Penerjemah: Masyithah Mardhatillah

Pandemi COVID-19 memberi tantangan yang sama sekali baru bagi Muslim Indonesia bersamaan dengan Ramadhan yang sudah di depan mata. Muhammadiyah merupakan satu di antara organisasi-organisasi Muslim yang melakukan persiapan menghadapi bulan puasa di tengah wabah ini. Sejak awal merebaknya pandemi ini, pimpinan Muhammadiyah telah menegaskan dua hal: Pertama bahwa isolasi sosial atau al-taba’ud al-ijtima’i dalam Bahasa Arab—untuk menguatkan legitimasinya—merupakan satu-satunya tindakan yang dapat dilakukan untuk  menahan persebaran virus ini. Kedua adalah keharusan masyarakat Muslim mengubah perilaku keberagamaannya.

Muslim Indonesia menghadapi situasi sulit sebab ketentuan beribadah harus tetap mereka penuhi ketika pada waktu yang sama mereka juga harus melindungi diri serta orang lain dari penularan virus. Biasanya, begitu Ramadan menjelang, para pemimpin Muslim akan menyiapkan berbagai perlengkapan yang dibutuhkan untuk acara-acara sosial maupun keagamaan. Ramadan menjadikan agenda pembatasan sosial sangat sulit. Mustahil menahan laju pandemi ini jika umat Muslim tetap dengan suka cita melaksanakan ibadah Ramadhan seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Padahal, masih banyak yang meyakini bahwa mengabaikan kewajiban-kewajiban yang demikian akan menggiring pada dosa ahkan azab.

Ada juga kecenderungan mengaburkan perilaku-perilaku keagamaan antara mana yang wajib dan mana yang sunnah karena sebagian merupakan praktik yang dilakukan Rasulullah sedang yang lain merupakan bagian dari Islamicate yang sangat melekat dengan kultur setempat. Masyarakat juga enggan membatalkan acara-acara yang sifatnya opsional, semisal buka bersama, bazar Ramadhan harian, Tabligh Akbar, pawai, pesta, anjangsana keluarga, perayaan lebaran hingga tradisi mudik di akhir Ramadhan yang mampu seketika menyulap kota-kota menjadi sepi. Praktik-praktik tersebut bukanlah kewajiban agama, akan tetapi lebih merupakan bagian dari budaya Muslim Indonesia yang populer dan digemari.

Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi modern Islam Indonesia terbesar dan paling berpengaruh. Ia didirikan pada 1912 oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan, seorang pejabat agama di Kesultanan Yogyakarta. Ahmad Dahlan memiliki dua tujuan: Untuk ‘memurnikan’ Islam Jawa dari apa yang dipercayanya sebagai bid’ah (inovasi yang tidak tepat) dan politeisme (menyekutuhkan Tuhan) serta mempromosikan modernitas.

Muhammadiyah merupakan gerakan Salafi moderat yang dipengaruhi oleh ajaran tokoh modernis Muslim abad 19, Muhammad Abduh, dan ahli hukum abad ke-14, Ibnu Taimiyyah. Pendekatan yang digunakan Muhammadiyah dalam bidang teologi, ritual dan logika berpikir murni didasarkan pada Al-Qur’an dan hadist (tradisi terkait Nabi Muhammad). Seperti halnya gerakan Salafi lain, ia menentang Sufisme (mistisme Islam) dan praktik kebaktian yang didasarkan padanya. Namun demikian, berbeda dengan gerakan Salafi lain, Muhammadiyah terbuka kebudayaan lokal termasuk teater, musik dan tari. Ia bahkan menolak berbagai gerakan Wahhabisme Arab Saudi yang menerapkan Arabisasi/Saudisasi dalam kehidupan sosial Muslim Indonesia.

Agenda para tokoh modernis Muhammadiyah berpusat di wilayah pendidikan dan layanan kesehatan. Organisasi ini memiliki jaringan sekolah dan kampus yang demikian luas untuk menyediakan akses pendidikan modern, selain juga pusat layanan kesehatan serta rumah sakit. Dewasa ini secara formal, ia memiliki 30 juta pengikut yang sebagian besarnya adalah kaum urban dan kelas menengah, menjadikannya organisasi Muslim terbesar kedua di Indonesia. Secara rutin, Muhammadiyah memberi arahan pada para anggota dan pengikutnya perihal berbagai topik pembahasan melalui khutbah, pengajian atau ceramah agama yang digelar di masjid, serta publikasi termasuk Suara Muhammadiyah, portal web dan media sosial.

Imbauan Keagamaan dan Pandemi Virus Corona
Pada waktu-waktu seperti ini, imbauan keagamaan dapat mendukung praktik dan kebijakan kesehatan publik. Respon Muhammadiyah terhadap pandemi virus Corona memadukan logika berpikir Salafi dengan pragmatisme medis. Seperti negara-negara lain, Indonesia tampak kurang bersiap diri menghadapi pandemi virus ini. Kasus-kasus pertama dialaporkan pada pertengahan Maret. Sebelumnya pada 10 Maret, Muhammadiyah telah memfokuskan sistem layanan kesehatannya pada pencegahan dan perawatan pasien yang terinfeksi virus ini. Dua puluh Rumah Sakit di Pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatra didaulat sebagai pusat rujukan Covid-19. Tak hanya itu, lebih dari 30.000 kantor cabang Muhammadiyah Philantropic Initiative dan puluhan masjid mulai menggencarkan kampanye kesadaran publik.

Muhammadiyah mulai memasifkan imbauan keagamaannya begitu pandemi ini semakin tampak dan menyebar. Pada 19 Maret, Pusat Komando Covid-19 Muhammadiyah mengeluarkan edaran khutbah Jum’at berjudul ‘Merespon Wabah Virus Corona (Covid-19)’
Khutbah tersebut dimulai dengan menyebutkan data obyektif skala global pandemi seperti berikut:

Saat ini, kita semua tengah menghadapi wabah Covid-19 atau yang juga disebut dengan virus Corona. WHO menyebut wabah virus ini sebagai masalah dan pandemi global, sementara Pemerintah Indonesia juga menyatakan ia sebagai bencana nasional. Virus baru ini pertama kali muncul di Wuhan, China, pada akhir 2019 dan saat ini sudah menyebar ke lebih dari 140 negara dan wilayah. Wabah virus ini bukanlah bencana alam. 

Khutbah kemudian berlanjut dengan refleksi teologis perihal determinisme ilahiah dan peran manusia dalam merespon bencana yang saling berpengaruh. Manusia diimbau untuk memadukan kesabaran, sikap nrimo, iman dan tindakan yang berangkat dari kebulatan tekad. Ada beberapa dasar dalam pemikiran keagamaan Muhammadiyah. Di beberapa khutbah Muhamadiyah lebih dari empat dasawarsa, saya pernah mendengar bahwa kesulitan-kesulitan duniawi sebenarnya merupakan ujian keimanan yang menuntut tindakan nyata dan kebulatan tekad. Bagian khutbah ini merupakan penafsiran dari ayat Al-Qur’an berikut;

Dan kami pasti akan mengujimu dengan ketakutan dan kelaparan serta kekurangan harta, jiwa serta buah-buahan, akan tetapi berilah berita gembira bagi mereka yang sabar (Al-Baqarah 155).
Ayat ini mengajarkan bahwa bencana merupakan sesuatu yang pasti dihadapi siapapun. Bencana, dalam bentuk apapun, adalah ekspresi cinta Tuhan terhadap manusia. Apapun yang menimpa manusia sebenarnya merupakan cobaan dan ujian keimanan sekaligus akibat dari perbuatannya di masa lalu. Namun begitu, orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah meyakinkani bahwa apapun yang melanda manusia bukanlah hal yang luar biasa, sebab manusia pasti akan diuji dengan berbagai macam masalah. Kejadian-kejadian yang penuh malapetaka sudah ditakdirkan oleh Allah. Ini juga berarti bahwa Allah telah menentukan apa yang tengah kita hadapi saat ini. Hanya Allah yang mengetahui apa yang sudah ditetapkan-Nya. Manusia hanya bisa mengetahui begitu suatu hal tertentu terjadi. Mereka tidak punya akses untuk mengetahui semua itu sebab Allah-lah yang maha mengetahui. Karena itu, manusia diperintakan memohon petunjuk kepada Allah dan menghadapi situasi apapun dengan sabar sehingga kondisi yang mereka hadapi akan berangsur membaik.
Teks khutbah tersebut diakhiri dengan arahan perihal bagaimana Muslim seharusnya merespon pandemi ini. Pertama, menguatkan iman pada Allah karena mereka yang beriman tidak akan merasa takut. Kedua, menerapkan isolasi sosial termasuk mengurangi aktivitas di masjid selama waktu Shalat Jum’at dan pengajian. Ketiga adalah membantu mereka yang benar-benar membutuhkan.
Pada 24 Maret, Muhammadiyah mengedarkan fatwa yang menyebutkan bahwa perjuangan melawan pandemi ini adalah kewajiban agama  seperti halnya jihad. Ia  menegaskan bahwa pandemi ini bukan merupakan balasan atau azab, akan tetapi ujian bagi umat manusia secara umum dan Muslim secara khusus. Perjuangan melawan pandemi juga dinpadang berkorelasi dengan ayat yang mengatakan, “Siapa yang menyelamatkan hidup seorang saja, maka sesungguhnya ia menyelamatkan hidup seluruh manusia. (Al-Ma’idah: 32)”. Lebih jauh, fatwa tersebut juga sementara kewajiban Salat Jumat berjama’ah dan mengimbau Muslim melaksanakan Salat Dzuhur di rumah sebagai gantinya. Bagian fatwa yang ini begitu menekankan bahwa di tengah situasi semacam ini, tidak mungkin melaksanakan shalat Juma’t berjamaah di masjid.

Jihad Melawan Pandemi
Sebuah surat edaran bertanggal 26 Maret memberikan arahan yang lebih spesifik dalam menjalani Ramadhan. Point-point dasarnya adalah sebagai berikut;

  1. Tarawih, salat sunnah yang dikerjakan hanya pada malam Bulan Ramadhan, yang biasanya dilaksanakan di masjid, harus dipindah ke rumah. Pertemuan keagamaan yang disponsori Muhammadiyah setiap malam Bulan Ramadhan tahun ini tidak diselenggarakan. 
  2. Puasa berlaku wajib bagi Muslim kecuali mereka yang tengah sakit. Orang sakit harus mengikuti aturan syari’ah yang berlaku dengan mengganti  puasa di hari-hari yang dilewatkan. 
  3. Petugas kesehatan tidak diwajibkan berpuasa ketika tengah bertugas. Mereka juga harus mengganti hari-hari puasa yang terlewat di hari lain. 
  4. Tidak perlu melaksanakan Salat idul Fitri dan salat jama’ah di akhir Ramadhan. Masyarakat tidak boleh terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang melibatkan banyak orang, termasuk buka bersama, mudik, juga mengunjungi saudara dan keluarga di akhir Ramadhan, atau menggelar pawai dan perhelatan-perhelatan sosial lain.
Semua rekomendasi ini didukung dalil dari Al-Qur’an dan hadis dan sebagian di antaranya mengharuskan pengorbanan yang tidak kecil.

Puluhan juta orang Indonesia biasanya mudik untuk merayakan lebaran. Bagi mereka yang tinggal di kota, inilah satu-satunya kesempatan mempererat silaturrahmi dengan keluarga di pelosok-pelosok desa. Adat lain yang menarik dan dirindukan banyak orang adalah prosesi Takbir Keliling di malam lebaran dengan pawai para pemuda yang sepanjang jalan melantunkan takbir. Beberapa merakayannya dengan menyalakan dan membawa obor sambil berarak. Muhammadiyah biasanya menyelenggarakan perhelatan demikian di Yogyakarta dengan kendaraan besar penuh hiasan diiringi ribuan pemuda berpakaian tradisional berarak sepanjang jalan.

Pimpinan Muhammadiyah tidak akan mengimbau masyarakat untuk tetap di rumah tanpa melalui pertimbangan matang terhadap risiko yang mungkin ditimbulkan wabah ini, termasuk juga arti penting festival-festival lebaran dalam aspek sosial, budaya dan agama. Menunda atau membatalkan serentatan acara tersebut, barangkali, merupakan hal terpenting yang bisa dilakukan rakyat Indonesia untuk memperlambat laju penyebaran wabah Covid-19. Ini juga berarti bahwa orang-orang yang selamat dari wabah ini akan dapat menyaksikan dan menyemarakkan Ramadhan di tahun mendatang.

Pamekasan, 22-23 April 2020
Mark Woodward, peneliti, profesor di Centre for the Study of Religion and Conflict, Arizona State University.
Versi Bahasa Inggris, https://www.insideindonesia.org/ramadan-in-the-time-of-covid-19
 




Penerjemah: Masyithah Mardhatillah
Penyelaras Bahasa: Hamdani 

Siapa yang hari ini dapat mengucapkan ‘kuman virus’ tanpa sedikitpun merasa ngeri? Siapa yang saat ini dapat melihat benda-benda—pegangan pintu, lemari kardus, sekeranjang sayur—tanpa membayangkannya bergumul dengan senyawa tak terlihat, mayat hidup atau gumpalan tak bernyawa yang dipenuhi cawan pengisap dan tinggal menunggu waktu untuk memasuki paru-paru manusia?

Siapa pula yang dapat membayangkan bahwa mencium orang asing, melompat naik bus atau melepas anak pergi sekolah akan menghadirkan rasa takut luar biasa? Siapa yang juga masih sempat berpikir soal kesenangan yang biasa dilakoni tanpa menghawatirkan risikonya? Siapa di antara kita yang tidak menjadi ahli penyakit dadakan, ahli virus, ahli statistik, atau bahkan nabi? Dokter atau ilmuwan mana yang tak diam-diam berharap datangnya keajaiban? Pendeta mana pula yang, meski dengan sembunyi-sembunyi, mulai percaya pada teori ilmu pengetahuan?

Dan meski virus tersebut memang berkembang biak, siapa yang tak tergetar mendengar cuitan burung di kota-kota, melihat merak menari-nari di penyeberangan jalan, atau langit yang tidak lagi bising?        

Pekan ini, jumlah kasus Corona di seluruh dunia bergerak menuju angka jutaan. Lebih dari 50.000 nyawa telah melayang. Berbagai prediksi menyebut angka tersebut akan membengkak hingga ratusan ribu atau bahkan lebih. Virus ini bergerak bebas melintasi jalur yang biasa dilalui modal-modal usaha dan perdagangan antarnegara ketika pada saat yang sama, kesakitan mengerikan yang diakibatkannya telah mengunci dan memenjara manusia di negara, kota dan rumahnya.

Namun demikian, tidak seperti laju modal, virus tidak mencari keuntungan. Ia sekadar ingin berkembangbiak dan karenanya dalam batas-batas tertentu, secara tak sengaja, ia justru bertolakbelakang dari arus modal. Ia berhasil mengejek sistem kontrol imigrasi, biometrik, pengintaian digital dan teknik analisa data lain serta memukul telak—sementara ini—negara terkaya dan terdigdaya di muka bumi sembari menyeret mesin kapitalisme ke titik henti yang menggetarkan. Sementara waktu, mungkin, atau setidaknya dalam waktu yang cukup lama, kita semua akan memperhatikan bagian-bagian dari mesin tersebut, menilai kemudian memutuskan apakah kita akan ikut memperbaikinya atau mencari mesin lain yang lebih baik.

Bangsa Mandarin yang menangani pandemi ini tak sungkan berbicara soal perang dalam arti yang sebenarnya, bukan sebagai metafor. Akan tetapi, jika ini benar-benar merupakan perang, siapa yang lebih siap menghadapinya kalau bukan Amerika Serikat? Jika bukan masker dan sarung tangan yang dibutuhkan tentara garda depannya melainkan senjata, bom pintar, lubang perlindungan, kapal selam, jet perang, dan bom nuklir, apa lagi yang kurang?

Hari demi hari, dari ruas-ruas jalan seantora dunia, sebagian kita menyaksikan pengarahan pers wali kota New York dengan pesona yang susah dijelaskan. Kita juga mengikuti perkembangan statistik, mendengar cerita rumah sakit-rumah sakit Amerika Serikat yang kebanjiran pasien, para perawat dengan gaji kecil yang lembur dan harus mengenakan masker bekas serta jas hujan usang demi mempertaruhkan segalanya untuk menolong pasien. Tentang negara-negara bagian yang saling berebut dan menawar harga ventilator atau dilema dokter memilih pasien mana yang akan dirawat dan mana yang akan dibiarkan meninggal dunia. Dan kita pun menggumam sendiri, “Ya Tuhan, padahal ini Amerika Serikat!”

---------------

Tragedi ini datang begitu saja, nyata, epik dan terbentang di hadapan mata. Akan tetapi sebenarnya ia tidaklah sama sekali baru. Ia merupakan rongsokan dari kereta yang telah lama melenceng dari jalurnya. Siapa yang tidak ingat video-video tentang “pasian terbuang”, orang-orang sakit yang masih mengenakan baju pasiennya, bertelanjang pantat, dan diam-diam dibuang di ujung-ujung jalan? Pintu rumah sakit terlalu sering tertutup bagi warga Amerika Serikat yang kurang beruntung. Masalahnya bukan soal bagaimana mereka bisa sakit atau bagaimana derita yang mereka alami.

Keadaan saat ini berbeda sebab di masa virus, sakitnya orang miskin dapat mempengaruhi kesehatan mereka yang sejahtera. Dan bahkan, saat ini, Bernie Sanders, Senator yang getol mengampanyekan layanan kesehatan bagi semua telah dianggap orang asing karena tawaran yang ia dan partainya ajukan pada Gedung Putih.

Lalu bagaimana dengan negara saya, negara kaya tapi miskin, India, yang menggantungkan diri antara feodalisme dan fundamentalisme agama, kasta dan kapitalisme, dan dipimpin oleh nasionalis Hindu sayap kanan?

Pada Bulan Desember, ketika Tiongkok tengah berperang melawan merebaknya virus tersebut di Wuhan, pemerintah India tengah mengurus protes massal ratusan ribu warganya terhadap undang-undang kewarganegaraan anti-Muslim yang baru disahkan parlemen dan dinilai diskriminatif.

Kasus pertama Covid-19 dilaporkan di India pada 30 Januari, beberapa hari setelah tamu kehormatan Republic Day Parade yang juga pemakan hutan Amazon dan pengingkar keberadaan Covid, Jair Bolsonaro, meninggalkan Delhi. Akan tetapi selama Bulan Februari, terlalu banyak agenda yang harus diselesaikan pemerintah sehingga urusan virus lagi-lagi ini terabaikan. Ada kunjungan resmi Presiden Donald Trump yang dijadwalkan di pekan terakhir bulan tersebut. Ia tampaknya terpikat dengan iming-iming akan berbicara di depan satu juta rakyat India di gelanggang olah raga negara bagian Gujarat. Acara yang sangat menguras biaya, juga waktu.

Lalu ada pemilihan Majelis Delhi dengan kekalahan telak Partai Bharatiya Janata (BJP) yang sudah diperkirakan sebelumnya. BJP telah mengantisipasi kekalahan ini dengan mengimbangi permainan, meninggalkan gaya kampanye nasionalis Hindu yang luar biasa kejam dan penuh dengan ancaman kekerasan fisik serta teriakan ‘penghianat’.         

Namun BJP tetap kalah. Lalu Muslim Delhi dijatuhi hukuman dengan tuduhan penghinaan. Pasukan bersenjata rakyat Hindu yang dilindungi polisi menyerang Muslim di perkampungan pekerja di timur laut Delhi. Rumah-rumah, toko-toko, masjid, dan sekolah dibakar. Muslim yang sudah memperkirakan serangan tersebut menyerang balik. Lebih dari 50 orang, sebagian besar Muslim, juga Hindu, terbunuh.

Ribuan orang mengungsi ke kampung pengungsian di pemakaman umum lokal. Jasad-jasad yang dimutilasi tetap dijejalkan pada tempat-tempat dekil, memberi aroma busuk pada saluran-saluran air. Ini terjadi ketika pemerintah India pertama kalinya bertemu untuk membahas Covid-19 dan saat itu juga, sebagian besar rakyat India baru mendengar sesuatu yang disebut pencuci tangan tanpa air.

Bulan Maret juga dipenuhi kesibukan. Dua pekan pertama diisi upaya-upaya melengserkan Kongres pemerintah negara bagian India Tengah Madhya Pradesh dan menggantinya dengan kandidat dari BJP. Pada 11 Maret, WHO mengumukan status Covid-19 sebagai pandemi. Namun anehnya, dua hari setelah pengumuman tersebut, pada 13 Maret, Menteri Kesehatan India malah mengatakan bahwa Corona “bukan merupakan masalah kesehatan yang sifatnya darurat.”

Akhirnya, pada 19 Maret, Perdana Menteri menyampaikan pidato kenegaraan. Dia belum melakukan banyak hal dan sekadar meminjam playbook dari Prancis dan Italia. Ia memberitahu rakyat perihal “pembatasan sosial” (mudah dipahami bagi masyarakat yang sudah muak dengan praktik diskriminasi kasta) dan mengumumkan berlakunya “jam malam rakyat” pada 22 Maret. Sayangnya, ia tak mengatakan apa saja yang pemerintahannya akan lakukan di masa kritis ini dan justru meminta warga keluar dari balkon, menyalakan bel, serta memukul pot bunga dan panci untuk menghormati tenaga kesehatan.

Dia juga tak menyampaikan apa-apa, termasuk bahwa India telah mengekspor alat pelindung dan alat bantu pernapasan daripada menyimpannya untuk pekerja kesehatan dan rumah sakit di seantero negeri.

Tak mengherankan, permintaan Narendra Modi dikabulkan dengan penuh antusiasme. Ada banyak mars memukul pot bunga, tari rakyat hingga pawai. Pembatasan sosial tak banyak dilakukan. Di hari-hari selanjutnya, orang-orang melompat ke tong-tong tahi sapi yang dianggap sakral, sementara pendukung BJP mengadakan pesta minum air kencing sapi. Tak mau kalah, beberapa organisasi Muslim mengumumkan bahwa Tuhan adalah solusi dari virus yang tengah mereka hadapi dan karenanya mengimbau orang-orang beriman untuk datang bersama-sama ke masjid.

---------------
Pada 24 Maret, jam 8 malam, Modi kembali muncul di TV dan mengumumkan bahwa mulai tengah malam nanti, beberapa jam setelah itu, semua bagian India akan di-lockdown. Pasar-pasar akan ditutup dan semua transportasi pemerintah maupun swasta tidak dibolehkan beroperasi.

Ia juga menambahkan bahwa keputusan itu ia ambil bukan hanya sebagai perdana menteri, akan tetapi sebagai tetua sebuah keluarga. Siapa lagi yang dapat membuat keputusan demikian tanpa berkonsultasi sedikitpun dengan pemerintah negara-negara bagian yang akan menanggung dampak kebijakan 1.38 milyar rakyat di-lockdown tanpa persiapan sama sekali dan akan dimulai 4 jam setelah pemberitahuan? Metode yang dipilihnya benar-benar mengesankan bahwa perdana menteri India melihat rakyat tak ubahnya musuh bebuyutan yang harus diserang dan ditangkap tiba-tiba tanpa pernah diberi kepercayaan.

Kamipun menjalani lockdown. Beberapa profesional kesehatan dan ahli epidemi mendukung keputusan ini. Barangkali mereka memang benar secara teori. Akan tetapi yang pasti, tidak ada satupun dari mereka yang dapat mengatasi bencana karena kurangnya persiapan atau persiapan serampangan yang menggiring pada lockdown paling mengerikan di dunia karena menyebabkan keadaan yang bertolak belakang sepenuhnya dengan yang diharapkan.

Seseorang yang menyukai pertunjukan menciptakan awal mula dari seluruh pertunjukan.

Seperti yang kemudian menggegerkan dan disaksikan seluruh dunia, India menampilkan diri dengan seluruh rasa malu yang dimiliki—kebrutalan, ketimpangan struktural, sosial dan ekonomi, kelalaian tak berperasaan hingga penderitaan.

Lockdown bekerja layaknya percobaan kimia yang secara tiba-tiba menampakkan hal yang awalnya tersembunyi. Begitu pertokoan, restoran, pabrik dan industri pembangunan tak beroperasi, begitu kelas menengah dan atas mengunci diri di rumah-rumah berpagarnya, kota-kota kecil maupun besar kami menampilkan warga dari kelas pekerja—termasuk pekerja migran—persis seperti akrual yang tak diinginkan.

Sebagian mereka diusir oleh para juragan dan pemilik rumah. Jutaan orang seketika miskin, haus dan lapar. Laki-laki tua maupun muda, perempuan, anak-anak, orang sakit, orang buta, orang berkebutuhkan khusus, mereka yang tak punya tujuan dan tanpa transportasi publik mulai berarak untuk pulang kampung. Mereka berjalan kaki selama berhari-hari menuju Badaun, Agra, Azamgarh, Aligarh, Lucknow, Gorakhpur—yang letaknya ratusan kilometer. Sebagian meninggal dunia di perjalanan.

Mereka sadar bahwa kepulangan mereka dapat memperlambat laju kelaparan. Mungkin, merekapun tahu bahwa mereka berpotensi membawa serta virus dan menulari keluarga, orang tua dan kakek-nenek di kampung halaman. Akan tetapi, mereka begitu membutuhkan kehangatan keluarga, rumah dan martabat, juga makanan, jika bukan cinta.

Di tengah perjalanan, sebagian mereka dipukul secara brutal bahkan dipermalukan oleh polisi yang ditugaskan memberlakukan jam malam. Laki-laki muda disuruh membungkuk dan berjalan jongkok menyusuri jalan-jalan besar. Di luar Kota Bareily, sekelompok orang dikumpulkan dan disemprot cairan kimia.

Beberapa hari kemudian, khawatir populasi yang melarikan diri justru menyebar virus ke desa-desa, pemerintah menyegel perbatasan negara bahkan untuk pejalan kaki. Orang-orang yang sudah berjalan berhari-hari dihentikan dan dipaksa kembali ke kampung-kampung pengungsian di kota yang baru saja mereka tinggalkan juga karena desakan pemerintah.

Bagi para lansia, kejadian ini mengingatkan pada kenangan perpindahan populasi di tahun 1947 ketika India dibagi dua dan Pakistan lahir. Tak banyak perbedaan kecuali bahwa situasi saat ini dipicu oleh kelas sosial, bukan agama. Juga karena orang-orang yang keluar dari India saat ini bukanlah orang-orang yang sangat miskin. Mereka adalah orang yang (setidaknya hingga waktu terakhir) bekerja di kota dan memiliki rumah di kampung halaman. Sementara itu, mereka yang tak punya pekerjaan, tak punya rumah, atau yang putus asa tetap tak ke mana-mana,  baik di kota maupun di pinggiran; dua tempat di mana kemelaratan hebat sudah lama tumbuh sebelum tragedi ini terjadi. Selama hari-hari mengerikan ini, ironisnya, menteri dalam negeri Amit Shah tak jua menampakkan diri di depan publik.

Ketika parade jalan kaki ini mulai tampak di Delhi, saya menggunakan tiket pers dari sebuah majalah tempat saya rutin menulis untuk berkendara ke Ghazipur, perbatasan antara Delhi dan Uttar Pradesh.

Adegan yang saya lihat sangat khas Bibel. Atau mungkin tidak. Bibel mungkin tak pernah melihat jumlah sebanyak itu. Lockdown yang mengharuskan pembatasan sosial ternyata menghasilkan kondisi yang  bertolak belakang dengan tujuan—ketertekanan fisik dalam skala yang tak terbayangkan. Inilah yang benar-benar terjadi bahkan di kota-kota kecil ataupun kota besar di India. Jalan utama mungkin tampak sepi, tapi orang-orang miskin terpenjara dan berjejal di tempat-tempat sempit perkampungan miskin dan pondok yang jelek.

Setiap pejalan kaki yang saya ajak bicara mengaku sama-sama takut akan virus tersebut. Namun, hal demikian tampak kurang nyata dibanding melambungnya angka pengangguran, kemiskinan, dan kekerasan dari polisi. Di antara orang-orang yang saya temui hari itu, termasuk sekelompok penjahit Muslim yang baru berhasil bertahan dari serangan anti-Muslim beberapa pekan sebelumnya, saya bertemu seorang lelaki yang kata-katanya begitu mengacaukan perasaan. Ia adalah seorang tukang kayu bernama Ramjeet yang berencana berjalan kaki menuju  Gorakhpur dekat perbatasan Nepal.

“Mungkin saat Modiji memutuskan ini, tak ada yang memberitahunya perihal kami. Mungkin dia tak tahu apapun tentang kami,” ucapnya.
“Kami” yang disebutnya berjumlah sekitar 460 juta orang.

--------------
Pemerintah negara bagian di India (seperti juga di Amerika Serikat) menunjukkan simpati dan pengertian yang lebih dalam masa krisis ini. Perkumpulan dagang, masyarakat sipil dan elemen lain membagikan makanan dan rangsum darurat. Sementara itu, pemerintah pusat lambat merespon permohonan dana dan belakangan diketahui bahwa Perdana Menteri National Relief Fund  tidak memiliki dana yang bisa dikucurkan. Dana dari para pendukungnya mengalir pada PM-CARES baru yang sedikit misterius. Makanan berat dengan gambar Modi di bagian depan kemasannya mulai muncul.

Selain itu, perdana menteri juga membagikan video-video yoga nidranya. Ia tampak asyik mengubah posisi berkali-kali dan dengan tubuh idealnya mempraktikkan gerakan yoga asana untuk meredakan stres warga India karena isolasi diri.

Narsisme semacam ini sangat amat mengganggu. Baiknya, barangkali, salah satu gerakan asana yang dipamerkannya menunjukkan permintaan pada Perdana Menteri Perancis untuk membolehkan kami warga India membatalkan kesepakatan jet tempur Rafale yang sangat mengganggu sehingga anggaran 7.8 milyar dapat digeser untuk menyelematkan sekian juta orang yang kelaparan. Pemerintah Prancis tentu akan mengerti.

Di pekan kedua lockdown, mata rantai persediaan barang telah lumpuh, sementara obat dan kebutuhan pokok mulai menipis. Ribuan supir truck terdampar di jalan-jalan berbekal sedikit air dan makanan. Tanaman-tanaman yang berdiri tegak dan siap dipanen perlahan membusuk. 

Krisis ekonomi benar-benar terjadi di sini. Sementara krisis politik seperti tak berhenti. Media-media utama menghubungkan cerita Covid 19 dengan kampanye racun 24/7 anti-Muslim. Sebuah organisasi bernama Tablighi Jamaat yang menggelar pertemuan di Delhi sebelum lockdown diumumkan ternyata berperan sebagai ‘penyebar yang tangguh’. Ini digunakan untuk menstigma dan menjelekkan Muslim dengan narasi besar bahwa Muslimlah yang menemukan virus tersebut dan dengan sengaja menyebarkannya sebagai sebuah bentuk jihad.

Krisis Covid masih akan datang. Atau sebenarnya masih belum. Kita tidak tahu. Jika itu benar-benar terjadi, kita bisa pastikan bahwa krisis demikian akan dikaitkan dengan prasangka agama, kasta dan kelas sosial sekaligus.

Hari ini (2 April) di India, ada hampir 2000 kasus terkonfirmasi dan 58 kematian akibat virus ini. Tentu, kita tidak bisa percaya pada angka-angka ini karena ia hanya didasarkan pada uji periksa yang, sayangnya, sangat sedikit. Pendapat para pakar sangat berbeda satu sama lain. Beberapa memperkirakan jutaan kasus. Yang lain menyebut jauh di bawahnya. Kami mungkin tak pernah tahu bentuk krisis yang sesungguhnya, meski keadaan tersebut tengah benar-benar terjadi. Yang kami tahu hanyalah bahwa rumah sakit belum mulai melaksanakan tugasnya dengan sigap dan siaga.

Klinik dan rumah sakit umum India—yang tidak bisa menangani hampir satu juta anak yang mati karena diare, kurang gizi dan masalah kesehatan lain tiap tahunnya, dengan ratusan ribu pasien TBC (seperempat dari kasus di seluruh dunia) dari populasi dengan tingkat anemia dan kurang gizi yang tinggi dan rentan menyebabkan sakit-sakit ringan yang ternyata fatal—tidak akan mampu menghadapi krisis seperti yan dilakukan Eropa dan Amerika Serikat saat ini.   

Seluruh layanan kesehatan di rumah sakit India telah dialihkan untuk menangani virus tersebut. Pusat pelayanan trauma yang terkenal di All India Institute of Medical Science di Delhi juga ditutup. Ini menyebabkan ratusan pasien kangker yang disebut pengungsi kangker dan tinggal tak jauh dari rumah sakit besar tersebut juga digiring jauh layaknya hewan ternak.

Rakyat akan jatuh sakit dan mati di rumahnya. Kita mungkin tak akan pernah mendengar cerita-cerita ini karena tak masuk di angka statistik. Kita hanya bisa berharap bahwa penelitian yang mengatakan virus tersebut menyukai udara dingin adalah benar adanya (meski peneliti lain meragukan hal tersebut). Rasanya belum pernah orang-orang sangat merindukan musim panas India yang begitu membara sebelum hari ini.

Lalu apa yang sebenarnya menimpa kita? Ya, Corona adalah virus. Esensi di luar maupun di dalam dirinya sama sekali tak mengenal ajaran moral apapun. Tapi sebenarnya, ia lebih dari sekadar virus. Sebagian percaya bahwa ia adalah ‘cara’ Tuhan mengembalikan hakikat kemanusiaan kita. Yang lain meyakininya sebagai bagian dari konspirasi China untuk umat manusia seluruh dunia.

Apapun itu, virus Corona telah berhasil membuat raja yang begitu berkuasa jatuh bertekuk lutut dan menggiring dunia ke titik pemberhentian yang tiada seorang pun pernah mampu melakukannya. Sementara itu pikiran kita masih maju mundur, rindu untuk kembali pada kehidupan normal sembari menjahit masa depan ke robekan masa lalu tanpa mau mengakui adanya bagian yang retak. Namun keretakan tersebut nyata adanya. Dan di tengah ketidakberdayaan yang mengerikan ini, virus tersebut memberi kita kesempatan untuk memikirkan mesin kiamat yang kita buat sendiri sehingga kita pun sadar, tak ada yang lebih buruk dibanding kembali pada keadaan yang belum lama kita tinggalkan.

Dalam sejarahnya, pandemi selalu berhasil memaksa manusia lepas dari masa lalu dan membayangkan dunia yang baru. Tak terkecuali dengan pandemi satu ini. Ia adalah portal dan gerbang antara satu dunia dan dunia selanjutnya.

Kita dapat memilih antara melewati portal tersebut dengan melepas segala yang pernah kita miliki; prasangka, kebencian, ketamakan, data bank, gagasan kosong, sungai kering dan langit berasap. Atau, kita akan melewatinya dengan tenang sambil menggeret kopor kecil dan membayangkan sebuah dunia baru lalu bersiap berjuang untuk mewujudkannya.

Pamekasan, 18-20 April 2020
Original version; https://www.ft.com/content/10d8f5e8-74eb-11ea-95fe-fcd274e920ca



Ketika membuat last year errand, two top lists-ku adalah quit breastfeeding dan toilet training Rauhia. Sayang yang terlaksana hanyalah penyapihan, sementara yang lain harus antri ikutan errand tahun ini. Frase teknis ini pertama kali aku denger dari temenku yang berprofesi sebagai bidan. Pas itu kami sedikit menyinggung soal ini ini dan dia berujar bahwa salah satu mata kuliah yang diambilnya semasa bersekolah adalah ‘toilet training’. “Oh, jadi ada teorinya,” longoku ketika itu. Di beberapa WAG yang aku ikuti, ibu-ibu muda yang dulu adalah teman satu sekolah dan satu kelas juga kerap bercerita soal ups and downs pengalaman pun perjuangan mereka melakukan toilet training.   


FYI sejak lahir ke dunia ini, Rauhia adalah konsumen popok sekali pakai kelas menengah ke bawah. Aku yang sejak kandungan berusia 7 bulan sudah menyediakan keperluan persalinan plus popok pertama yang akan ia pakai sedari awal diwanti-wanti agar tidak membiasakan bayiku menggunakan popok yang harga belinya mahal. Selain karena popok pada akhirnya akan dibuang, menurut umik, popok yang harganya mahal dan murah tidak jauh berbeda. Asal cocok di kulit dan rutin diganti, soal kualitas dan merk jadi prioritas terakhir.

Ok aku manut umik meski ketika itu aku cukup intens mengonsumsi informasi soal perpopokan dan mulai mengenal istilah cloth diaper yang katanya jauh lebih ramah lingkungan dan kalau ditotal sakjane lebih murah dibanding pospak, meski memang lebih ribet dikit utamanya bagi mereka yang belum terbiasa. Aku bahkan juga sudah membeli selembar inner clodi yang sampai sekarang belum pernah tak pakaikan ke Rauhia. Aku akhirnya tak jadi menggunakan clodi karena tidak punya modal yang banyak di awal, ngejar praktis dan efisien dan yang pasti technically, hari-hari pertama setelah melahirkan tak memberiku banyak kesempatan dan ruang gerak seleluasa sebelumnya. Alasan lain yang lebih konkrit adalah bahwa ketika open house setelah kelahiran Rauhia, banyak tamu yang membawakan pospak. Ya masa mau dibuang, dikembalikan, atau dituker ke toko? Ok, jadi dipake aja.

Jadilah, selama nyaris tiga tahunan, Rauhia adalah konsumen aktif pospak kelas menengah ke bawah yang saking ke bawahnya, dua mart waralaba yang ekspansinya ke mana-mana itu tidak menjual popok yang dipakai Rauhia. Aku pernah bercerita soal ini di tulisan lain, dan keadaan itupun tak berubah hingga beberapa saat yang lalu. Aku betah pada pilihan itu selain karena tidak ada masalah berarti dengan kulit sensitif Rauhia, harganyapun murah di kantong, seperti yang digambarkan dengan celengan ayam di bungkus popok berwarna hijau toska tersebut. Yang juga penting, aku tak kesulitan mendapatkannya di tempat tinggalku. Di warung tetangga, di  swalayan samping kampus, swalayan kuno yang selalu menjadi tempat favoritku selama kecil, dan tempat-tempat lain banyak yang menyediakan popok tersebut.   

Meski tidak seberapa menguras isi dompet (maksimal ngabisin 150k untuk konsumsi popok sebulan), aku bukan tak kepikiran untuk segera menyudahi penggunaan pospak ini. Namun demikian di lapangan, semuanya terasa sulit dan tidak mudah; aku full bersama Rauhia selama 24 jam hanya pada Hari Sabtu, Ahad atau ketika cuti dan tanggal merah. Rasanya susah membayangkan bahwa agenda ini bisa sukses dalam jangka waktu 48 jam, sementara, seperti sudah menjadi kodrat (padahal sebenarnya ini sangatlah socially constructed), ibulah yang paling bertanggungjawab menginisiasi, menjalankan dan menyukseskan program toilet training ini. Anggota keluarga yang lain hanya menyemarakkan, mendukung sebisanya dan kalau ada kesempatan, menyalahkan adegan-adegan yang tidak sesuai skenario. Eh kq sampai sini.

Suatu kali, sekitar setahunan yang lalu, aku pernah iseng2 mencoba mengajari Rauhia untuk memberitahu jika dia ingin menunaikan hajat. Pas itu popoknya mau habis lalu timbullah pikiran ‘kenapa ga sekalian.’ Very first trials banyak gagalnya, tapi sebenernya ketika itu sudah ada perkembangan. Popoknya dilepas dan tak omongin berkali-kali untuk ngasih tau sebelum pipis. Sayangnya, ketika itu ia ngasihtaunya ketika pipis sudah menggenang di bawah kakinya. Tapi itu bukan tanpa kemajuan; Rauhia biasa mojok atau mencari tempat sepi ketika ingin pipis. Aku tinggal mengikuti saja ke mana ia melangkah dan memastikan bahwa ia tak mendekati obyek2 vital yang mengharuskan proses penyucian ribet dan melelahkan, seperti kasur, sofa, karpet dan yang terpenting rumah tetangga. Beberapa kali aku ngepel di pojok-pojok spacy yang dipilihnya sebagai tempat menunaikan hajat. Setelah itu, kugendong ia ke kamar mandi sambil tak sugesti berkali-kali bahwa; ngomongnya sebelum pipis, bukan setelah pipis.

Percobaan ini terjadi saat akhir pekan pas aku punya jatah libur dua hari di kantor. Waktu pasnya aku lupa. Sayangnya, awal ini ga tak teruskan karena ayah mertuaku tiba-tiba berinisiatif membelikan popok Rauhia ketika kebetulan ia beli-beli ke toko. Sebelumnya ia sempat menegurku bahwa Rauhia yang ketika itu berumur dua tahunan masih terlalu dini untuk belajar lepas popok. Aku manut saja, toh Senin besok aku sudah harus ke kantor dan program ini rasanya tak akan bisa berjalan dengan baik tanpa kehadiranku langsung, sementara kewajiban ngantor harus tetap kulaksanakan literally. Meski begitu, aku bukan tak kepikiran mereka-reka kapan aku bisa punya waktu lowong agak lama untuk menemani Rauhia belajar melepas popok. Liburan terlamaku sepanjang tahun adalah ketika lebaran dan tak bayangin, itu bukan moment yang tepat buat berlatih lepas popok. Lebaran biasanya sibuk bertamu, nerima tamu, ke sana-sini dan aktivitas fisik lainnya. Mustahil dan sangat sulit rasanya belajar toilet traning di hari-hari lebaran. 

***




            Saat mudik ke rumah, umik tak pernah absen bercerita soal cucu teman ngajarnya yang sudah lepas popok dan notabene lebih muda dari Rauhia. Seperti biasa aku tak kekurangan bantahan, biasanya yang tak jadikan dalih adalah karena aku belum punya banyak waktu lowong di rumah. Percakapan semacam itu segera berlalu, tapi diam-diam dalam hati aku kepikiran; rasanya susah dan jadi semacam mission impossible. Pikiran soal bagaimana jika ini dan bagaimana jika itu sering mengusik pikiranku. Ketika sudah begini, memoriku seperti mengundang beberapa ingatan atau informasi yang relevan; soal saudara yang sampai gede masih suka ngompol ketika tidur malam, soal anaknya teman yang lepas popoknya on-off menyesuaikan dengan kondisi fisik—dan batin—si ibu, soal proses toilet training anak teman lain yang jadi program multiyears dan lain-lain. What would my and Rauhia’s story look like?

Aku juga bukan tak pernah mendengar cerita sukses dan mudahnya toilet training, cuma pas mau tak jalani sendiri, rasanya kq lebih teringat sama yang susah-susah daripada yang gampang-gampang; seperti juga proses penyapihan. Sering timbul pikiran-pikiran nakal soal keterlibatan ‘orang pintar’ dalam life passage si bayi. Yang satu ini, kenapa ia hanya dilibatkan ketika penyapihan dan tidak ketika toilet training? Biasanya aku cekikikan sendiri lalu pikiran langsung berganti dengan 5 W 1 H toilet training Rauhia. Terkadang aku juga berusaha mengingat-ingat bagaimana dulu aku atau adik-adikku melakukan toilet training. Yang kuingat, dulu jaman adik lanang belum ada pospak sehingga umik sering menggunakan yang namanya ‘katok plastik’. Lain dari itu, aku hanya ingat dulu di suatu pagi, umik—yang ketika itu sedang di dapur—pernah memeriksa sekujur bagian celana panjang yang kukenakan untuk memastikan bahwa aku tidak ngompol. Aku juga tak akan lupa bahwa entah di usia berapa, aku sudah BAB—di kamar mandi barat yang lama—di WC lalu setelah kurasa hajatku selesai, aku akan mengirim pesan agar ada yang datang mencebokiku dengan kode ‘sudah’ senyaring-nyaringnnya. Ya, literally hanya itu yang aku ingat. 




***

Lalu Corona datang, aku WFH sejak 24/03/2020 (bahkan H-1 sebelum tmt surat edaran), dan pikiran untuk melepas popok Rauhia seperti menemukan momentumnya. Pikiran itu semakin menjadi begitu kutahu bahwa teman-teman sepantaran—lebih muda dan tinggal di sekitar rumah—Rauhia sudah mulai banyak yang lepas popok. Kisaran pekan keempat Bulan Maret ketika itu, aku memulai program toilet training Rauhia. Posisi popok juga sudah tinggal sedikit dan aku mulai lagi segalanya dari awal; melatih Rauhia secara teori dan praktik. Jika di percobaan pertama ia suka pipis di tempat yang spacy, both indoor and outdoor, kemarin dia sering sekali pipis posisi di luar rumah, minimal di teras depan. Aku tidak menemukan kesulitan berarti untuk membereskan bekas pipisnya. Untuk memperlancar proses toilet training, aku banyak bertanya pada mereka yang lebih pengalaman, termasuk Bu Lely yang putrinya sudah empat dan kupikir, meski anak termudanya masih pakai popok, Bu Lely sudah punya pandangan dan pengalaman yang otoritatif dari tiga kasus berbeda. Sepupuku yang anaknya uda dua dan yang termuda baru saja melepas popok sebelumnya pernah sesumbar bahwa it needs special—break—time yang membuatku makin yakin untuk segera memulainya; mumpung aku WFH. 

Tak hanya itu, aku juga menyiapkan sedikit amunisi berupa adjustable training pad dan dry pad yang kubeli di pasar daring. Yang pertama semacam celana khusus buat mereka yang lagi latihan lepas popok, sedang yang kedua adalah perlak khusus. Dua barang tersebut datang ketika aku sudah memulai program, istilahnya sambil jalan meski aku terburu-buru membukanya—karena senang dan penasaran—sehingga melupakan protokol keamanan dan kebersihan di musim Corona. Yang tak siapkan juga adalah mental, termasuk menanggapi komentar on why this must be so late, untuk mengepel di saat-saat lelah dan fluktuasi WFH, untuk menjaga tone saat memberitahu Rauhia dan lain sebagainya.  Meski belakangan, di lapangan, yang kuhadapi ternyata berbeda, persiapan seadanya itu tetap saja membantu. There has never been excess on preparation.

            Awal-awal toilet training, aku tak melepas popok Rauhia langsung sekaligus 24 jam. Bila bepergian dan tidur malam—karena dia jarang banget tidur siang—aku pakaikan popoknya. Jika keadaan normal di rumah, baru kulepas. Ketika tetangga sebelah menggelar hajatan dan aku harus rewang, aku tidak membawa Rauhia serta demi alasan jaga-jaga agar dia tak pipis atau BAB di rumah orang. Pada fase-fase awal ini, aku inget sekali bahwa Rauhia pernah ngeyel jalan-jalan di lantai yang baru kupel sehingga dia terjatuh dua kali. Antara sedih, terkejut dan marah, aku kembali mewanti-wantinya untuk do what I say unless you want something bad to happen just like this. Aku juga sangat sering menyaksikan ekspresi rasa bersalah ketika ia memberitahu baru saja pipis, seringkali langsung memberitahu lokasinya meski tanpa kutanyakan. Aku berusaha terus memastikan kesabaranku on-stock tapi mungkin kerasanya di dia, aku more or less intimidatif. Kadang aku melihat dia tertekan dengan omonganku yang itu-itu saja, things like “Hia, ngasihtaunya sebelum pipis ya, bukan sesudah pipis” atau “Hia, kalau mau pipis bilang ya”

            Apalagi, aku kerap menceritakan perihal teman mainnya yang sudah lepas popok. Tentu ketika mood-nya sedang baik dan kami berdua tidak tengah perang dunia. “Jadi, Hia sudah waktunya lepas popok juga, kalau mau pipis atau eek, harus bilang, biar bisa di Kamar Mandi,” begitu inti kalimat yang ingin kusampaikan. Lalu dia menyela dengan mengatakan bahwa apa yang kukatakan tidak benar, si teman bermain masih mengenakan popok. Belakangan aku ingat bahwa Rauhia memang lagi suka-sukanya  mengatakan dan mengulang kata ‘tidak’ atau kalimat balasan yang sifatnya menyanggah. Ini yang ikut menciutkan nyaliku dan seperti meyakinkan bahwa rencana ini tak akan berhasil dalam jangka waktu cepat.

            Aku juga belum menemukan bentuk ideal bagaimana mengatur jadwal buang air Rauhia, juga intensitas dia buang air. Jadi, kuikuti protokol bahwa bayi biasanya pipis setiap dua jam sekali. Setiap itu pulalah, aku mengajaknya ke KM. Awalnya dia antusias dan senang sekali, tapi begitu tahu bahwa ia ‘hanya’ diajak ke KM dan di sana doing nothing, dia selalu menolak ajakan-ajakan berikutnya. Ketika di KM, aku bahkan menyontohkan BAK tapi tetap aja dia tidak BAK; entah karena memang tidak ada cairan yang akan dikeluarkan atau tidak suka diatur seperti itu. Berkali-kali seperti itu, masuk ke KM hanya cebok meski nothing to clean and wash, akhirnya aku menyimpulkan bahwa dia tidak suka buang air by design. Dia suka naturally aja, jadi aku harus ikut ritmenya. Untuk menyukseskan ini, aku bahkan sempat memilihkan video-video toilet training untuk ia tonton dengan satu dua kalimat sugesti bahwa pipis harusnya di Kamar Mandi seperti yang aku sounding, aku dan orang lain lakukan dan seperti ditunjukkan oleh pemeran kartun di video-video tersebut. Im not sure whether it works, jadi hanya kulakukan sekali.  

            Adegan-adegan yang sama kembali terjadi. Nyaris setiap setelah ngompol ketika bersamaku atau anggota keluarga yang lain, akulah yang menceboki Rauhia. Aku menggunakan moment itu untuk bicara heart to heart padanya bahwa shes grown up dan saatnya untuk ngasihtau kalau mau buang air. Aku mengatakan bahwa memberitahu ingin pipis atau eek sama sederhananya dengan memberitahu bahwa ia capek (belakangan ia mengetahui kosakata ini dan berulangkali menggunakannya), ingin mik air, ingin mam nasi, ingin beli jajan dan lain sebagainya. Aku bahkan sempat mengiming-imingi dia untuk tak beliin jajan jika ia berhasil pipis di KM. Tapi, bukan gurat kegembiraan yang kubaca di wajah Rauhia. Ia tampak masih mencerna semua yang kukatakan. Well, show goes on.  

***
            Lalu musibah itupun terjadi. Selama toilet training, Rauhia pernah sekali BAB di celana ketika ia sibuk main outdoor. Aku tak terlalu kerepotan mengondisikan semua-muanya sebab aku tinggal menceboki dan mencuci celananya. Namun ketika itu, di suatu pagi, 28/03/2020, aku tengah menjemur cucian dan mendapati dia memberitahu bahwa baru saja BAB di karpet mushalla. Hiupt. Terbayang pekerjaan berat yang harus kubereskan, tapi aku buru-buru telling myself bahwa akan ada solusinya; cari jasa dsb. Aku lalu mencebokinya dan melanjutkan protokol toilet training. Siangnya, Rauhia diare dan dua kali BAB di outdoor. Kena ke mana-mana. Tapi yang paling worrying, I knew she was not in a good condition. Aku kemudian menghentikan sementara program toilet training, padahal ketika itu dia terlihat sudah mulai paham dan bisa kooperatif. Ketika siangnya ia terlelap, aku menumbuk kunyit dan daun jambu biji untuk menyembuhkan diarenya.

Malamnya, Rauhia tidur tak tenang, bangun, lalu muntah dua kali mengenai tubuh kami berdua. Aku melarikannya ke puskesmas setelah mandi dan me-nyeko Rauhia. Sepanjang jalan aku khawatir, meski Rauhia tidak demam dan tampak berusaha ceria di tengah kondisinya yang lemas. Aku mulai menyalahkan diri sendiri dan merasa terlalu intimidatif melaksanakan protokol TT. Belum lagi aku ingat insiden dia jatuh dari daun jendela dengan posisi yang sangat bikin histeris. Suasana di Puskesmas tampaknya membuat dia insecure; asing dan dua bidan yang lagi jaga malam ketika itu bermasker; mungkin kerasa aneh baginya. Otomatis ketika perutnya diperiksa, suhu tubuhnya diperiksa, bahkan ketika disuruh berdiri di timbangan, ia berontak menolak. Sepulang dari Puskesmas dan minum puyer, dia sangat senang menyantap roti yang kubeli sekalian dengan pospak langganan.  Ketika itu yang kupikirkan, wes gapapa tt-nya belum berhasil sekarang; yang penting Rauhia sembuh dan tidak tertekan.

***

Esok harinya adalah hari yang berat. Rauhia memang sudah tidak muntah tapi diarenya belum reda. Ia berkali-kali mengajakku ke kamar mandi, mengaduh sakit perut, lalu mengajak keluar setelah lama mematung di situ tanpa berhasil mengeluarkan apa-apa. Tentunya setelah meminta cebok meski sebenarnya tak ada yang perlu dibersihkan. Dia juga memilih posisi favoritnya. Berdiri menghadapku, menindih kaki kananku dengan kaki kirinya dan begitu juga sebaliknya, lalu memeluk erat lututku. Setelah keluar-masuk KM sekitar 7 kali, barulah ia berhasil mendorong keluar gumpalan le**ir yang kemudian disusul papita cair. Tak perhatiin, keluhannya menghebat sebelum si le**ir keluar. Untuk antisipasi, aku memakaikannya popok sehingga kami tak perlu bolak-balik sesering sebelumya. Akan tetapi, Rauhia tidak mau BAB atau pipis di popok. Setiap kali sakit perutnya datang, ia selalu mengajakku ke KM. Popoknya selalu bersih dan ia baru mau pipis atau BAB setelah popoknya tak lepas dan kami ambil posisi seperti biasanya.

Tak terhitung aku bolak-balik KM dengan emosi yang diaduk-aduk antara menyesal telah sedemikian rupa mengkondisikan Rauhia untuk TT, kuatir akan kesehatannya, lelah fisik karena aktivitas yang meski di situ-situ aja namun berulang dan monoton, hingga kepikiran tugas2 kantor yang terbengakalai karena masih menyesuaikan dengan model WFH. Cuma dari sekian banyak kabar buruk itu, aku melihat Rauhia mulai menunjukkan progress. Ketika pipis di KM dalam rangka menunggu si papita keluar dan berdamai dengan sakit perutnya, ia tampak mulai belajar bahwa pipis bisa dikendalikan oleh dirinya sendiri sehingga ada waktu untuk ngasihtau aku dan beranjak ke KM manakala hasrat tersebut inin ditunaikan. Ini tampak sekali ketika ia memintaku untuk menceboknya namun aku masih memastikan, ‘sudah atau lagi?’ Jika jawabannya yang pertama, maka aku akan langsun mencebokinya namun jika yang kedua, aku akan menunggu ia menuntaskan hajat.   

Hari itu juga aku mengajak Rauhia ke tukang pijet bayi yang menjadi langganan kami. Dibandingkan dahulu saat ia belum banyak mengerti apa-apa, Rauhia belakangan sudah mulai pintar protes setiap kali kami berkunjung ke rumah si dukun bayi. Ia mulai memahami bahwa ini bukan kunjungan biasa. Tak lama lagi si mbah akan memijat dirinya, menjadikan bagian-bagian tubuhnya sakit dan mungkin menurutnya melakukan ‘penyiksaan’.  Dulu pas dia masih bayi, yang juga masih kuingat, dia baru bereaksi nangis atau menunjukkan rasa sakit ketika si mbah sudah lama mulai memijat. Tapi belakangan, mungkin bermodal rasa takut, protes, juga manja, begitu melihat si mbah datang, biasanya parade tangis sudah dimulai. Dan begitulah hingga akhir sesi. Namun kemarin, aku melihat tangisnya lebih intens dan naik level; selain karena sudah lama tidak dipijat, badannya mungkin masih remuk redam abis kejadian salto be like kemarin. Pulang dari rumah si mbah, dia tidur lelap sekali masih dengan popok di tubuhnya. Malam hari ketika ia terbangun, popoknya masih bersih. Ia tampak mulai mengerti bahwa pipis atau eek harusnya di KM, bukan di mana-mana meski mengenakan celana/popok. 

Setelah dua hari yang berat itu berlalu, Rauhia mulai berangsur pulih dan semakin adaptatif dengan protokol TT. Ternyata durasi lama yang kami habiskan di KM mengajarinya banyak hal; dia seperti mulai faham fungsi KM apa dan di sana ngapain aja. Lain dari itu, aku merasa ikatan psikologis kami semakin erat karena kami nyaris tak terpisahkan. Rauhia mulai rutin memberitahu setiap akan pipis atau eek lalu aku akan langsung reaktif menggendongnya ke KM, membuka celananya dan membiarkan dia menunaikan hajat di situ. Aku lupa kapan tepatnya moment dia punya inisiatif begini dan mulai bisa kuperatif. Awal-awal, pipisnya tak bisa langsung keluar sebelum ia memeluk lututku erat namun belakangan, pelukannya semakin renggang dan ia pun berhasil pipis tanpa memeluk lututku dan dengan posisi default. Setiap kali berhasil, aku biasanya bercorak kecil mengatakan “juaraku” berulang kali sebelum menceboki dan menggendongnnya lalu menghujaninya dengan ciuman sambil berlagak berdua di depan kaca. Rasanya perjuangan terbayar kontan di situ.

Tentu saja itu bukanlah akhir segalanya. Bersamaan dengan kemampuannya memberitahu dan berkomunikasi perihal hasrat ingin buang airnya, Rauhia mulai susah diatur untuk segera mengenakan celana begitu ia keluar dari KM. Ia juga baru belajar jongkok dan masih suka menunaikan hajat sambil berdiri, sementara ajakan untuk jongkok di atas WC tak pernah tidak ditolaknya. Kadangkala ia memintaku mengenakan popok yang biasa ia gunakan meski tak pernah ia pakai lagi untuk menampung pipis atau papitanya. Pant yang aku beli juga tak banyak membantu karena kebetulan lagi musim hujan dan mengeringkannya butuh waktu beberapa hari, selain karena Rauhia tidak selalu mau mengenakannya. Sependek yang kuingat, masing-masing tiga pant itu baru ia pipisi sekali. Selain itu, selama proses ini, aku mencuci masing-masing perlak dan sprei satu kali; pertama ketika Rauhia masih diare dan kedua ketika di suatu pagi, ia tampak gelisah namun matanya masih terpejam sambil mencari ujung tempat tidur. Ia terbangun mendadak dan memberitahu bahwa baru saja pipis. Aku yang masih ngantuk mendadak langsun reaktif dan membawanya ke KM; pengalaman ngompol tidur malam yang semoga tidak terulang lagi. Dry pad kurang membantu karena ukurannya kecil sementara Rauhia ketika tidur tidak bisa anten di suatu posisi.    

Meski fase ini tampak nyaris selesai, aku tahu masih banyak pekerjaan lanjutan menunggu, utamanya memberi Rauhia pemahaman bahwa jika aku sudah kembali masuk kantor, ia tidak bisa selalu bergantung padaku untuk urusan menunaikan hajat ke KM. Juga perihal sebaiknya pipis sebelum tidur, sebelum perjalanan, dan lain-lain yang satu persatu mulai hadir di otakku. Long life, Emak2! Without you, this world will never be as beautiful as this.  


Penerjemah: Masyithah Mardhatillah
Penyelaras Bahasa: Hamdani

"Badai ini akan berlalu, namun pilihan yang kita buat hari ini dapat mengubah hidup kita di masa depan."

Bangsa manusia kini tengah mengalami krisis global. Mungkin krisis terbesar di generasi kita. Keputusan yang diambil pemerintah dan masyarakat dalam pekan-pekan mendatang mungkin akan menentukan bentuk dunia di masa depan. Tidak hanya sistem kesehatan, berbagai keputusan tersebut juga akan mempengaruhi kehidupan politik, ekonomi dan budaya. Kita harus bertindak cepat dan tegas. Kita juga mesti mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari tindakan kita hari ini. Di hadapan dua alternatif, kita tidak bisa hanya berpikir bagaimana mengatasi ancaman di depan mata, tetapi juga soal dunia seperti apa yang akan kita tinggali setalah badai ini berlalu. Ya, badai ini akan berlalu, manusia akan bertahan, sebagian besar kita akan tetap hidup, tapi kita akan mendiami dunia yang berbeda.

Beberapa tindakan darurat jangka pendek yang dilakukan hari ini akan menjadi standar di kehidupan mendatang.  Demikianlah sifat keadaan darurat. Ia mampu mempercepat laju sejarah. Keputusan yang dalam situasi normal membutuhkan waktu bertahun-tahun akan diambil dalam hitungan jam. Teknologi yang prematur bahkan berbahaya juga akan digunakan, sebab risiko tidak melakukan apa-apa jauh lebih besar. Semua negara menjadi kelinci eksperimen sosial berskala luas. Apa yang terjadi jika setiap orang bekerja dari rumah dan hanya berkomunikasi jarak jauh? Apa yang terjadi jika semua sekolah dan kampus hanya bisa diakses lewat jalur daring? Pada situasi normal, pemerintah, pebisnis dan dewan pendidikan tidak akan bersepakat menjajal percobaan demikian. Tapi sekali lagi, saat ini bukanlah keadaan normal.

Di saat krisis semacam ini, kita dihadapkan pada dua pilihan penting. Pertama adalah antara pengintaian totaliter dan pemberdayaan masyarakat. Kedua adalah antara isolasi nasionalis dan solidaritas global.

PENGINTAIAN 'DI BAWAH KULIT'
Untuk menghentikan epidemi, seluruh populasi harus menaati  pedoman-pedoman khusus. Ada dua cara utama untuk mencapai hal tersebut. Pertama adalah melalui pengawasan pemerintah dengan memberi hukuman pada warga negara yang melanggar aturan. Dewasa ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, teknologi memungkinkan pengintaian terhadap setiap orang. Lima puluh tahun yang lalu, KGB tidak bisa mengintai 240.000.000 masyarakat Soviet dalam 24 jam sehari. KGB pun tidak mampu memproses semua informasi yang didapat dengan efektif. Ia bergantung pada agen dan analis, tapi keduanya juga tidak bisa menggantikan agen manusia yang mampu menguntit setiap warga negara. Akan tetapi saat ini, pemerintah bisa mengandalkan sensor yang tersebar di mana-mana serta algoritma yang demikian kuat, bukan lagi dengan agen rahasia.

Dalam perang melawan epidemi Corona, beberapa negara telah menggunakan perangkat pengintaian. Contoh paling kentara adalah Tiongkok yang dengan teliti mengawasi ponsel warganya, menggunakan ratusan juta kamera pengenal wajah serta mengharuskan warganya mengecek dan melaporkan suhu tubuh dan kondisi kesehatan mereka. Dari situ, pemerintah Tiongkok tidak hanya dapat mengenali pasien Corona dengan cepat, tetapi juga bisa melacak pergerakan dan mengenali orang-orang yang berkontak dengan si pasien. Sederet aplikasi ponsel canggih juga dapat memperingatkan orang-orang tertentu perihal kemungkinan menjadi pasien Corona berikutnya.

Teknologi semacam ini tidak terbatas di Asia Timur. Dalam rangka melacak pasien-pasien Corona, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, baru-baru ini mengeluarkan izin bagi agen keamanan negaranya untuk menggunakan teknologi pengawasan yang biasanya dipakai memerangi teroris.  Ketika tindakannya ditolak parlemen, Netanyahu balik membalasnya dengan "dekrit darurat."

Anda mungkin berpikir bahwa tidak ada yang baru mengenai ini semua. Pada tahun-tahun belakangan, pemerintah dan perusahaan-perusahaan bahkan telah menggunakan teknologi yang jauh lebih unggul untuk melacak, mengawasi dan memanipulasi manusia. Namun demikian jika kita tidak berhati-hati, epidemi ini mungkin akan menandai sebuah babak penting dalam sejarah teknologi pengintaian. Bukan hanya karena ia berpotensi membenarkan penggunaan perangkat pengintaian massa di negara-negara yang pernah menolaknya, namun juga karena menandai transisi dramatis dari pengintaian ‘di atas kulit’ menuju ‘di bawah kulit’. 

Sebelum masa darurat ini, ketika jari Anda menyentuh layar ponsel dan mengklik sebuah tautan,  pemerintah hanya ingin tahu bagian mana yang Anda klik. Namun demikian, virus Corona mampu menggeser fokus ketertarikan mereka. Pemerintah saat ini lebih ingin tahu suhu tubuh melalui jari Anda dan tekanan darah di bawah kulit Anda.
    
PUDING DARURAT

Salah satu masalah terkait teknologi pengintaian dalam kondisi semacam ini adalah fakta bahwa tidak ada seorangpun dari kita yang mengetahui bagaimana kita semua diintai dan apa yang akan terjadi di tahun-tahun mendatang. Teknologi pengintaian tengah berkembang luar biasa cepat, hingga apa yang sepuluh tahun lalu hanya tampak dalam fiksi-ilmiah saat ini terasa seperti berita usang. Sebagai eksperimen kecil, bayangkan jika pemerintah meminta setiap warganya mengenakan gelang biometrik yang dapat memonitor suhu tubuh dan tekanan darah pemakainya dalam 24 jam sehari. Data yang diperoleh dari teknologi tersebut kemudian ditimbun dan dianalisis dengan algoritma pemerintah. Dengan begitu, algoritma tersebut dapat mengetahui bahwa Anda sedang sakit bahkan sebelum Anda sendiri menyadarinya, termasuk dari mana saja Anda datang dan siapa saja yang Anda temui. Dengan begini, mata rantai penyebaran virus memang dapat ditekan sedemikian rupa, bahkan dihilangkan sama sekali. Ia juga sangat berpotensi menghentikan jangkauan epidemi ini hanya dalam hitungan hari. Terdengar menakjubkan, bukan?

Kelemahannya, tentu saja, sistem ini akan memunculkan legitimasi penggunaan sistem pengintaian yang mengerikan. Jika Anda mengetahui bahwa saya lebih suka membaca berita di FoxNews dibanding CNN, Anda hanya akan dapat menakar pandangan politik atau kepribadian saya. Namun jika Anda dapat memonitor perkembangan suhu tubuh, tekanan darah bahkan degup jantung saat saya menonton video klip tertentu, Anda akan mengetahui lebih jauh apa saja yang bisa membuat saya tertawa, menangis, bahkan marah.

Penting diingat bahwa kemarahan, kebahagiaan, kebosanan dan cinta merupakan fenomena biologis seperti halnya demam dan batuk. Teknologi yang dapat mengenali batuk juga dapat mengidentifikasi tawa. Jika perusahaan dan pemerintah mulai memanen data biometrik kita, mereka akan dapat mengenali kita lebih baik dari bagaimana kita mengenal diri sendiri. Lebih jauh, mereka tidak hanya akan dapat memperkirakan perasaan kita, akan tetapi juga memanipulasinya dan mengarahkan, misalnya, untuk membeli sesuatu yang mereka inginkan, baik dalam bentuk produk maupun pandangan politik. Sistem biometrik ini membuat taktik penyadapan data ala Cambridge Analytica tampak seperti sesuatu dari Zaman Batu. Bayangkan pada 2030, Korea Utara mewajibkan warganya mengenakan gelang biometrik selama 24 jam sehari. Jika Anda mendegar ceramah presiden dan gelang tersebut menangkap sinyal kemarahan, habislah Anda.

Tentu saja, Anda boleh menganggap bahwa pengintaian biometrik ini merupakan tindakan sementara selama masa darurat saja. Ia tidak akan lagi dipakai begitu masa sulit ini berakhir. Namun demikian, tindakan sementara semacam ini biasanya tetap dilakukan meski masa darurat berlalu, utamanya karena selalu ada kekhawatiran munculnya keadaan darurat lain di masa yang akan datang. Negara asal saya, Israel, mendeklarasikan keadaan darurat selama Perang Kemerdekaan pada 1948 dan karenanya membolehkan beberapa tindakan tertentu dalam masa-masa tersebut mulai dari sensor pers, pengambilalihan lahan hingga aturan khusus untuk membuat puding (saya tidak sedang bercanda). Hari ini, Perang Kemerdekaan telah lama dimenangkan, tetapi Israel tak pernah mendeklarasikan berakhirnya keadaan darurat dan gagal mencabut izin dan mengakhiri beberapa tindakan ‘sementara’ ala tahun 1948 tersebut (dekrit puding darurat dicabut pada 2011).

Bahkan ketika infeksi Virus Corona melandai hingga angka 0,  pemerintah yang kelaparan data dapat beralasan bahwa mereka harus tetap menjalankan sistem pengintaian biometrik karena khawatir akan datangnya Virus Corona jilid dua, atau Ebola versi baru di Afrika Tengah, atau alasan lainnya yang, Anda tahu sendiri maksudnya. Sebuah pertempuran besar untuk merongrong privasi kita tengah terjadi pada tahun-tahun belakangan dan Virus Corona seakan menjadi titik balik pertempuran tersebut. Ini utamanya karena ketika masyarakat disuguhi pilihan antara kesehatan dan privasi, mereka cenderung lebih mengutamakan kesehatan.

POLISI SABUN

Meminta masyarakat memilih antara privasi dan kesehatan sebenarnya merupakan akar masalah yang paling utama. Tak seharusnya dua pilihan tersebut diberikan. Kita harusnya bisa menikmati keduanya dalam waktu yang bersamaan. Kita bisa melindungi diri dan menghentikan virus Corona tanpa harus melegitimasi rezim dengan sistem pengintaian totaliter, tetapi dengan cara memberdayakan masyarakat. Di pekan-pekan terakhir, kita menyaksikan bagaimana Korea Selatan, Taiwan dan Singapura dengan menakjubkan berupaya mengenali virus ini. Meski menggunakan aplikasi pengintaian, negara-negara tersebut lebih mengandalkan uji coba ekstensif, pelaporan yang jujur dan kemauan untuk bekerjasama dalam rangka menyajikan informasi memadai bagi masyarakat.

Pengawasan terpusat dan penjatuhan sanksi bukanlah satu-satunya cara untuk membuat masyarakat mematuhi petunjuk keselamatan. Saat mereka diberitahu perihal fakta-fakta saintifik dan mempercayai apa yang disampaikan otoritas publik, mereka akan melakukan hal yang benar meski tanpa Big Brother menguntit pundak mereka. Populasi yang memiliki motivasi tinggi dan cukup menyerap informasi biasanya lebih kuat dan kooperatif dibanding mereka yang takut polisi namun sebenarnya bodoh.

Bayangkan, misalnya, praktik mencuci tangan dengan sabun. Ide ini merupakan salah satu capaian besar dalam diskursus higienitas manusia. Tindakan sederhana ini berhasil menyelamatkan jutaan nyawa tiap tahunnya. Padahal, baru pada abad ke-19 para ilmuwan mengetahui sesuatu yang kita terima begitu saja ini. Sebelumnya, para dokter dan perawat menjalani berbagai tahapan dalam operasi bedah tanpa mencuci tangan. Hari ini, milyaran orang secara rutin mencuci tangan dengan sabun bukan karena mereka takut akan polisi sabun, akan tetapi karena mereka mengetahui fakta sebenarnya; saya mencuci tangan dengan sabun karena saya pernah mendengar bahwa virus dan bakteri dapat menyebabkan penyakit dan sabun dapat membunuh organisme kecil tersebut.

Namun demikian, untuk mencapai level kepatuhan dan kerja sama demikian, Anda membutuhkan kepercayaan. Warga negara harus mempercayai ilmu pengetahuan, otoritas publik, juga media. Selama tahun-tahun belakangan, politisi yang tak bertanggung jawab telah dengan sengaja meruntuhkan kepercayaan publik terhadap ilmu pengetahuan, otoritas publik juga media. Dan saat ini, politisi-politisi jenis itu mungkin juga tergoda untuk memilih jalan otoritarianisme dengan dalih bahwa untuk melakukan hal yang benar, siapa pun tidak bisa begitu saja percaya pada publik.

Biasanya, kepercayaan yang sudah hilang tidak begitu saja dapat dibangun kembali dalam waktu satu malam. Akan tetapi, sekali lagi, sekarang bukanlah saat-saat normal. Di periode krisis saat ini, pikiran juga bisa berubah sangat cepat. Anda yang mengalami keretakan hubungan dengan saudara selama bertahun-tahun dapat seketika menemukan oase tersembunyi berisi kepercayaan dan harmoni sehingga ketika itu juga akan saling membantu tanpa berpikir panjang. Dibanding membangun rezim pengintaian, belum terlalu terlambat untuk kembali membangun kepercayaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan, otoritas publik dan media. Kita tentu dan pasti  akan menggunakan teknologi baru tersebut, namun ia harus bisa memberdayakan masyarakat. Saya sepenuhnya tidak keberatan jika suhu tubuh dan tekanan darah saya dipantau, namun data tersebut seharusnya tidak dipakai untuk membentuk pemerintah yang mutlak berdigdaya dalam konotasi yang negatif. Data tersebut seharusnya juga memungkinkan warga untuk lebih pandai memilih setiap keputusan yang diambil dan memungkinkan pemerintah lebih bertanggungjawab terhadap setiap kebijakannya. 

Jika saya dapat mengikuti perkembangankondisi medis saya 24 jam sehari, saya tentu tidak hanya dapat mengetahui apakah saya membahayakan kesehatan orang lain, tapi juga kebiasaan mana yang berpengaruh terhadap kesehatan saya. Selain itu, jika saya dapat mengakses dan menganalisis statistik penyebaran virus Corona yang bisa percaya, saya juga akan dapat menilai apakah pemerintah benar-benar memberikan informasi yang akurat dan apakah mereka telah mengambil langkah tepat dalam memerangi epidemi tersebut. Kapan pun diskusi soal sistem pengintaian ini digelar, perlu diingat bahwa teknologi yang sama tidak hanya dapat digunakan pemerintah untuk mengawasi rakyat, tetapi juga sebaliknya, digunakan rakyat untuk mengawasi pemerintah.

Dari situ, Virus Corona sebenarnya merupakan ujian besar bagi kewarganegaraan kita. Di hari-hari mendatang, masing-masing kita harus lebih percaya pada data ilmiah dan ahli kesehatan dibanding teori konspirasi yang tidak jelas ataupun politisi yang mementingkan dirinya sendiri. Jika kita gagal menentukan pilihan yang tepat, kita mungkin akan dengan sukarela menyerahkan kemerdekaan kita yang paling berharga, berpikir bahwa sistem pengintaian totaliter adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan kesehatan kita.

KITA MEMBUTUHKAN RENCANA GLOBAL

Pilihan penting kedua yang kita hadapi adalah antara isolasi nasionalis dan solidaritas global. Baik penyakit maupun krisis ekonomi yang ditimbulkan Virus Corona sama-sama merupakan masalah global. Keduanya bisa diselesaikan secara efektif hanya dengan kerjasama global.

Yang pertama dan terutama, untuk dapat melawan virus ini, kita harus berbagi informasi secara global. Inilah kelebihan utama manusia dibanding virus. Virus Corona di Tiongkok dan di Amerika Serikat tidak dapat bertukar tips bagaimana caramenyerang manusia. Akan tetapi, Tiongkok dapat memberi pelajaran-pelajaran berharga kepada Amerika Serikat seputar virus ini dan bagaimana menjinakkannya. Apa yang ditemukan seorang dokter di Italia pada pagi hari sangat mungkin dapat menyelamatkan nyawa pasien di Tehran pada malam harinya. Saat pemerintah Inggris ragu akan mengambil kebijakan yang mana, nasihat dari Korea yang sudah pernah mengalami dilema ini beberapa bulan sebelumnya layak dipertimbangkan. Namun untuk memungkinkan ini semua terjadi, kita memerlukan spirit kerjasama dan kepercayaan global.

Negara-negara seluruh dunia harus mau saling berbagi informasi secara terbuka dan meminta nasihat dengan rendah hati serta mempercayai data serta informasi yang mereka terima. Lain dari itu, kita juga membutuhkan sebuah upaya global untuk menciptakan dan menyalurkan alat-alat medis, utamanya alat uji dan alat bantu pernapasan. Daripada harus melakukannya sendiri-sendiri di tiap negara dan menimbun peralatan apa pun yang bisa didapatkan, upaya global yang terpadu dapat dengan menakjubkan mempercepat proses produksi dan distribusi alat medis secara merata. Seperti halnya tindakan negara-negara yang menasionalisasi industri-industri penting selama masa perang, perang melawan Corona mungkin mengharuskan kita ‘memanusiakan’ produksi barang-barang krusial. Negara kaya dengan kasus Corona yang sedikit harus mau mengirim peralatan medisnya untuk membantu negara miskin yang kasus Corona-nya lebih banyak  sembari meyakini bahwa jika tiba gilirannya ia membutuhkan bantuan, negara lain juga akan datang membantu.

Kita juga mungkin berpikir soal usaha global untuk menyatukan para awak medis seluruh dunia.  Negara yang sedikit terdampak dapat mengirim staf medisnya ke negara lain yang lebih banyak terdampak, baik untuk memberi bantuan yang dibutuhkan maupun menimba pengalaman berharga. Jika keadaannya berbalik, arus bantuan juga akan berubah arah.

Kerjasama global juga sangat dibutuhkan dalam sektor ekonomi. Berdasarkan watak dasar ekonomi dan mata rantai persediaan barang, jika masing-masing negara hanya memikirkan kepentingan rakyatnya dan mengabaikan rakyat di negara lain, yang akan terjadi selanjutnya adalah kekacauan dan krisis yang semakin memburuk. Kita membutuhkan sebuah tindakan global yang terencana, dan kita harus segera melakukannya.

Hal lain yang juga dibutuhkan adalah membuat kesepakatan global soal perjalanan antarnegara. Melarang perjalanan internasional selama beberapa bulan akan menimbulkan derita luar biasa dan justru menghambat perang melawan Corona. Negara-negara harus bekerjasama untuk membolehkan segelintir pelancong penting bepergian antarnegara seperti ilmuwan, dokter, wartawan, politisi dan pebisnis. Ini dapat dilakukan dengan merancang kesepakatan global dan memberlakukan protolol penyaringan (screening) bagi para pelancong di negara asalnya. Begitu Anda mengetahui tahu bahwa hanya pelancong yang telah melewati protokol tersebutlah yang dibolehkan masuk pesawat, Anda tentu akan lebih welcome menerima pelancong tersebut di negara Anda.

Sayangnya saat ini, negara mana pun sangat sulit melakukan hal-hal tersebut. Sederet kelumpuhan telah nyata menyerang komunitas internasional. Seperti tidak ada satu pun 
orang dewasa di kamar sempit bernama bumi. Orang-orang hanya bisa berharap kosong perihal pertemuan para pemimpin tertinggi dunia untuk membahas rencana tindakan global. Sementara itu, para pimpinan G7 yang berencana menyelenggarakan pertemuan daring pekan ini tak jadi melakukan apa-apa.

Dalam krisis global sebelumnya—semisal pada krisis finansial 2008 dan epidemi Ebola 2014—Amerika Serikat mendaulat dirinya sebagai pimpinan dunia global. Akan tetapi, tata laksana Amerika terbaru telah melepaskan tahta pemimpin tertinggi tersebut. Sangat jelas bahwa dalam konteks ini, Amerika Serikat jauh lebih peduli pada kejayaan negaranya dibanding masa depan kemanusiaan.

Tata laksana tersebut bahkan telah memutus ikatan dengan sekutu-sekutu terdekat. Pelarangan semua perjalanan dari Eropa ke Amerika Serikat menandakan keengganannya untuk berembuk dengan Uni Eropa perihal tindakan tegas yang akan diambil. Apalagi, Amerika Serikat juga menyinggung Jerman dengan menawar vaksin Covid 19 terbaru di sebuah perusahaan farmasinya seharga 1 milyar dolar. Meski kemudian akhirnya tata laksana ini dicabut dan diganti dengan rencana tindakan yang sifatnya global, segelintir warga Amerika Serikat tetap mengikuti pemipin mereka yang tak pernah bertanggung jawab, tidak mau mengakui kesalahan dan gemar memuji diri sendiri serta menyalahkan orang lain. 

Jika kekosongan posisi yang ditinggalkan Amerika Serikat tidak jua diisi oleh negara-negara lain, epidemi ini tidak hanya akan sangat sulit dihentikan, akan tetapi  juga meninggalkan ‘warisan’ yang akan terus meracuni hubungan internasional di tahun-tahun mendatang. Namun demikian, setiap krisis sebenarnya merupakan kesempatan. Kita semua layak dan harus berharap bahwa epidemi ini akan membantu umat manusia memahami perihal bahaya perpecahan global yang tidak main-main.

Kemanusiaan harus membuat pilihan. Kita akan menempuh jalan menuju perpecahan, atau kita akan meniti jalan menuju solidaritas global? Jika kita memilih perpecahan, ia tak hanya akan memperpanjang krisis, namun sangat mungkin menciptakan bencana yang lebih besar di masa mendatang. Sebaliknya jika kita memilih solidaritas global, ia tak hanya akan mengantarkan kita pada kemenangan melawan Virus Corona, tetapi juga terhadap berbagai epidemi dan krisis lain yang mungkin menyerang manusia di abad 21.


MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.