dua tab di layarnya. Satu untuk data bibliografi dan yang lain untuk Master File.

#6 hal non-teknis: Meski tak tiap hari, kami sering dimanjakan oleh bendahara dengan camilan-camilan yang sengaja dibeli untuk menunjang kerja dan kiner UB ini. Biasanya camilan atau kudapan ini akan diatur beragam dengan tujuan tak membosankan. Jadwal distribusinyapun hampir selalu bisa dipastikan, yakni setelah jam istirahat. Jadi, bisa dipastikan, jika abis istirahat kami tidak balik ke kampus/perpus tepat waktu, maka alamat akan tidak kebagian ataupun kalaupun masih, tidak seleluasa para early birds. Entah alasan teknis operasional atau pertimbangan lain, timing yang demikian sebenarnya sangat tepat karena, to be honest, kuantitas personil setelah jam istirahat biasanya tidak sebanyak jam pagi, termasuk semangat juang dan kerjanya. Balik ke kampuspun tidak seontaim pagi karena tidak ada ceklok ketiga setelah istirahat kelar. #eh  

#7 hal teknis: Another information to take a note adalah bahwa dalam kolom pengarang, ada banyak item yang bisa dimasukkan. Pengarang (utama dan tambahan), penerjemah, penyunting, direktur, produser, penggubah, ilustrator, pencipta dan kontributor. Yang paling sering disebut ya pengarang utama. Penerjemah dan penyunting hanya dalam sebagian keadaan, tidak semua. Aku pribadi, jika menemukan data nama penyunting atau penerjemah yang salah penulisannya, lebih memilih untuk delete it right away dibanding harus ke menu Master File dulu. Miris sih, karena kerjaan editor dan penerjemah itu jauh dari kata mudah. Tapi ya, kalah sama lelahnya.

#7 hal non-teknis: Aku lupa tepatnya tapi sependek yang dapat kuingat, di tengah-tengah proses UB, kami kedatangan bala bantuan dari SMK yang memercayakan enam siswanya untuk magang di tempat kami. Jadilah, Pak Faruk yang awalnya harus sendirian memindai semua buku dari beberapa spot UB, patut berbahagia karena anak-anak magang tersebut langsung distaffkan untuk membantunya.

#8 hal teknis: Masih di soal penulisan nama pengarang. Buku keroyokan tak jarang ditemui dalam proses UB ini dan aturan yang berlaku adalah demikian: Jika penulisnya tiga orang, maka ketiga-ketiganya, harus ditulis. Namun jika lebih dari tiga, maka diwakilkan oleh seorang penulis yang namanya disebut pertama lalu ditambah dengan keterangan DKK alias dan kawan-kawan. Aku beberapa kali menembahkan atau menyunting data di Master File dengan membubuhkan tiga huruf ini meski kadang bingung soal pungtuasi. Apakah sebelum dkk membutuhkan koma dan setelahnya membutuhkan titik. Sayangnya aku tidak bertanya dan lebih memilih ijtihad pribadi sebagai rujukannya.

#8 hal non-teknis: Nyaris separuh perjalanan bulan Januari di mana UB adalah agenda terbesar dan paling dominan di antara kegiatan-kegiatan lain, aku merasa energiku cukup terkuras. Rasanya harus makan lebih banyak untuk bisa konsentrasi dan menjaga endurence di tengah kebosanan yang rasanya semakin menumpuk seperti buku-buku yang tiap hari hanya bisa kami bolak-balik lalu taruh di tempatnya untuk menjalani proses lanjutan. Monoton seperti itu rasanya menakutkan. Untuk menyiasati keadaan, aku membawa headset dari rumah yang kucolokin di computer begitu work time starts. Jadi, selain nyemil dan ngobrol, aku bisa merasa pura-pura dan seolah-olah tengah karaoke meski di tengah jam kerja. Efek negatifnya ya aku merasa asosial dan seringkali ketinggalan berita, hanya karena kupikir efek positifnya lebih besar, I keep doing it. Kupastikan saja suaraku tidak terlalu nyaring ketika bersuara sebab biasanya, ketika telinga ketutupan alat semacam itu dan suara yang masuk focused, nada suara dari mulut biasanya lebih kenceng dari biasa kaya lagi ngomong dengan orang yang mengalami gangguan pendengaran.

#9 hal teknis: Barangkali, ini adalah item terakhir soal penulisan nama pengarang. Di buku-buku tertentu, ada kalanya yang ditulis di sampul depan hanyalah nama terakhir dari si pengarang. Biasanya buku berbahasa Inggris yang masih tampak tak tersentuh. Jadi misalnya, nih, nama pengarangnya Harry James Potter, maka yang tertulis di sampul depan adalah Potter. Nama lengkap si penulis baru ditulis pada halaman dalam. Jika bertemu dengan buku kaya gini, aku bela-belain bolak-balik ke Master File untuk membubuhkan nama lengkap pengarangnya. Selain alasan profesionalitas, ini juga aku niatkan untuk mengapresiasi kerja si penulis, selain pertimbangan bahwa nama belakang yang sama bisa dimiliki oleh banyak sekali orang.

#9 hal non-teknis: Selain camilan resmi dari kantor, buah yang tak bawa dari rumah, meja kami juga nyaris tidak sepi dari asupan lain. Yang paling pasti adalah minuman.  Bu Naili biasanya ditemani kopi panas, Bu Enni dan aku air putih dari botol Tupp*rwar* kami masing-masing, Pak Roviki dengan air dalam botol kemasan, dan entah kalau Pak Habi dan Bu Zaki, aku lupa. Demikian seterusnya pemandangan ini takes place, mungkin di spot lain juga begitu. Aku pribadi merasa tanpa asupan air yang kuteguk sedikit-sedikit namun sering, kerjaan UB tak akan berjalan lancar. Ada juga di antara kami, biasanya Pak Roviki dan Bu Enni, yang sering membawa camilan untuk disantap bersama. Kalau sudah begini, rasanya kerjaan lebih ringan meski kadang melihat tumpukan buku saja sudah melelahkan, membayangkan detik-detik yang terasa lambat ketika memrosesnya satu persatu.  

#10 hal teknis: Setelah kolom Pengarang, ada kolom Pernyataan Tanggungjawab yang biasanya di-skip. Di bawahnya, ada kolom Edisi yang biasanya juga tak skip kareka aku masih bertanya-tanya whether edisi sama dengan cetakan. Hanyasaja, kalau ada yang terdata edisi revisi, aku biarin gitu. Kupikir ini terprovokasi dari keterangan dari sampul depan. Baru kalau ada data yang aneh-aneh, semisal EDISI ASLI, aku tak ragu menghapusnya. Apaan sih, maksudnya. Emang ada edisi asli, edisi KW, edisi repro, gitu?  

#10 hal non-teknis: Alasan lain mengapa aku membawa dan menggunakan headset adalah karena masing-masing kami memiliki selera yang tidak sama. Satu ingin dengerin ceramah, satunya solawat, ada yang reggae Malaysia, dangdut koplo, Standup Comedy dan seterusnya. Sementara itu, kami sama-sama bosan, cape, dan rasanya ingin leyeh-leyeh lalu ke tukang pijat tapi sadar bahwa pekerjaan ini begitu penting dan tidak bisa ditinggalkan. Dalam keadaan semacam ini, untuk melemaskan otot dan otak, audio dan visual dari yutub atau laman lain adalah andalan. Namun, kadang kala, satu atau dua computer ‘berbunyi’ dalam saat yang sama dan alih-alih menjadi harmoni, kedengarannya malah sumbang dan potensial worsen the boredom. Solusi sehatnya, dengerin lewat headset. Kerjaan selesai dan sekali-kali bisa tetap ikutan ngobrol atau dengerin suara dari home computer.

Foto: Dokumentasi pribadi
Caption: Ketika dunia terasa sesempit layar ini

Diari 28 Januari 2019

Among others, hari ini cukup bersejarah bagiku karena aku dan keempat temanku menjalani prosesi yang biasa disebut sumpah jabatan. Prosesi tersebut sekaligus menandakan transisi dari CPNS menuju PNS beserta seluruh implikasi dan konsekuensinya. I was supposed to be happy, sebenarnya. Perjalanan singkat untuk lulus CPNS hingga ke tahap ini sungguh jauh dari kata sederhana, meski tidak terlalu banyak suspense-nya. And here the summit is!
Selain ‘acara’ kami berlima, beberapa dosen dan karyawan senior juga menjalani ritual yang sama, meski namanya berbeda. Sebagian dari mereka diresmikan sebagai pejabat setelah sebelumnya memangku amanah sebagai PLT alias pelaksana tugas (kaya UPT ga si, kedengarannya) dan sebagian lain—yang jumlahnya lebih banyak—mendapat promosi setelah, if I am not mistaken, menjalani semacam test kenaikan pangkat. Naik pangkat, bagi sebagian besar dari mereka, adalah juga berarti pindah unit. Dari satu unit ke unit lain dan begitu seterusnya, meski ada segelintir yang tetap di unit lama hanya memangku jabatan yang lebih tinggi.
Salah satu pejabat yang naik pangkat adalah Bapak Abdus Syakur, kepala perpustakaan tempat aku bekerja. Sayangnya, Pak Syakur tidak dipromosikan untuk tetap di perpus (mbok ya bisa menjadi supervisor atau advisor gitu, batinku) dan beliau dipastikan akan pindah unit per 1 Februari besok. Di antara sederet nama yang disebutkan Pak Kabiro di atas mimbar, Pak Syakur disebut, kalau tidak salah, nomor 7. Feeling-ku sangat tidak enak begitu namanya disebut. Dredeg dan seperti ingin nyumbat telinga. And it turns out to be true; beliau dipindah ke unit lain dan bersama itu telingaku mengirim pesan ke hati lalu ke mata yang selanjutnya terasa panas sebelum menggenang dan mengelurakan sebulir dua bulir air.
WHAT A LOSS! Everybody loves him!
Pertama kali bertatap muka dengannya, ketika itu baru abis terima SK CPNS, dianter oleh Pak Saifur kepegawaian, kami berlima menemui Pak Syakur di ruangannya yang spacy dan tertata rapi. Kami ngobrol ringan lalu saling memerkenalkan diri dan dari situ aku tahu bahwa ia adalah tetangga rumah. Komentar Mbak Ria ketika itu, “bapak ini wajahnya adem.” Aku mengiyakan dan belakangan, penilaian yang barangkali terburu-buru itu terbukti benar.
Pak Syakur adalah pemimpin yang nyaris ideal. Ia murah senyum, suka berbaur dengan bawahan (biasanya di meja sirkulasi dan belakangan di BI Corner) tanpa sedikitpun mengurangi wibawanya. Ia juga istiqamah shalat jama’ah di masjid, puasa Senin Kamis, dan yang paling penting, tidak pernah telat ceklok seperti aku. Seharian, ia bisa stay di depan komputernya dan available menerima siapapun tamu yang mengetuk pintu ruangan.Hes doing what hes supposed to do and that's enough. 
Sependek yang kuamati, Pak Syakur sering sekali mengenakan kemeja putih, bahkan di luar hari Senin dan Selasa. Sesekali batik, tapi hanya sesekali. Langkahnya pelan namun mantap, seperti menunjukkan proses dan tempaan lahir batin yang telah dilaluinya. Pak Syakur juga tegas namun lembut, artikulatif dan, IMHO, berwawasan. Ia selalu welcome setiap aku berkonsultasi dan bisa menjadikan obrolan mengalir dan suasana carir meski aku tak selalu punya chat list.
Yang juga tak boleh dilupakan, Pak Syakur selalu memerhatikan bawahan. Ketika belakangan kami menggarap update bibliography, ia sempat mengatakan pada Bu Yenni agar memastikan ‘kesejahteraan’ kami para pekerja. Kasus yang sama juga terjadi perihal honor panitia User Education, kompensasi shelving dan lain-lain. Ketika memimpin rapat, Pak Syakur juga pandai sekali memosisikan diri sehingga suasana akan selalu 'pecah' meski point-point rapat tetap tercapai. Lain dari itu, dalam rapat, Pak Syakur sangat menghargai insight-insight yang ditawarkan teman-teman meski ia tegas menentukan sikap. 

Sekilas kuperhatikan, Pak Syakur tidak hanya berbaur dengan bawahannya secara fisik, akan tetapi juga batin. Ketika kami sambang orang sakit, lelayu, tilik bayi, makan-makan, Pak Syakur akan duduk sama rendah bersama kami dengan guyonan-guyonan lucu yang justru membuatnya semakin berwibawa sekaligus dekat di hati kami. He makes our happiness complete. 
Dan pastinya, setiap hari kerja, bahkan ketika acara User Education di suatu Sabtu, ketika itu, Pak Syakur datang bersama (seringkali sebelum) kami dan pulang juga bersama (atau sesudah) kami bubar jalan. Dari pola itu, aku kerap kali menilai Pak Syakur sebagai tipikal yang luar biasa konsisten, tahan terhadap pola monoton yang kerap membosankan tapi juga memiliki inisiatif yang inovatif.
Pak Syakur juga merupakan  sosok yang diidealkan oleh semua teori yang aku pelajari selama Latsar. Abis ceklok dia akan ke ruangannya. Boro-boro keluyuran untuk keperluan pribadi, aku tak yakin selama jam kerja dia membuka akun media sosial atau yutub-an. Dan begitulah seterusnya hingga jam ceklok pulang. Seingatku, Pak Syakur pernah ijin sekali karena sakit dan keesokan harinya, ia sudah kembali masuk kantor.
Dari beberapa perbincangan dengan Pak Syakur, aku mencatat beberapa hal perihal agenda pembenahan perpustakaan yang ia mulai sejak masa kepemimpinannya. Meski tak ada insight yang lebih akademik maupun perbandingan dengan tempat lain dan atau masa kepengurusan sebelumnya, aku memandang bahwa arah menuju perbaikan tersebut mulai jelas. Perpustakaan, tak lama lagi, bayanganku, benar-benar akan menjadi jantung kampus. Slogan tersebut sepertinya tak hanya akan menjadi pemanis belaka lagi.
Kami baru saja merapatkan pra-design gedung perpustakaan yang baru serta mereka-reka apa saja hal baik yang dapat dieksekusi selanjutnya. Kami juga belum rampung menggarap update bibliography yang kurang lebih sama dengan peremajaan rekaman data digital koleksi perpustakaan. Eh, ujuk-ujuk kepala perpustakaan yang kami sayangi akan dipindah. Di tengah kegalauan dan harapan agar pengganti Pak Syakur dapat memberi hal yang sama, bahkan lebih, aku berpikir nakal perihal there is no growth in any comfort zone.
Asumsinya nih, katakanlah, kami ‘dimanjakan’ dengan zona nyaman di bawah kepemimpinan Pak Syakur. Kerjaan tidak seberapa, suasana penuh kekeluargaan, kesejahteraan selalu diupayakan, beliau yang ‘berjarak’ namun selalu available kapanpun dibutuhkan, what could be better than that? Lalu, apakah di situ berarti tidak ada growth? Ah, tidak juga. Justru keadaan ideal demikianlah yang memfasilitas banyak growth dan produktivitas yang kami capai, meski sekali lagi itu belum seberapa. Well berarti slogan itu doesnt apply in every condition. 
Jadi, kalaulah ending-nya Pak Syakur harus dipindah, itu semata-mata tantangan agar kami tetap membuktikan profesionalisme di lingkungan baru yang barangkali membutuhkan banyak adaptasi serta tampak tidak se-comfort suasana kemarin yang memang, terasa lebih indah ketika dikenang. Banyak hal yang memang terasa sangat dan lebih wow sebelum dimiliki/dijalani atau setelah tak lagi dimiliki/dijalani.Tugas selanjutnya, ya move on, menciptakan comfort zone di tempat--atau suasana baru--lalu fokus mengembangkan diri, produktivitas dan kontribusi (bahasanya technical sekali ya). 

Above all, Pak Syakur adalah sosok panutan ideal. Ia sangat melek teknologi tapi ketika rapat atau forum lain tidak sibuk main hp. Ia juga—terlihat—begitu mencintai anak-anaknya, gemar membaca, pendengar yang baik atas keluh kesah bawahan, serta memberi teladan melalui lisan al-hal-nya. Sulit rasanya sosok Pak Syakur tergantikan, ia ibarat paket lengkap yang nyaris sempurna. Akan tetapi, semua orang tahu, perubahan dan dinamika adalah keniscayaan dan bagian tak terpisahkan dalam siklus hidup manusia. Dan kita, manusia, bersama makhluk lainnya, berada di antara kutub kehendak Tuhan yang tak terbatas dan keinginan yang juga tak ingin dibatasikarena maunya enak-enak terus.
Selamat dan sukses, Pak Syakur! All the best!   
Foto: Dokumentasi Pribadi

MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.