Kemarin tiba-tiba diingatkan Fesbuk soal peristiwa setahun lalu saat serah terima SK CPNS. Itu pertama kalinya mengenakan seragam Korpri dan ikut yang namanya apel 17-an, meski pelaksanaannya tidak selalu pada tanggal 17. Sebuah potret berisi kurang lebih 7 orang yang kuunggah setahun lalu sedikit mampu mengembalikan campur aduknya perasaan saat itu. Yang paling dominan adalah bahagia dan was-was. Bahagia karena merasa satu keinginan telah diamini semesta namun juga was-was membayangkan hari-hari ke depan di luar rumah dan jauh dari Rauhia. Saking tidak fokus dan kagok-nya di lingkungan baru, tak ada dokumentasi dari moment itu selain dari panitia penyelenggara (bandingkan dengan momen sumpah jabatan yang sampai ada PIC-nya).
Setelah map berisi lembaran Surat Resmi itu kami terima, aku dan teman-teman belum ada kewajiban ceklok, sebab kami officially ngantor sejak bulan depannya. Tapi, masih seingatku, saat itu kami sudah memiliki kewajiban ngajar, jadi, exclude Mas Kudrat, mungkin, yang sudah jadi asprinya Pak Warek I, kami berempat hanya nampang di kampus ketika hari ngajar. Meski demikian, sejak hari itu, aku mulai memiliki rute harian baru, yakni dari rumah ke kampus lalu dari kampus ke rumah.
(Tulisan ini aku mulai ketika internet kantor sedang down dan aku ingin sedikit ‘urun rembuk’ cerita soal kehidupan di jalan raya setelah membaca buku guruku, Ra Faizi, yang nanti malam rencananya juga akan dibincangkan di acara samping rumah namun rasanya susah aku hadiri karena bersamaan dengan jam tidur (dan ngeloni anak) dan persiapan yang harus aku lakukan menjelang ngajar 8 SKS esok hari. Pikiran untuk berbagi cerita (dan insight, barangkali) soal ini sudah lama, dan munculnya pun saat aku di belakang kemudi. Hanya saja, biar sekalian ngepasin momentum, aku eksekusi saja sekarang.)
***
So far, ada dua pilihan rute untuk sampai ke kampus. Pertama adalah jalur timur, yang kedua jalur barat. Jalur timur adalah rute Blumbungan-Jalan Stadion-Jl. Jingga-Jl. Purba-Jl-Trunojoyo-Jl. Panglegur, sedangkan rute barat adalah Larangan Badung-Tana Celleng-Jl. Sersan Mesrul (Sermes)-Jl. Gladak Anyar-Jl. Cokroatmodjo-Jl. R. Abd Aziz-Jl. Trunojoyo-Jl. Panglegur. Di antara keduanya, aku lebih suka dan sering menempuh jalur barat dengan beberapa pertimbangan. Dulu, awal-awal aku ngampus, jalan raya sekitar Pasar Blumbungan masih belum diperbaiki. Banyak lubang, genangan air—kalau musim hujan—dan sering macet karena besarnya volum kendaraan, pasar tumpah dan dua titik pertigaan di area pasar. Jalan menuju Jl. Stadion juga terbilang sempit dan tidak mulus. Ada beberapa titik dengan lubang dan gronjolan yang sangat tidak ramah bagi pengendara awam yang belum menguasa medan.
Sementara jalur barat, ketika itu, baru saja diperbaiki sehingga meski ada beberapa jalan yang hingga saat ini bergelombang, jatuhnya tetap lebih nyaman. Volume kendaraan juga tidak sebanyak jalur timur dan yang juga penting, tidak ada titik kemacetan semisal pasar serta badan jalan yang relatif luas. Meski demikian, sesekali, aku memilih jalur timur, biasanya untuk menghindari kebosanan ketika paginya, aku sudah memilih jalur barat. Ritme bolak balik rumah-kampus-rumah-kampus-rumah ini aku pilih ketika awal-awal ngantor saat SKS ngajarku masih 6 dan pikiranku masih selalu pulang ke rumah, pada Rauhia. Lama-lama, tubuhkupun tak bisa menyesuaikan ritme padat seperti itu jadi aku hanya menggunakannya kembali ketika benar-benar dibutuhkan.
Selain keduanya, aku juga sempat beberapa kali—dalam durasi satu hingga tiga bulanan—menempuh jalur lain, yakni jalur Tacempah-Blumbungan-Trasak-Jalur Bis (Tambung hingga Ceguk)-Terminal Ronggosukawati-kampus. Ada kondisi yang mengharuskanku memilih jalur itu meski hitung-hitungannya tetap lebih enak melalui dua jalur utama yang kusebut sebelumnya, physically, financially dan tentunya time management serta pshycologically. Ohya, selain itu, aku juga pernah menempuh jalur barat dengan memotong kompas, lewat jalur dalam—semacam jalan tikus—dari kompleks Al-Karomah hingga nongol di jalan raya Larangan Badung. Semacam test medan juga sih, ketika itu, dan setelah mendapati jalan setengah aspal tersebut tidak sesuai ekspektasi, akupun tak pernah kembali memilihnya sebagai jalur alternatif rute harianku.
***
Jadi, di antara keempat jalur itu, aku hanya akan menceritakan rute yang paling sering aku tempuh tiap hari dalam perjalanan berangkat mencapai kampus. Begitu keluar rumah, aku harus langsung nyebrang untuk bisa berada di jalur kiri. Seingatku aku tak pernah melawan arus meski tak jauh dari rumah, ada kios Pertamini yang beberapa kali aku singgahi untuk isi bensin. Belakangan aku lebih manage agar isi bahan bakar di SPBU saja dengan alasan itung-itungan awam ala emak-emak—semacam rasanya kalau ngisi di pom, bensin ga cepat habis—meski kadang malas ngantri. Dari situ, aku menuju pertigaan Beltok, biasanya dengan kecepatan sedang. Jalan terbilang tidak lebar dan ada beberapa titik dengan garis tengah tak terputus, akan tetapi karena volume kendaraan terbilang tidak banyak di pagi hari, menyalip kendaraan di jalur itu biasa kulakukan, seperti juga pengendara lain. Rute pendek itu dominan dengan tanjakan dan beberapa tikungan yang meski tidak seberapa tajam, tetap memerlukan kehati-hatian dan kewaspadaan.
Dari pertigaan Beltok, aku akan belok kiri dan bertemu jalan raya Larangan Badung. Dibandingkan jalur sebelumnya, jalur ini jauh lebih panjang. Volume kendaraan juga lebih besar namun itu diimbangi dengan jalan yang mulus dan badan jelar yang lebar. Sesekali, kalau sudah kepepet, aku akan berhenti di kios Pertamini, preferable di kiri jalan biar tidak perlu nyebrang. Jika terpaksa, aku akan tetap mampir ke kios di kanan jalan untuk menghindari kehabisan bahan bakar dan agenda olahraga pagi, terutama setelah adegan di suatu pagi yang meyakinkanku bahwa princip trust no one but respect everyone itu benar adanya. Belakangan, aku mulai suka mampir ke SPBU Larangan Badung kanan jalan meski harus nyebrang dua kali untuk in dan out. SPBU itu relatif jarang memiliki antrian panjang sehingga hitungan waktunya tidak akan jauh berbeda dengan ngisi bensin di Pertamini. Manajemen waktu pada perjalanan berangkat ini penting sekali sebab pegawai sepertiku adalah hamba-hamba mesin tak bergerak namun bisa berbicara “sudah tersimpan, terimakasih” yang seperti begitu leluasa mengatur dan ‘menundukkan’.
Selain mampir di SPBU atau Pertamini, hal lain di dua jalur pertama ini adalah papasan dengan mobil box salah satu merk rokok. Hampir begitu setiap hari. Saat kulirik, hanya tampak pengendara tanpa satupun penumpang. Dugaanku, itu mobil salesman baru mau berangkat. Dari mana mau ke mana, aku kurang faham. Sepertinya markas mobil box itu ada di area Larangan Badung dan tujuannya adalah sekitar kota Pamekasan, jalur Pakong atau jalur Sumenep. Entahlah. Yang jelas, itu nyaris menjadi pemandangan harian. Ada juga satu titik amal masjid di area Tana Celleng dan belakangan di pertigaan Beltok yang tak pernah aku ‘mampiri’ meski sering membuatku teringat soal penelitianku tentang amal masjid yang mangkrak dan belum tak seriusi kembali itu. Di sepanjang jalur, sedikitnya ada dua sekolah yang—seharusnya—menjadi titik kemacetan—kalau dibandingkan dengan sekolah-sekolah di kota—, tapi itu jarang kutemui, barangkali karena manajemen parkir/antar-jemput yang baik atau karena aku kekerian lewat situ. Overall jalur kedua ini adalah favoritku karena infrastruktur dan segala halnya sangat mendukung safe and fast riding (Ga seberapa fast sih, mentog 70 km/jam).
***
Di ujung jalur, aku akan memilih Jl. Sermes dibanding jalan ke Bugih (arah ke Pasar 17 Agustus), meski yang pertama jauh lebih sempit dibanding yang kedua. Ini tentu bukan karena aku menyukai badan jalan yang sempit, akan tetapi karena Jl. Sermes menawarkan faster access ke tujuanku. Tidak ada lampu merah dan kalaupun di ujung jalur, perempatan menuju Jl. Gladak Anyar, harus ada adegan toleh kanan kiri, itu relatif tidak time consuming. Jl. Sermes relatif ramai. Selain karena merupakan daerah pemukiman cukup padat, banyak pengendara yang menyukai jalur potong kompas ini. Ini jugalah yang membuat aktivitas menyalip kendaraan di sepanjang jalan ini relatif sulit. Dua titik tikungan, badan jalan yang sempit dan volume kendaraan tinggi adalah tiga faktor utamanya. Jadi, jika kebetulan berada di belakang mobil ketika tengah di Jl. Sermes, kesempatan menyalipnya nyaris selalu kecil. Karenanya, seringkali aku menyalip mobil yang ada gelagat akan masuk Jl. Sermes di ruas-ruas terakhir menuju ujung selatan jalan Larangan Badung agar tidak perlu makan ati karena susah nyalip ketika terlanjur masuk ke Jl. Sermes.
Di ujung Sermes, ada perempatan cukup sibuk yang mengharuskan pengendara manapun untuk berhati-hati dan tidak asal tancap gas. Biasanya, aku akan lebih aware jika saat menoleh ke kanan, tampak bus mini. Prinsip Bus Mini adalah Raja di Jalan selalu aku pegang jadi begitu aku melihat bus mini, meski masih jauh, aku nyaris akan selalu berhenti dan menunda adegan nyebrang untuk mempersilakannya lewat. Jika keadaan sudah aman, aku bisa nyebrang dan dari situ, aku langsung masuk ke jalur keempat, Jl. Gladak Anyar atau Jembar a.k.a Jembatan Anyar. Dibandingkan jalur ketiga sebelumnya, badan jalan jalur keempat ini lebih sempit sehingga aku jarang melihat ada mobil yang masuk daerah situ, kecuali milik penghuni. Sayangnya, di jembatan yang barangkali diatributkan dengan ‘anyar’ tersebut, suka ada mobil parkir DI BADAN JALAN sehingga hanya tersisa nyaris 50% badan jalan untuk dilalui pengendara atau pejalan kaki. Dugaanku, itu mobil tamu atau penghuni yang belum/tidak memiliki garasi. Terkadang, ada jiga pikap penjual udang segar 15.000/kilo yang ngetem di situ tapi belakangan sudah tak sering kulihat lagi. Soal parkir ini memang makan tempat/jalan sekaligus makan ati.
Selain badan jalan yang sepanjang jalur ini sempit, ada juga tikungan sangat tajam di ujung jalur yang mengharuskan kehati-hatian ekstra. Jika ini sudah terlewati, maka aku akan kembali nyebrang untuk menuju arah jalan pasar Parteker. Untuk sampai ke situ, aku harus kembali melakukan adegan two folds crossing seperti di titik transisi dari Jl. Sermes ke Jl. GA. Bedanya, transisi yang ini tidak lurus plek karena setelah nyebrang paruh pertama, aku perlu sedikit ke kiri (arah timur) untuk kemudian kembali nyabrang di paruh kedua. Jika lebih pagi, di dua titik itu biasanya ada polisi yang membantu kelancaran lalu lintas. Sekali dua, aku pernah merasakannya. Namun, karena aku lebih terbiasa berangkat dari rumah sekitar jam 07.00, maka para polisi baik hati itu biasanya sudah bubar jalan ketika aku lewat. Jadilah, aku harus celingak-celinguk kanan lalu kiri untuk memastikan keselamatan, tak hanya kecepatan sampai di tujuan. Barangkali karena masih pagi, sependek yang kualami, lalu lintas di jalan protokol itu tidak terlalu padat sehingga aku tak perlu menunggu terlalu lama untuk sampai di ujung utara jalur kelima menuju pasar Parteker (ujung utara Jl. Cokroatmojo). Dalam perjalanan pulang, aku nyaris tak pernah memilih jalur ini karena volume kendaraan biasanya cukup bahkan sangat tinggi sehingga waktu tunggu untuk menyeberang akan cukup lama.
Di jalur kelima, Jl. Cokroatmojo, badan jalannya lebih lebar dibanding jalan Sermes tapi tetap tak seberapa lebar karena di pertengahan jalur, ada pasar tumpah dan bahu parkir dadakan yang mau tak mau menganggu pengendara. Meski begitu, aku jarang merasa terganggu karena lebih merasa terhibur dengan pemandangan pasar tradisional. Meski laju motor harus tak pelankan karena memang ritme di situ pelan dan tidak ada yang grasa-grusu, aku enjoy aja karena bisa sekalian lirik-lirik dagangan dan menikmati pemandangan para penjual, pembeli, tukang parkir, sesekali menguping percakapan mereka hingga mengamati seorang ibu paruh baya yang sepertinya berkebutuhan khusus—kelainan jiwa—dan sering lewat di situ, berjalan kaki berlawanan arah denganku. Aksesoris tak biasa di kepala dan rambutnya, caranya berjalan dan melempar pandang memaksaku berkesimpulan sementara demikian, meski belakangan aku tak lagi sering melihatnya. Sosoknya mengingatkanku pada perempuan setengah baya yang juga berkebutuhan khusus di wilayah Sapen Jogjakarta ketika aku masih berdomisili di situ. Bedanya, rambut ibu yang di Sapen itu cepak, sedang yang di Parteker keriting dan agak panjang, barangkali sebahu.
Lepas dari pasar Parteker, ruas selatan Jl. Cokroatmojo relatif lebih lengang sehingga kecepata bisa kembali disesuaikan meski kondisi jalan sedikit kurang baik. Di ujung jalur, aku akan mendapati pertigaan kemudian sesampainya di situ, belok kiri ke Jl. Abd Aziz. Karena beloknya ngiri, maka adegan nyebrang tidak diperlukan di scene ini. Badan jalan jalur keenam ini tidak jauh berbeda dengan jalur kelima, tapi relatif lebih lebar dan di sini pula, aku akan kembali berpapasan—biasanya berlawanan arah denganku—dengan si raja jalanan, bus mini, sehingga alarm ekstra hati-hati harus dinyalakan kembali. Ada juga pemandangan mobil-mobil pribadi yang parkir di badan jalan tapi tidak terlalu mengganggu, meski ya tetap aja, lebih baik tidak ditaruh di situ. Nah, di ujung jalan itu, ada lampu merah pertama yang menungguku setelah jalur-jalur yang kupilih sejak tadi berhasil membebaskanku dari lampu merah. Jalan-jalan kota memang seringkali menyediakan dua pilihan, nyebrang tanpa komando, APILL, dan alat bantu lain atau nyebrang di lampu merah. Yang pertama relatif lebih cepat sedang yang kedua relatif lebih aman.
Karena tidak ada hitung mundur di layarnya, aku tak tahu berapa detik pengendara dari arah barat harus menunggu lampu merah berganti hijau di situ. Hanya saja, dibanding dua lampu merah lain yang akan kulalui sebelum sampai ke kampus, sepertinya durasi hitung mundur di situ cukup lama. Makanya, jika masih mungkin memanfaatkan waktu-waktu terakhir, meski setelah detik-detik pertama lampu merah menyala, aku memilih untuk tetap tancap gas di titik ini. Jarak aman dengan pengendara yang akan tumpah ruah dari jalur selatan juga cukup, sehingga hal-hal tak diinginkan sebisa mungkin dihindari. Akan tetapi jika sudah tiwas, tidak sedang keburu dan sedang mengingat segala safety riding codes, aku akan memilih menunggu meski masih mungkin untuk bablas. Biasanya, di titik ini, aku bertemu dengan orang-orang yang setujuan denganku. Mahasiswa, sesama dosen atau sesama karyawan. Di sisi trotoar yang sebagiannya sudah disulap menjadi lapak itu, ada jejeran rumah-rumah dengan penghuni yang seringkali lalu lalang seperti memerhatikan pengendara yang menunggu lampu hijau berdiri. Salah satunya adalah seorang bayi—sepertinya laki-laki—yang suka digendong perempuan yang barangkali adalah ibu atau neneknya. Jika sudah begini, mau tak mau aku ingat Rauhia di rumah dan bisikan-bisikan baper semacam, kamu lagi ngapain, Nak? Siapa yang gendong Kamu pas mama kerja? akan muncul begitu saja.
***
Begitu lampu hijau menyala, aku dan para pengendara lain yang sudah menunggu akan tancap gas ambil kanan. Mereka yang mau belok kiri di pertigaan itu juga diharuskan menunggu lampu hijau, tapi seringnya langsung belok kiri aja seolah-olah perintah belok kiri ikuti isyarat lampu bermakna belok kiri silakan bablas ndak kesuwen ngentenine. Dari situ, aku akan bertemu jalan protokol kembali, yakni Jl. Trunojoyo. Transisi nganan di situ lalu ketemu jembatan dengan posisi agak nanjak seringkali membuatku dejavu seolah-olah baru nganan dari arah Blok O di pertigaan Janti menuju arah bandara. Meski tak ada jembatan layang di situ, rasa-rasanya kok hampir sama (duh). Nah, karena masuk jalan protokol, maka badan jalanpun jauh lebih lebar, lebih mulus (meski ada sedikit gronjolan kecil di jalan raya depan tapsiun) tapi lebih banyak volume kendaraanya. Namun demikian, karena lajur kanan dan kiri dipisah, maka kecepatan kembali bisa disesuaikan di jalur ketujuh ini. Meski tidak menjadi jalur bis gede, jalur ini tetap bisa dibilang jalur cepat karena jarang aku menemukan orang berkendara santai di titik itu. Semuanya seperti dipacu waktu untuk segera melesat.
Tak lupa, jalur ini juga merupakan jalur si raja jalanan sehingga jika sudah mendekat dengan si raja, gas dan rem harus benar-benar dikondisikan sebab yang bersangkutan bisa berhenti mendadak as it wishes. Ketika masih rutin menjadi penumpang si raja ini, aku cukup memaklumi—biasanya karena alasan kejar setoran—dan tidak begitu memersalahkannya. Akan tetapi ketika beralih menjadi pengendara yang setiap hari harus bertemu dengannya, mau tak mau aku geleng-geleng kepala dengan kebiasaan dan wataknya yang seperti having no guiltiness babar blas. Belum soal knalpot yang emisinya hitam pekat dan klakson bervolume keras dan bernada tak biasa yang seperti sengajar diatur demikian seolah ingin mengatakan, semua minggiiirrr.. Ini raja mau lewat. Paspampres rasanya kalah. Karena juga merupakan jalur yang biasa dipakai pengendara dari dan ke luar kota, kendaraan yang lewat di jalur ini biasanya mulai beragam plat nomornya dan tak hanya M. Selain itum meski lapang dan mulus, jalur ini juga tetap menuntut pengendara untuk berhati-hati, utamanya di titik putar balik serta adanya beberapa pengendara—biasanya motor—yang memilih melawan arus dibanding muter arah, karena mungkin kejauhan.
Di ujung jalur, ada perempatan besar dengan empat lampu merah di masing-masing ruasnya. Jalur selatan adalah tujuanku, jalur barat ke Jalmak, sedang jalur timur ke Kangenan. Uniknya, dan ini baru kutahu di Madura, dua lampu merah akan berganti hijau secara bersamaan, yakni barat dan timur serta selatan dan utara. Barangkali rekayasa lalu lintasnya sengaja diatur demikian agar pengendara tidak terlalu lama menunggu. Meski sekali lagi, rekayasa yang demikian cukup beresiko karena tidak semua pengendara akan mengambil jalur lurus (dari selatan ke utara dan sebaliknya), akan tetapi ada juga yang ingin nganan. Karena masing-masing punya tujuan berbeda inilah, seringkali ada adegan rekayasa lalu lintas natural di titik ini. Semacam prinsip ngalah dulu biar yang lain lewat. Meski memang biasanya, mereka yang mau jalan lurus diprioritaskan dibanding yang mau nganan (ingat ujian teori SIM), meski kalau yang mau lurus datang keri sebelum lampu kuning berpindah ke merah, yang bersangkutan harus sedikit menunggu karena yang mau nganan sudah lama nunggu dari tadi.
Meski sempat shocked dengan sistem yang demikian, aku ternyata sangat diuntungkan dengan mekanisme semacam ini karena waktu tunggu yang tak lama sangat membantuku di detik-detik mengejar ceklok. Sementara menunggu, aku sering mengedarkan pandangan dan mendapati bahwa di kiri jalan, ada toko bahan kue yang cukup besar dan terlihat ramai. Bukti nyata betapa, among others, peradaban Madura adalah peradaban kue. Setiap momentum nyaris tak lepas dari kue, tepung gula dan telur yang tidak dianjurkan dalam juknis dan juklak FC (eh). Ada juga pedagang asongan, lelaki setengah baya, yang suka ngetem di situ meski terlihat tidak terlalu ngoyo menjajakan kerupuk yang dijualnya. Selebihnya, seringkali kulihat ada polisi stand by di seberang jalan. Kadang sedikit dredeeg karena satu dan lain hal, akan tetapi aku berusaha terlihat baik-baik saja mengingat secara lahir, everything on me is ok. Temanku pernah bercerita bahwa ia ditilang polisi di titik itu dengan tuduhan bablas lampu merah dan sejak itu aku menganggap bahwa polisi yang nongkrong di situ sedang mencari ‘mangsa’.
***
Begitu lepas dari lampu merah tadi, jalur selanjutnya, yang merupakan jalur terakhir, adalah Jalan Panglegur. Meski ada SPBU di kanan jalan, aku tak pernah mampir ke situ dalam perjalanan berangkat. Biasanya, aku mampir di bakul buah kiri jalan jika masih memungkinkan ngejar jam ceklok atau ketika telat sekalian. Jalur ini tentu juga masih menjadi kawasan si raja jalanan, beberapa titik bahkan menjadi area ‘kekuasaan’nya di mana beberapa orang menunggu di semacam halte bis dadakan atau turun dari singgasananya di beberapa titik. Jalan juga mulai menanjak dan melebar selepas dari Pengadilan Negeri lalu RSUD. Selain si raja jalanan, jalur ini—dan jalur Jl.Trunojoyo sebelumnya—juga banyak dilewati oleh angkutan pedesaan yang bahasa kerennya adalah Pak-De. Angkutan ini, barangkali, CMIIW, semacam pikap carry atau kijang tua yang dimodif untuk menjadi angkutan umum. Bagian belakangnya yang bolong kemudian diatapi agar bisa dihuni penumpang yang ingin terlindung dari hujan atau panas. Sekilas kuperhatikan, penumpangnya kebanyakan adalah bakul blijjha yang baru saja kulakan di pasar. Pak De ini, pintu masuknya adalah di bagian tengah belakang sehingga jika ada kelebihan muatan barang atau penumpang, akan diselipkan di pintunya. Barangkali semacam angkot, len kalau di Surabaya atau Pokemon kalau di Jogja.
Di ruas jalan ini, atau jalur sebelumnya, aku sering berpapasan dengan ibu-ibu tinggi kurus yang berjalan kaki ke arah utara. Ia suka mengenakan kerudung yang dibiarkannya hanya menutup kepala lalu diikat ke belakan. Selebihnya, dress code-nya adalah baju panjang/daster yang menutupi tubuh jangkungnya. Ia terlihat sehat, berjalan dengan mantap dan tatapan lurus ke depan. Aku tak tahu ia siapa, akan tetapi aku pernah mendapatinya di area utara Jl. Trunojoyo dan sekitar arek lancor ketika suatu ketika makan siang di situ. Berbeda dengan ibu yang kutemui di area Pasar Parteker, ibu ini tampak baik-baik saja dan tidak berkebutuhan khusus. Busana yang dikenakannya seringkali berganti meski aku tidak berpapasan dengannya setiap hari. Aku menduga ia adalah pekerja semacam pengumpul sampah plastik atau petugas kebersihan, sebab ia rutin berjalan ke arah utara di jam-jam aku berangkat kantor.
Di bagian utara, Jl. Raya Panglegur relatif tidak begitu ramai sehingga kecepatan kembali bisa disesuaikan. Hanya saja, ia juga memiliki dua titik yang dalam beberapa waktu bisa menjadi sumber kemacetan. Pertama adalah di titik putar balik depan Hotel Berlian, dan kedua adalah depan Islamic Center. Macet akan terjadi jika dua bangunan tersebut sedang menggelar hajatan karena banyaknya mobil dan kendaraan yang datang, mencari tempat parkir, mau pulang, atau sekadar lewat. Badan jalan juga kerasa menyempit begitu lepas dari tanjakan di area Makan Pahlawan dan berganti dengan jalan yang relatif rata—tidak nanjak dan tidak nurun—. Akan tetapi, pemisahan lajur kanan dan lajur kiri tetap membuat jalan protokol tersebut luas sehingga pengendara lebih leluasa. Setelah itu, di ujung selatan, lampu merah terakhir menunggu di titik pertigaan. Arah selatan ke kampus, dan arah timur ke pintu masuk terminal.
Lampu merah terakhir ini dilengkapi dengan angka hitung mundur di layarnya. Durasinya lumayan lama, akan tetapi karena lalu lalang kendaraan di titik pertigaan ini terbilang sangat tidak ramai most of time, kebanyakan pengendara—termasuk aku—lebih memilih mengabaikan lampu merah dan tancap gas perlahan sambil memastikan bahwa tak ada kendaraan dari arah timur maupun selatan yang akan melintas. Seperti merasa percuma menunggu untuk sesuatu yang nyaris bisa dipastikan tidak datang. Saking seringnya melanggar lampu merah di titik ini, rasanya wagu sekali ketika harus tertib menunggu lampu hijau menyala. Tapi, meski sangat jarang terjadi, aku pernah beberapa kali mengalaminya, misal ketika lampu hijau sudah akan menyala dalam hitungan tidak lebih dari 10 detik, ketika banyak kendaraan lain terlanjur menunggu dengan sabar di situ meski jelas-jelas lalu lintas dari timur lengang, atau ketika menggunakan seragam Korpri. Belakangan aku tahu bahwa faktor lain di balik lengangnya aktivitas pengendara dari arah timur, selain soal sedikitnya volume kendaraan dari arah timur, juga karena pengendara lebih memilih jalur tikus lewat terminal yang kurang lebih menjadi seacam jalur pintas umum. Daripada repot dan lama menunggu lampu merah, mending lewat terminal yang bebas hambatan dan langsung tembus pintu keluar. Barangkali seperti kebohongan dan kecurangan, satu pelanggaran akan mensyaratkan pelanggaran lain dan terus demikian ritmenya.
*) Tulisan selesai beberapa menit setelah internet kembali normal.
Pic: Realita.co


Tumbuh kembang Rauhia belakangan sering menggodaku untuk berpikir bahwa dua tahun pertama seorang anak adalah masa yang demikian sarat dengan perubahan. Meski mengalami sendiri dan kurang lebih mengetahui detail-detailnya, rasanya tetap amazing membandingkan Rauhia beberapa bulan yang lalu dengan Rauhia saat ini. Time really flies. Rasanya baru kemarin anak itu brojol, sekarang dia sudah bisa menyuapiku makanan dan memintaku ini itu.

Awal bulan kemarin dia genap berusia 21 bulan. 3 bulan to counts down sebelum dia idealnya disapih. Penyapihan dan Toilet Training belakangan menjadi dua issue yang cukup mengkhawatirkan. Rasanya sulit sekali dan tak terbayangkan. Tapi ya, bismillah, nanti kalau sudah waktunya, apa-apa biasanya menyesuaikan. Lagian aku mulai sadar, bahwa terkadang, kebanyakan teori dan informasi tidak selalu baik, sebab setiap eksperimen praktis memiliki keunikan yang tidak bisa begitu saja disamakan dengan precedented cases.

Karena itu jugalah, aku mulai quit berselancar informasi perihal what a 21 months child should be able to do atau yang semacamnya seintens sebelumnya. Aku lebih asyik menikmati perkembangan Rauhia yang bagiku subhanallah sekali. Ini bukan soal social comparison dengan anak-anak seusianya, akan tetapi lebih merupakan ekspresi syukur dan amazed seorang ibu atas tumbuh kembang si anak ketika dalam waktu yang sama si ibu—merasa belum total—memainkan perannya.



Tiba-tiba saja Rauhia sudah bisa begini…begitu.. ke sana, ke sini, ah, what more can I ask? Di antara berbagai perubahan dan perkembangan itu, ada beberapa hal yang bagiku menakjubkan sekali dan worth it to write, minimal buat ia baca suatu ketika.



Pertama, Rauhia suka mengigau saat tidur. Ini tentu merupakan kelanjutan dari kemampuan wicaranya yang belakangan semakin tampak. Kalimat yang diucapkannya, sependek yang kuingat, adalah satu dua kata yang telah mampu ia lafalkan, bodo amat itu benar atau salah menurut orang dewasa. Saat mengigau, matanya tetap terpejam dan igauannya bisa berhenti begitu ia menemukan yang dicari, kulit ibunya. Sementara si ibu, yang terbangun dengan kantuk yang masih berat, mendadak terhibur dengan adegan itu sekaligus bangga mendapati bahwa dirinyalah satu-satunya yang dicari si bayi. Words can never describe gimana rasanya.

Suatu ketika ia mengigau “satu dua satu dua”—dengan pelafalan versinya—dan belakangan kutahu bahwa siangnya, ia asyik bermain dengan mengulang-ulang dua kata itu. Di momen lain, ia mengigau nama salah satu tokoh kartun yang dikenalnya. Aku membayangkan bahwa alam bawah sadar Rauhia begitu merekam item-item yang baru ia kenal sehingga itu semua mewujud dalam bunga tidurnya. Dulu, bahkan setelah ia mulai belajar berbicara dan mengucapkan satu dua kata, adegan ngigau ini tak pernah terjadi. Rauhia biasanya tidur lelap dan kalaupun tiba-tiba bangun, ia hanya akan merengek atau menangis tanpa sepatah kata yang bisa difahami. Aku lalu menebak-nebak apakah kata-kata yang masuk dalam daftar igauannya, bagi dia, lebih dominan dibanding kata-kata lain yang juga sudah bisa ia ucapkan.

Kedua, kalau dulu dia adalah bayi manis yang manut sekali karena taunya hanya digendong dan disuapin, keadaan tidak lagi sama ketika ia mulai bisa berjalan, berbicara dan melakukan hal-hal baru. Dulu, utamanya awal-awal MPASI, Rauhia selalu lahap dengan apapun yang aku hidangkan. Menu-menu yang menurut orang lain aneh karena tidak pakai gula garam dll, dia lahap dan nyaris selalu habis. Dia juga mau kuajak ke manapun. Digendong ok, ditidurin ok, disuruh duduk ok, everythings ok. 



Sekarang? Beda sekali, tapi bedanya adalah tanda kemajuan dan perkembangan, karenanya patut dan wajib disyukuri. Rauhia mulai suka protes. Dia suka tutup mulut saat sedang disuapin hingga mengeluarkan makanan yang sudah terlanjur masuk di mulutnya setelah satu dua cecapan. Ini tentu berita buruk mengingat si ibu tak bisa lagi leluasa mengatur variasi makanannya seperti dulu. Si ibu sekadar bisa membelikan makanan siap santap dalam frekuensi dan variasi yang tak seberapa. Lain dari itu, Rauhia tak segan mengatakan no no no no no ketika diajak ke suatu tempat yang tak dikehendakinya. Ia juga seringkali minta digendong dan tidak mau jalan kaki, padahal sandal kecilnya sudah disiapkan. Rasanya memang lelah, tapi syukur dan bahagianya jauh lebih besar.

Ketiga, Rauhia hari ini adalah bayi dengan potensi memori yang begitu kuat untuk merekam beberapa kebiasaan dan kejadian. Ketika ibunya sedang di rumah dan dia ingin mengajak si ibu untuk keluar, ke halaman depan, samping, belakang, atau ke tetangga, maka Rauhia akan mencari-cari apa yang dia sebut mbaj. Kata tersebut merujuk pada kain penutup kepala yang sering dikenakan si ibu. Ia sepertinya mulai faham bahwa jika kain tersebut dipakai, itu tandanya si ibu sudah available untuk diajak keluar dan jalan-jalan atau main. Ketika si ibu emoh diajak keluar dan pura-pura mencari di mana jilbabnya, maka Rauhia yang sudah bisa menjangkau tempat penyimpanan jilbab si ibu akan berinisiatif lalu melangkah pasti mengambilkan dan menyodorkannya pada si ibu. Ia juga akan menangis keras sebagai tanda protes jika si ibu buru-buru melepas jilbab padahal dirinya masih ingin ngluyur di luar. Mana tahu dia ibunya panas keringetan dan buru-buru pingin lepas jilbab.

Jika dulu ia hanya bisa merekam beberapa kejadian yang dilihatnya, sekarang, seiring perkembangan motorik dan wicaranya, maqam dia mulai berbeda. Ketika si ibu melakukan sesuatu, ia menirukannya. Tak peduli itu nyetrika baju, nyapu lantai, bedakan, lipenan, lipet baju, ngerokin orang, mijetin orang, ngetokin kuku dan yang lain. Hasilnya juga bisa dibayangkan; lipen ibunya yang patah, blash-on dan bedak padat ibunya yang retak, baju-baju terlipat rapi yang selalu ingin dia rapikan kembali—tapi jatuhnya malah berantakin—dan semuanyaaa.. Suatu pagi, ketika itu, ia yang melihat rokok si bapak berserakan dengan suka cita memungutnya dan menyelipkan di mulut si bapak yang sedang tidur. Rauhia suka menirukan apa-apa yang dilakukan orang di sekitarnya, termasuk shalat dan mengaji meski dalam level tertentu, kehadirannya malah mengganggu. Tapi, sekali lagi, as it is a sign of her development, everybody is happy with that!  



Yang terkadang bikin haru adalah kebiasan—randomnya—untuk menyuapiku sesuatu yang tengah ia makan atau sudah emoh ia makan. Gelagatnya yang demikian seolah mengatakan, “aku ingin nyuapi mama juga. Jangan cuma mama yang nyuapin aku. Aku juga bisa.” Aku lupa kapan pertama kali ia melakukan ini, akan tetapi sekuat yang bisa aku ingat, aku tidak mengajarinya by words. She imitates the way I treat her. Sebisa mungkin, setiap kali bangun tidur, aku mengajaknya meneguk air putih agar ia terbiasa melakukannya. Iapun selalu responsif dengan inisiatifku dan belakangan, setelah beberapa tegukan, ia juga memintaku meneguk air putih semacam mengatakan, “Mamma, its your turn now.” Setelah itu, terkadang ia kembali menyambar gelas yang nyaris aku tandaskan isinya.



Keempat, tentang time and life management. As mentioned earlier, Rauhia mulai ingin jadwal dan time-line-nya dia atur suka-suka dia. Kalau daily schedule dia dulu sepenuhnya ditentukan oleh orang tua dan orang-orang di sekitarnya, keadaan mulai berubah belakangan. Yang paling kentara adalah jam mandi. Ketika air sudah dijerang, baju ganti sudah disiapkan dan alat tempur sudah stand by, atau ketika ibunya sudah buru-buru ingin berangkat (termasuk saat ibunya sudah packing dan berencana membawa si bayi plesir ke Surabaya), dia bisa emoh mandi. Seperti ingin mengatakan, “pokoknya ga pingin aja”. Ketika sudah begini, biasanya segala cara akan dipakai, mulai dari ngiming-ngimingi mainan yang biasa ia pakai ketika mandi hingga janji-janji palsu semacam nanti beli-beli atau nanti naik mobil. Most of time, it will work. Tapi jika tidak, dan keadaan sudah sangat mendesak, utamanya saat popok dia uda berat oleh volume air kencing atau pup, maka cara terakhir akan dipakai. Show must go on meski harus ada tangisan dan teriakan pemberontakan dia.

Lalu, apa hanya itu? Tentu tidak. Susah diajak mandi, susah pula diajak entas. Apalagi jika yang bersangkutan sedang asyik bermain air dengan sekian macam mainan dan kadang-kadang nyuri minum air dari bak mandi. Taktik jitu yang dipakai bapaknya, dengan mencipratinya air dari bak (tidak hangat) ternyata tak berhasil. Yah, dia tidak bisa terlalu lama ‘ditipu’ dengan teknik yang persis sama. Setelah proses entas berhasil, Rauhia kadang kali juga susah dipakaikan popok dan amunisi setelah mandi berupa lotion, diapers gel, parfume hingga talk. Barangkali karena efek air hangat yang baru mengguyur tubuhnya, ia tampak kegirangan bukan main sehingga yang ingin dilakukannya adalah lari-lari dan have fun. Dan karenanya tidak ingin diganggu dengan agenda apapun. Drama mandi akan menjelang titik klimaksnya ketika Rauhia tidak mau mengenakan baju dan kadang kali mengambil baju pilihannya (tentunya sambil berantakin) dari lemari. Kalau dibandingkan dengan dulu ketika dia masih mandi di atas lincak dan dipakaikan baju serta aksesoris lain di situ, rasanya benar-benar cepat sekali waktu berlalu. Rauhia mulai belajar mandi tanpa lincak sejak di Surabaya. Untungnya, ketika itu dia sudah bisa berdiri—meski masih berpegangan—sehingga kamar mandi kostnya sekaligus menjadi field area di mana dia belajar bahwa mandi harusnya dilakukan di tempat tertutup, bukan di tempat terbuka.

Belakangan, Rauhia mulai memerlihatkan pola timeline baru. Kadangkala, seharian dia tidak bisa tidur—biasanya terbangun ketika direbahkan di tempat tidur padahal posisi telah setengah terlalap—lalu begitu sore hari ibunya datang, ia akan mengajak skin to skin dengan si ibu lalu tertidur dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Jika sudah begini, maka jadwal selanjutnya bisa ditebak. Dini hari, sekitar jam 2 atau 3 pagi, dia akan terbangun dengan badan segar siap main. Jam-jam ketika si ibu seharusnya tidur lelap untuk nyetok energi besok seharian di kantor. Tapi, Rauhia mana mau tahu. Meski sudah disusui sesering mungkin dan secara verbal maupun nonverbal ibunya sudah memberi kode bahwa its time to sleep, not to play or go outside, matanya tetap terbuka lebar dan hasrat main serta geraknya tetap pol. Jika bapaknya sedang available, maka tugas menemani dia bermain saat dini hari bisa digantikan sementara ibunya memejamkan mata dengan sukma yang terbang ke mana-mana dan telinga yang masih aktif mendengar suara. Tapi jika tidak, ibunya harus pintar berimprovisasi dan mengondisikan segala hal akan tak terjaga lebih dari jam setengah 7. 



Kelima, dan ini barangkali adalah kabar buruk, Rauhia semakin pintar mengoperasikan gawai. Rasanya grade ibunya langsung terjun bebas. Sejak kecil, ia memang tak streil dari gawai. Sebatas nonton sepuluh menitan video di Yutub atau di file yang tersimpan di laptop ketika sebelum genap dua tahun, bapaknya sudah menggendong dia dengan posisi duduk ngadep depan. Meski sudah ribuan artikel yang dibaca soal bahaya gawai bagi anak kecil, termasuk iklan-iklan mainan edukatif jutaan rupiah yang mengklaim diri sebagai alternatif gawai, ibunya tetap kesulitan menjauhkan Rauhia dari gawai. Alasan yang paling ketara adalah karena ibu dan bapaknya sering sekali memegang gawai termasuk dalam jam-jam di rumah ketika bersama Rauhia. Yah gimana mau njauhin anak dari gawai kalau ngurangi kontak sama gawai aja susah. Kalau alasan apologisnya ya, sebenaranya gawai tidak sepenuhnya buruk untuk si anak asal konten dan durasinya dikontrol.

Dari menonton dan mendengarkan video-video Baby Nusery Rhymes di Yutub oflen, belakangan Rauhia mulai bisa mengajukan request kalau dia ingin beraudio visual. Sebagian permintaan itu dikabulkan, sebagian lagi dialihkan ke hal-hal lain, termasuk buku cerita yang sudah sukses dia rusak sampulnya dan robek beberapa halamannya (but that’s ok, Babe) atau hal-hal lain yang menarik perhatian dia, semisal binatang, jalan-jalan cari angin, bertemu orang-orang hingga beli-beli. Setelah tahu caranya request, Rauhia mulai belajar bahwa request-nya bisa dispesifikasi. Ia seringkali menunjukkan ekspresi emoh menonton satu file dan memberi kode keras untuk mengganti dengan video lain. Tak kira perkembangannya akan berhenti di sini, e belakangan, dia mulai terlihat memahami cara kerja layar sentuh ketika di halaman yutub offline. Ganti file ini lalu ganti itu seperti sudah mahir, termasuk menggeser ke samping untuk melihat koleksi foto yang suka ia request dengan kode Hia nik (means: Aku mau lihat potoku (Rauhia) pas masih kecil). I am pretty sure no one taught him to do verball, she observes and imitiates what she find. 

Ibunya selalu berusaha melihat semua tahap perkembangan Rauhia sebagai very much blessing yang tidak melulu harus dilihat secara hitam putih. Sambil terus menyusun strategi dan berupaya bagaimana bisa mengurangi kontak dengan gawai ketika bersamanya, si ibu mau tak mau bahagia ketika Rauhia could perfectly notice her  mother in any picture, baik soft maupun hard file-nya. Ini pertama kali diketahui si ibu ketika menunjukkan poto Prajab bersama 39 orang temannya. Iseng, si ibu bertanya "mana mama?" dan dalam waktu tak kurang dari setengah menit, Rauhia sudah menunjukkan jarinya pada potret si ibu yang setengah tersenyum dan setengah menahan silau matahari. Dari situ, si ibu merasa so encouraging karena si bayi bisa mengenal wajahnya. Kebanggaan dan kebahagiaan yang sangat simple namun bisa menyembuhkan ke-nesu-an yang kadang jauh lebih njlimet. Lalu mulailah, si ibu hobi mengajak anaknya mantengin poto-poto di menu galeri gawai dengan pertanyaan yang sama "mana mama?" dan si anak--almost always-- dengan yakin mendekatkan telunjuknya pada layar yang menampakkan wajah si ibu.  (TBC)

Foto: Dokumentasi Pribadi. 
Kepsyen: Rauhia sedang menjajal jilbab baru ibunya dan berusaha mengenakannya berbekal scene-scene 
yang biasa ia lihat dan amati.





#11 hal teknis: Selain dan setelah kolom pernyataan tanggungjawab, kolom Info Detail Spesifik dan Pemrosesan Nomor Eksemplar juga dilewati. Entah seharusnya diisi bagaimana. Ini sebenarnya kabar gembira karena dengan begitu, itu berarti tak (terlalu) banyak titik yang harus dilihat, diedit dan atau dikoreksi.  

#11 hal non-teknis: Ketika melakukan proses penyuntingan, biasanya di bagian judul dan pengarang, tak jarang kami harus sambat terhadap data yang sebelumnya tersimpan. Ini utamanya terjadi pada kesalahan yang cukup fatal dan tidak sekadar typo. Biasanya juga, demi pos-ngapose (Maduresse meaning) diri sendiri karena merasa ikut menanggung dosa warisan dengan kewajiban mengubahnya sesuai pedoman dan kesepakatan, ada beberapa nama yang disebut seolah-olah ybs adalah yang bertanggungjawab atas kesalahan tersebut. Seringkali juga dengan perkiraan waktu dan suasana ketika yang bersangkutan melakukan input data ke sistem. Buat lucu-lucuan aja sih, jadi harapannya malaikat pencatat amal mengerti kalau itu semua sekadar joke and not taking it seriously.
 
#12 hal teknis: Selanjutnya, setelah beberapa kolom yang dibiarkan tidak tersentuh tersebut dilewati, akan datang kolom bernama Data koleksi. Sampai di sini, kehidupan mulai terlihat ribet. Ada beberapa subbagian di kolom yang, among others, spesial karena memiliki semacam subwindow dengan beberapa menu di dalamnya yang juga bisa di-scroll up-down.  Beberapa menu tersebut adalah Edit, Delete, Kode Eksemplar, Lokasi, Lokasi Rak, Tipe Koleksi dan Status Eksemplar. Apa semuanya harus dilihat kemudian dipastikan kecocokan datanya? Yes absolutely! 

#12 hal non-teknis: Untuk meredakan kebosanan dan ketegangan syaraf otak serta otot, kami juga dituntut untuk kreatif membuat acara selingan. Pernah, sekali ketika itu, kami rujakan meski tidak semua anggota nimbrung dan sepertinya, hanya dua orang yang membawa amunisi dari rumah. Kultur Madura memang nyaris tidak bisa dilepaskan dari rujakan dengan bahan utama petis yang juga khas Madura. Semua kebosanan dan kelelahan di UB kemudian tumpek blek di atas sebuah cobek lumayan besar yang menampung sambal petis dan ulek-an cabai. Enak dan bahagia sekali.

#13 hal teknis: Di kolom data koleksi ini, ada menu Tambah Eksemplar baru dengan beberapa subkolom di dalamnya consisting of Judul, Kode Eksemplar, Nomor Panggil, Kode Onventaris, Lokasi, Lokasi Rak, Tipe Koleksi, Status Eksemplar, Nomor Pemesanan, Tanggal Pemesanan, Tanggal Penerimaan, Agen, Sumber Perolehan, Faktur, Tanggal Faktur lalu Harga (8 terakhir di-skip). Kolom TE ini hanya diklik jika ditemukan eksemplar yang belum terdata di sistem, sementara identitasnya sudah well recorded. Most of cases, yang diklik adalah kolom Edit dan subkolom di dalamnya sama plek dengan kolom TE. Hanya, karena namanya saja menyunting, bukan menambahkan data baru, ada beberapa kolom yang sudah terisi otomatis dari sistem, semisal Judul dan Kode Eksemplar (nomor barkode di sampul belakang buku), yang sekaligus disebut sebagai Kode Inventaris. FYI, dua nomor yang sama ini dibikin sendiri oleh perpustakaan berdasarkan daftar inventarisnya (sudah tak jelaskan di tulisan sebelumnya) dan biasanya disertai dengan huruf C di belakang sekian digit nomor tersebut. Nah, seringkali, yang harus diedit/ditambahkan di bagian ini—utamanya kode inventaris—adalah huruf C (mungkin kependekan dari copy) dan digit di belakangnya yang kira-kira merupakan nomor eksemplar buku yang dimiliki perpustakaan. C1 biasanya ditaruh di tandon atau di koleksi sirkulasi tapi tidak dipinjamkan, sementara C setelah/selain 1 bisa masuk di sirkulasi. Dari mana pengedit data bisa tahu  soal C1 dan seterusnya? Biasanya dari data di Kode Eksemplar, jadi Kode Inventaris tinggal menyesuaikan dengan hanya Ctrl C kemudian Ctrl V. Untuk buku yang berjilid, dua kode ini biasanya ditambah dengan J standing for Jilid, mungkin. Seringkali juga, ketika kursor mendekati kolom Kode Eksemplar, ada informasi berwarna merah sounding “ID Already Exists! Please use another ID”. Barangkali untuk memastikan bahwa ID yang sama tidak terdata dua kali. Apakah selesai sampai di situ? Tunggu dulu.

#13 hal non-teknis: Sejak beberapa bulan yang lalu, perpustakaan kami memiliki Corner pertama called BI Corner. As far as I can tell you, kami dapat bantuan dari BI berupa sekian kardus buku dan beberapa properti untuk membuat Corner. Satu set computer, TV, meja, kursi, rak buku sofa dan yang jelas tulisan BI Corner untuk dipasang di spot yang strategis. Buku-buku koleksi BI Corner cukup beragam dan tidak hanya melulu soal banking. Koleksi tersebut juga tidak dipinjamkan, tidak terkecuali bagi mereka yang bekerja di perpustakaan sepertiku. Karena itu, selama Januari dan UB berlangsung, aku sambi membaca Origins, novel terbaru Dan Brown yang merupakan salah satu koleksi di BI Corner. Sensasinya cukup berbeda dengan momen-momen membaca novel Dan Brown sebelumnya karena pikiranku terasa lebih terforsir pada agenda UB, selain karena aku tak bisa bebas bertemu buku itu 24 jam sehari 7 hari sepekan. Aku juga sadar betapa penting dan urgennya agenda ini untuk perbaikan data, peremajaan konten sistem juga amal jariyah pribadi, sehingga betapapun santifik novelnya, unsur fiksi di dalamnya excitement-ku tak sebesar biasanya. Semacam berpikir, “mari lebih seriusi dunia nyata dibanding bayang-bayang dunia imanjinasi, betapapun santifiknya.”

#14 hal teknis: Dalam beberapa kasus luar biasa, ada satu judul buku yang eksemplarnya atau kuantitas fisik yang dimiliki perpustakaan berada di atas ukuran normal. Ini biasanya terjadi pada buku-buku hibah hasil anggaran pemerintah. Seingatku, aku pernah menggarap UB untuk dua item buku yang jumlah eksemplarnya 70-80an. Kerasanya memang jalan di tempat, ketika teman-teman lain uda berhasil meng-gedebuk-kan buku ke lantai pertanda buku tersebut selesai diproses, aku masih bolak-balik ke C sekian lalu ke C sekian. Monoton seperti itu bukannya bisa dispelekan, justru membutuhkan fokus dan konsentrasi lebih penuh, juga akal yang lebih cerdik. Apalagi, setelah satu data C selesai, jendela akan kembali ke C1 lagi sehingga pengentri harus mengingat betul, C berapa yang baru saja dikerjakannya. Untuk meredakan kebosanan, aku biasanya ngerjain dari digit paling bontot, balik lagi ke digit paling awal, begitu seterusnya meski peluang ada C yang terlewati juga besar.   

#14 hal non teknis: Agenda UB ini, kalau boleh kubilang, semacam agenda tambahan alias lembur yang statusnya di luar tugas pokok. Gampangnya, kami mendapat bayaran tambahan--selain gaji bulanan--dari garapan ini. Hitungannya harian, sehingga tiap hari kami harus mengisi absen untuk kepentingan arsip dan rekap honor. Dalam praktiknya, tidak semua dari kami rutin mengisi absen harian. Ada beberapa yang lebih suka rapelan ttd agar tidak ribet dan bolak-balik. Ada juga, sependek yang kulihat, gejala di mana para pengentri tidak mau membubuhkan namanya di urutan pertama daftar hadir. Entah alasannya apa. Aku pernah sesekali, ketika merasa kerjaku penuh dan deserves for appreciation, kutaruh namaku di urutan pertama. Tapi jika tidak maksimal, aku biasanya ikut trend. Rule-nya seperti kalau kita kencing, maunya jauh dari orang lain. Btw soal honor ini, barangkali, ia jugalah yang membuat kami harus mencari cara untuk menyalakan semangat menyelesaikan garapan dalam posisi secapai, selelah dan semembosankan apapun. Di tengah perjalanan, sebagian dari kami mulai mewacanakan apakah honor bisa dicairkan sebelum agenda berakhir, sayangnya wacana tersebut tidak terealisasi. Kami harus menyelesaikan dahulu dan baru boleh membincangkan bayaran. :)
 
#15 hal teknis: Selain Kode Eksemplar dan Kode Inventaris, nomor lain yang juga harus dipastikan kecocokan datanya adalah Nomor Panggil. Nomor Panggil ini, suppossed to be, sudah terinput otomatis jika data di menu utama juga sudah terisi. Sebagian besar terisi dan sebagian lain mengharuskan pengedit untuk menambahkan data baru. Rumusnya tidak sulit, yakni klasifikasi (Desimal Dewey), tiga huruf pertama nama pengarang dan huruf pertama judul. Kelihatannya sederhana tapi keadaan jadi berubah rumit ketika nomor panggil, yang tertempel di buku dan terekam di data, ternyata keliru. Bingung antara mau mbenerin dengan resiko akan ada perbedaan data antara di sistem dan di fisik buku atau dibiarin salah seperti itu demi alasan kesamaan data. Untuk kesalahan fatal, semisal nomor klasifikasi yang keliru, biasanya akan dilakukan pelepasan data di buku. Akan tetapi, sependek yang kutahu, tidak banyak yang melakukan ini. Barangkali dan yang kutahu, hanya Bu Neli yang memang berkompeten dan otoritas keilmuannya bisa dipertanggungjawabkan.

#15 hal non-teknis: Di sela-sela garapan UB, kami disegarkan oleh angin semilir bernama jasket alias jas jaket. Akhir tahun lalu kami memang sempat bertemu dengan penjahit yang diundang langsung ke ruangan Pak Kapus untuk memastikan ukuran masing-masing kami. Ngukurnya tidak pakai S M L XL atau yang lain, akan tetapi diukur secara manual untuk memastikan presisi tidak meleset. Soal rembukan warna aku tidak ikut-ikut, tapi pas jasketnya baru diambil dari rumah si penjahit, aku bersyukur tidak jadi beli jasket temen2 DTNP karena warnanya nyaris sama. Hanya memang, tidak ada sablon tulisan di manapun, seperti “IAIN Madura” di jasket teman-teman DTNP. Selain soal warna, kualitas jasket juga oke punya, Bahan berkualitas dan ukuran pas. Sepertinya semua anggota perpustakaan bertestimoni sama. Bahagia rasanya, dapat jasket cuma-cuma di tengah tuntutan kerja yang padat dan sudah mulai terasa membosankan. Kami lalu merayakannya dengan foto bersama meski tidak semua anggota nampang karena beberapa lagi ada keperluan di luar, termasuk Kepala Perpustakaan. Jadilah kami adakan momen photo session kedua dengan formasi lengkap dan persiapan yang lebih matang.   
 
#16 hal teknis: Di bawah kolom Kode Inventaris, ada kolom-kolom Lokasi (hanya ada satu pilihan, yakni My Library, jadi bisa di-skip saja), Lokasi Rak (disesuaikan dengan nomor klasifikasi, atau bagian paling awal dalam nomor panggil),  Tipe Koleksi (terdiri dari Reference, Textbook, Fiction, Skripsi, Tesis, Disertasi, Jurnal dan Laporan Penelitian, tinggal pilih salah satu), Status Eksemplar (Tersedia, Repair, No Loan dan Missing, tinggal pilih satu juga), lalu beberapa kolom terakhir yang biasa di-skip, terdiri dari 8 kolom yang sudah tak jabarin di bagian 13. Melihat menu yang sebegitu banyak dan lengkapnya, aku hanya berpikir sederhana, ini sempat dan serius banget ya, yang bikin aplikasi. Semoga amal jariyahnya ngalir terus. Seperti kami para pengentri yang berharap agar kerjaan kecil ini dapat menjadi amal jariyah, minimal karena telah memutus rantai turun-temurunnya kesalahan data yang terekam di sistem dan memudahkan siapapun yang mengakses laman perpustakaan dan tengah berburu informasi perihal bahan pustaka.
#16 hal non-teknis: Selain momen kedatangan jasket dan foto bersama dua sesi, kami juga menggelar acara lain, yakni makan-makan akbar. Kali ini edisi ketiga sejak aku bertugas di perpustakaan. Jika dua sesi sebelumnya aku ditugasi membawa buah, maka dalam sesi ketiga ini, aku ditugasi ikan goreng. Yah ndilalah aku suka nyantap ikan laut, jadi H-1 acara makan-makan, aku dan Bu Septi hunting ikan segar ke Pasar Branta kisaran jam dua siang ketika nelayan baru pulang melaut. Heroik dan militan sekali. Rasanya selalu menyenangkan bertemu dengan sisi-sisi lain kehidupan yang jauh dari pemandangan keseharian. Aku jadi menurunkan standard menawar harga di depan penjual kalau ingat bahwa proses menangkap ikan bukannya tak memertaruhkan nyawa di tengah laut. Duh ampuni aku, Gusti.

Dan soal makan bersama, masing-masing kami membawa bekal dari rumah. Ada yang dengan menu andalan (jangan kelor Pak Faruk, pepes cakalan Pak Agus, terung balado Pak Rofiki dan sambel pete Bu Septi), ada juga yang rolling-an (Pak Iyad bawa air mineral, biasanya tahu tempe goreng, Bu Enni ganti bawa tahu tempe, biasanya dadar telur, Bu Zaki ganti dadar telur, biasanya bakwan udang, dan Mas Ojik yang biasanya buah, ganti bawa bakwan udang). Makan bersama juga menjadi moment aku citing sepenuhnya dari jalan lurus FC seharian, bahkan jeniper sekalipun. Menunya benar-benar tak bisa ditolak dan meski ada satu dua suap buah, sarapan pagi itu sukses membuat kantuk luar biasaku datang. Kami juga masih sempat makan siang karena ada sisa amunisi yang bahkan masih bisa dibawa pulang setelah dibuat makan siang, sebab beberapa di antara kami ada yang diundang ke fakultas sebelah, acara makan-makan juga. Syukuran sidah terbuka disertasi.


FYI makan-makan ini berani kami gelar bahkan sebelum garapan selesai, meski memang sudah tinggal sedikit lagi. Idealnya sebagai selebrasi kebebasan dari agenda UB ya, tapi dengan beberapa pertimbangan, selain karena agenda ini adalah rutinitas ketika liburan semester, jadilah kami menggelarnya prematur saja. Agenda tetap terlaksana aman dan terkendali karena ini adalah rutinan, sehingga sudah ada kode-kode tak tertulis terkait SOP-nya.



 #17 hal teknis: Setelah terbebas dari belantara kolom Data Koleksi, sedikit angin segar akan datang dengan beberapa kolom yang biasa di-skip terdiri dari GMD, Tipe Isi, Tipe Media, Tipe Pembawa serta Kala Terbit. Setelah itu, akan muncul kolom ISBN/ISSN yang biasanya juga di-skip ketika sudah ada data yang terekam di situ. Tapi, seringkali, banyak data yang tidak dilengkapi ISBN-nya.  Ketika ini terjadi, biasanya kesal sendiri sambil bertanya-tanya kenapa sih, ada yang masih mengosongkan ISBN/ISSN? Apa karena tidak tahu arti pentingnya atau simply karena malas? Padahal, ISBN/ISSN tak susah dicari. Ia biasanya ada di halaman identitas buku, kadang di sampul belakang (sebagian kasus harus diterawang karena sudah ketindih oleh Kode Inventaris). Meski memang, sebagian besar buku kadang memang tidak mencantumkan ISBN/ISSN, seperti buku-buku terbitan timur tengah berbahasa Arab. Aku belum pernah menghitung ada berapa digit, tapi sepertinya tidak selalu sama dan seringkali dipisah dengan strip, mungkin untuk memudahkan sekaligus agar tidak salah ketik juga. Ohya, buku terbitan luar berbahasa Inggris biasanya berdigit lebih sedikit dan huruf-huruf awalnya beda dengan buku terbitan dalam negeri yang biasanya dimulai dengan 979.
#17 hal non-teknis: Yang paling mengenaskan dari proses UB adalah, saat pengentri hanya bisa berinteraksi dengan buku secara fisik. Mereka sekadar mengetahui identitasnya, keadaan fisiknya dan detail-detail lain, tanpa ada waktu leluasa untuk membacanya. Kadangkala ini bikin melo, selain karena minat baca pribadi yang cetek. Ketika segepok buku yang berhasil diproses hanya lewat di meja tanpa sedikitpun disentuh isinya, rasanya kok ya ironis dan paradoks sekali. Pegawai perpustakaan kok bacannya sedikit sekali. Kok wacananya minim banget. Kerja cerdas memang membutuhkan kombinasi seimbang antara endurence tenaga fisik dan supply wacana yang adequate. Wes lah, minimal faham teorinya dulu. Praktiknya nyusul belakangan.


#18 hal teknis: ISBN/ISSN done lalu beralih ke beberapa data penting meliputi Penerbit, Tahun Terbit dan Tempat Terbit. Dibilang penting utamanya karena tiga hal ini akan diburu oleh pembaca yang mengambil informasi dari sebuah buku untuk ditulis di daftar pustaka atau catatan kakinya. Kolom Penerbit dan Tempat Terbit terintegrasi dengan Master File seperti pada kolom Pengarang, sementara tahun terbit bisa dibubuhkan begitu saja. Anehnya, ada segelintir data yang tahun terbitnya ditulis lebih dari satu. Setelah tak cek di fisik bukunya, ini terjadi pada buku-buku yang mengalami cetak lebih dari satu kali. Jika cetakan pertama pada 2018 dan kedua pada 2019, misalnya, maka dua-duanya itu ditulis. Freak sekali. Makanya harus dan wajib diubah, biar tidak menjadi dosa turunan. Ohya, ada cerita khusus soal kolom Tempat Terbit di mana cukup banyak buku yang di sistem tertulis tempat terbitnya di Hoboken NJ. Jika sudah bertemu dengan data yang demikian, dipastikan data tersebut perlu diubah, seringkali dengan nama penerbitnya karena Hoboken—yang entah nama apa itu—adalah indikasi kuat bahwa sebuah buku tertentu dientri datanya ke sistem tidak dalam proporsi yang seharusnya. 
Sekali lagi, seperti beberapa kolom lain, tiga kolom ini, meski terlihat sederhana, tidak sesimpel itu. Beberapa kasus di lapangan membuktikannya. Beberapa di antaranya adalah perihal kota terbit yang kadang susah ditentuin. Sebabnya ada dua, minimal. Pertama adalah tertulis dengan huruf Arab dan yang pasti tanpa harakat, dan kedua adalah buku-buku berbahasa Inggris yang penerbitnya sudah memiliki banyak branch di berbagai kota dan parahnya, semua kota itu ditulis. Kalau sudah kasus kedua ini, maka proses UB tidak bisa dilakukan cepat dengan teknik scanning and skimming. Informasi buku menuntut pembacaan cukup intensif sehingga seringkali, skipping-lah yang akhirnya dilakukan mencantumkan salah satu kota yang disebut. Bodo amat, suruh siapa semua cabangnya dicantumin, seolah-oleh mengatakan demikian. Tentu saja, dua kasus tersebut lebih rumit dibanding jika sebuah buku tidak ketahuan identitasnya. Cukup tulis aja s.a (jika tidak ada tahun terbit) atau s.l (jika tidak ada tempat terbit). 


Selain itu, terkait Master File, persoalannya juga jadi sedikit ribet ketika ada beberapa item yang esensinya sama cuma ditulisnya beda. Ada item Beirut Libanon, ada juga yang BEIRUT, misalnya. Idealnya ya Beirut doank, hanya karena malas bolak-balik ke Master File, dipilihnya yang pertama. Harapannya ya semoga pengentri lain pikirannya tidak se-jalan pintas sentris aku. Bukan tidak pernah sih, sesekali menyambangi Master File untuk ngubah atau nambah. Cuma pas posisi ngubah, biasanya sistem secara otomatis menolak jika ada data yang persis sama esensi dan penulisannya sebab satu data yang sama bisa tersimpan ganda di Master File karena berbeda penulisan (terkait kapital, biasanya). 


#18 hal non-teknis: Di sela-sela proses UB, pikiran lain yang juga menyedihkan, selain konsumsi bacaan, adalah tentang produktivitas menulis. Ketika memroses buku yang datang dari berbagai penjuru dan sekian set otak serta proses, mau tak mau muncul pertanyaan pada diri sendiri perihal, masa iya kerjamu hanya mroses dan baca buku? Apa tidak ingin ikut menulis juga? Antara pesimis dan optimis, antara keyakinan dan keraguan, impian-impian masa kecil dan ambisi-ambisi selama menjadi mahasiswa itu muncul lagi. Well, jadi program UB ini menjadi semacam recharging moment juga, misal saat mengetik nama seorang penulis lalu ada sederet judul buku yang pernah dihasilkannya. Rasanya tidak sah kalau tidak iri. Aku kapan aku kapan?
#19 hal teknis: Kolom yang juga harus di-bleteti adalah Deskripsi Fisik, sehingga kesabaran dan ketahanan sangat dibutuhkan di sini. Tugasnya sounds spele sih, cuma kalau dilakukan berkali-kali dalam ritme yang monoton, akhirnya kelelahan juga. Data yang dibutuhkan di kolom ini adalah jumlah halaman, baik halaman inti maupun halaman pengantar, lalu panjang dan lebar buku dalam ukuran cm. Sebagian besar buku yang kujumpai memiliki halaman awal dan halaman inti. Yang pertama dengan angka Romawi kecil dan yang kedua menggunakan angka Arab. Dibanding yang kedua, yang pertama lebih jarang dicantumkan, entah karena kesengajaan atau tujuan lain. Deskripsi ini kadangkala tercantum secara jelas di lembar identitas buku, akan tetapi sebagian besar buku tidak menyantumkannya.

Lucunya, ada buku yang bahkan tidak menyantumkan halamannya, sehingga pengentri harus menghitung masing-masing halaman dan tidak bisa straightforward ke halaman terakhir untuk menulis jumlah halaman. Aku pernah sekali bertemu dengan buku semacam ini dan untungnya, jumlah halaman tidak seberapa sehingga jariku tak jadi keriting karena berlebihan menghitung halaman buku dengan gaya menghitung uang. Ada juga, kasus lain, buku-buku berbahasa Arab yang halaman pengantarnya tidak ditandai dengan huruf Romawi kecil, akan tetapi justru dengan aksara alif ba’ ta’ versi semacam ABCD. Jadi kerasanya sangat wagu dan juga melelahkan karena harus kembali berhitung. Kasus lain yang juga berbeda dengan kebanyakan buku yang ditangani adalah buku-buku berbahasa Inggris yang di bagian belakang masih ada appendix-nya dengan lembaran yang kadang jauh dari kategori sedikit. Mau dicantumin bingung aol mau ditaruh di mana dan bagaimana, tidak dicantumin rasanya kok kurang menghargai usaha penulisnya yang uda nyusun appendix. Akhirnya ya ditinggalin gitu aja. Dan yang pasti, untuk ukuran PXL, para pengentri membutuhkan penggaris. Bisa joinan dengan teman sebelah sih, tapi more preferable kalau one man one ruler sih sebenarnya.

#19 hal non-teknis: Dari moment UB, telingaku yang berkenalan dengan genre musik baru diam-diam mulai menyukai, sedikitnya, dua hal baru. Dangdut Koplo dan Reggae Malaysia. Aku mulai faham bahwa untuk kerja-kerja yang menunt endurence tinggi dan fokus yang relatif tidak besar di mayoritas bagiannya, bukan instrumen-lah yang paling pantas menemani. Instead, musik dengan beat yang tinggi adalah jawabannya kaena ia bisa menghidupkan suasana dan menemani bekerja sehingga otak dan jari terasa tidak terlalu keriting karena aliran dari telinga ke otak juga lancar dan membawa nuansa cheerful dan happy!
#20 hal teknis: Kolom di bawah Deskripsi Fisik adalah Judul Seri (biasanya hanya dipakai untuk buku-buku serial, semisal Seri Pengembangan Diri, dll), Klasifikasi (yang bisa langsung nyontek dari Nomor Panggil di punggung buku), Subyek (juga terintegrasi dengan Master File dan aku pribadi hanya memahamia aturan soal item-item di bagian ini by practice, instead by theory), Bahasa (yang ternyata hanya ada empat opsi; Arab, Inggris, Indonesia dan Madura) lalu Abstrak/Catatan, Gambar Sampul, Lampiran Berkas, Data Biblio Terkait yang semuanya di-skip lalu tiga pilihan terakhir, Sembunyikan di OPAC dan Promosikan ke Beranda serta Label yang juga di-skip.   


#20 hal non-teknis: Selain perihal selera dan genre musik, berkumpul di ruang P2SAD juga menghadirkan banyak cerita baru dari obrolan-obrolan dengan teman setim. Obrolan inilah yang bertugas memecah keadaan ketika kami tiba-tiba sibuk ngomong dengan komputer masing-masing. Biasanya, satu orang menjadi narasumber lalu yang lain sibuk menanggapi. Tema obrolannya macam-macam, mulai dari cerita-cerita lama di kampus, cerita dari rumah masing-masing, cerita yang sedang trending hingga obrolan-obrolan renyah lain yang ragamanya melebihi rubrik di siaran berita atau kabar koran.

#21 hal teknis: Setelah beberapa kolom tersebut dilewati, tibalah pada kolom kemenangan di bagian bawah bertulis Perbaharui. Sebelumnya, akan ada gedebug buku ke lantai yang menandakan bahwa buku tersebut sudah diperbaharui datanya sehingga bisa dilanjutkan prosesingnya ke tahap lanjutan. Yah, proses UB tidak berhenti di situ sebab masih ada proses pemindaian sampul buku yang dikomandai Pak Faruk dengan pasukan anak magang. Dari beberapa spot UB, tim pemindaian ini akan mengangkut buku ke meja pemindaian lalu memrosesnya dan setelah itu, mengembalikan buku ke tandon.     
#21 hal non-teknis: Seolah-olah direncanakan detail dan matang, agenda UB turns out semacam agenda Januari. Kami mulai menggarapnya sejak 2 Januari dan menyelesaikannya tepat pada 31 Januari. Prediksi awal, pekerjaan ini akan take time sekitar dua pekan, tapi ternyata tidak demikian adanya karena selain garapan yang tak bisa dikategorikan mudah dan enteng, banyak juga selipan acara lain di tengah-tengah agenda. Yang paling menyedihkan, namun syukurlah karena muncul di penghujung agenda, adalah rolling-an karyawan yang ‘mengambil’ empat karyawan Perpustakaan dan salah satunya adalah Kepala Perpustaaan kami. Semacam klimaks, kami begitu merasakan kepuasan dan kegembiraan karena UB seles
ai—yang artinya honor untuk proyek ini juga akan cair—namun juga menderita sedih luar biasa dengan rutinitas promosi kenaikan jabatan tersebut. Bagiku sendiri, kegembiraan menyelesaikan UB sedikit terasa hambar ketika belakangan menyadari—lewat obrolan dengan Bu Naili—bahwa yang kami garap barulah buku-buku koleksi di sirkulasi dan referensi. Karya ilmiah lain, semisal jurnal, skripsi, laporan penelitian dan majalah belumlah tersentuh dan, supposed to be, well updated as well. Above all I appreciate the work and so grateful for having it done.  
Last but not least, meski masih jauh dari kesempurnaan dan flaw masih di sana-sini, aku meyakini proses ini adalah ikhtiyar dan perwujudan iktikad untuk melakukan sesuatu demi diri sendiri dan orang lain. Semoga tercatat sebagai amal jariyah, semoga program ini kembali--kalau bisa rutin-- diselenggarakan dan semoga perpustakaan semakin kondusif mewadahi aktivitas literasi masyarakat kampus.

Foto: Photosession II setelah makan akbar. Courtesy Umarul Faruq, S. Kom 
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 

MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.