Jadi, aktivitas meremajakan data pustaka itu isinya ngapain aja si? Jawabannya kira-kira begini... 

#1 hal teknis: Langkah pertama yang harus dilakukan dalam agenda UB adalah, tentu saja, memindahkan buku dari rak tandon ke meja kerja. Ini bisa dilakukan secara mandiri atau nebeng ke teman lain yang sedang melakukan aktivitas tersebut. Aku pribadi jarang sekali mengambil buku dari rak tandon. Selain karena males bergerak dan bertanya rak mana yang masih belum tersentuh, ada semacam kesepakatan tak tertulis bahwa tugas semacam itu sudah di-handle orang-orang tertentu. Biasanya nggotong buku pakai tangan, kalau tidak ya trolley. Bukan trolley belanja sih.

#1 hal non-teknis: Selain soal ruangan utama yang sebenarnya kurang ideal karena hanya memungkinkan, mentok, lima orang dengan masing-masing satu set computer, AC di ruangan tersebut juga antara on dan off yang intinya kurang bisa memberi nuansa sejuk di ruangan. Ini tentu cukup mengganggu tapi lama-lama, terasanya sudah biasa dan tidak begitu membuat sowap. Setidaknya bisa jadi pemanasan menyambut semester baru bulan depan kalau kemudian tidak sengaja dapat kelas yang AC-nya nyala tapi tidak mendinginkan udara.

#2 hal teknis: Setelah buku di tangan, pustakawan akan mencari rekaman data buku tersebut di sistem. Cara termudahnya adalah dengan menggunakan penelusuran berdasarkan kata kunci. Memasukkan kata kunci tertentu di search box atau kotak pencarian. Bisa nama pengarang, judul buku, dan info-info lain. Namun, pilihan pertama ini tak selalu berhasil karena seringkali ada ketidaksesuaian antara data yang tertulis di buku dan tercatat di sistem.  Solusinya adalah menggunakan nomor barkod (kode batang, asline artinya) yang tertera di sampul belakang buku. Kode ini biasanya terdiri dari tahun buku tersebut dientri ke sistem kemudian dirangkai langsung dengan semacam nomor urut di antara buku-buku lain yang juga ‘seangkatan’. Ada juga nomor barkod yang tidak demikian dan ini biasanya ditemukan di buku-buku yang masuk perpus lebih awal. Solusi ini adalah solusi semi terakhir sebab jika ada buku di rak tandon yang datanya tidak direkam di sistem, maka solusi terakhirnya adalah.. ENTRI BARU. Dan percayalah, nyunting/ngubah entri lebih bikin baper dibanding bikin entri baru. Apa pasal? Next di point ketiga. 

#2 hal non-teknis: Mengingat pekerjaan semacam ini adalah kerja otot yang sedikit sekali melibatkan otak, maka, untungnya, aku bisa tetap bekerja meski nyambi melakukan hal-hal lain yang biasanya kuanggap mengganggu, semisal ngobrol hingga dengerin musik. Dua aktivitas ini, selain mengunyah makanan ringan atau sarapan buah, justru merupakan pendukung utama lancar dan suksesnya proses penyuntingan sekaligus peremajaan info buku yang entah kapan berakhirnya itu.

#3 hal teknis: Sebagian besar kegagalan pencarian data buku disebabkan oleh yang namanya salah ketik atau typo, istilah kerennya. Karena itu, mereka yang mengentri data harus jeli dan teliti memasukkan kata kunci seperti yang tertulis plek di buku. Mau tulisan itu menyalahi EYD atau ngga, taklid yang demikian harus tetap dilakukan. Jika sudah bertaklid namun belum mendapatkan hasil yang diinginkan, maka yang bersangkutan bisa melacak kata-kata yang dianggap rentan ditulis dengan ejaan yang salah. Perihal Muhammad pakai U atau O, disingkat pakai titik atau tidak, dan lain sebagainya, harus masuk di list pertimbangan si pengentri data. Proses awal ini cukup menentukan proses-proses selanjutnya sebab jika data buku mudah dan segera ditemukan, semangat untuk menyelesaikan tugas entri satu buku akan meletup sehingga pekerjaan juga akan cepat selesai. Dan begitu juga, tentu, sebaliknya. Ketika data yang diinginkan tidak muncul-muncul juga, lelah yang awalnya kecil jadi terasa mengembang seketika. 

#3 hal non-teknis: as the time goes on, semua seperti mulai menemukan zona nyamannya masing-masing. Ruang utama biasanya diisi oleh orang yang itu-itu aja. Salah satunya aku. Bahkan posisi kursinya juga tidak banyak berubah dari hari ke hari. Selain itu, spot lain adalah di ruang admin. Di sini ada dua set komputer, dan lainnya adalah di BI Corner. Karpet yang terhampar memungkinkan spot ini diisi banyak orang, meski hanya ada dua set computer. Sebagian penghuni spot ini biasanya membawa laptop/notbuk pribadi sehingga bisa lebih fleksibel kerjanya. Spot lain yang juga adalah pilihan terakhir adalah di ruang kepala. Di situ ada meja oval panjang gede dengan beberapa kursi dan sekian set computer. Uniknya, hanya Bu Zaki yang betah—dan mau—melakukan tugas dari ruangan sakral itu. :) 

#4 hal teknis: Sejak awal kami menyepakati beberapa hal, salah satunya adalah perihal tata cara penulisan judul. Judul utama ditulis menggunakan huruf kapital, sedang anak judul atau subjudul menggunakan title case alias kapital hanya di awal kata saja, kecuali kata sambung. Nah di lapangan, kami kerap kebingungan menentukan mana judul utama dan anak judul karena tampilan sampul biasanya dibikin menarik dan meningkatkan penjualan. Untuk menentukan dua hal tersebut, kami harus membuka halaman identitas buku dan kadang kala menemukan perbedaan-meski tidak esensial—antara yang tertulis di situ dan di sampul. Ketika ini terjadi, biasanya kami lebih berpijak pada halaman di identitas buku. 

Jika sebuah judul utama memiliki anak judul, maka kami harus menambahkan titik dua setelahnya. Setelah pungtuasi itu, jelas ada spasi. Tapi soal apakah sebelum meletakkan titik dua tersebut juga harus ada spasi atau tidak, itu masih menjadi pertanyaan pribadi yang belum sempat tak lontarkan pada siapapun. Tapi biasanya, aku tidak membubuhkan spasi sebelum menulis titik dua demi alasan lebih enak dilihat dan tidak kelihatan too crowded. Ini baru lika-liku judul. Apa cukup di sini? Ternyata tidak.  

#4 hal non-teknis: Yang juga menyedihkan, tapi sekaligus mendukung kinerja adalah sinyal waifai yang tidak maksimal sampainya ke ruang P2SAD. Jadi selama di sana, aku dkk hanya bisa memanfaatkan internet dari computer yang kami pakai. Dengerin musik fesbukan sambil sesekali baca artikel di situs-situs populer yang tidak memerlukan kerja otak yang serius. Sayangnya, kami tidak bisa on di Whatsapp web dengan jaringan waifai dan harus menggunakan paket data. Ini berbeda dengan spot-spot lain yang terjangkau jaringan waifai dengan aman dan leluasa.

#5 hal teknis: Seringkali, kami kebingungan dan harus melakukan ijtihad ilmiah ketika berhadapan dengan buku-buku berbahasa Arab. Sebagian buku berbahasa Arab tidak menaruh harakat termasuk di bagian sampul. Untuk judul, kami masih bisa meminta petunjuk dari barkod belakang buku yang selain berisi kode batang serta nomor inventaris, juga menyebut judul kitab/buku sesuai dengan yang tersimpan di sistem (terentri sebelumnya). Sayangnya, tidak semua judul yang terlanjur direkam sistem sesuai dengan judul yang sebenarnya—menurut ijtihad terbaru—sehingga ketika ini terjadi, kami harus menentukan akan mengikuti data lama yang dianggap keliru atau membuat data baru yang tampak lebih benar. Persoalan semacam ini biasanya mblunder  pada kata-kata yang berawal alif lam alias al, baik al syamsiyah atau al-qamariyah. Jika ada buku berjudul Al-Maharat al-Ammah fi Ilmi Al-Nahwi dan di data lama terlanjur disebut bahwa judul berawalan huruf A sedang menurut ijtihad belakangan dianggap huruf M-lah inisialnya (ini juga akan berefek dan tampak pada nomor panggil), maka di sinilah kebingungan akan terjadi. Sebagian dikonsultasikan pada yang dianggap lebih tahu persoalan ini dan sebagian lain di-skip berdasarkan ijtihad pribadi demi efisiensi waktu.

#5 hal non-teknis: Dalam proses ini, ada kalanya, dan bahkan sanga sering, di awal-awal, kami menemukan kebuntuan. Banyaklah kasusnya. Mulai dari buku yang tidak ditemukan datanya, ketidaksesuaian data yang sudah terlanjur direkam sistem dan atau ditempel di buku yang bersangkutan dengan yang seharusnya, kesulitan menentukan mana yang harus ditulis di kolom mana, dan lain sebagainya. Mengatasi hal ini, kami semua memiliki, sekali lagi, aturan tak tertulis bahwa tempat kami berkonsultasi adalah Bu Naili. Pengaduan dari sana-sini yang datang tiap hari membuat ibu tiga anak tersebut dijuluki—sekaligus menjuluki dirinya sendiri—sebagai pegadaian karena berslogan, menyelesaikan masalah tanpa masalah. Bu Naili sendiri, ketika mengalami kebuntuan, akan berkonsultasi kepada Bapak Syakur, kepala perpustakaan kami. Jadi demikianlah hirarkinya. Above all, sebenarnya, konsultasi adalah jalan terakhir ketika ijtihad pribadi kami tidak membuahkan hasil selain keraguan.

#6 hal teknis: Setelah judul ditemukan lalu dipastikan penulisannya bebas dari typo maupun  aturan penulisan huruf kecil dan besarnya, kami akan beralih pada bagian selanjutnya, yakni Pengarang. Bagian ini terintegrasi dengan menu lain dalam Slims, yakni Master File. Jadi seluruh pengarang yang bukunya masuk dalam sistem kami, supposed to be, terdaftar dalam menu ini. Eh FYI dulu, yang ada di Master File tidak hanya pengarang, tapi juga beberapa submenu lain termasuk penerbit, kota terbit, tema dan lain-lain. Nah jadi, setelah data nama seorang pengarang masuk di Master File, maka ia secara otomatis akan muncul di menu Nama Pengarang begitu beberapa huruf awal namanya diketikkan. Masalahnya, ada banyak sekali data nama pengarang yang tidak ditulis seperti seharusnya. Kasus paling banyak adalah seluruh huruf dalam nama diketik dengan huruf kapital. Kasus kedua adalah nama yang dibalik seperti penulisan dalam daftar pustaka. Kasus lain adalah gelar yang dimasukkan dan masih banyak lainnya. Nah, jika ada kesalahan penulisan dalam nama pengarang ini, maka pengentri tak bisa begitu saja melakukan perubahan seperti dalam kolom judul. Ia harus balik dulu ke Master File sehingga, demi alasan efektivitas, seorang pengentri disarankan membuka dua tab di layarnya. Satu untuk data bibliografi dan yang lain untuk Master File.

#6 hal non-teknis: Meski tak tiap hari, kami sering dimanjakan oleh bendahara dengan camilan-camilan yang sengaja dibeli untuk menunjang kerja dan kiner UB ini. Biasanya camilan atau kudapan ini akan diatur beragam dengan tujuan tak membosankan. Jadwal distribusinyapun hampir selalu bisa dipastikan, yakni setelah jam istirahat. Jadi, bisa dipastikan, jika abis istirahat kami tidak balik ke kampus/perpus tepat waktu, maka alamat akan tidak kebagian ataupun kalaupun masih, tidak seleluasa para early birds. Entah alasan teknis operasional atau pertimbangan lain, timing yang demikian sebenarnya sangat tepat karena, to be honest, kuantitas personil setelah jam istirahat biasanya tidak sebanyak jam pagi, termasuk semangat juang dan kerjanya. Balik ke kampuspun tidak seontaim pagi karena tidak ada ceklok ketiga setelah istirahat kelar. #eh  

#7 hal teknis: Another information to take a note adalah bahwa dalam kolom pengarang, ada banyak item yang bisa dimasukkan. Pengarang (utama dan tambahan), penerjemah, penyunting, direktur, produser, penggubah, ilustrator, pencipta dan kontributor. Yang paling sering disebut ya pengarang utama. Penerjemah dan penyunting hanya dalam sebagian keadaan, tidak semua. Aku pribadi, jika menemukan data nama penyunting atau penerjemah yang salah penulisannya, lebih memilih untuk delete it right away dibanding harus ke menu Master File dulu. Miris sih, karena kerjaan editor dan penerjemah itu jauh dari kata mudah. Tapi ya, kalah sama lelahnya.

#7 hal non-teknis: Aku lupa tepatnya tapi sependek yang dapat kuingat, di tengah-tengah proses UB, kami kedatangan bala bantuan dari SMK yang memercayakan enam siswanya untuk magang di tempat kami. Jadilah, Pak Faruk yang awalnya harus sendirian memindai semua buku dari beberapa spot UB, patut berbahagia karena anak-anak magang tersebut langsung distaffkan untuk membantunya.

#8 hal teknis: Masih di soal penulisan nama pengarang. Buku keroyokan tak jarang ditemui dalam proses UB ini dan aturan yang berlaku adalah demikian: Jika penulisnya tiga orang, maka ketiga-ketiganya, harus ditulis. Namun jika lebih dari tiga, maka diwakilkan oleh seorang penulis yang namanya disebut pertama lalu ditambah dengan keterangan DKK alias dan kawan-kawan. Aku beberapa kali menembahkan atau menyunting data di Master File dengan membubuhkan tiga huruf ini meski kadang bingung soal pungtuasi. Apakah sebelum dkk membutuhkan koma dan setelahnya membutuhkan titik. Sayangnya aku tidak bertanya dan lebih memilih ijtihad pribadi sebagai rujukannya.

#8 hal non-teknis: Nyaris separuh perjalanan bulan Januari di mana UB adalah agenda terbesar dan paling dominan di antara kegiatan-kegiatan lain, aku merasa energiku cukup terkuras. Rasanya harus makan lebih banyak untuk bisa konsentrasi dan menjaga endurence di tengah kebosanan yang rasanya semakin menumpuk seperti buku-buku yang tiap hari hanya bisa kami bolak-balik lalu taruh di tempatnya untuk menjalani proses lanjutan. Monoton seperti itu rasanya menakutkan. Untuk menyiasati keadaan, aku membawa headset dari rumah yang kucolokin di computer begitu work time starts. Jadi, selain nyemil dan ngobrol, aku bisa merasa pura-pura dan seolah-olah tengah karaoke meski di tengah jam kerja. Efek negatifnya ya aku merasa asosial dan seringkali ketinggalan berita, hanya karena kupikir efek positifnya lebih besar, I keep doing it. Kupastikan saja suaraku tidak terlalu nyaring ketika bersuara sebab biasanya, ketika telinga ketutupan alat semacam itu dan suara yang masuk focused, nada suara dari mulut biasanya lebih kenceng dari biasa kaya lagi ngomong dengan orang yang mengalami gangguan pendengaran.

#9 hal teknis: Barangkali, ini adalah item terakhir soal penulisan nama pengarang. Di buku-buku tertentu, ada kalanya yang ditulis di sampul depan hanyalah nama terakhir dari si pengarang. Biasanya buku berbahasa Inggris yang masih tampak tak tersentuh. Jadi misalnya, nih, nama pengarangnya Harry James Potter, maka yang tertulis di sampul depan adalah Potter. Nama lengkap si penulis baru ditulis pada halaman dalam. Jika bertemu dengan buku kaya gini, aku bela-belain bolak-balik ke Master File untuk membubuhkan nama lengkap pengarangnya. Selain alasan profesionalitas, ini juga aku niatkan untuk mengapresiasi kerja si penulis, selain pertimbangan bahwa nama belakang yang sama bisa dimiliki oleh banyak sekali orang.

#9 hal non-teknis: Selain camilan resmi dari kantor, buah yang tak bawa dari rumah, meja kami juga nyaris tidak sepi dari asupan lain. Yang paling pasti adalah minuman.  Bu Naili biasanya ditemani kopi panas, Bu Enni dan aku air putih dari botol Tupp*rwar* kami masing-masing, Pak Roviki dengan air dalam botol kemasan, dan entah kalau Pak Habi dan Bu Zaki, aku lupa. Demikian seterusnya pemandangan ini takes place, mungkin di spot lain juga begitu. Aku pribadi merasa tanpa asupan air yang kuteguk sedikit-sedikit namun sering, kerjaan UB tak akan berjalan lancar. Ada juga di antara kami, biasanya Pak Roviki dan Bu Enni, yang sering membawa camilan untuk disantap bersama. Kalau sudah begini, rasanya kerjaan lebih ringan meski kadang melihat tumpukan buku saja sudah melelahkan, membayangkan detik-detik yang terasa lambat ketika memrosesnya satu persatu.  

#10 hal teknis: Setelah kolom Pengarang, ada kolom Pernyataan Tanggungjawab yang biasanya di-skip. Di bawahnya, ada kolom Edisi yang biasanya juga tak skip kareka aku masih bertanya-tanya whether edisi sama dengan cetakan. Hanyasaja, kalau ada yang terdata edisi revisi, aku biarin gitu. Kupikir ini terprovokasi dari keterangan dari sampul depan. Baru kalau ada data yang aneh-aneh, semisal EDISI ASLI, aku tak ragu menghapusnya. Apaan sih, maksudnya. Emang ada edisi asli, edisi KW, edisi repro, gitu?  

#10 hal non-teknis: Alasan lain mengapa aku membawa dan menggunakan headset adalah karena masing-masing kami memiliki selera yang tidak sama. Satu ingin dengerin ceramah, satunya solawat, ada yang reggae Malaysia, dangdut koplo, Standup Comedy dan seterusnya. Sementara itu, kami sama-sama bosan, cape, dan rasanya ingin leyeh-leyeh lalu ke tukang pijat tapi sadar bahwa pekerjaan ini begitu penting dan tidak bisa ditinggalkan. Dalam keadaan semacam ini, untuk melemaskan otot dan otak, audio dan visual dari yutub atau laman lain adalah andalan. Namun, kadang kala, satu atau dua computer ‘berbunyi’ dalam saat yang sama dan alih-alih menjadi harmoni, kedengarannya malah sumbang dan potensial worsen the boredom. Solusi sehatnya, dengerin lewat headset. Kerjaan selesai dan sekali-kali bisa tetap ikutan ngobrol atau dengerin suara dari home computer.

Foto: Dokumentasi pribadi
Caption: Ketika dunia terasa sesempit layar ini

Diari 28 Januari 2019

Among others, hari ini cukup bersejarah bagiku karena aku dan keempat temanku menjalani prosesi yang biasa disebut sumpah jabatan. Prosesi tersebut sekaligus menandakan transisi dari CPNS menuju PNS beserta seluruh implikasi dan konsekuensinya. I was supposed to be happy, sebenarnya. Perjalanan singkat untuk lulus CPNS hingga ke tahap ini sungguh jauh dari kata sederhana, meski tidak terlalu banyak suspense-nya. And here the summit is!
Selain ‘acara’ kami berlima, beberapa dosen dan karyawan senior juga menjalani ritual yang sama, meski namanya berbeda. Sebagian dari mereka diresmikan sebagai pejabat setelah sebelumnya memangku amanah sebagai PLT alias pelaksana tugas (kaya UPT ga si, kedengarannya) dan sebagian lain—yang jumlahnya lebih banyak—mendapat promosi setelah, if I am not mistaken, menjalani semacam test kenaikan pangkat. Naik pangkat, bagi sebagian besar dari mereka, adalah juga berarti pindah unit. Dari satu unit ke unit lain dan begitu seterusnya, meski ada segelintir yang tetap di unit lama hanya memangku jabatan yang lebih tinggi.
Salah satu pejabat yang naik pangkat adalah Bapak Abdus Syakur, kepala perpustakaan tempat aku bekerja. Sayangnya, Pak Syakur tidak dipromosikan untuk tetap di perpus (mbok ya bisa menjadi supervisor atau advisor gitu, batinku) dan beliau dipastikan akan pindah unit per 1 Februari besok. Di antara sederet nama yang disebutkan Pak Kabiro di atas mimbar, Pak Syakur disebut, kalau tidak salah, nomor 7. Feeling-ku sangat tidak enak begitu namanya disebut. Dredeg dan seperti ingin nyumbat telinga. And it turns out to be true; beliau dipindah ke unit lain dan bersama itu telingaku mengirim pesan ke hati lalu ke mata yang selanjutnya terasa panas sebelum menggenang dan mengelurakan sebulir dua bulir air.
WHAT A LOSS! Everybody loves him!
Pertama kali bertatap muka dengannya, ketika itu baru abis terima SK CPNS, dianter oleh Pak Saifur kepegawaian, kami berlima menemui Pak Syakur di ruangannya yang spacy dan tertata rapi. Kami ngobrol ringan lalu saling memerkenalkan diri dan dari situ aku tahu bahwa ia adalah tetangga rumah. Komentar Mbak Ria ketika itu, “bapak ini wajahnya adem.” Aku mengiyakan dan belakangan, penilaian yang barangkali terburu-buru itu terbukti benar.
Pak Syakur adalah pemimpin yang nyaris ideal. Ia murah senyum, suka berbaur dengan bawahan (biasanya di meja sirkulasi dan belakangan di BI Corner) tanpa sedikitpun mengurangi wibawanya. Ia juga istiqamah shalat jama’ah di masjid, puasa Senin Kamis, dan yang paling penting, tidak pernah telat ceklok seperti aku. Seharian, ia bisa stay di depan komputernya dan available menerima siapapun tamu yang mengetuk pintu ruangan.Hes doing what hes supposed to do and that's enough. 
Sependek yang kuamati, Pak Syakur sering sekali mengenakan kemeja putih, bahkan di luar hari Senin dan Selasa. Sesekali batik, tapi hanya sesekali. Langkahnya pelan namun mantap, seperti menunjukkan proses dan tempaan lahir batin yang telah dilaluinya. Pak Syakur juga tegas namun lembut, artikulatif dan, IMHO, berwawasan. Ia selalu welcome setiap aku berkonsultasi dan bisa menjadikan obrolan mengalir dan suasana carir meski aku tak selalu punya chat list.
Yang juga tak boleh dilupakan, Pak Syakur selalu memerhatikan bawahan. Ketika belakangan kami menggarap update bibliography, ia sempat mengatakan pada Bu Yenni agar memastikan ‘kesejahteraan’ kami para pekerja. Kasus yang sama juga terjadi perihal honor panitia User Education, kompensasi shelving dan lain-lain. Ketika memimpin rapat, Pak Syakur juga pandai sekali memosisikan diri sehingga suasana akan selalu 'pecah' meski point-point rapat tetap tercapai. Lain dari itu, dalam rapat, Pak Syakur sangat menghargai insight-insight yang ditawarkan teman-teman meski ia tegas menentukan sikap. 

Sekilas kuperhatikan, Pak Syakur tidak hanya berbaur dengan bawahannya secara fisik, akan tetapi juga batin. Ketika kami sambang orang sakit, lelayu, tilik bayi, makan-makan, Pak Syakur akan duduk sama rendah bersama kami dengan guyonan-guyonan lucu yang justru membuatnya semakin berwibawa sekaligus dekat di hati kami. He makes our happiness complete. 
Dan pastinya, setiap hari kerja, bahkan ketika acara User Education di suatu Sabtu, ketika itu, Pak Syakur datang bersama (seringkali sebelum) kami dan pulang juga bersama (atau sesudah) kami bubar jalan. Dari pola itu, aku kerap kali menilai Pak Syakur sebagai tipikal yang luar biasa konsisten, tahan terhadap pola monoton yang kerap membosankan tapi juga memiliki inisiatif yang inovatif.
Pak Syakur juga merupakan  sosok yang diidealkan oleh semua teori yang aku pelajari selama Latsar. Abis ceklok dia akan ke ruangannya. Boro-boro keluyuran untuk keperluan pribadi, aku tak yakin selama jam kerja dia membuka akun media sosial atau yutub-an. Dan begitulah seterusnya hingga jam ceklok pulang. Seingatku, Pak Syakur pernah ijin sekali karena sakit dan keesokan harinya, ia sudah kembali masuk kantor.
Dari beberapa perbincangan dengan Pak Syakur, aku mencatat beberapa hal perihal agenda pembenahan perpustakaan yang ia mulai sejak masa kepemimpinannya. Meski tak ada insight yang lebih akademik maupun perbandingan dengan tempat lain dan atau masa kepengurusan sebelumnya, aku memandang bahwa arah menuju perbaikan tersebut mulai jelas. Perpustakaan, tak lama lagi, bayanganku, benar-benar akan menjadi jantung kampus. Slogan tersebut sepertinya tak hanya akan menjadi pemanis belaka lagi.
Kami baru saja merapatkan pra-design gedung perpustakaan yang baru serta mereka-reka apa saja hal baik yang dapat dieksekusi selanjutnya. Kami juga belum rampung menggarap update bibliography yang kurang lebih sama dengan peremajaan rekaman data digital koleksi perpustakaan. Eh, ujuk-ujuk kepala perpustakaan yang kami sayangi akan dipindah. Di tengah kegalauan dan harapan agar pengganti Pak Syakur dapat memberi hal yang sama, bahkan lebih, aku berpikir nakal perihal there is no growth in any comfort zone.
Asumsinya nih, katakanlah, kami ‘dimanjakan’ dengan zona nyaman di bawah kepemimpinan Pak Syakur. Kerjaan tidak seberapa, suasana penuh kekeluargaan, kesejahteraan selalu diupayakan, beliau yang ‘berjarak’ namun selalu available kapanpun dibutuhkan, what could be better than that? Lalu, apakah di situ berarti tidak ada growth? Ah, tidak juga. Justru keadaan ideal demikianlah yang memfasilitas banyak growth dan produktivitas yang kami capai, meski sekali lagi itu belum seberapa. Well berarti slogan itu doesnt apply in every condition. 
Jadi, kalaulah ending-nya Pak Syakur harus dipindah, itu semata-mata tantangan agar kami tetap membuktikan profesionalisme di lingkungan baru yang barangkali membutuhkan banyak adaptasi serta tampak tidak se-comfort suasana kemarin yang memang, terasa lebih indah ketika dikenang. Banyak hal yang memang terasa sangat dan lebih wow sebelum dimiliki/dijalani atau setelah tak lagi dimiliki/dijalani.Tugas selanjutnya, ya move on, menciptakan comfort zone di tempat--atau suasana baru--lalu fokus mengembangkan diri, produktivitas dan kontribusi (bahasanya technical sekali ya). 

Above all, Pak Syakur adalah sosok panutan ideal. Ia sangat melek teknologi tapi ketika rapat atau forum lain tidak sibuk main hp. Ia juga—terlihat—begitu mencintai anak-anaknya, gemar membaca, pendengar yang baik atas keluh kesah bawahan, serta memberi teladan melalui lisan al-hal-nya. Sulit rasanya sosok Pak Syakur tergantikan, ia ibarat paket lengkap yang nyaris sempurna. Akan tetapi, semua orang tahu, perubahan dan dinamika adalah keniscayaan dan bagian tak terpisahkan dalam siklus hidup manusia. Dan kita, manusia, bersama makhluk lainnya, berada di antara kutub kehendak Tuhan yang tak terbatas dan keinginan yang juga tak ingin dibatasikarena maunya enak-enak terus.
Selamat dan sukses, Pak Syakur! All the best!   
Foto: Dokumentasi Pribadi



Kalau Kalian mengunjungi perpustakaan, baik bangunannya di dunia nyata atau rumahnya di dunia maya, aktivitas yang Kalian lakukan rasanya tidak akan jauh-jauh dan masih berkisar seputar pencarian buku atau bahan pustaka lain. Nah, menyusul semakin canggihnya teknologi informasi belakangan, maka untuk menyukseskan misi itu, Kalian tak perlu memeriksa satu persatu judul buku di rak klasifikasi sesuai tema buku yang dicari. Selain dibantu oleh klasifikasi desimalnya Pak Dewey, perpustakaan-perpustakaan umumnya telah memanfaatkan kemajuan teknologi computer dengan menyediakan mesin pencarian semacam Google atau Yahoo.

Mesin pencarian tersebut biasanya terintegrasi dengan software yang digunakan. Sependek yang kuketahui, mesin pencarian yang biasa digunakan di perpustakaan lazim disebut OPAC, meski software yang digunakan tidak sama. Di kampus tempat aku berkuliah dan tempat aku mengabdi, OPAC-lah yang dipakai sebagai jalan pintas untuk menemukan sebuah bahan pustaka. OPAC sendiri menjadi familiar karena mudah diucapkan lidah Indonesia dan nyaris serupa dengan jajanan ala Jawa Barat yang kalau di Madura mungkin tak berbeda denga keripik atau kerupuk. OPAC adalah kepanjangan dari Online Public Access System yang kurang lebih berarti Sistem Akses Publik Daring. Dari namanya, terkesan bahwa aplikasi ini western centered. Barangkali memang produk mereka, tak apalah. Menggunakannya tak menjadikanmu kafir.

Sayangnya, tak sedikit pengguna perpustakaan yang mengaku tetap kesulitan mendapatkan informasi perihal bahan pustaka yang dicari meski sudah menggunakan OPAC. Padahal, tak jarang, ketika dicari di rak koleksi, buku yang dicari nangkring di situ. OPAC bilangnya tidak ada, padahal ternyata ditemukan. Kasus lain, dan ini paling banyak terjadi, adalah ketika OPAC mengatakan bahwa buku tertentu ada di rak segitu, tapi ketika disamperi ternyata raib. Dari ujung atas paling kiri sampai ujung bawah paling kanan, dari rak depan hingga rak belakang, buku yang dicari tidak muncul juga. Padahal OPAC memastikan ketersediaannya, seringkali dalam jumlah eksemplar yang fantastis untuk mendatangkan keheranan kemudian keputusasaan si pencari.

Mengapa hal demikian masih terjadi di dunia yang sudah canggih ini? Ada banyak faktor tentunya. Bisa jadi pengunjung yang typo menulis kata kunci di kotak pencarian, kata kunci yang terlalu umum, terlalu spesifik, diksi atau spelling yang rawan typo, semangat juang—mencoba berbagai kata kunci dan men-scroll hingga bagian bawah—yang tak seberapa, buku yang sengaja disasarkan di rak lain oleh tangan-tangan mulya—yang sayangnya tidak bertanggungjawab—atau kemungkinan terakhirnya adalah… Data di server perpustakaan yang belum diperbaharui alias belum di-update. Jadi khan, setiap koleksi yang dimiliki perpustakaan itu tidak hanya dipajang begitu saja di rak atau dipinjamkan, akan tetapi juga dicatat identitasnya di database. Istilah teknisnya kalau tidak salah entri data. Data itulah yang kemudian akan diintegrasikan dengan sistem computer sehingga pengunjung bisa memanfaatkannya untuk mendapatkan informasi perihal keberadaan, identitas hingga jumlah bahan pustaka yang tengah dicari.

Karena pentingnya data di sistem itulah, barangkali, atau mungkin juga sudah SOP, atau paling pragmatisnya, menjelang akreditasi, liburan semester kali ini kami isi dengan melaksanakan agenda pembaharuan bibliografi (UB, to be short). Jadi FYI, meski mahasiswa liburan semester, kampus tetap buka dan karyawan tetap ngantor. Ketika jumlah pengunjung surut karena sebagian besar mereka sedang berlibur, tidak berarti karyawan kemudian bisa lepas dari kesibukan. Kami hanya ganti ritme. Kalau biasanya melayani pengunjung langsung, kali ini tugas kami menyiapkan layanan yang lebih baik (apa sih bahasanya).

Agenda ini, sepembacaanku, juga menjadi urgen karena tak jarang, ditemukan informasi penting yang tidak terisi atau penulisan data yang salah. Ini akan menyulitkan pengunjung yang sedang mencari informasi atau keberadaan sebuah buku. Yang lebih parah lagi, pengunjung yang putus asa mencari buku yang mereka butuhkan akan dengan mudah sesumbar, buku di perpustakaan sini ga lengkap. Aku cari ga ada. Dan itu, kemudian, dipolitisir menjadi alasan melakukan copy paste makalah di internet untuk tugas kuliah. Padahal, seringkali, itu hanya soal teknis. Kata kunci yang kurang tepat, pengunjung yang kurang ngotot, atau kalau bukan, ya seperti kusebut tadi, data di server yang memang perlu peremajaan.

Jadilah, dengan satu atau beberapa alasan seperti disebut di atas, dan mungkin juga alasan lain, sejak hari kedua tahun 2019, kami ber-21—ya kurang lebih segitu—memulai kerja update bibliography (UB ya UB). Dikomandani oleh Mas Umam yang ditunjuk langsung oleh Bu Neli, disepakati Pak Syakur dan didukung aklamatif oleh peserta forum, kerjapun dimulai dengan simbolisasi pembukaan ruang tandon di sebelah ruang Kapus. Hampir sama dengan arti lain dari tandon, yakni tempat menampung air sebelum dialirkan ke bak terakhir, koleksi tandon menampung satu eksemplar bahan pustaka dari masing-masing koleksi yang masuk wilayah sirkulasi. Jadi idealnya, jika ada buku yang dipastikan benar-benar raib di rak koleksi, maka cadangan terakhirnya adalah di tandon. Itulah kenapa, koleksi di tandon tidak dipinjamkan dan ruang tandon, setauku, baru dibuka ketika ada agenda ini.

Lalu, apa aja yang terjadi selama proses UB itu?

Karena ruang tandon terletak di lantai II, maka ruangan yang disasar untuk menjadi markas UB adalah ruangan yang juga di lantai II. Di antara ruangan-ruangan yang ada, ruang P2SD lah yang paling layak karena selain letaknya berseberangan dengan ruang tandon, luasnya terbilang lumayan, meski masih luas ruang Kapus. Ruangan terpilih harus dekat dengan ruang tandon karena untuk tahap pertama, buku-buku dari rak sirkulasi-lah—yang cadangan sekaligus ‘arsip’nya disimpan di tandon— yang akan diproses. Kalau jauh, kerja bisa tidak efektif karena acara gotong-menggotong buku bolak balik dari ruang tandon ke pusat berlangsungnya agenda UB akan lebih melelahkan.

Jadilah, lagi-lagi barangkali, dengan alasan itu, Ruang P2SD kemudian disulap menjadi ruang kerja dengan menggotong 5 unit computer dan beebrapa kursi serta meja. Idealnya, dalam sekali waktu, di ruang tersebut, ada 5 pustakawan yang bekerja melakukan UB. Selain di situ, ada juga yang menggunakan fasilitas di ruang administrasi, perawatan hingga BI Corner, baik menggunakan fasilitas computer umum atapun milik pribadi.

Bagiku, yang paling preferrable di antara semua adalah di ruang P2SAD karena pekerjaan baru tak hanya membutuhkan semangat, akan tetapi juga kondisi menyenangkan dan bimbingan serta pengarahan. Percuma semangat membara tanpa suasana kondusif dan bimbingan. Jatuhnya ia akan mudah padam karena ditempa kesulitan teknis berkali-kali. Di ruang itu juga, ada Bu Neli yang menjadi tempat bertanya hampir semua pustakawan perihal kesulitan yang mereka temui. Selain itu, obrolan-obrolan santai di tengah pekerjaan—yang meski tak membutuhkan konsentrasi penuh tetap melelahkan—tersebut sangat membantu mencairkan suasana dan menetralisir ketegangan sendi maupun lalu lintas otak. Belum alunan audio dari satu—atau lebih—computer yang membuat waktu seolah-olah berlalu lebih cepat dari biasanya.

Sekali waktu, ketika tidak kebagian seat di ruang P2SAD—berlaku prinsip SCDD alias siapa cepat dia dapat—aku harus pindah ke ruangan lain dan bolak-balik ke situ untuk bertanya pada Bu Neli. Energy and emotion consuming sekali. Niat kerja dari awal jadi terganggu dengan hal-hal teknis sehingga sebisa mungkin, aku booked kursi di ruang P2SAD agar kejadian sama tak terulang lagi. Most of time, it works, meski kadang kalah mruput dari yang lebih sregep. Konsultasi pada senior, dalam pekerjaan ini, begitu dibutuhkan karena meski pada rapat pertama sebelum kerja ini dimulai, kami sudah menyepakati beberapa hal, ada kejadian-kejadian di lapangan yang wilayahnya di luar kebiasaan.

Jika kubandingkan dengan agenda pada liburan semester tahun lalu, yakni entri data buku baru, maka agenda UB ini, kurasa, lebih melelahkan. Entri data, secara umum, lebih pada naluri ketelitian mata dan jari, ketahanan stamina serta penguasaan teori. Lebih jauh dari itu, UB punya lebih banyak dimensi karena juga melibatkan emosi dan etos kerja (baca: kesabaran, kejelian dan, kalau kata Orang Madura, ke-sele’­-an) berhadapan dengan data yang dientri sekian tahun lalu, buku yang diterbitkan puluhan tahun lalu atau bahasa yang dicetak dengan font huruf ala negeri dongeng karena susah dipahami. Perihal jarak dan waktu memang lebih sering mendatangkan chaos daripada harmony (kenapa bahasannya sampai sini sih)

UB memang tidak mudah dan jauh dari kata sederhana. Karena itulah, Bu Neli bilang, agenda ini, ia harapkan bisa menjadi salah satu amal jariyah-nya. Tapi ngomong-ngomong, UB ngapain aja si? To Be Continued

PS: Gambar hanya deskripsi, bukan pemanis. Digandakan dari WAG Pustaka 07 :)

MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.