Beberapa hari lalu desa kami dihebohkan dengan meledaknya material petasan di jok sepeda motor salah seorang warga. Karena tengah melaju, ledakan merembet ke motor lain yang ketika itu berpapasan. Tak sampai di situ saja, kobaran api juga melalap sebagian kecil bangunan di sisi jalan. Satu nyawa melayang dan beberapa lain luka-luka.

Tragedi di penghujung Ramadhan tersebut menyisakan duka mendalam tak hanya bagi keluarga korban, akan tetapi juga masyarakat umum. Betapa tidak, suasana bahagia menyambut kedatangan Idul Fitri seketika berubah menjadi ketakutan mencekam.

***

Lepas dari berbagai spekulasi perihal penyebab pasti kejadian, peristiwa tersebut sebenarnya menyiratkan perlunya perenungan ulang terhadap tradisi-tradisi Ramadhan yang terlanjur melekat dan nyaris iconic dalam masyarakat kita.

Ini menjadi penting sebab selain menjadi ikon, beberapa tradisi tertentu juga ironis karena justru menghadirkan nilai yang berseberangan dengan keluhuran Ramadhan. Hal tersebut sedikitnya dapat dilihat dari beberapa ilustrasi kecil berikut;

Pertama, dipasangnya target yang tidak proporsional pun tak realistis. Ramadhan adalah ‘bulan diskon’ sehingga ritual ibadah di dalamnya dipercaya bernilai lebih dibanding bulan-bulan lain. Karenanya, dalam beberapa ibadah tertentu, lazim ditetapkan target yang tak jarang mekso dan tanpa disadari justru ‘mengganggu’ esensi Ramadhan.

Shalat Tarawih super cepat dengan gerakan banter dan thuma’ninah yang banyak terlewatkan, misalnya, berseberangan dengan arti kata tarawih yang seakar dengan makna rehat atau istirahat. Sementara itu, tadarus dengan kecepatan tinggi juga demikian berbeda dengan kebiasaan Rasulullah me-nakrir Al-Qur’an di hadapan Jilbril yang dilakukan begitu pelan dan teliti demi memastikan otentisitas kitab pamungkas tersebut.

Selain ritual yang kemudian menjadi nyaris tanpa esensi, target yang demikian juga cenderung membuat energi selama Ramadhan habis di hari-hari pertama, seperti halnya lari sprint. Padahal, Ramadhan tak ubahnya lari marathon yang mengharuskan terjaganya ketahanan dan stamina pelari di setiap tahapan, utamanya di lap-lap akhir menjelang garis finish.

Kedua, digelarnya kemeriahan yang dalam beberapa hal salah sasaran. Selain kebiasaan menyalakan petasan yang tak hanya memekakkan telinga akan tetapi juga mengancam jiwa, berbagai daerah masih tak lepas dari tong-tong. Dalam tradisi ini, beberapa orang berkeliling kampung dengan iringan musik—umumnya tradisional—dan kadang kala dilengkapi dengan suara petasan.

Awalnya, tradisi ini dimaksudkan untuk membangunkan warga agar tak ketinggalan sahur, akan tetapi berbagai ‘inovasi’ belakangan justru menjadikannya beralih fungsi. Waktu operasional sejak sekitar jam 12 malam, utamanya, membuat tradisi ini berubah menjadi pengganggu jam istirahat malam dan musuh bebuyutan ibu-ibu yang memiliki bayi.

Tak sampai di situ, kemeriahan tersebut akan mencapai titik kulminasinya pada malam takbiran, yakni malam sebelum Hari Raya. Sebagian warga biasanya datang berbondong ke pusat kota mengendarai mobil pick-up dengan suara musik keras dari sound system besar yang terdengar sepanjang jalan. Ramadhan dan Idul Fitri kemudian menjadi semacam ajang hura-hura yang terlihat legal secara adat maupun agama.

Ketiga adalah melonjaknya skala konsumsi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pada Bulan Ramadhan, permintaan barang di pasar bukannya menurun, akan tetapi justru melonjak drastis. Ini lebih dari cukup mengindikasikan bahwa pola konsumsi masyarakat dengan ‘jadwal makan’ ala Ramadhan bukannya semakin efisien, akan tetapi justru sebaliknya.

Ritual puasa yang disebut-sebut dapat menumbuhkan empati kepada mereka yang kurang beruntung juga nyaris menjadi wacana belaka ketika agenda buka puasa lebih bernuansa ‘balas dendam’ dan gaya-gayaan. Menu spesial, porsi jumbo, restoran mahal, gaya hidup borjuis dan jadwal yang kebablasan menjadikan momen tersebut nyaris sebagai acara makan besar dan atau ‘kumpul-kumpul’ semata.

Sementara itu, lonjakan konsumsi akan terus berlanjut menjelang Idul Fitri. Ini dimulai dari belanja busana dan kebutuhan sandang lain, suguhan dan konsumsi Hari Raya, perbaikan bagian-bagian rumah, pembaharuan perabot, hingga tiket perjalanan dan jatah angpao atau parsel untuk keluarga maupun sahabat.

Di satu sisi, tentu tidak ada problem dengan momentum dan berbagai tradisi ‘konsumtif’ tersebut di atas. Apalagi, hari-hari terakhir Ramadhan hingga Hari Raya merupakan momentum yang banyak dipilih untuk menunaikan berbagai varian zakat dan sedekah. Hanya saja tak jarang, konsentrasi akan hal-hal tersebut mengalahkan skala prioritas pada hal-hal lain yang lebih esensial.

***

Lepas dari perlunya perenungan ulang terhadap tiga hal tersebut, bagi sebagian orang, berbagai hal di atas justru menjadi momentum nostalgik yang begitu dirindukan. Apalagi, Ramadhan dan Idul Fitri adalah milik semua orang. Muslim maupun non-Muslim, lelaki dan perempuan, anak kecil hingga orang tua, mereka yang suka mokel ataupun yang sregep mengejar laylatul qadar, semua terkena ‘barakah’ momentum ini.

Karena itu, tak berlebihan kiranya jika tradisi-tradisi tersebut direnungkan ulang untuk dimodifikasi sedemikian rupa demi ikhtiar melestarikan budaya tanpa mengabaikan esensi-esensi relijius di dalamnya. Dan untuk itu, penghujung Ramadhan ini adalah momentum tepat untuk melakukan perenungan tersebut sembari berharap masih berkesempatan menjumpainya di tahun-tahun mendatang.

Gambar: http://www.ubaya.ac.id/2014/content/articles_detail/215/Ramadhan-dan-Lebaran-Bukan-Sama-Dengan-Petasan.html



Another version with a very few change is available at; https://radar.jawapos.com/radarmadura/read/2018/06/22/82369/tradisi-ikonik-nan-ironis-di-bulan-diskon

Sejak bulan-bulan pertama kehamilan, yang paling sering dan paling nemen tak minta pada Tuhan adalah agar bisa lahiran alami dan mengASI hingga dua tahun. Namanya aja permintaan, ya pasti minta yang diinginin. Meski begitu, ini tak berarti aku nyinyir apalagi underestimate pada ibu-ibu yang lahiran sesar atau yang tak mengASI baik karena pilihan sendiri atau sebab lain. Lewat jalan apapun, melahirkan tetap melahirkan. Mau lewat ASI, sufor atau sumber nutrisi lain, cinta kasih seorang ibu tetap tak tertukar dan ternilai dengan ukuran apapun.

Setelah melewati drama persalinan alami dengan segala adegannya, tibalah saatnya berjuang untuk mengASI. Hari-hari pertama Rauhia lahir ke dunia cukup hard dan sad karena aku belum bisa adaptasi betul dengan segala hal yang serba baru. ASIpun belum lancar sehingga untuk satu-dua hari, Rauhia masih harus mik sufor dari botol kecil bermerk H*ki yang dibeli beberapa jam setelah dia menangis untuk kali pertama .

Sufor yang ia cicipi adalah ‘hadiah’ dari Polindes tempat persalinanku. Merknya Lov*tona, kemasannya biru. Selain sufor, Rauhia juga dikasih mik air gula, katanya untuk mencegah penyakit kuning. Ketika tahu ini, aku diam ga ngomong apa-apa karena masih berusaha mencaritahu hubungannya penyakit kuning dengan gula. Duh orang tua aja harus ngurangi makan gula, ini kenapa bayi umur sehari uda dikasih gula? Begitu aku nggrundel dalam hati.

FYI, berbekal sharing pengalaman dari seorang teman, aku sudah melakukan treatment khusus untuk memperlancar ASI sejak kehamilan. Tapi, yang namanya newbie unyu dan nyaris no idea tentang how the wonder works mulai dari proses kehamilan, persalinan hingga mengASI, aku sempat pesimis juga bisa mengASI. Yang kuderita adalah pesimis tanpa sebab alias merasa khawatir tanpa alasan atau indikasi medis yang jelas.

Alhamdulillah, lagi dan lagi, keinginan itu terkabul. Ini terjadi, kalau tidak salah, pada hari ketiga lahiran setelah adegan Inisiasi Menyusui Dini di ranjang Polindes serta beberapa episode, sebut saja, habituasi antara kulitku dan kulit si bayi melalui adegan yang kalau diingat sekarang, rasanya awkward banget. Sebelum ASIku lancar, kami tetap dijadwalkan kontak kulit sesering mungkin untuk menstimulasi ASI serta membiasakan mulut si bayi mengenal ‘tangki nutrisi terbaiknya’.

Lancarnya ASIku bermula dari kunjungan salah seorang saudara yang piawai meracik jamu tradisional. Beliau adalah saudara mbah dan sudah berusia lanjut namun luar biasa enerjik, termasuk untuk meracik jamu. Yakin dengan khasiat, kualitas bahan dan proses pembuatan, aku teguk itu jamu—yang umum disebut bejjha—tanpa mikir macam-macam. Rasanya juga tidak pahit sehingga nyaris tak ada masalah. Beberapa jam kemudian, reaksinya kerasa meski taunya baru lewat gelagat si bayi yang ketika nempel di kulitku, tiba-tiba anteng dengan gerakan mulut seolah tengah menyedot sesuatu.

Selain melalui responnya, aku pribadi awalnya tidak merasakan sensasi yang berbeda. Rasanya sama saja. Beberapa saudara perempuan yang mendampingiku meyakinkan bahwa ASIku sudah keluar dan mulai lancar. Lama-lama, aku baru merasakan efeknya. Ketika si bayi menempel di bagian kanan, maka bagian kiri akan terasa sakit karena mengeluarkan ASI juga, meski tidak sedang di-mik. Ok itu rule #1.

Rule#2, karena ketika itu Rauhia masih sangat amat kecil dan so baby, infant gitu, aku hanya bisa menyusuinya dalam keadaan duduk. Tentu ini tidak menjadi masalah di jam-jam normal ketika pagi, siang, sore atau malam jika belum larut. Namun ketika ia masih jetlag dan menyesuaikan zona waktu di perut dan zona waktu di bumi, ia sering bangun tengah malam.
Di saat inilah, aku yang secara naluriah harus menyusuinya dilarang ngantuk betapapun capek dan lelahnya sebab jika itu terjadi dan keseimbanganku hilang, hal buruk akan terjadi. Untunglah, ini tak berlangsung lama sebab entah sejak bulan keberapa, aku sudah bisa mengASI sambil berbaring sehingga bisa ikutan tidur dan tidak harus begadang sesering dahulu.

***

Drama mengASI menemukan episode baru ketika aku harus kembali bekerja meski ketika itu belum tiap hari. Di saat itulah, aku harus melakukan apa yang namanya pumping alias memerah ASI untuk dikonsumsi Rauhia selama aku tidak di rumah. Sebelumnya, aku sudah latihan memerah ASI jika akan membawa Rauhia bepergian agar selama di jalan, dia bisa mik pakai botol. Selain agar segalanya praktis dan ‘tangki’ ga perlu dibuka di sembarang tempat, ini juga dilakukan untuk membiasakannya mik dari botol karena aku harus kembali bekerja.

Awalnya semua berjalan lancar meski aku sempat merasa sedikit kewalahan dengan tugas tambahan mencuci peralatan pumping dan bottling dengan alat dan bahan khusus. Namun semua kulakuan demi cita-cita memberinya ASI eksklusif hingga enam bulan. Jika tak ingat-ingat sekarang, sebenarnya perjuangan memberi ASI eks hingga 6 bulan lebih berat dalam hal membalas komentar-komentar ga asik yang menuduhku terlalu ‘bidan sentris’ karena terobsesi dengan ASI eks 6 bulan.

Tentu saja aku tidak perlu menceritakannya lebih detail di sini. Sebagian masuk hati sebagian lagi keluar lewat jalan mana saja. I said to myself that I am protected already. Aku kebal dengan komentar apapun demi cita-cita ASI eks enam bulan. Yang ada di pikiranku sebenarnya sederhana. Jika aku masih kuat mengASI, kenapa harus dikasih nutrisi lain? Jika periksa kehamilan dan lahiran ke bidan, kenapa harus ngeyel dari program ASI eks 6 bulan yang bukan fatwa pribadi si bidan, melainkan sudah jadi program pemerintah? Ada UUnya pula.

Jadilah aku mengupayakan banyak hal agar bisa ASI eks 6 bulan meski harus bertabrakan dengan beberapa hal. Kadang repot juga ketika terlalu banyak orang yang peduli dengan cara memberi saran. Ketika sarannya ga dijalankan, malah sakit hati. Dianggap ga menghargai, sok tau dibanding yang berpengalaman atau ngeyel sama yang lebih tua. Iya kalau sarannya sama. Lha kalau berbeda? Yang mana yang akan tak ambil? Karena itu aku bikin aturan sendiri bahwa saran yang akan tak ambil adalah saran professional aka bidan dan nakes lain. Saran di luar professional cukup disodakohin pake senyum.

Tapi bytheway, yang namanya ibu, betapapun baru dan unyunya kaya aku, tetap aja merasa bahwa tak ada yang sebaik dirinya dalam memperlakukan si bayi. Ketika aku tak di rumah, tetap aja ada kekhawatiran jika si bayi tiba-tiba dikasih nutrisi lain selain ASI perah yang sudah kusiapkan berhari-hari sebelum hari H. Tak peduli yang jaga adalah ibuku, ibu mertua, bahkan suami sendiri, kekhawatiran itu tetap tak hilang. Siapapun bisa cooperative hanya di depan mata. Saat itulah, ketika sadar dengan ketakberdayaan dan keterbatasanku, larinya kembali ke doa agar semesta mendukung program ASI eks hingga 6 bulan. Aku yakin Tuhan melihat usahaku dan emoh menyia-nyiakannya.

***

Belum genap 6 bulan, Rauhia harus kutinggalkan kurang lebih 24 jam untuk test CAT dalam rangkaian test CPNS ke Surabaya. Sebelum hari H, aku mengumpulkan ASI perah lebih giat dari biasanya karena itu adalah momen pertama kali aku berpisah darinya dalam durasi yang sepanjang itu. Alhamdulillah semua lancar, ASIP-nya nyaris habis dan meski dia harus menjalani adegan minum air tajin tanpa instruksi—dan tentunya izin—ku, kebahagiaan bertemu kembali dengannya memadamkan kekecewaan itu.

Setelah itu, sebelum aku pindah kerja, aku sempat libur lama sehingga Rauhia ‘lupa’ dengan botolnya dan hanya mau ngASI langsung dari aku. Akibatnya setelah liburan berakhir dan aku harus mengurusi kepindahan ke tempat baru, aku kewalahan karena harus kembali mengandalkan ASIP, sementara dia sudah terlanjur emoh mbotol. Ini sempat membuatku frustrasi setelah beberapa cara seperti pakai botol lain dan melubangi karet botol mental ga berfungsi.

Ketika itu ia sudah mulai MPASI, sehingga seharusnya hal ini tidak terlalu mengkhawatirkan. Tapi, dari nomenklaturnya saja, program ekskslusif buah 15 hari kemudian 4 bintang itu sifatnya hanya PEMBANTU, yang utama tetap ASI. Idealnya adalah Rauhia tetap mau mik ASIP selagi aku bekerja sehingga dia tak kekurangan nutrisi dan aku bisa feel ok—kalaupun tidak bisa sepenuhnya—di tempat kerja.

Dengan segala cara dan beberapa trial and error, akhirnya Rauhia mau kembali mik ASI perah dengan bantuan sendok. Ini tentu kurang efektif karena mengharuskan bantuan orang lain dalam waktu dan intensitas yang tinggi. Sementara itu, jadwal ngantor di tempat baru lebih padat dari sebelumnya, yakni lima hari sepekan dari jam 07.30 hingga 16.00.

Nyaris tak ada jalan, akhirnya aku membiasakan diri untuk pulang saat jam istirahat demi ngASI. Senyuman dan ekspresi Rauhia saat mendapatiku datang juga tak terkatakan bagaimana menggembirakannya. Panas hujan tak jadi masalah sebelum akhirnya aku bengek dan harus menggunakan kartu BPJSku untuk bertemu dokter. Kesimpulannya aku terlalu banyak makan angin. Barangkali ada benarnya juga. Jarak tempuh rumah ke kampus adalah 30 menit. Jika dalam sehari aku bolak-balik 2 kali, maka ada waktu 2 jam aku membiarkan tubuhku meet and greet dengan angin jalanan.

Seperti sudah di¬-setting, setelah kejadian bengek itu, Rauhia mulai mau mik ASIP dengan botol baru yang kubeli belakangan. Alternatif botol dengan sedotan yang kubeli bersamaan digunakan untuk dia mik air, sehingga dua-duanya berfungsi. Ini sekaligus jadi media yang tepat untuk memastikan dia terhidrasi cukup dan penyaluran hobinya mik banyak, persis seperti romo-nya. Masalah selesai dan terurai. Aku tidak perlu pulang ke rumah setiap jam istirahat kecuali pada Hari Jumat atau ketika ada keperluan lain.

***
Episode selanjutnya terjadi ketika rilis pengumuman Prajab atau, istilah barunya, Latsar. Aku harus belajar di luar kota selama 33 hari dan keberlanjutan ASI terancam. Did I need to take a part with her? She could be ok but I am totally no. Big no! Aku ngotot aku harus membawa Rauhia serta demi program ASI dua tahun dan yang juga penting, demi ketenangan batinku. Jauh darinya benar-benar tak terbayangkan. Sayangnya, tak sedikit yang mementahkan ke-ngotot-anku dan justru menyarankanku untuk menyapihnya.

Sakit rasanya hatiku, apalagi itu datang tak hanya dari satu dua orang, dari kalangan orang terdekat pula. Namun, barangkali komentar mereka memang beralasan sebab ketika itu, aku tak jua menemukan rewang untuk membantuku mengurus Rauhia. Tentu tidak mungkin aku membawa serta Rauhia ke sana sebab aku tak akan leyeh-leyeh selama lima pekan itu. Jadilah aku frustrasi berat dan setiap ngomongin ini, aku biasanya akan brambang tak peduli di depan orang yang baru kukenal.

Keajaiban kembali terjadi ketika H minus 4, aku menemukan rewang. Jadilah pagi, 30 April kemarin, dengan bawaan seperti orang mau pindah rumah, kami bertiga plus rombongan berangkat menuju BDK Surabaya sambil ketar-ketir takut telat pendaftaran dan pembukaan dan ternyata emang telat. Proses berjalan rasanya seperti di sinetron. Terasa dunia ini sempit, segala-galanya mudah dan semua urusan lancar. Meski harus menjadi korban kesalahan komunikasi dan ada adegan pengusiran Rauhia dan rewang dari Kamar E9 BDK, mereka berdua akhirnya tinggal di kos—atau semacam homestay—di seberang BDK, nganan dikit. Tempat yang cukup layak buat anak kecil yang belum genap berumur setahun dan tidak suka dengan panasnya Surabaya sehingga untuk menjaminnya nyenyak tidur, dibutuhkan alat Doraemon bernama Air Conditioner.

Dengan jarak tempuh sekian ratus puluh langkah dari kamarku di BDK ke kosnya, aku mengunjungi Rauhia sedikitnya lima kali sehari. Program ASI lancar jaya sebab intensitasku dengannya bahkan lebih tinggi dibanding pas hari kerja aku di rumah. Otomatis, dia kembali emoh botol dan hanya mau nempel sama kulit mama. Padahal, aku sudah menyiapkan alat perang cukup banyak untuk sesi pumping kali itu, termasuk cooling bag, ice gel dan botol tambahan pinjaman serta bottle sterilizer yang baru aku tau cara pemakaiannya. Meski kecewa, aku tetap bahagia karena merasa Tuhan mempermudah jalanku dan mengamini usahaku yang meski tak maksimal, kadang harus dibumbui tetesan air mata. Apalagi, Rauhia juga semakin dinamis mengASI tidak hanya dengan posisi tidur dan duduk, akan tetapi juga berdiri sambil berjalan ke sana ke mari dengan satu atau dua tangan sibuk melakukan sesuatu.

***

Dan setelah semua itu, Rauhia hari ini, jika ada iklan SGM lewat dengan lagu ‘kalau Kau anak SGM tunjuk tangan’, dia akan acungkan tangannya dengan memasang ekspresi wajah selucu mungkin. Aku sudah memberitahunya bahwa 'dia bukan anak SGM', tapi dia tak peduli. Baiklah, Nak, asal Kau bahagia dan sehat ya. :)

Terbiasa hidup di (pinggiran) kota kecil dan berbagai kesederhanaannya mau tak mau memberi cultural shock tersendiri ketika harus berpindah ke kota metropolis dalam waktu yang relatif tak sebentar. Hari-hari pertama di Surabaya penuh dengan proses adaptasi yang terbilang sulit, termasuk bagi Rauhia. Ia yang ketika itu belum genap setahun harus pindah ke lingkungan yang sama sekali baru, berinteraksi dengan wajah-wajah asing dan seakan memasuki timezone yang berbeda.

Untungnya, tak sampai sepekan, Rauhia menunjukkan perkembangan menggembirakan. Ia mulai terbiasa tidur tanpaku, mandi tidak bersamaku, makan, bermain dan menghabiskan waktu bersama rewang serta membiarkanku berangkat tanpa drama tangisan atau jeritan yang menggema ke mana-mana. Tentu ini terjadi setelah rentetan adegan dan drama perpindahan kamar yang bukan hanya baperable, tapi juga insecurable. Saat aku mulai pasrah, nerima dan berangsur tenang, seperti kata orang-orang, Rauhia mulai kooperatif.

Aku sendiri yang seringkali tiba-tiba merasa kembali ke jaman kuliah—meski ada beberapa scene dan peran yang sama sekali baru—juga tak lepas dari gejala itu. Ini misalnya terjadi ketika berburu kebutuhan harian. Seperti kebanyakan perempuan, aku gemar berbelanja di tempat yang murah dan lengkap demi efisiensi dan efektivitas. Beda harga lima ratus rupiah aja bisa jadi bahan pertimbangan untuk memilih toko ini dan bukan toko itu.

Nah di Surabaya, dua-tiga mingguan terakhir ini, aku yang terbiasa memerhatikan price tag atau struck belanja dengan seksama harus calm down dan legowo ketika tinggal di antara himpitan Indoma*t di kanan dan Alfama*t di kiri. Selain dua toko waralaba yang masyaAllah masif betul ekspansinya itu, ada dua penyedia kelontong yang bisa jadi alternatif. Satu di depan gerbang balai dan satu lagi koperasi di area balai. Sayangnya, dua yang kusebut terakhir ini tidak menyediakan barang selengkap di Basm*lah, toko bi Yuk atau nom Slihe. Otomatis, dua mart itu menjadi satu-satunya pilihan yang available.

***

Jadilah aku (sedikit) kerepotan. Untuk membeli popok yang biasa Rauhia pakai saja, aku harus memesan ke koperasi (ketika akan kulakan barang) dan ternyata tidak dapat. Menurut penjaganya, supplier tidak menjual popok dengan kemasan biru bergambar bayi anjing itu. Aku belum menyerah dan masih berusaha mendapatkan popok Flu*fy itu ketika izin pesiar ke rumah omku di Gerungan, Sidoarjo. Alih-alih menemukan yang kucari, dua penjaga toko kelontong—di area perumahan—yang aku kunjungi malah mengaku belum pernah mendengar merk popok itu. Oh tuhan. Untuk urusan popok sekali pakai ini, oke-lah aku berlindung kepada promo di dua mart itu.

Sekali waktu yang lain, aku merasa alarm tubuhku mulai berbunyi setalah adegan kehujanan tengah malam ketika Rauhia rewel dan hanya bisa diam setelah melihatku. Ketika sudah begitu, imunku perlu diperkuat dan satu-satunya pilihan yang mungkin adalah y*ci1000, suplemen vitamin C berkaleng beling yang memiliki dua varian rasa. Terakhir kali membeli di toko kelontong tetangga beberapa waktu yang lalu, harganya masih 6k. Ketika kucek di kulkas salah satu mart itu, harganya sedikit lebih tinggi karena masuk dalam salah satu list barang yang sedang didiskon. Nah, didiskon aja masih lebih mahal dari harga pasaran.

***
Lain aku, lain pula ibuku. Ibuku cukup senang berbelanja dia salah satu mart tersebut dengan iming-iming promonya. Kebetulan, 2 kilometer-an dari rumah, ada salah satu mart yang beroperasi dan berseberangan persis dengan swalayan murah meriah milik salah satu pesantren salaf di Pasuruan. Hampir tiap akhir pekan, ia memanfaatkan networking-nya untuk mengetahui apa saja barang yang tengah didiskon harganya. Jika tidak demikian, maka ibuku akan dengan sengaja menyempatkan mampir ke situ untuk mengecek barang apa saja yang tengah promo.

Barang-barang yang dibeli ibuku cukup beragam, mulai dari perlengkapan rumah tangga seperti sabun cuci piring, deterjen dan amunisi lain di kamar mandi hingga tissue dan makanan ringan. Harganya memang sering di bawah harga pasar, tapi ya itu, harus nunggu promo. Biasanya, ibuku membeli barang-barang tersebut untuk nyetok alias tidak tengah butuh ketika membelinya. Barang yang ia beli biasanya akan ngetem lama sebelum dipakai atau dijual kembali ke pembeli terakhir. 

Sementara itu, aku—bisa dibilang—hanya akan mampir ke situ jika tengah kepepet tidak menemukan swalayan lain atau toko kelontong tradisional. Bagaimana tidak, ia ada di mana-mana dan sering juga satu atap dengan mesin ATM. Jadi sekalian ambil uang, sekalian belanja. Seringnya aku mampir ketika perut lapar dan harus diganjel dengan Sa*i Roti dalam perjalanan pulang dari kampus ke rumah. Jika sudah begitu, perasaan malas menanggapi sapaan default dari kasir dan pramuniaga biasanya tak terhindarkan.

Dari pengamatan gaya belanja ibuku, teman-teman, orang yang tak jumpai ketika kunjungan ke dua mart itu, termasuk aku sendiri, aku melihat gejala yang sama: Konsumen seringkali lebih memertimbangkan potongan harga aka diskon dibanding mendesak tidaknya sebuah kebutuhan. Pilihan mengejar diskon jadi lebih diprioritaskan dibanding pertimbangan urgen tidaknya membeli barang tertentu. Dan yang juga kurasa, harga setelah diskon terasa beneran murah meski belum mengecek harga normal di pasaran.

Apalagi, taktik marketing dua mart tersebut seringkali benar-benar melenakan, seperti sistem kuantitas barang dan jumlah transaksi. Kalau beli dua atau tiga barang yang sama, maka diskon baru berlaku. Konsumen jadi ‘terpaksa’ membeli dua pcs padahal kebutuhannya cuma satu. Ini kualami biasanya ketika membeli minuman. Yang masih tak inget adalah ketika membeli susu Beruang di Alfama*t Ganding, Minute Maid Pulpy di perjalanan menuju Solo bersama Ayis Mukholik dan (lagi-lagi) Yuc* 1000 di Indoma*t sebelah.

Jika tidak demikian, maka diskon hanya berlaku di atas jumlah transaksi tertentu sehingga barang yang sebenarnya tak ingin dibeli jadi dicomot. Semua demi mengejar diskon. Kebutuhan yang sebenarnya dan rencana dari rumah buyar seketika saat sampai di tempat yang memanjakan konsumen dengan berbagai fasilitas itu sehingga mereka seolah memiliki pengalaman berbelanja yang menyenangkan dan melupakan banyak hal termasuk itung-itungan harga yang meski kacek-nya sedikit, tetap bisa menjadi bukit. Buaian fasilitas semacam itu juga sangat mungkin membuat pengunjung tiba-tiba merasa butuh--atau ingin--membeli barang karena tampilan yang menarik dan seolah-olah harus dibeli saat itu.

***

Mumpung diskon atau mumpung lagi di TKP adalah alasan yang suka terngiang di kepala ketika berkunjung ke situ. Ini juga kualami ketika membeli popok Rauhia dan beras untuk konsumsi harian di kos. Bertiga dengan Rauhia dan rewang, aku berkunjung ke situ dengan niat mengejar popok harga diskon. Sesampainya di situ dan memastikan bahwa popok yang diincar masih tersedia di area khusus diskon, aku yang niatnya tidak ingin membeli beras jadi teringat bahwa persediaan beras sudah menipis sehingga berpikir tak ada salahnya sekalian beli di situ, biar tidak bolak-balik dan ribet ngurus perizinan lagi. Niat itu juga diperkuat dengan adanya beras yang tengah masuk list promo.

Jadilah demikian. Dari kunjungan itu aku juga baru mengerti—setelah diwarai mbak rewang—bahwa label harga atau price tag untuk barang yang didiskon berbeda warna dengan barang dengan harga normal. Jadi, selain memerhatikan umbul-umbul di beranda depan, brosur daftar diskon atau di plang-plang kecil di area barang diskon, warna dalam label harga juga bisa diperhatikan. Setidaknya, jika kasir tidak menghitungnya diskon, konsumen bisa complain atau meng-cancel pembelian tanpa merasa sungkan atau takut dikira kere.

Di sebuah kunjungan lain, aku mendapati bapak-bapak yang membeli sebungkus rokok dan ngomel-ngomel setengan complain karena harga yang harus dibayarnya jauh di atas harga normal. Si kasir dengan dandanan default hanya senyum-senyum dan terlihat tak sama sekali baper dengan aksi si bapak. Barangkali karena sudah terbiasa mendapati complain serupa atau di pikirannya, dia tengah bergumam semacam ini, “kalau ga mau mahal ya jangan beli di sini.”

Mahalnya harga di dua mart itu sebenarnya bisa dimengerti. Selain operasional berbagai fasilitas, gaji karyawan dan pajak juga menjadi komponen lain yang harus dihitung selain harga beli barang dari produsen atau supplier di atasnya. Belum biaya lain-lain semisal pembebasan lahan dan administrasi idzin atau yang semacamnya. Jadi, wajar saja jika harga barang yang dijual jadi di atas rata-rata.

Akan tetapi, sampai tulisan ini dibuat, aku belum bisa mengurai atai sekadar memerkirakan penjelasan mengapa dua mart itu terkesan pilih-pilih barang jualan. Barang-barang murah (meriah) atau yang ukuran kecil nyaris tak didapatkan di situ. Salah satu contohnya ya popok Fluf*y yang biasa dipakai Rauhia. Aku juga pernah kecele karena terlanjur masuk ke Indoma*t Trasak untuk membeli pasta gigi sembari nunggu bus antarkota. Ternyata pasta gigi yang tersedia hanya ukuran raksasa sehingga aku harus banting setir ke paket sikat dan pasta gigi khusus travel yang harganya out of prediction.

Pernah juga mau ngisi pulsa di kasir tapi akhirnya ga jadi karena nominal pengisian pulsa lebih besar dari rencana semula. Aku lupa berapa dan kapok gamau lagi ngisi pulsa di situ, meski setiap bayar ke kasir selalu ditanya, ‘mau sekalian pulsanya, Kak?’ Beberapa barang tertentu—semisal Ad*m Sari dan Vita*imin—juga tidak dijual eceran dan mengharuskan pembeli membeli barang dengan kuantitas yang seringkali melampaui kebutuhan mereka yang sebenarnya.

***

Dari beberapa hal di atas, jika tidak sedang pingin ngadem, memanfaatkan fasilitas parkir gratis, berada di waktu dan tempat yang tak biasa (seperti dini hari atau di kota orang) atau menggunakan mesin ATM dan berburu barang promo, warung tetangga dan pasar tradisional masih patut menjadi pilihan nomor satu. Memang benar dua mart itu lumayan menyerap tenaga kerja lokal, tapi untuk menjadi tujuan dan pilihan berbelanja, sepertinya masih jauh dari kriteria ideal.

Gambar: magazine.job-like.com

Spot yang hampir bisa dipastikan selalu ada di setiap perpustakaan adalah loket pengembalian buku pinjaman. Beberapa perpustakaan yang dilengkapi peralatan canggih barangkali tak lagi menggunakan tenaga manusia dan atau sistem manual lagi, akan tetapi mengandalkan mesin dan atau digital. Bagaimanapun bentuknya, unsur satu ini merupakan salah satu bagian penting karena memastikan aksesibilitas koleksi serta kepatuhan peminjam. Dan yang juga penting adalah keberlangsungan spesies buku di sebuah perpustakaan.

***

Cukup awam di dunia perpustakaan dalam hal minimnya jam kunjung, sedikitnya lokal yang dikunjungi apalagi ilmu-ilmu kepustakaan, bertugas di meja pengembalian sekali sepekan adalah pengalaman berharga bagiku. Tugas tersebut merupakan salah satu rangkaian ‘ladang ilmu’ baru yang aku dapatkan di masa probation¬ sebagai calon ASN di sebuah perguruan tinggi tak jauh dari tempat kelahiran pun domisili saat ini.

Di perpustakaan tempat aku bekerja tersebut, sistem digital sudah diberlakukan di sebagian besar elemen. Proses scanning dibutuhkan ketika seorang anggota akan masuk area perpustakaan, mau pinjam buku, mau mengembalikan buku, memperpanjang peminjaman dan transaksi lain. Ada juga alarm tuwiw-tuwiw untuk memastikan tak ada klepto beraksi di ruangan sesakral perpustakaan. CCTV juga di mana-mana. Not bad lah, to be short.

Namun demikian, transaksi peminjaman, pengembalian dan perpanjangan masa pinjaman masih melibatkan tenaga manusia. Inilah mengapa, meja pengembalian pinjaman adalah pemandangan pertama yang menyambut setiap pengunjung begitu memasuki area perpustakaan. Barangkali untuk meng-cover kebutuhan anggota yang hanya akan mengembalikan/memerpanjang pinjaman buku tanpa tamasya ke rak-rak di bagian dalam, meja ini ditempatkan di bagian depan. Berbeda dengan meja peminjaman yang memang ditempatkan di area yang hanya bisa diakses oleh mereka yang telah in ke perpustakaan.

***

Hingga tulisan ini dimulai, aku baru menghabiskan sekitar tiga kali putaran tugas di meja pengembalian. Aku mendapat piket setiap Senin sehingga aktivitas di meja itu mengawali hari kerja lima hari sepekanku. Normalnya, aku mulai bekerja sejak jam 8 teng lalu istirahat jam 11.30. Masuk kembali jam 13.00 sampai 15.30. Selama sekian jam di meja itu, yang aku lakukan, mostly, adalah melayani pengunjung yang mengembalikan buku dan atau memerpanjang pinjaman. Secondarily ya berselancar di dunia maya, baca koran, sarapan (boeah, ofkos), ke kamar kecil, ngobrol dengan teman satu piket dan aktivitas sambilan lain.

Meski belum banyak mencicipi asam garam di desk pengembalian, ada beberapa hal yang rasanya wortid untuk aku bagi di sini tentang petugas di meja pengembalian.

Pertama, petugas di desk pengembalian is suppossed to be seorang skilfull yang focus-oriented namun multitalented sekaligus multitasking. Dalam satu waktu, mereka melakukan serangkaian tugas yang berbeda. Masing-masing pengunjung membutuhkan layanan yang tak sama. Ada yang mengembalikan buku saja, ada yang mengembalikan sekaligus membayar denda, ada yang memerpanjang pinjaman saja, mengembalikan satu buku dan memerpanjang buku lain dan seterusnya.

Jika si petugas salah fokus barang sepersekian detik, transaksi bisa kacau atau setidaknya, ketahuan dan terlihat so careless. Petugas di meja pengembalian, dalam hal ini, adalah perantara yang menghubungkan dunia luar dan dalam perpustakaan. Buku yang dikembalikan pengunjung bisa diakui secara de jure telah kembali jika telah di-scan oleh petugas pengembalian. Meski secara de facto buku telah kembali ke rak namun—seperti yang kualami—petugas melakukan human error ketika proses scanning, maka si anggota terhitung tetap memiliki tanggungan pinjaman.

Sependek yang kualami, asupan air mineral sangat membantu menyatukan fokus saat di meja pengembalian. Selain juga, tentunya, peraturan dari diri sendiri untuk profesional dan tidak mekso untuk nyambi melakukan hal-hal lain di jam kerja cukup works. Selebihnya ya, time speaks louder. Semakin tinggi jam terbangnya, semakin lihailah kerjanya.

Kedua, petugas di desk pengembalian adalah mereka yang berinteraksi dengan berbagai macam buku namun hanya bisa sebatas menyentuh sampul lalu memindahkannya ke tempat transit untuk kemudian sampai ke tujuan selanjutnya. Jangankan membaca isi buku, skimming halaman-halaman saja dipastikan tak sempat. Saat ada sampul buku yang berhasil menarik perhatian dan jari jemari sudah berniat membuka lembar demi lembar, sering sekali di depan meja sudah ada pengunjung lain yang membutuhkan layanan.

So far, meski tak banyak, bukan tak ada segelintir buku yang menarik perhatianku, mulai dari judul, tema, penulis, cover ataupun bentuk fisiknya. Ketertarikan semacam itu, sayangnya, tak bisa segera berlanjut dengan eksekusi langsung dan seringnya malah bikin baper ketika mikir betapa banyaknya waktu terbuang untuk hal-hal yang tak lebih penting dibanding membaca buku.

Ketiga, petugas di bagian pengembalian juga dituntut untuk menjadi seorang yang berjiwa besar dan melaksanakan apa yang katanya begini, kesabaran adalah matahari. Mengapa demikian? Sepanjang jam kerjanya, mereka akan bertemu dan melayani sekian macam pengunjung yang tak hanya beda penampilan, busana, gerak-gerik dan cara bicara, akan tetapi juga karakter dan pembawaan yang berbeda. Ada yang cekatan, ada yang manja, ada yang sopan sekali, ada yang mbingungke, ada yang jeleyi, ada yang telat mikir, salah instruksi, salah fokus dan seterusnya.
Bottom line-nya adalah bahwa menjadi petugas di meja pengembalian itu tidak seremeh-temeh yang dipikirkan mereka yang belum pernah magang dan menghabiskan waktu berjam-jam di situ.

***

Ohya, kalau boleh nambah satu item lagi, petugas di meja pengembalian harus kreatif menghadapi alur yang itu-itu saja dan tampak flat serta potentially boring. Meski layar komputer yang terkoneksi ke internet menawarkan banyak hiburan yang accessible right away, aku biasanya juga merasa senang dan terhibur melakukan beberapa hal berikut;

Pertama, iseng menyebut nama pengunjung seperti yang tertera di database KTA mereka. Tentu ini tidak aku lakukan pada semua pengunjung dan di semua waktu. Selain untuk memastikan bahwa si pemegang kartu adalah ia yang namanya tertulis di situ, ini biasa aku lakukan untuk menarik perhatian pengunjung agar fokus pada transaksi. Beberapa nama yang unik dan questionable juga mau tak mau membuatku kepo sehingga sering sekali langsung bertanya pada yang bersangkutan.

Kedua, bersikap ramah dan talkative untuk mengetahui feedback dari pengunjung. Kebanyakan mereka akan ramah jika diramahi duluan dan akan jutek jika dijuteki duluan. Sikap ini di antaranya adalah mengucapkan terimakasih di akhir transaksi, melempar senyum, sok akrab dan hal-hal semacamnya. Selain memberi energi positif pada diri sendiri dan orang lain, tak ada yang rugi dari aktivitas semacam ini.

Ketiga, memerhatikan penampilan pengunjung. Ini biasanya tak jauh-jauh dari aksesoris, padu-padan busana, dandanan, model hijab, model rambut dan lain sebagainya yang sifatnya physic. Karena keasyikan memerhatikan salah seorang pengunjung cowo yang tasnya berwarna pink, aku pernah hilang fokus selama sekian detik.

Keempat, ekspresi dan kecenderungan komunikasi pengunjung. Item terakhir ini seringkali menyuguhkan hiburan tersendiri. Sebagian besar pengunjung biasanya menampakkan ekspresi datar sepanjang transaksi. Sometimes human are just too technical, barangkali. Mereka nyaris melakukan hal yang sama dengan rentetan seri yang juga persis sama. Di sinilah, mereka yang berbeda memberikan warna tersendiri.
Beberapa hal yang mereka lakukan di antaranya adalah minta maaf karena telat mengembalikan buku, mengikhlaskan kembalian ketika petugas tak bisa mengembalikan sisa transaksi, bersiap membayar (dan menulis data) denda padahal pinjamannya tidak telat serta memperlakukan petugas di meja pengembalian layaknya resepsionis atau information desk.

***
Dan sekali lagi, karena tulisan ini adalah dari perspektif aku yang sedang lebih sering menjadi penjaga meja pengembalian dibanding pengunjung, maka dalam perspektifku, idealnya, at very minimun level, alur transaksi di meja pengembalian adalah demikian;

Satu: Pengunjung datang ke meja pengembalian. Sewaktu-waktu mereka juga diharuskan mengantri.

Dua: Ketika sudah tiba giliran dan face to face dengan petugas, mereka menyodorkan KTA plus buku yang akan diproses lalu mengutarakan maksud dengan jelas. Mengembalikan, memerpanjang, kombinasi keduanya atau lainnya.

Tiga: Petugas men-scan barcode di KTA lalu menginformasikan ada berapa tanggungan pinjaman.

Empat: Petugas melayani hingga selesai. De facto dan de jure sesuai. Menyetempel tanggal pengembalian di kertas bagian dalam sampul belakang buku untuk perpanjangan dan menaruh buku di tempat transit untuk transaksi pengembalian.

Lima: Perubahan data selesai dan petugas memertegas kembali info soal update transaksi. Ada berapa pinjaman atau harus dikembalikan kapan.

Namuuuuuuuuuuuuuuuuunnnn... Yang terjadi di lapangan kadang kala adalah seperti ini:

Satu: Pengunjung sampai di depan meja pengembalian tapi masih sibuk mencari Kartu Tanda Anggota Perpustakaan dalam dompet, tas atau sakunya. Petugas yang sudah menjulurkan tangan harus sabar menunggu dan seringkali terpaksa harus mengamati gerak-gerik si pengunjung seolah memberi bantuan supranatural agar KTA dapat segera ditemukan.

Dua: Pengunjung memilih alur slow motion dan seperti mengulur waktu dengan menjulurkan KTA kemudian menjulurkan buku atau alur sebaliknya. Petugas harus menjulurkan tangan dua kali padahal sebenarnya bisa dilakukan sekali.

Tiga: Pengunjung menyerahkan buku dan KTA namun tak menyebut transaksi yang dibutuhkannya sehingga petugas perlu bertanya semacam ini, ‘dibalikin atau diperpanjang?’

Empat: Pengunjung baru mengatakan bahwa salah satu (atau satu atau semua) buku yang ia serahkan akan diperpanjang ketika petugas telah mencentang
transaksi pengembalian.

Lima: Pengunjung datang dengan membawa buku yang akan diproses namun tanpa KTA (secara teknis sebenarnya tidak masalah).

Enam: pengunjung datang dengan setumpuk buku dan setumpuk KTA. Biasanya terjadi setelah kerja kelompok selesai.

Tujuh: Pengunjung hendak memerpanjang pinjaman yang sudah tidak bisa diperpanjang (perpanjangan masa pinjaman hanya berlaku sekali)

Delapan: Buku yang diserahkan tidak terekam database sebagai buku yang tengah di luar (di user, bukan di tandon atau di rak sirkulasi).

Sembilan: Server lagi error sehingga pengembalian tak bisa dilayani. Pengunjung kembali dengan wajah kecewa dan petugas sibuk mencari bahasa berbeda untuk mengumumkan hal yang sama.

Sepuluh: Kode batang di KTA atau di buku tidak langsung terlacak oleh mesin.
Dan lain sebagainya dan seterusnya.

***

Etapi, for sure, petugas di meja pengembalian juga manusia biasa yang tak kebal dari khilaf, lupa, lalai dan hal-hal tidak profesional lain. Cerita-cerita tentang ini, biarlah, let us see, menemukan tempatnya sendiri.

Gambar: https://sites.google.com/a/stainpamekasan.ac.id/publikasi/berita

Namanya siapa? Panggilannya siapa? Dipanggil siapa?

Demikian pertanyaan yang nyaris selalu muncul dalam obrolan tentang si bayi atau ketika si bayi tengah turut serta dalam perjumpaan dengan orang-orang baru. Dalam keadaan demikian, spontan saya menjawab ‘RAUHIA’ dengan pelafalan sedikit articulate karena hampir semua lawan bicara tidak langsung ngeh dengan nama si bayi sa’ spelling2nya. Paling sering dianggap Ruhia, Raudia bahkan ada yang menduga Claudia. Di situ saya seringkali melakukan pengulangan dengan volume suara lebih tinggi dan bentuk mulut lebih jelas, bahkan dengan mengeja. R-A-U-H-I-A.

Mengapa RAUHIA menjadi pilihan nama panggilan si bayi sebenarnya sederhana saja. Nama tengahnya memang Rauhia dan as far as I can tell you, belum banyak—kalau bilang belum ada koq kaya sombong banget—saya mendengar nama Rauhia. Alternatif lain yang terpikir atau diusulkan seperti Gita, Gigi, Anjali, Ruhi, Angel atau juga Intan sepertinya sudah banyak yang pakai. Tak seperti nama lengkapnya yang sudah fixed ketika si bayi masih berenang dalam perut, proses penentuan nama panggilan belumlah selesai bahkan ketika si bayi sudah berusia sekian hari.

Selain menerima banyak usul dari beberapa pihak, kami sendiri juga belum sure soal panggilan, atau lebih tepatnya belum bersepakat penuh tentang skala prioritas kriteria panggilan yang asyik saat dihadapkan pada beberapa pertimbangan berikut.

Pertama, nama panggilan yang baik harus tidak mudah di-convert ke huruf lain atau dialek daerah yang sedikit banyak ‘merusak’ estetika nama dan keutuhan artinya. Ini misalnya terjadi ketika f atau v menjadi p, dha menjadi dhe, z menjadi s, sa menjadi se, u menjadi o, i menjadi e dan seterusnya. Opsi ini utamanya semakin menguat di pikiran setelah melewati proses pembuatan nama Rasikhan.

Kedua, nama panggilan yang baik harusnya mudah diucapkan. Umumnya, nama panggilan terdiri dari dua suku kata dan terdiri dari gabungan huruf dengan pelafalan yang tidak ribet. Masih menurut Ummi Rasikhan, nama panggilan dengan tiga suku kata juga berpotensi menimbulkan kerusakan ketika ada orang lain yang sembarangan memotong satu suku kata di depan atau di belakang tanpa memikirkan enak tidaknya panggilan tersebut mampir di telinga, apalagi soal arti.

Ketiga, dan masih dari sumber yang sama alias ibid atau sda, nama panggilan yang baik susah diplesetkan dengan kata lain yang tidak sama sekali berhubungan namun terpaksa dijodohkan untuk tujuan mengolok-olok. Contohnya, anak lelaki yang bernama Excel akan berpotensi dipanggil XL which is nama provider layanan telomunikasi. Anak perempuan yang bernama La’a Li’u akan berpotensi dipanggil Liya Liyu.

Keempat, dan ini adalah dari sumber yang berbeda, adalah kepantasan untuk menjadi nama panggilan atau label dalam berbagai kesempatan. Mbak Ida Jahrun yang mengenalkan teori ini menyontohkan nama yang kecadelan dan menurutnya hanya pantas diatributkan di masa kecil si anak. Ketika si anak sudah dewasa, masuk dunia kerja dan atau dunia formal administratif lain, panggilan cadel tersebut akan menjadi kurang pantas. Jadi menurutnya, untuk menentukan bagian mana dari sebuah nama lengkap yang akan menjadi panggilan, caranya adalah mengimbuhkan adik, kakak, ibu, nenek dan seterusnya sebelum kandidat nama panggilan. Misal: Adik Rauhia, Kakak Rauhia, Ibu Rauhia, Nenek Rauhia. (Kata Mb Ida, Rauhia memenuhi kriteria satu ini. She prefers Rauhia over Anjali ketika opsi tersisa tinggal dua nama itu).

Keempat adalah versi suami bahwa nama (panggilan) yang bagus adalah nama yang sesuai dengan (kultur) tempat di mana si anak tinggal. Menurutnya, pertimbangan soal ini juga harus masuk di list
sebab nama yang mekso untuk antimainstream tapi menabrak nilai kelumrahan lokal juga tak elok. Ini jugalah yang menjadi alasan mengapa si bayi tak jadi dipanggil Anjali atau angle meski saya pribadi welcome saja jika ada yang memanggilnya demikian.

***

Lalu entah kenapa dan bagaimana ceritanya, di hari pertama si bayi lahir, kalau tidak salah sorenya, sudah terdengar ada yang memanggilnya RUHI. Sontak saya sedikit terkejut sebab meski nama itu masuk dalam salah satu list opsi, belum ada kata deal antara saya dan suami. Belakangan saya malah kurang suka dengan nama itu karena terkesan mengikuti trend karakter anak perempuan bernama Ruhi di serial India berseri yang saat itu sedang booming. FYI saya bukan penikmat drama berseri tersebut. 

Soal ini, saya sempat melayangkan protes ‘kultural’ (meski tak tepat sasaran) pada suami dan seperti biasa dia tidak terlalu reaktif. Akhirnya saya juga jadi cooling down karena sibuk dengan hal-hal baru yang serba challanging yet exciting tapi tetap aja kepikiran soal nama panggilan. Ketika itu belum ada pikiran untuk memilih ‘Rauhia’ (utamanya karena pertimbangan kriteria kedua dan ketiga) sehingga bawaannya masih let it flow. Usul dan komentar dari kerabat dan sahabat hilir mudik di telinga tapi tetap aja pada prinsipnya, saya dan suamilah yang akhirnya (paling berwenang) menentukan.

Hingga... dalam salah satu edisi open house, ada salah satu tamu yang bercerita bahwa cucunya bernama (dan dipanggil) RUHI. Saat itu saya langsung yakin untuk tak memanggil si bayi dengan nama tersebut sebab ketika sudah ada yang punya, maka yang berpotensi dianggap sebagai peniru adalah yang datang belakangan. Tambah, tak ada alat bukti ataupun saksi yang dapat meyakinkan bahwa informasi perihal nama cucu tamu tersebut tidak berkontribusi dalam proses pencarian nama si bayi. Tapi anyway, dari awal yang saya sasar adalah ra’ fathah ra, bukan ra’ dhammah ru.

Di luar itu, pikiran untuk memilih Rauhia muncul dari kebiasaan adik kelas saya semasa di Jogja, Dwi Rahayu, yang suka menyebut si bayi dengan panggilan RAUHI. Saya pikir koq not bad, bagus juga. Mewakili namanya, dua suku kata sehingga mudah diucapkan dan yang juga penting, mewujudkan keinginan saya untuk memiliki anak dengan unsur diftong di dalam namanya. Diftong itu kalau tidak salah pertemuan dua vokal dengan syarat dan ketentuan berlaku, saya tahu istilah ini di kelas Pronounciation-nya Miss Frida.

Dari kemantapan akan RAUHI, saya berpikir mengapa tidak dituntaskan saja menjadi Rauhia sebab pelafalan HIA bisa disingkat menjadi satu suku kata (atau maksimal satu setengah suku kata). Sepertinya akan lebih sempurna secara makna, estetika dan kesesuaian dengan nama lengkap si bayi. Beruntungnya suami cukup koperatif dan mau menyetujui pilihan serta usul saya tersebut. Dari awal memang dia lebih banyak menyilakan saya berkesplorasi dan maunya hanya pilih antara yes dan no.

Sementara itu, sudah banyak yang terlanjur memanggil si bayi dengan sebutan Ruhi. Alasannya kebanyakan demi kemudahan pengucapan. Meski kecewa dan sempat ciut, saya tetap optimis sebab menurut seorang saudara, pada akhirnya, panggilan (pilihan) orang tua yang akan menjadi brand paten seorang anak. Terlebih dalam hal ini saya dan suami kompak memanggilnya Rauhia. Saya menghilangkan sebutan Ruhi dari mulur saya dan tetap menggunakan Rauhia bahkan ketika berkomunikasi dengan mereka yang terlanjur memanggilnya Ruhi. Tak jarang juga, saya menegaskan secara verbal bahwa nama (panggilan) si bayi adalah RAUHIA instead of RUHI. Yang terakhir ini biasanya terjadi dalam percakapan dengan anak-anak usia SD-SMP yang biasa menyapa si bayi di sela-sela sesi terakhir full day school ala Madura yang mereka habiskan di surau dekat rumah.

Sampai catatan ini ditulis, saya masih membayangkan dan bertanya-tanya apakah suatu saat, ketika si bayi sudah bisa semakin berpikir dan memilih, ia akan menyukai nama yang kami berikan kepadanya. Apakah ia setuju kami memanggilnya RAUHIA dan bukan yang lain. Atau, yang jaraknya lebih dekat, dengan bahasa apa si bayi akan memanggil atau menyebut dirinya sendiri. Nama kecil atau nickname pertama apa yang akan keluar dari mulutnya.Beberapa hari yang lalu ibu mertua bercerita bahwa ia suka bergumam 'IYA' 'IYA' ketika menirukan orang lain memanggil/menyebut namanya.

Hari ini si bayi genap berumur 11 bulan dalam perhitungan kalender Masehi. Bulan depan, di tanggal yang sama, adalah ulangtahunnya yang pertama. Kemarin seharian saya membawanya ke kampus dan saya merasa jiwa saya lengkap tak berceceran seperti biasa. Diajak main ke manapun ok, pulang sepetang apapun ga masalah, melakukan apapun juga burdenless karena tak ada pikiran yang melayang ke rumah bertanya-tanya si bayi sedang apa dan bagaimana kabarnya. Rasanya menyenangkan sekali, meski belakangan saya sadar bahwa pundak kiri saya terasa lebih berat dari biasanya.

Grow up Better, Rauhia! I love you!

Manusia adalah homo nomades karena selama hidupnya, ia pasti mengalami berbagai perpindahan. Minimal dan yang pasti, ia berpindah dari perut ibunya ke dunia. Dari situ, ia memulai perjalanan dari satu kamar ke kamar lain, satu rumah ke rumah lain, satu kota ke kota lain, dan seterusnya hingga saat waktu tiba, ia berpindah tempat ke kamar kecil di bawah permukaan tanah. Kamar kecil itu bukanlah pelabuhan akhir karena ia sebenarnya lebih merupakan semacam tempat transit untuk destinasi lain yang sama sekali berbeda dari tempat-tempat yang pernah disinggahi.

Dalam momen-momen perpindahan itu, ada beberapa hal yang hampir selalu ada dan dialami semua yang melaluinya, meski skala dan bentuknya berbeda. Hal-hal tersebut di antaranya adalah euforia dan atau perasaan asing, kejanggalan akan hal-hal yang terasa sangat baru serta terhentinya rutinitas di tempat lama. Selain itu umumnya, pada hari-hari pertama di tempat baru, siapapun harus belajar menyesuaikan diri, mengenal lingkungan sekitar dan kulo nuwun pada siapapun yang terlebih dahulu tinggal di tempat tersebut.

***

Kepindahan yang baru saja saya alami mau tak mau mengingatkan kembali pada berbagai momen serupa yang pernah saya lewati sebelumnya. Masing-masing menyisakan cerita dan kenangan tersendiri, termasuk hikmah yang juga berbeda. Namun, seperti biasanya setiap perbedaan, ada beberapa persamaan yang menyatukan item-item tersebut. Di bawah ini ada beberapa hal yang, kalau boleh saya sebut, merupakan serba-serbi seorang newbie. Selain sebagai dokumentasi pribadi, anggaplah saya sedang melakukan apa yang populer dengan istilah sharing is caring.

Pertama, newbie selayaknya membawakan diri sesupel mungkin. Berpura-pura supel bukanlah yang saya maksud dalam point ini sebab berpura-pura identik dengan modus negatif. Di hari-hari pertamanya di tempat baru, seorang newbie tak bisa seenaknya melenggang seperti di tempat yang sudah ia kenal. Ia harus banyak berkomunikasi dengan orang lain dan bagi wajah yang belum familiar terlihat di lingkungan baru, kesupelan adalah kuncinya.

Bayangkan saja jika di kampung, komplek perumahan atau tempat kerja kita ada new comer yang enggan bertegur sapa dengan penghuni lama, pelit senyum atau terlihat sangat formal. Alih-alih mendapat simpati, tipe yang demikian justru cenderung akan dijauhi dan tidak disukai. Sebaliknya, mereka yang ramah, sopan, murah senyum dan komunikatif relatif lebih cepat mendapat kenalan, teman hingga informasi baru.

Kedua
, menjadi newbie berarti kesediaan untuk heran hingga terkejut dengan hal-hal baru yang mungkin tak terpikirkan. Keheranan dan atau keterkejutan semacam ini adalah hal yang sangat lumrah terjadi betapapun sebelum turun lapangan, berbagai bekal informasi sudah disiapkan. Ada saja yang berbeda dari tempat lama atau common mindset, entah itu kebiasaan, bahasa, peraturan tak tertulis, kode-kode dan lain sebagainya.

Karena sifatnya yang nyaris tak bisa dihindari, para newbie harus cerdas ketika gejala ini datang. Among other options, menampakkan keheranan atau keterkejutan secara verbal maupun nonverbal sangatlah tidak disarankan. Selain akan mengundang perhatian dan kesan kurang baik, jurus ini juga cenderung membuat si newbie berpikir pendek dan judgmental. Padahal jika mau berpikir lebih terbuka, setiap hal yang mengejutkan serta mengherankan juga punya penjelasan. Kalaupun tidak semua hal dapat dibenarkan dan diterima, minimal, ia bisa dimengerti terlebih dahulu.

Ketiga, newbie secara alamiah memiliki berbagai macam pertanyaan. Ini wajar karena di tempat baru, baik tempat yang sama sekali baru atau karena menjadi objek perbandingan dengan tempat lama atau tempat lain, ekspektasi ataupun gambaran perihal tempat anyar tersebut terlanjur memenuhi kepala si newbie. Karena itulah, saat down to the field dan mendapatkan beberapa hal ‘baru’, pertanyaan-pertanyaan semacam itu tak bisa terbendung, tak peduli si newbie adalah tipe cuek ataupun yang memang dari sono-nya kritis.

Akan tetapi, hanya sebagian kecil di antara pertanyaan tersebut yang pantas diajukan. Kalau ada yang bilang bahwa there is no stupid question, maka kaidah tersebut tidak selalu berlaku bagi seorang newbie. Jika semua pertanyaan yang muncul diajukan pada sembarang orang, apalagi lewat kanal jarkom grup media sosial, itu hampir berarti bahwa yang bersangkutan sudah memasrahkan diri menjadi bullying object atau bulliable person. Karenanya, think today and ask the question tomorrow. Amannya, jika pertanyaan sudah lulus sensor namun belum menemukan tempat bertanya yang tepat, simpan dahulu. Seiring waktu, pertanyaan semacam ini biasanya terjawab lewat momen yang tak diduga.

Keempat, memiliki teman sesama newbie adalah kebahagiaan tak terkira. Menjadi newbie seorang diri, meskipun cukup menantang karena benar-benar menguji daya tahan, adalah mimpi buruk yang sedapat mungkin dihindari. Sebab, bertemu dengan mereka yang ‘senasib’ adalah hal yang teramat menyenangkan meski ini juga berarti semakin banyak hal yang memerlukan naturalisasi atau penyesuaian. Perasaan senasib sepenanggungan biasanya merupakan faktor perekat ikatan komunitas yang cukup kuat menyatukan individu-individu dengan beragam karakter.

Selain bisa menjadi tempat berbagi informasi, curhat, bikin grup di media sosial, ngurus apa-apa bareng, jalan atau main bareng, kehadiran teman semacam ini bisa cukup berpengaruh meningkatkan skala ‘kebetahan’ di tempat baru. Si newbie cenderung akan berpikir bahwa dirinya tak sendiri. Selain itu, komunikasi dengan teman ‘seangkatan’ seperti ini relatif lebih dekat, cair, open dan jauh dari kesan sungkan atau enggan.

Kelima, informasi-informasi pertama yang diterima newbie cenderung akan begitu membekas dibanding yang datang belakangan. Ini tentu terlepas dari apakah informasi tersebut bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. Umumnya, valid tidaknya informasi perihal apapun di sebuah tempat baru akan terjawab seiring waktu, selain karena beberapa hal bisa sangat relatif di kepala banyak orang. Herannya, meski belakangan terbukti bahwa informasi yang diterima tidak atau kurang valid, konten informasi tersebut biasanya sulit hilang dari ingatan.

Seperti halnya dalam momen-momen lain, seorang newbie tidak bisa sepenuhnya memilih akan bertemu siapa, berkomunikasi dengan siapa, dan mendapat informasi apa saja di hari-hari pertamanya. Karena itu, ia sebaiknya tak terlalu reaktif terhadap apapun informasi yang diterima sebab selain soal validitas, ia belum banyak mengenal karakter si pemberi informasi, termasuk motifnya. Tanpa sama sekali bermaksud menggeneralisir, kultur perpeloncoan formal hingga non-formal bagi pendatang baru agaknya belum banyak hilang dari berbagai lapisan masyarakat kita. Karenanya, seorang newbie benar-benar dituntut untuk tak hanya sopan dan ramah, akan tetapi juga peka.

Keenam
, peraturan tak tertulis di tempat baru adalah hal yang wajib diketahui newbie. Karena tidak semua peraturan dan kebiasaan kultural termaktub dalam tulisan dan tak pula menghadirkan interpretasi tunggal, maka seorang newbie harus terampil membaca keadaan dan memahami hal-hal kultural tak tertulis tersebut. Cara termudahnya adalah bertanya dan mencari informasi pada orang yang dipercaya meski mendapatkan orang dengan kategori ini bukanlah perkara mudah. Kalau tidak, maka caranya adalah mereka-reka sendiri dengan terlebih dahulu memahami pola dan membuat asumsi hingga hipotesis.

Mengetahui peraturan kultural menjadi penting karena meskipun perilaku aneh dari seorang newbie biasanya dimaklumi, hal demikian seringkali menuntun pada hal lain yang kurang menguntungkan. Ketika seorang newbie ketahuan belum begitu menguasai medan barunya, orang yang tidak bertanggungjawab cenderung akan menjadikan celah tersebut sebagai pintu awal melakukan tindak bullying mulai dari yang sifatnya sangat ringan hingga eksploitasi yang serius.

Ketujuh, cultural shock pada hari-hari pertama sering membuat salah fokus. Karena kepindahan tak melulu merupakan hal yang menyenangkan dan atau diharapkan, maka hari-hari pertama di tempat baru tak jarang membuat si newbie gets lost. Mereka yang berpindah ke tempat yang selama ini didambakan saja bukan tak mungkin lupa bersyukur karena dilelahkan dengan urusan penyesuaian yang seakan tak kunjung selesai. Tentu saja, tensi yang lebih tinggi dialami mereka yang tak menyana akan mengalami kepindahan di luar waktu dan keadaan yang diperkirakan.

Tak hanya itu, kerinduan akan tempat (dan kebiasaan) lama atau ekspekstasi yang dilempar terlalu tinggi adalah godaan lain yang biasa muncul di hari-hari pertama kepindahan. Gangguan-gangguan kecil semacam ini bukan tak mungkin menjadi hal yang serius jika si newbie kurang tahan banting dan terlalu berharap pada keadaan. Karenanya, hari-hari pertama yang konon akan dirindukan di kemudian hari ini sebaiknya tidak diruskan oleh hal-hal seperti tersebut di atas.

Kedelapan, seorang newbie tidak disarankan terlalu jaim atau membawakan diri bukan apa adanya. Meski semua orang mengetahui bahwa pandangan pertama suka palsu, tak banyak yang benar-benar bisa tak terbuai dengan kesan-kesan pada pertemuan pertama. Karena itu, menjadi wajar jika seorang newbie memiliki naluri untuk menampilkan dirinya seperfek mungkin di lingkungan baru. Dalam skala tertentu, ini masih bisa dimengerti sebab bukan tak mungkin ia menjadi sugesti pribadi untuk meningkarkan kualitas diri.

Namun demikian jika dilakukan berlebihan, ini tentu akan menjadi bumerang bagi si newbie sendiri sebab seiring waktu, sisi asli dirinya akan tampak dan si newbie akan kewalahan mengatasi keadaan karena tidak tahan terlalu lama berpura-pura. Jadi, menjadi diri sendiri dalam keadaan apapun memang bukan hanya menyenangkan, akan tetapi juga aman untuk ‘keperluan jangka panjang’. Meski tentunya, peningkatan-peningkatan kualitas diri step by step adala hal yang tak bisa dihilangkan dari naluri normal seorang manusia.

***

P.S: Setidaknya, tulisan ini menjadi penting karena sebagian besar perpindahan yang kita alami dalam hidup terjadi begitu saja tanpa fase persiapan apalagi orientasi.

Image: http://www.alifeoverseas.com/what-in-the-world-to-do-with-newbies/

Identitas Buku

Judul : Di Balik Dinding Rusunawa; Mengungkap Pengalaman Komunitas Syiah Sampang di Pengungsian
Penulis : Romel Masykuri, Binaridha Kusuma Ningtyas dan Novita Maulida Ikmal
Penerbit : Sulur, Yogyakarta
Tahun Terbit : Januari, 2018
Jumlah halaman : xiv dan 68
Ukuran buku : 13,5 X 20 cm

Barangkali karena lahir dan besar di Madura, saya memiliki ketertarikan dan concern tersendiri terhadap tragedi Syi’ah di Sampang. Tak sedikit pula rekan yang menanyakan perihal konflik Sunni-Syi’ah begitu mengetahui asal saya. Saya juga tak mungkin lupa ketika dengan terbatuk-batuk karena tak tahan dengan cuaca Canberra, awal 2016 lalu, saya menceritakan betapa rumit akar muasal kejadian tersebut di sebuah forum kecil dengan teman-teman dari DFAT Australia.

Sejauh ini saya memang hanya melakukan riset di balik meja dan belum pernah menyambangi langsung lokasi konflik ataupun GOR Sampang serta Rusunawa Sidoarjo. Karenanya, saya menyambut baik sekali kehadiran buku yang seakan mengingatkan pada khalayak bahwa di tengah kasus-kasus lain yang datang silih berganti, masih banyak problem kebangsaan yang belum usai dan tak boleh dilupakan begitu saja, apalagi dianggap selesai.

***

Saya memiliki ekspektasi cukup tinggi terhadap buku Di Balik Dinding Rusunawa (DBDR) karena semakin hari, semakin sedikit peneliti atau penulis yang melirik isu lama ini di tengah isu-isu lain yang barangkali lebih menarik dan ‘menjual’. Kalaupun ada, sependek pengetahuan saya, bentuknya terbatas pada artikel atau tulisan pendek. Penelitian-penelitian etnografis, apalagi yang serius, semakin jarang ditemui seiring bertambah usang—dan rumit—nya persoalan ini.

Karenanya, saya sangat menikmati lembar demi lembar ulasan dalam DBDR yang seakan membawa saya ke bangunan Rusunawa Puspa Agro Sidoarjo. Membaca beberapa kutipan langsung dari transkrip wawancara membuat saya seolah-olah tengah berkomunikasi dengan mereka menggunakan Bahasa Madura. Saya turut membayangkan bagaimana sulitnya berdamai dengan keadaan baru ketika trauma dari rentetan kejadian memilukan belumlah sembuh.

Ulasan-ulasan lain dalam DBDR juga cukup informatif menunjukkan bahwa pemerintah tak sepenuhnya abai dan begitu saja menempatkan komunitas ini di negeri antah berantah tanpa ‘bekal’ apapun. Meski ada beberapa catatan, keterangan perihal bantuan beras yang kemudian diganti bantuan tunai bulanan (hlm 18), akses terhadap fasilitas umum yang semakin terbuka (hlm 47) serta adanya pegawai BPBD Jawa Timur yang ditugaskan mendampingi komunitas ini sejak awal kedatangan (hlm 16)cukup memberi keberimbangan data untuk setidaknya meng-counter asumsi buruknya kinerja pemerintah.

Dibandingkan karya-karya atau hasil penelitian sejenis yang mengangkat kasus ini, DBDR terbilang ringan sehingga renyah dibaca. Penyajian data yang lebih mirip laporan penelitian berbentuk narasi esai tanpa analisis teori-teori yang serius dan ‘berat’ menjadikan buku ini ramah untuk semua kalangan.Selain itu, informasi singkat perihal kronologi peristiwa yang dialami komunitas Syi’ah Sampang hingga akhirnya berada di Rusunawa membuat buku ini layak dikonsumsi newbie yang baru akan mendalami kasus ini.

Menariknya lagi, prolog dan epilog dalam buku ini membentuk kombinasi yang apik. Prolog yang ditulis oleh Dr. Siti Aminah, Kaprodi Program Magister Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya,tempat ketiga penulis DBDR belajar, menyinggung beberapa teori yang relevan dengan konteks penelitian sehingga terlihat sangat academically minded. Sementara itu, kekuatan diksi khas Muhammad Al-Fayyadl, intelektual serta aktivis muda lulusan Universitas Paris, melengkapinya dengan analisis dari perspektif teologis serta kultural berikut dua tawaran praktis yang layak dipertimbangkan.

Hal yang sebenarnya lebih penting dari buku ini adalah perannya sebagai kanal yang menggaungkan suara hati komunitas Syi’ah Sampang agar bisa didengar lebih banyak telinga, tak terkecuali pihak berwenang serta saudara-saudara mereka, kaum Sunni. Di luar sumbangsihnya untuk dunia akademik dan ilmu pengetahuan, sisi lain buku ini adalah potensinya untuk menyemai benih-benih perdamaian yang sempat hilang dalam masyarakat Madura yang memiliki riwayat guyub serta karakter nganggep (bersaudara) yang kuat.

***

Terlepas dari berbagai kelebihan buku yang berawal dari tugas kuliah ini, ada sedikitnya dua hal dari DBDR yang patut menjadi bahan evaluasi. Pertama,paparan di dalamnya terkesan sangat simplistis, untuk tidak mengatakan minimalis. Untuk ukuran penelitian etnografis, utamanya jika berkaca pada data wawancara, kehadiran peneliti ke lokasi maupun interaksi dengan informan tampak kurang intens. Akibatnya, emosi yang sedari awal diaduk-aduk harus padam begitu saja karena space yang sedikit tersebut. Kedua, adanya beberapa peristiwa ‘kunci’ yang sebenarnya penting untuk dipaparkan lebih panjang lebar karena menampilkan sisi lain yang tak banyak diulas. Dua di antaranya adalah pengalaman pulang ke Sampang pada hari raya serta hubungan harmonis dengan warga (di sekitar) Rusunawa.

***

Sebagai karya akademik, DBDR layak mengawali kembali semaraknya kerja-kerja ilmiah untuk memotret komunitas Syi’ah Sampang dalam rangka memerjuangkan hasrat terbesar mereka untuk kembali ke kampung halaman. Sementara itu, dengan iktikadnya yang mulya, karya ini harusnya juga menjadi panggilan bagi pemerintah, lembaga swasta atau tokoh kultural untuk memberi aksi nyata demi menjamin terpenuhinya hak-hak kewarganegaraan komunitas Syi’ah Sampang yang hingga saat ini masih terampas.

*Masyithah Mardhatillah, co-founder Yayasan Paddhang Bulan Tacempah, Plakpak, Pegantenan, Pamekasan.
Gambar: www.medium.com

MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.