Ketika membuat last year errand, two top lists-ku adalah quit breastfeeding dan toilet training Rauhia. Sayang yang terlaksana hanyalah penyapihan, sementara yang lain harus antri ikutan errand tahun ini. Frase teknis ini pertama kali aku denger dari temenku yang berprofesi sebagai bidan. Pas itu kami sedikit menyinggung soal ini ini dan dia berujar bahwa salah satu mata kuliah yang diambilnya semasa bersekolah adalah ‘toilet training’. “Oh, jadi ada teorinya,” longoku ketika itu. Di beberapa WAG yang aku ikuti, ibu-ibu muda yang dulu adalah teman satu sekolah dan satu kelas juga kerap bercerita soal ups and downs pengalaman pun perjuangan mereka melakukan toilet training.   


FYI sejak lahir ke dunia ini, Rauhia adalah konsumen popok sekali pakai kelas menengah ke bawah. Aku yang sejak kandungan berusia 7 bulan sudah menyediakan keperluan persalinan plus popok pertama yang akan ia pakai sedari awal diwanti-wanti agar tidak membiasakan bayiku menggunakan popok yang harga belinya mahal. Selain karena popok pada akhirnya akan dibuang, menurut umik, popok yang harganya mahal dan murah tidak jauh berbeda. Asal cocok di kulit dan rutin diganti, soal kualitas dan merk jadi prioritas terakhir.

Ok aku manut umik meski ketika itu aku cukup intens mengonsumsi informasi soal perpopokan dan mulai mengenal istilah cloth diaper yang katanya jauh lebih ramah lingkungan dan kalau ditotal sakjane lebih murah dibanding pospak, meski memang lebih ribet dikit utamanya bagi mereka yang belum terbiasa. Aku bahkan juga sudah membeli selembar inner clodi yang sampai sekarang belum pernah tak pakaikan ke Rauhia. Aku akhirnya tak jadi menggunakan clodi karena tidak punya modal yang banyak di awal, ngejar praktis dan efisien dan yang pasti technically, hari-hari pertama setelah melahirkan tak memberiku banyak kesempatan dan ruang gerak seleluasa sebelumnya. Alasan lain yang lebih konkrit adalah bahwa ketika open house setelah kelahiran Rauhia, banyak tamu yang membawakan pospak. Ya masa mau dibuang, dikembalikan, atau dituker ke toko? Ok, jadi dipake aja.

Jadilah, selama nyaris tiga tahunan, Rauhia adalah konsumen aktif pospak kelas menengah ke bawah yang saking ke bawahnya, dua mart waralaba yang ekspansinya ke mana-mana itu tidak menjual popok yang dipakai Rauhia. Aku pernah bercerita soal ini di tulisan lain, dan keadaan itupun tak berubah hingga beberapa saat yang lalu. Aku betah pada pilihan itu selain karena tidak ada masalah berarti dengan kulit sensitif Rauhia, harganyapun murah di kantong, seperti yang digambarkan dengan celengan ayam di bungkus popok berwarna hijau toska tersebut. Yang juga penting, aku tak kesulitan mendapatkannya di tempat tinggalku. Di warung tetangga, di  swalayan samping kampus, swalayan kuno yang selalu menjadi tempat favoritku selama kecil, dan tempat-tempat lain banyak yang menyediakan popok tersebut.   

Meski tidak seberapa menguras isi dompet (maksimal ngabisin 150k untuk konsumsi popok sebulan), aku bukan tak kepikiran untuk segera menyudahi penggunaan pospak ini. Namun demikian di lapangan, semuanya terasa sulit dan tidak mudah; aku full bersama Rauhia selama 24 jam hanya pada Hari Sabtu, Ahad atau ketika cuti dan tanggal merah. Rasanya susah membayangkan bahwa agenda ini bisa sukses dalam jangka waktu 48 jam, sementara, seperti sudah menjadi kodrat (padahal sebenarnya ini sangatlah socially constructed), ibulah yang paling bertanggungjawab menginisiasi, menjalankan dan menyukseskan program toilet training ini. Anggota keluarga yang lain hanya menyemarakkan, mendukung sebisanya dan kalau ada kesempatan, menyalahkan adegan-adegan yang tidak sesuai skenario. Eh kq sampai sini.

Suatu kali, sekitar setahunan yang lalu, aku pernah iseng2 mencoba mengajari Rauhia untuk memberitahu jika dia ingin menunaikan hajat. Pas itu popoknya mau habis lalu timbullah pikiran ‘kenapa ga sekalian.’ Very first trials banyak gagalnya, tapi sebenernya ketika itu sudah ada perkembangan. Popoknya dilepas dan tak omongin berkali-kali untuk ngasih tau sebelum pipis. Sayangnya, ketika itu ia ngasihtaunya ketika pipis sudah menggenang di bawah kakinya. Tapi itu bukan tanpa kemajuan; Rauhia biasa mojok atau mencari tempat sepi ketika ingin pipis. Aku tinggal mengikuti saja ke mana ia melangkah dan memastikan bahwa ia tak mendekati obyek2 vital yang mengharuskan proses penyucian ribet dan melelahkan, seperti kasur, sofa, karpet dan yang terpenting rumah tetangga. Beberapa kali aku ngepel di pojok-pojok spacy yang dipilihnya sebagai tempat menunaikan hajat. Setelah itu, kugendong ia ke kamar mandi sambil tak sugesti berkali-kali bahwa; ngomongnya sebelum pipis, bukan setelah pipis.

Percobaan ini terjadi saat akhir pekan pas aku punya jatah libur dua hari di kantor. Waktu pasnya aku lupa. Sayangnya, awal ini ga tak teruskan karena ayah mertuaku tiba-tiba berinisiatif membelikan popok Rauhia ketika kebetulan ia beli-beli ke toko. Sebelumnya ia sempat menegurku bahwa Rauhia yang ketika itu berumur dua tahunan masih terlalu dini untuk belajar lepas popok. Aku manut saja, toh Senin besok aku sudah harus ke kantor dan program ini rasanya tak akan bisa berjalan dengan baik tanpa kehadiranku langsung, sementara kewajiban ngantor harus tetap kulaksanakan literally. Meski begitu, aku bukan tak kepikiran mereka-reka kapan aku bisa punya waktu lowong agak lama untuk menemani Rauhia belajar melepas popok. Liburan terlamaku sepanjang tahun adalah ketika lebaran dan tak bayangin, itu bukan moment yang tepat buat berlatih lepas popok. Lebaran biasanya sibuk bertamu, nerima tamu, ke sana-sini dan aktivitas fisik lainnya. Mustahil dan sangat sulit rasanya belajar toilet traning di hari-hari lebaran. 

***




            Saat mudik ke rumah, umik tak pernah absen bercerita soal cucu teman ngajarnya yang sudah lepas popok dan notabene lebih muda dari Rauhia. Seperti biasa aku tak kekurangan bantahan, biasanya yang tak jadikan dalih adalah karena aku belum punya banyak waktu lowong di rumah. Percakapan semacam itu segera berlalu, tapi diam-diam dalam hati aku kepikiran; rasanya susah dan jadi semacam mission impossible. Pikiran soal bagaimana jika ini dan bagaimana jika itu sering mengusik pikiranku. Ketika sudah begini, memoriku seperti mengundang beberapa ingatan atau informasi yang relevan; soal saudara yang sampai gede masih suka ngompol ketika tidur malam, soal anaknya teman yang lepas popoknya on-off menyesuaikan dengan kondisi fisik—dan batin—si ibu, soal proses toilet training anak teman lain yang jadi program multiyears dan lain-lain. What would my and Rauhia’s story look like?

Aku juga bukan tak pernah mendengar cerita sukses dan mudahnya toilet training, cuma pas mau tak jalani sendiri, rasanya kq lebih teringat sama yang susah-susah daripada yang gampang-gampang; seperti juga proses penyapihan. Sering timbul pikiran-pikiran nakal soal keterlibatan ‘orang pintar’ dalam life passage si bayi. Yang satu ini, kenapa ia hanya dilibatkan ketika penyapihan dan tidak ketika toilet training? Biasanya aku cekikikan sendiri lalu pikiran langsung berganti dengan 5 W 1 H toilet training Rauhia. Terkadang aku juga berusaha mengingat-ingat bagaimana dulu aku atau adik-adikku melakukan toilet training. Yang kuingat, dulu jaman adik lanang belum ada pospak sehingga umik sering menggunakan yang namanya ‘katok plastik’. Lain dari itu, aku hanya ingat dulu di suatu pagi, umik—yang ketika itu sedang di dapur—pernah memeriksa sekujur bagian celana panjang yang kukenakan untuk memastikan bahwa aku tidak ngompol. Aku juga tak akan lupa bahwa entah di usia berapa, aku sudah BAB—di kamar mandi barat yang lama—di WC lalu setelah kurasa hajatku selesai, aku akan mengirim pesan agar ada yang datang mencebokiku dengan kode ‘sudah’ senyaring-nyaringnnya. Ya, literally hanya itu yang aku ingat. 




***

Lalu Corona datang, aku WFH sejak 24/03/2020 (bahkan H-1 sebelum tmt surat edaran), dan pikiran untuk melepas popok Rauhia seperti menemukan momentumnya. Pikiran itu semakin menjadi begitu kutahu bahwa teman-teman sepantaran—lebih muda dan tinggal di sekitar rumah—Rauhia sudah mulai banyak yang lepas popok. Kisaran pekan keempat Bulan Maret ketika itu, aku memulai program toilet training Rauhia. Posisi popok juga sudah tinggal sedikit dan aku mulai lagi segalanya dari awal; melatih Rauhia secara teori dan praktik. Jika di percobaan pertama ia suka pipis di tempat yang spacy, both indoor and outdoor, kemarin dia sering sekali pipis posisi di luar rumah, minimal di teras depan. Aku tidak menemukan kesulitan berarti untuk membereskan bekas pipisnya. Untuk memperlancar proses toilet training, aku banyak bertanya pada mereka yang lebih pengalaman, termasuk Bu Lely yang putrinya sudah empat dan kupikir, meski anak termudanya masih pakai popok, Bu Lely sudah punya pandangan dan pengalaman yang otoritatif dari tiga kasus berbeda. Sepupuku yang anaknya uda dua dan yang termuda baru saja melepas popok sebelumnya pernah sesumbar bahwa it needs special—break—time yang membuatku makin yakin untuk segera memulainya; mumpung aku WFH. 

Tak hanya itu, aku juga menyiapkan sedikit amunisi berupa adjustable training pad dan dry pad yang kubeli di pasar daring. Yang pertama semacam celana khusus buat mereka yang lagi latihan lepas popok, sedang yang kedua adalah perlak khusus. Dua barang tersebut datang ketika aku sudah memulai program, istilahnya sambil jalan meski aku terburu-buru membukanya—karena senang dan penasaran—sehingga melupakan protokol keamanan dan kebersihan di musim Corona. Yang tak siapkan juga adalah mental, termasuk menanggapi komentar on why this must be so late, untuk mengepel di saat-saat lelah dan fluktuasi WFH, untuk menjaga tone saat memberitahu Rauhia dan lain sebagainya.  Meski belakangan, di lapangan, yang kuhadapi ternyata berbeda, persiapan seadanya itu tetap saja membantu. There has never been excess on preparation.

            Awal-awal toilet training, aku tak melepas popok Rauhia langsung sekaligus 24 jam. Bila bepergian dan tidur malam—karena dia jarang banget tidur siang—aku pakaikan popoknya. Jika keadaan normal di rumah, baru kulepas. Ketika tetangga sebelah menggelar hajatan dan aku harus rewang, aku tidak membawa Rauhia serta demi alasan jaga-jaga agar dia tak pipis atau BAB di rumah orang. Pada fase-fase awal ini, aku inget sekali bahwa Rauhia pernah ngeyel jalan-jalan di lantai yang baru kupel sehingga dia terjatuh dua kali. Antara sedih, terkejut dan marah, aku kembali mewanti-wantinya untuk do what I say unless you want something bad to happen just like this. Aku juga sangat sering menyaksikan ekspresi rasa bersalah ketika ia memberitahu baru saja pipis, seringkali langsung memberitahu lokasinya meski tanpa kutanyakan. Aku berusaha terus memastikan kesabaranku on-stock tapi mungkin kerasanya di dia, aku more or less intimidatif. Kadang aku melihat dia tertekan dengan omonganku yang itu-itu saja, things like “Hia, ngasihtaunya sebelum pipis ya, bukan sesudah pipis” atau “Hia, kalau mau pipis bilang ya”

            Apalagi, aku kerap menceritakan perihal teman mainnya yang sudah lepas popok. Tentu ketika mood-nya sedang baik dan kami berdua tidak tengah perang dunia. “Jadi, Hia sudah waktunya lepas popok juga, kalau mau pipis atau eek, harus bilang, biar bisa di Kamar Mandi,” begitu inti kalimat yang ingin kusampaikan. Lalu dia menyela dengan mengatakan bahwa apa yang kukatakan tidak benar, si teman bermain masih mengenakan popok. Belakangan aku ingat bahwa Rauhia memang lagi suka-sukanya  mengatakan dan mengulang kata ‘tidak’ atau kalimat balasan yang sifatnya menyanggah. Ini yang ikut menciutkan nyaliku dan seperti meyakinkan bahwa rencana ini tak akan berhasil dalam jangka waktu cepat.

            Aku juga belum menemukan bentuk ideal bagaimana mengatur jadwal buang air Rauhia, juga intensitas dia buang air. Jadi, kuikuti protokol bahwa bayi biasanya pipis setiap dua jam sekali. Setiap itu pulalah, aku mengajaknya ke KM. Awalnya dia antusias dan senang sekali, tapi begitu tahu bahwa ia ‘hanya’ diajak ke KM dan di sana doing nothing, dia selalu menolak ajakan-ajakan berikutnya. Ketika di KM, aku bahkan menyontohkan BAK tapi tetap aja dia tidak BAK; entah karena memang tidak ada cairan yang akan dikeluarkan atau tidak suka diatur seperti itu. Berkali-kali seperti itu, masuk ke KM hanya cebok meski nothing to clean and wash, akhirnya aku menyimpulkan bahwa dia tidak suka buang air by design. Dia suka naturally aja, jadi aku harus ikut ritmenya. Untuk menyukseskan ini, aku bahkan sempat memilihkan video-video toilet training untuk ia tonton dengan satu dua kalimat sugesti bahwa pipis harusnya di Kamar Mandi seperti yang aku sounding, aku dan orang lain lakukan dan seperti ditunjukkan oleh pemeran kartun di video-video tersebut. Im not sure whether it works, jadi hanya kulakukan sekali.  

            Adegan-adegan yang sama kembali terjadi. Nyaris setiap setelah ngompol ketika bersamaku atau anggota keluarga yang lain, akulah yang menceboki Rauhia. Aku menggunakan moment itu untuk bicara heart to heart padanya bahwa shes grown up dan saatnya untuk ngasihtau kalau mau buang air. Aku mengatakan bahwa memberitahu ingin pipis atau eek sama sederhananya dengan memberitahu bahwa ia capek (belakangan ia mengetahui kosakata ini dan berulangkali menggunakannya), ingin mik air, ingin mam nasi, ingin beli jajan dan lain sebagainya. Aku bahkan sempat mengiming-imingi dia untuk tak beliin jajan jika ia berhasil pipis di KM. Tapi, bukan gurat kegembiraan yang kubaca di wajah Rauhia. Ia tampak masih mencerna semua yang kukatakan. Well, show goes on.  

***
            Lalu musibah itupun terjadi. Selama toilet training, Rauhia pernah sekali BAB di celana ketika ia sibuk main outdoor. Aku tak terlalu kerepotan mengondisikan semua-muanya sebab aku tinggal menceboki dan mencuci celananya. Namun ketika itu, di suatu pagi, 28/03/2020, aku tengah menjemur cucian dan mendapati dia memberitahu bahwa baru saja BAB di karpet mushalla. Hiupt. Terbayang pekerjaan berat yang harus kubereskan, tapi aku buru-buru telling myself bahwa akan ada solusinya; cari jasa dsb. Aku lalu mencebokinya dan melanjutkan protokol toilet training. Siangnya, Rauhia diare dan dua kali BAB di outdoor. Kena ke mana-mana. Tapi yang paling worrying, I knew she was not in a good condition. Aku kemudian menghentikan sementara program toilet training, padahal ketika itu dia terlihat sudah mulai paham dan bisa kooperatif. Ketika siangnya ia terlelap, aku menumbuk kunyit dan daun jambu biji untuk menyembuhkan diarenya.

Malamnya, Rauhia tidur tak tenang, bangun, lalu muntah dua kali mengenai tubuh kami berdua. Aku melarikannya ke puskesmas setelah mandi dan me-nyeko Rauhia. Sepanjang jalan aku khawatir, meski Rauhia tidak demam dan tampak berusaha ceria di tengah kondisinya yang lemas. Aku mulai menyalahkan diri sendiri dan merasa terlalu intimidatif melaksanakan protokol TT. Belum lagi aku ingat insiden dia jatuh dari daun jendela dengan posisi yang sangat bikin histeris. Suasana di Puskesmas tampaknya membuat dia insecure; asing dan dua bidan yang lagi jaga malam ketika itu bermasker; mungkin kerasa aneh baginya. Otomatis ketika perutnya diperiksa, suhu tubuhnya diperiksa, bahkan ketika disuruh berdiri di timbangan, ia berontak menolak. Sepulang dari Puskesmas dan minum puyer, dia sangat senang menyantap roti yang kubeli sekalian dengan pospak langganan.  Ketika itu yang kupikirkan, wes gapapa tt-nya belum berhasil sekarang; yang penting Rauhia sembuh dan tidak tertekan.

***

Esok harinya adalah hari yang berat. Rauhia memang sudah tidak muntah tapi diarenya belum reda. Ia berkali-kali mengajakku ke kamar mandi, mengaduh sakit perut, lalu mengajak keluar setelah lama mematung di situ tanpa berhasil mengeluarkan apa-apa. Tentunya setelah meminta cebok meski sebenarnya tak ada yang perlu dibersihkan. Dia juga memilih posisi favoritnya. Berdiri menghadapku, menindih kaki kananku dengan kaki kirinya dan begitu juga sebaliknya, lalu memeluk erat lututku. Setelah keluar-masuk KM sekitar 7 kali, barulah ia berhasil mendorong keluar gumpalan le**ir yang kemudian disusul papita cair. Tak perhatiin, keluhannya menghebat sebelum si le**ir keluar. Untuk antisipasi, aku memakaikannya popok sehingga kami tak perlu bolak-balik sesering sebelumya. Akan tetapi, Rauhia tidak mau BAB atau pipis di popok. Setiap kali sakit perutnya datang, ia selalu mengajakku ke KM. Popoknya selalu bersih dan ia baru mau pipis atau BAB setelah popoknya tak lepas dan kami ambil posisi seperti biasanya.

Tak terhitung aku bolak-balik KM dengan emosi yang diaduk-aduk antara menyesal telah sedemikian rupa mengkondisikan Rauhia untuk TT, kuatir akan kesehatannya, lelah fisik karena aktivitas yang meski di situ-situ aja namun berulang dan monoton, hingga kepikiran tugas2 kantor yang terbengakalai karena masih menyesuaikan dengan model WFH. Cuma dari sekian banyak kabar buruk itu, aku melihat Rauhia mulai menunjukkan progress. Ketika pipis di KM dalam rangka menunggu si papita keluar dan berdamai dengan sakit perutnya, ia tampak mulai belajar bahwa pipis bisa dikendalikan oleh dirinya sendiri sehingga ada waktu untuk ngasihtau aku dan beranjak ke KM manakala hasrat tersebut inin ditunaikan. Ini tampak sekali ketika ia memintaku untuk menceboknya namun aku masih memastikan, ‘sudah atau lagi?’ Jika jawabannya yang pertama, maka aku akan langsun mencebokinya namun jika yang kedua, aku akan menunggu ia menuntaskan hajat.   

Hari itu juga aku mengajak Rauhia ke tukang pijet bayi yang menjadi langganan kami. Dibandingkan dahulu saat ia belum banyak mengerti apa-apa, Rauhia belakangan sudah mulai pintar protes setiap kali kami berkunjung ke rumah si dukun bayi. Ia mulai memahami bahwa ini bukan kunjungan biasa. Tak lama lagi si mbah akan memijat dirinya, menjadikan bagian-bagian tubuhnya sakit dan mungkin menurutnya melakukan ‘penyiksaan’.  Dulu pas dia masih bayi, yang juga masih kuingat, dia baru bereaksi nangis atau menunjukkan rasa sakit ketika si mbah sudah lama mulai memijat. Tapi belakangan, mungkin bermodal rasa takut, protes, juga manja, begitu melihat si mbah datang, biasanya parade tangis sudah dimulai. Dan begitulah hingga akhir sesi. Namun kemarin, aku melihat tangisnya lebih intens dan naik level; selain karena sudah lama tidak dipijat, badannya mungkin masih remuk redam abis kejadian salto be like kemarin. Pulang dari rumah si mbah, dia tidur lelap sekali masih dengan popok di tubuhnya. Malam hari ketika ia terbangun, popoknya masih bersih. Ia tampak mulai mengerti bahwa pipis atau eek harusnya di KM, bukan di mana-mana meski mengenakan celana/popok. 

Setelah dua hari yang berat itu berlalu, Rauhia mulai berangsur pulih dan semakin adaptatif dengan protokol TT. Ternyata durasi lama yang kami habiskan di KM mengajarinya banyak hal; dia seperti mulai faham fungsi KM apa dan di sana ngapain aja. Lain dari itu, aku merasa ikatan psikologis kami semakin erat karena kami nyaris tak terpisahkan. Rauhia mulai rutin memberitahu setiap akan pipis atau eek lalu aku akan langsung reaktif menggendongnya ke KM, membuka celananya dan membiarkan dia menunaikan hajat di situ. Aku lupa kapan tepatnya moment dia punya inisiatif begini dan mulai bisa kuperatif. Awal-awal, pipisnya tak bisa langsung keluar sebelum ia memeluk lututku erat namun belakangan, pelukannya semakin renggang dan ia pun berhasil pipis tanpa memeluk lututku dan dengan posisi default. Setiap kali berhasil, aku biasanya bercorak kecil mengatakan “juaraku” berulang kali sebelum menceboki dan menggendongnnya lalu menghujaninya dengan ciuman sambil berlagak berdua di depan kaca. Rasanya perjuangan terbayar kontan di situ.

Tentu saja itu bukanlah akhir segalanya. Bersamaan dengan kemampuannya memberitahu dan berkomunikasi perihal hasrat ingin buang airnya, Rauhia mulai susah diatur untuk segera mengenakan celana begitu ia keluar dari KM. Ia juga baru belajar jongkok dan masih suka menunaikan hajat sambil berdiri, sementara ajakan untuk jongkok di atas WC tak pernah tidak ditolaknya. Kadangkala ia memintaku mengenakan popok yang biasa ia gunakan meski tak pernah ia pakai lagi untuk menampung pipis atau papitanya. Pant yang aku beli juga tak banyak membantu karena kebetulan lagi musim hujan dan mengeringkannya butuh waktu beberapa hari, selain karena Rauhia tidak selalu mau mengenakannya. Sependek yang kuingat, masing-masing tiga pant itu baru ia pipisi sekali. Selain itu, selama proses ini, aku mencuci masing-masing perlak dan sprei satu kali; pertama ketika Rauhia masih diare dan kedua ketika di suatu pagi, ia tampak gelisah namun matanya masih terpejam sambil mencari ujung tempat tidur. Ia terbangun mendadak dan memberitahu bahwa baru saja pipis. Aku yang masih ngantuk mendadak langsun reaktif dan membawanya ke KM; pengalaman ngompol tidur malam yang semoga tidak terulang lagi. Dry pad kurang membantu karena ukurannya kecil sementara Rauhia ketika tidur tidak bisa anten di suatu posisi.    

Meski fase ini tampak nyaris selesai, aku tahu masih banyak pekerjaan lanjutan menunggu, utamanya memberi Rauhia pemahaman bahwa jika aku sudah kembali masuk kantor, ia tidak bisa selalu bergantung padaku untuk urusan menunaikan hajat ke KM. Juga perihal sebaiknya pipis sebelum tidur, sebelum perjalanan, dan lain-lain yang satu persatu mulai hadir di otakku. Long life, Emak2! Without you, this world will never be as beautiful as this.  


Penerjemah: Masyithah Mardhatillah
Penyelaras Bahasa: Hamdani

"Badai ini akan berlalu, namun pilihan yang kita buat hari ini dapat mengubah hidup kita di masa depan."

Bangsa manusia kini tengah mengalami krisis global. Mungkin krisis terbesar di generasi kita. Keputusan yang diambil pemerintah dan masyarakat dalam pekan-pekan mendatang mungkin akan menentukan bentuk dunia di masa depan. Tidak hanya sistem kesehatan, berbagai keputusan tersebut juga akan mempengaruhi kehidupan politik, ekonomi dan budaya. Kita harus bertindak cepat dan tegas. Kita juga mesti mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari tindakan kita hari ini. Di hadapan dua alternatif, kita tidak bisa hanya berpikir bagaimana mengatasi ancaman di depan mata, tetapi juga soal dunia seperti apa yang akan kita tinggali setalah badai ini berlalu. Ya, badai ini akan berlalu, manusia akan bertahan, sebagian besar kita akan tetap hidup, tapi kita akan mendiami dunia yang berbeda.

Beberapa tindakan darurat jangka pendek yang dilakukan hari ini akan menjadi standar di kehidupan mendatang.  Demikianlah sifat keadaan darurat. Ia mampu mempercepat laju sejarah. Keputusan yang dalam situasi normal membutuhkan waktu bertahun-tahun akan diambil dalam hitungan jam. Teknologi yang prematur bahkan berbahaya juga akan digunakan, sebab risiko tidak melakukan apa-apa jauh lebih besar. Semua negara menjadi kelinci eksperimen sosial berskala luas. Apa yang terjadi jika setiap orang bekerja dari rumah dan hanya berkomunikasi jarak jauh? Apa yang terjadi jika semua sekolah dan kampus hanya bisa diakses lewat jalur daring? Pada situasi normal, pemerintah, pebisnis dan dewan pendidikan tidak akan bersepakat menjajal percobaan demikian. Tapi sekali lagi, saat ini bukanlah keadaan normal.

Di saat krisis semacam ini, kita dihadapkan pada dua pilihan penting. Pertama adalah antara pengintaian totaliter dan pemberdayaan masyarakat. Kedua adalah antara isolasi nasionalis dan solidaritas global.

PENGINTAIAN 'DI BAWAH KULIT'
Untuk menghentikan epidemi, seluruh populasi harus menaati  pedoman-pedoman khusus. Ada dua cara utama untuk mencapai hal tersebut. Pertama adalah melalui pengawasan pemerintah dengan memberi hukuman pada warga negara yang melanggar aturan. Dewasa ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, teknologi memungkinkan pengintaian terhadap setiap orang. Lima puluh tahun yang lalu, KGB tidak bisa mengintai 240.000.000 masyarakat Soviet dalam 24 jam sehari. KGB pun tidak mampu memproses semua informasi yang didapat dengan efektif. Ia bergantung pada agen dan analis, tapi keduanya juga tidak bisa menggantikan agen manusia yang mampu menguntit setiap warga negara. Akan tetapi saat ini, pemerintah bisa mengandalkan sensor yang tersebar di mana-mana serta algoritma yang demikian kuat, bukan lagi dengan agen rahasia.

Dalam perang melawan epidemi Corona, beberapa negara telah menggunakan perangkat pengintaian. Contoh paling kentara adalah Tiongkok yang dengan teliti mengawasi ponsel warganya, menggunakan ratusan juta kamera pengenal wajah serta mengharuskan warganya mengecek dan melaporkan suhu tubuh dan kondisi kesehatan mereka. Dari situ, pemerintah Tiongkok tidak hanya dapat mengenali pasien Corona dengan cepat, tetapi juga bisa melacak pergerakan dan mengenali orang-orang yang berkontak dengan si pasien. Sederet aplikasi ponsel canggih juga dapat memperingatkan orang-orang tertentu perihal kemungkinan menjadi pasien Corona berikutnya.

Teknologi semacam ini tidak terbatas di Asia Timur. Dalam rangka melacak pasien-pasien Corona, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, baru-baru ini mengeluarkan izin bagi agen keamanan negaranya untuk menggunakan teknologi pengawasan yang biasanya dipakai memerangi teroris.  Ketika tindakannya ditolak parlemen, Netanyahu balik membalasnya dengan "dekrit darurat."

Anda mungkin berpikir bahwa tidak ada yang baru mengenai ini semua. Pada tahun-tahun belakangan, pemerintah dan perusahaan-perusahaan bahkan telah menggunakan teknologi yang jauh lebih unggul untuk melacak, mengawasi dan memanipulasi manusia. Namun demikian jika kita tidak berhati-hati, epidemi ini mungkin akan menandai sebuah babak penting dalam sejarah teknologi pengintaian. Bukan hanya karena ia berpotensi membenarkan penggunaan perangkat pengintaian massa di negara-negara yang pernah menolaknya, namun juga karena menandai transisi dramatis dari pengintaian ‘di atas kulit’ menuju ‘di bawah kulit’. 

Sebelum masa darurat ini, ketika jari Anda menyentuh layar ponsel dan mengklik sebuah tautan,  pemerintah hanya ingin tahu bagian mana yang Anda klik. Namun demikian, virus Corona mampu menggeser fokus ketertarikan mereka. Pemerintah saat ini lebih ingin tahu suhu tubuh melalui jari Anda dan tekanan darah di bawah kulit Anda.
    
PUDING DARURAT

Salah satu masalah terkait teknologi pengintaian dalam kondisi semacam ini adalah fakta bahwa tidak ada seorangpun dari kita yang mengetahui bagaimana kita semua diintai dan apa yang akan terjadi di tahun-tahun mendatang. Teknologi pengintaian tengah berkembang luar biasa cepat, hingga apa yang sepuluh tahun lalu hanya tampak dalam fiksi-ilmiah saat ini terasa seperti berita usang. Sebagai eksperimen kecil, bayangkan jika pemerintah meminta setiap warganya mengenakan gelang biometrik yang dapat memonitor suhu tubuh dan tekanan darah pemakainya dalam 24 jam sehari. Data yang diperoleh dari teknologi tersebut kemudian ditimbun dan dianalisis dengan algoritma pemerintah. Dengan begitu, algoritma tersebut dapat mengetahui bahwa Anda sedang sakit bahkan sebelum Anda sendiri menyadarinya, termasuk dari mana saja Anda datang dan siapa saja yang Anda temui. Dengan begini, mata rantai penyebaran virus memang dapat ditekan sedemikian rupa, bahkan dihilangkan sama sekali. Ia juga sangat berpotensi menghentikan jangkauan epidemi ini hanya dalam hitungan hari. Terdengar menakjubkan, bukan?

Kelemahannya, tentu saja, sistem ini akan memunculkan legitimasi penggunaan sistem pengintaian yang mengerikan. Jika Anda mengetahui bahwa saya lebih suka membaca berita di FoxNews dibanding CNN, Anda hanya akan dapat menakar pandangan politik atau kepribadian saya. Namun jika Anda dapat memonitor perkembangan suhu tubuh, tekanan darah bahkan degup jantung saat saya menonton video klip tertentu, Anda akan mengetahui lebih jauh apa saja yang bisa membuat saya tertawa, menangis, bahkan marah.

Penting diingat bahwa kemarahan, kebahagiaan, kebosanan dan cinta merupakan fenomena biologis seperti halnya demam dan batuk. Teknologi yang dapat mengenali batuk juga dapat mengidentifikasi tawa. Jika perusahaan dan pemerintah mulai memanen data biometrik kita, mereka akan dapat mengenali kita lebih baik dari bagaimana kita mengenal diri sendiri. Lebih jauh, mereka tidak hanya akan dapat memperkirakan perasaan kita, akan tetapi juga memanipulasinya dan mengarahkan, misalnya, untuk membeli sesuatu yang mereka inginkan, baik dalam bentuk produk maupun pandangan politik. Sistem biometrik ini membuat taktik penyadapan data ala Cambridge Analytica tampak seperti sesuatu dari Zaman Batu. Bayangkan pada 2030, Korea Utara mewajibkan warganya mengenakan gelang biometrik selama 24 jam sehari. Jika Anda mendegar ceramah presiden dan gelang tersebut menangkap sinyal kemarahan, habislah Anda.

Tentu saja, Anda boleh menganggap bahwa pengintaian biometrik ini merupakan tindakan sementara selama masa darurat saja. Ia tidak akan lagi dipakai begitu masa sulit ini berakhir. Namun demikian, tindakan sementara semacam ini biasanya tetap dilakukan meski masa darurat berlalu, utamanya karena selalu ada kekhawatiran munculnya keadaan darurat lain di masa yang akan datang. Negara asal saya, Israel, mendeklarasikan keadaan darurat selama Perang Kemerdekaan pada 1948 dan karenanya membolehkan beberapa tindakan tertentu dalam masa-masa tersebut mulai dari sensor pers, pengambilalihan lahan hingga aturan khusus untuk membuat puding (saya tidak sedang bercanda). Hari ini, Perang Kemerdekaan telah lama dimenangkan, tetapi Israel tak pernah mendeklarasikan berakhirnya keadaan darurat dan gagal mencabut izin dan mengakhiri beberapa tindakan ‘sementara’ ala tahun 1948 tersebut (dekrit puding darurat dicabut pada 2011).

Bahkan ketika infeksi Virus Corona melandai hingga angka 0,  pemerintah yang kelaparan data dapat beralasan bahwa mereka harus tetap menjalankan sistem pengintaian biometrik karena khawatir akan datangnya Virus Corona jilid dua, atau Ebola versi baru di Afrika Tengah, atau alasan lainnya yang, Anda tahu sendiri maksudnya. Sebuah pertempuran besar untuk merongrong privasi kita tengah terjadi pada tahun-tahun belakangan dan Virus Corona seakan menjadi titik balik pertempuran tersebut. Ini utamanya karena ketika masyarakat disuguhi pilihan antara kesehatan dan privasi, mereka cenderung lebih mengutamakan kesehatan.

POLISI SABUN

Meminta masyarakat memilih antara privasi dan kesehatan sebenarnya merupakan akar masalah yang paling utama. Tak seharusnya dua pilihan tersebut diberikan. Kita harusnya bisa menikmati keduanya dalam waktu yang bersamaan. Kita bisa melindungi diri dan menghentikan virus Corona tanpa harus melegitimasi rezim dengan sistem pengintaian totaliter, tetapi dengan cara memberdayakan masyarakat. Di pekan-pekan terakhir, kita menyaksikan bagaimana Korea Selatan, Taiwan dan Singapura dengan menakjubkan berupaya mengenali virus ini. Meski menggunakan aplikasi pengintaian, negara-negara tersebut lebih mengandalkan uji coba ekstensif, pelaporan yang jujur dan kemauan untuk bekerjasama dalam rangka menyajikan informasi memadai bagi masyarakat.

Pengawasan terpusat dan penjatuhan sanksi bukanlah satu-satunya cara untuk membuat masyarakat mematuhi petunjuk keselamatan. Saat mereka diberitahu perihal fakta-fakta saintifik dan mempercayai apa yang disampaikan otoritas publik, mereka akan melakukan hal yang benar meski tanpa Big Brother menguntit pundak mereka. Populasi yang memiliki motivasi tinggi dan cukup menyerap informasi biasanya lebih kuat dan kooperatif dibanding mereka yang takut polisi namun sebenarnya bodoh.

Bayangkan, misalnya, praktik mencuci tangan dengan sabun. Ide ini merupakan salah satu capaian besar dalam diskursus higienitas manusia. Tindakan sederhana ini berhasil menyelamatkan jutaan nyawa tiap tahunnya. Padahal, baru pada abad ke-19 para ilmuwan mengetahui sesuatu yang kita terima begitu saja ini. Sebelumnya, para dokter dan perawat menjalani berbagai tahapan dalam operasi bedah tanpa mencuci tangan. Hari ini, milyaran orang secara rutin mencuci tangan dengan sabun bukan karena mereka takut akan polisi sabun, akan tetapi karena mereka mengetahui fakta sebenarnya; saya mencuci tangan dengan sabun karena saya pernah mendengar bahwa virus dan bakteri dapat menyebabkan penyakit dan sabun dapat membunuh organisme kecil tersebut.

Namun demikian, untuk mencapai level kepatuhan dan kerja sama demikian, Anda membutuhkan kepercayaan. Warga negara harus mempercayai ilmu pengetahuan, otoritas publik, juga media. Selama tahun-tahun belakangan, politisi yang tak bertanggung jawab telah dengan sengaja meruntuhkan kepercayaan publik terhadap ilmu pengetahuan, otoritas publik juga media. Dan saat ini, politisi-politisi jenis itu mungkin juga tergoda untuk memilih jalan otoritarianisme dengan dalih bahwa untuk melakukan hal yang benar, siapa pun tidak bisa begitu saja percaya pada publik.

Biasanya, kepercayaan yang sudah hilang tidak begitu saja dapat dibangun kembali dalam waktu satu malam. Akan tetapi, sekali lagi, sekarang bukanlah saat-saat normal. Di periode krisis saat ini, pikiran juga bisa berubah sangat cepat. Anda yang mengalami keretakan hubungan dengan saudara selama bertahun-tahun dapat seketika menemukan oase tersembunyi berisi kepercayaan dan harmoni sehingga ketika itu juga akan saling membantu tanpa berpikir panjang. Dibanding membangun rezim pengintaian, belum terlalu terlambat untuk kembali membangun kepercayaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan, otoritas publik dan media. Kita tentu dan pasti  akan menggunakan teknologi baru tersebut, namun ia harus bisa memberdayakan masyarakat. Saya sepenuhnya tidak keberatan jika suhu tubuh dan tekanan darah saya dipantau, namun data tersebut seharusnya tidak dipakai untuk membentuk pemerintah yang mutlak berdigdaya dalam konotasi yang negatif. Data tersebut seharusnya juga memungkinkan warga untuk lebih pandai memilih setiap keputusan yang diambil dan memungkinkan pemerintah lebih bertanggungjawab terhadap setiap kebijakannya. 

Jika saya dapat mengikuti perkembangankondisi medis saya 24 jam sehari, saya tentu tidak hanya dapat mengetahui apakah saya membahayakan kesehatan orang lain, tapi juga kebiasaan mana yang berpengaruh terhadap kesehatan saya. Selain itu, jika saya dapat mengakses dan menganalisis statistik penyebaran virus Corona yang bisa percaya, saya juga akan dapat menilai apakah pemerintah benar-benar memberikan informasi yang akurat dan apakah mereka telah mengambil langkah tepat dalam memerangi epidemi tersebut. Kapan pun diskusi soal sistem pengintaian ini digelar, perlu diingat bahwa teknologi yang sama tidak hanya dapat digunakan pemerintah untuk mengawasi rakyat, tetapi juga sebaliknya, digunakan rakyat untuk mengawasi pemerintah.

Dari situ, Virus Corona sebenarnya merupakan ujian besar bagi kewarganegaraan kita. Di hari-hari mendatang, masing-masing kita harus lebih percaya pada data ilmiah dan ahli kesehatan dibanding teori konspirasi yang tidak jelas ataupun politisi yang mementingkan dirinya sendiri. Jika kita gagal menentukan pilihan yang tepat, kita mungkin akan dengan sukarela menyerahkan kemerdekaan kita yang paling berharga, berpikir bahwa sistem pengintaian totaliter adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan kesehatan kita.

KITA MEMBUTUHKAN RENCANA GLOBAL

Pilihan penting kedua yang kita hadapi adalah antara isolasi nasionalis dan solidaritas global. Baik penyakit maupun krisis ekonomi yang ditimbulkan Virus Corona sama-sama merupakan masalah global. Keduanya bisa diselesaikan secara efektif hanya dengan kerjasama global.

Yang pertama dan terutama, untuk dapat melawan virus ini, kita harus berbagi informasi secara global. Inilah kelebihan utama manusia dibanding virus. Virus Corona di Tiongkok dan di Amerika Serikat tidak dapat bertukar tips bagaimana caramenyerang manusia. Akan tetapi, Tiongkok dapat memberi pelajaran-pelajaran berharga kepada Amerika Serikat seputar virus ini dan bagaimana menjinakkannya. Apa yang ditemukan seorang dokter di Italia pada pagi hari sangat mungkin dapat menyelamatkan nyawa pasien di Tehran pada malam harinya. Saat pemerintah Inggris ragu akan mengambil kebijakan yang mana, nasihat dari Korea yang sudah pernah mengalami dilema ini beberapa bulan sebelumnya layak dipertimbangkan. Namun untuk memungkinkan ini semua terjadi, kita memerlukan spirit kerjasama dan kepercayaan global.

Negara-negara seluruh dunia harus mau saling berbagi informasi secara terbuka dan meminta nasihat dengan rendah hati serta mempercayai data serta informasi yang mereka terima. Lain dari itu, kita juga membutuhkan sebuah upaya global untuk menciptakan dan menyalurkan alat-alat medis, utamanya alat uji dan alat bantu pernapasan. Daripada harus melakukannya sendiri-sendiri di tiap negara dan menimbun peralatan apa pun yang bisa didapatkan, upaya global yang terpadu dapat dengan menakjubkan mempercepat proses produksi dan distribusi alat medis secara merata. Seperti halnya tindakan negara-negara yang menasionalisasi industri-industri penting selama masa perang, perang melawan Corona mungkin mengharuskan kita ‘memanusiakan’ produksi barang-barang krusial. Negara kaya dengan kasus Corona yang sedikit harus mau mengirim peralatan medisnya untuk membantu negara miskin yang kasus Corona-nya lebih banyak  sembari meyakini bahwa jika tiba gilirannya ia membutuhkan bantuan, negara lain juga akan datang membantu.

Kita juga mungkin berpikir soal usaha global untuk menyatukan para awak medis seluruh dunia.  Negara yang sedikit terdampak dapat mengirim staf medisnya ke negara lain yang lebih banyak terdampak, baik untuk memberi bantuan yang dibutuhkan maupun menimba pengalaman berharga. Jika keadaannya berbalik, arus bantuan juga akan berubah arah.

Kerjasama global juga sangat dibutuhkan dalam sektor ekonomi. Berdasarkan watak dasar ekonomi dan mata rantai persediaan barang, jika masing-masing negara hanya memikirkan kepentingan rakyatnya dan mengabaikan rakyat di negara lain, yang akan terjadi selanjutnya adalah kekacauan dan krisis yang semakin memburuk. Kita membutuhkan sebuah tindakan global yang terencana, dan kita harus segera melakukannya.

Hal lain yang juga dibutuhkan adalah membuat kesepakatan global soal perjalanan antarnegara. Melarang perjalanan internasional selama beberapa bulan akan menimbulkan derita luar biasa dan justru menghambat perang melawan Corona. Negara-negara harus bekerjasama untuk membolehkan segelintir pelancong penting bepergian antarnegara seperti ilmuwan, dokter, wartawan, politisi dan pebisnis. Ini dapat dilakukan dengan merancang kesepakatan global dan memberlakukan protolol penyaringan (screening) bagi para pelancong di negara asalnya. Begitu Anda mengetahui tahu bahwa hanya pelancong yang telah melewati protokol tersebutlah yang dibolehkan masuk pesawat, Anda tentu akan lebih welcome menerima pelancong tersebut di negara Anda.

Sayangnya saat ini, negara mana pun sangat sulit melakukan hal-hal tersebut. Sederet kelumpuhan telah nyata menyerang komunitas internasional. Seperti tidak ada satu pun 
orang dewasa di kamar sempit bernama bumi. Orang-orang hanya bisa berharap kosong perihal pertemuan para pemimpin tertinggi dunia untuk membahas rencana tindakan global. Sementara itu, para pimpinan G7 yang berencana menyelenggarakan pertemuan daring pekan ini tak jadi melakukan apa-apa.

Dalam krisis global sebelumnya—semisal pada krisis finansial 2008 dan epidemi Ebola 2014—Amerika Serikat mendaulat dirinya sebagai pimpinan dunia global. Akan tetapi, tata laksana Amerika terbaru telah melepaskan tahta pemimpin tertinggi tersebut. Sangat jelas bahwa dalam konteks ini, Amerika Serikat jauh lebih peduli pada kejayaan negaranya dibanding masa depan kemanusiaan.

Tata laksana tersebut bahkan telah memutus ikatan dengan sekutu-sekutu terdekat. Pelarangan semua perjalanan dari Eropa ke Amerika Serikat menandakan keengganannya untuk berembuk dengan Uni Eropa perihal tindakan tegas yang akan diambil. Apalagi, Amerika Serikat juga menyinggung Jerman dengan menawar vaksin Covid 19 terbaru di sebuah perusahaan farmasinya seharga 1 milyar dolar. Meski kemudian akhirnya tata laksana ini dicabut dan diganti dengan rencana tindakan yang sifatnya global, segelintir warga Amerika Serikat tetap mengikuti pemipin mereka yang tak pernah bertanggung jawab, tidak mau mengakui kesalahan dan gemar memuji diri sendiri serta menyalahkan orang lain. 

Jika kekosongan posisi yang ditinggalkan Amerika Serikat tidak jua diisi oleh negara-negara lain, epidemi ini tidak hanya akan sangat sulit dihentikan, akan tetapi  juga meninggalkan ‘warisan’ yang akan terus meracuni hubungan internasional di tahun-tahun mendatang. Namun demikian, setiap krisis sebenarnya merupakan kesempatan. Kita semua layak dan harus berharap bahwa epidemi ini akan membantu umat manusia memahami perihal bahaya perpecahan global yang tidak main-main.

Kemanusiaan harus membuat pilihan. Kita akan menempuh jalan menuju perpecahan, atau kita akan meniti jalan menuju solidaritas global? Jika kita memilih perpecahan, ia tak hanya akan memperpanjang krisis, namun sangat mungkin menciptakan bencana yang lebih besar di masa mendatang. Sebaliknya jika kita memilih solidaritas global, ia tak hanya akan mengantarkan kita pada kemenangan melawan Virus Corona, tetapi juga terhadap berbagai epidemi dan krisis lain yang mungkin menyerang manusia di abad 21.






Meski dengan iming-iming 80 akan beranjak menjadi 100, kabar perihal semakin dekatnya jadwal Prajab (Latsar, istilah kekiniannya) bagiku tetap terasa jauh lebih dahsyat dibanding petir di musim kemarau. Ketika itu Rauhia belum genap satu tahun dan akupun belum genap dua bulan masuk kantor, sekitar pertengahan April 2018. Aku dan keempat temanku akan menjalani masa Latsar (sesi 1) selama 5 pekan dari akhir Apil 2018 hingga pertengahan Ramadhan, awal Juni 2018. Lokasinya di BDK Surabaya dan ini artinya program ASI 2 tahunku terancam gagal bahkan belum di separuh perjalanan.
            Salah satu keterangan resmi dari panitia penyelenggara dengan eksplisit menyebutkan larangan untuk membawa anak saat Latsar. Tentu saja nalar protesku main, semacam menuduh aturan itu tidak ramah bagi ibu menyusui dan program ASI di 1000 hari pertama anak atau yang semacanya. Meski begitu, aku tentu tidak hanya ngedumel dalam hati. Aku hubungilah beberapa senior yang memiliki pengalaman membawa anak saat Latsar. Di kampus aku ketemu Bu Lely, ibu tiga anak (ketika itu) yang sempat membawa anak pertamanya saat Prajab. Selain itu ada juga Aida, temen sejurusan dan seangkatanku di S-1 yang juga berpengalaman sama. Bedanya, Aida ikut Prajab di BDK Semarang, sedang Bu Lely di BDK Surabaya.
            Jadilah aku lebih intens komunikasi dengan Bu Lely, selain karena Aida jauh di sana dan Bu Lely deket di sini, sekampus denganku dan sangat friendly saat pertama kali aku SKSD-in di media sosial. Aku ingat sekali di suatu sore, sebelum jam kantor selesai, aku datang ke ruangan Bu Lely, ngobrol banyak dan lama sampai nyelo giliran mahasisiwa yang sepertinya mau bimbingan skripsi dan itupun masih bablas jam ceklok pulang. Kami keasyikan ngobrol. Bu Lely yang ramah, detail dan tidak pelit info dengan aku yang sangat excited mendengarkan ceritanya.  Kemudian seingatku, aku kembali janjian untuk bertemu Bu Lely, sekian hari menjelang keberangkatanku untuk mengambil pinjaman cooling bag dan ice gel serta memintanya memeragakan cara kerja bottle sterilzer milikku yang aku sendiri tak tahu bagaimana cara mengoperasikannya (ampuni aku.)
            Berbekal saran dari Bu Lely dan obrolan dengan beberapa kakak tingkat, termasuk perihal mereka yang juga menjalani Prajab di tengah-tengah masa menyusui tapi memilih untuk LDR dengan anaknya, akupun menyiapkan diri dan segala keperluan sebisa mungkin di tengah-tengah gejolak emosi yang sangat jauh dari stabil. Perihalnya satu; aku harus mendapatkan rewang karena tak mungkin ‘bersekolah’ dan dalam waktu yang sama mengurus Rauhia. D day keberangkatan semakin dekat dan aku masih bingung mendapatkan rewang yang memenuhi sederet kriteria untuk menjaga Rauhia sementara aku berkegiatan selama di BDK. Ketika itu aku masih nge-blank di BDK mau ngapain aja. Yang ada di pikiranku hanyalah bahwa aku tak ingin jauh dari Rauhia dan karenanya aku harus mencegah hal itu terjadi.   
            Komunikasi darat maupun udara aku gencarkan untuk mendapatkan rewang. Beberapa hari pertama pencarian belum memberikan hasil. Aku sampai selalu berkaca-kaca setiap menceritakan keadaanku dan meminta tolong kolega untuk membantu mencarikan rewang. I did it many times dan everytime of it, aku selalu merasa tak kuat menahan air mataku. Ketika itu emosiku juga sedang kacau-kacanya karena lagi jadi-jadinya didera perasaan bersalah meninggalkan Rauhia seharian di rumah. Keajaiban pertamapun terjadi. Lewat sambungan telepon, umik mengabariku bahwa ada saudara yang siap kuboyong ke Surabaya selama lima pekan. Umik percaya kompetensi dan keterampilan orang tersebut sehingga aku ikutan percaya meski belum mengenalnya dengan baik dan hanya pernah bertemu beberapa kali.
            Rewang sudah checlisted. Selanjutnya adalah tempat kost. Menurut Bu Lely, Aida dan beberapa informan lain, larangan membawa anak ke BDK berarti larangan membawa anak turut serta bubu dan tinggal di BDK. Alternatifnya, jika mau membawa anak, maka anak bisa dikoskan di sekitar BDK dan sang ibu bisa mengunjungi kost setiap kali ada waktu selo. Menyadari bahwa persoalan ini juga tak kalah penting, aku memutuskan untuk survey lokasi ke BDK sebelum hari H keberangkatan. Bersama Rauhia, suami dan seorang teman yang tak mintai tolong jadi sopir. Perjalanan ke Surabaya tersebut sekaligus menjadi momen pertama membawa Rauhia jalan jauh. She is fine, tidak mabok dan relatif tidak rewel.
            Mumpung bawa kendaraan pribadi (maksudnya bukan kendaraan umum), akupun membawa sebagian barang yang sudah tak catat pas obrolan dengan Bu Lely. Bayangannya sampai TKP akan cari kos, bayar DP, lalu naruh barang di situ agar ketika berangkat pas D-day, barang yang dibawa tidak teralu bejibun. Jadilah menjelang siang, kami berangkat dari Pamekasan dan sampai TKP menjelang maghrib. Nyaris tak ada hambatan berarti sepanjang jalan kecuali dua titik macet di pasar tumpah Mbangkalan sama kejebak arus pulang kerja ketika baru masuk Surabaya. Eh hari itu Sabtu sepertinya, berarti arus berangkat satnite-an.
***
Sesampainya di BDK, kami disambut ramah bapak-bapak Satpam. Aku sudah lupa namanya tapi aku masih ingat wajah dan posturnya plus tidak akan lupa ceritanya. FYI kami memang sengaja mengunjungi BDK terlebih dahulu sebab menurut CP BDK, ada baiknya kami minta tolong Satpam untuk mencarikan kos. Singkatnya begini; begitu kututurkan bahwa keperluanku adalah mencari kos karena aku akan membawa anak bayi, si satpam malah mengatakan bahwa panitia menyediakan kamar khusus untuk peserta yang membawa bayi. Karena keterangannya berbeda dengan informasi yang kuterima, aku memastikan kebenarannya. Ia bertanya pada rekannya dan si rekan justru menunjukkan lembaran berisi list kamar dengan kolom nama peserta yang masih kosong serta keterangan yang menunjukkan adanya kamar khusus untuk ibu yang membawa bayi.
Apakah sampai di situ saja? Tentu tidak. Aku bahkan diberi kesempatan memindah barang bawaan di mobil ke kamar yang dibilang sebagai kamar khusus ibu yang membawa bayi tersebut. Bapaknya memberiku kunci E10, mengantarkanku ke situ dan membukakan pintu. Aku memindah barang-barang sambil tak henti bersyukur dalam hati meski masih ada sedikit pertanyaan mengapa ada yang kres antara edaran resmi dengan keadaan di lapangan. Well tapi aku sudah merasa sedikit lega dan beban di kepala terasa tak seberat sebelumnya. Bukan cuma soal uang yang tak anggarin buat kos kemudian bisa tak alihkan ke yang lain, tapi yang lebih penting juga jarak antara aku dan Rauhia yang tak harus berjauhan. Sebelum pulang dan pamitan, aku sempat poto2 lalu mengabari beberapa orang perihal kabar baik tersebut.
***
Hari pertama Latsar, karena jadwal acara pertama masih jam 11 siang, aku dan kedua temanku berangkat pagi dari Madura. Dari rumah, aku diantar dengan banyak sekali barang bawaan (persis dengan orang pindahan kos) bersama Rauhia dan mbak Nur, rewang yang secara hubungan saudara masih kemenakanku. Di kampus, aku janjian dengan Mas Oji, teman angkatan yang juga akan ikut Latsar serta Mas Usman, kakak angkatan yang kami pinjam mobilnya sekalian minta tolong ybs untuk mengantarkan kami ke BDK. Dibandingkan bawaanku yang masyaAllah banyak banget, Mas Oji hanya membawa satu kopor yang relatif tidak besar. Kamipun basa-basi sebentar, lalu suami pulang duluan sebelum aku berangkat sementara Mas Usman dan Mas Oji masih mengondisikan beberapa hal.  
Tiga yang lain ke mana? Mba Ria berangkat dari Jogja, Mas Kudrat dianter oleh mertua dan keluara besarnya (konon karena satu-satunya mantu yang PNS haha) dan Mas Umam nunggu kami di Sampang kota, rumahnya. Sepanjang perjalanan, meski banyak tertawa dan bercanda, perasaanku tak nyaman luar biasa. Berbagai hal yang tak pikirin silih berganti di pandangan, bagaimana jika, bagaimana jika, bagaimana jika dan seterusnya. Rauhia seperti biasa masih relatif kooperatif. Aku berharap dia akan tetap sehat dan bertumbuh dengan baik meski harus menghabiskan banyak waktu dengan orang baru di tempat dan suasana yang juga baru.
Kami sampai di BDK dan buru-buru menyelesaikan persoalan administrasi karena ternyata acara dimajukan. Aku sempat pindah kamar ke E9 karena E10 ternyata sudah penuh dan tidak ada space tempat tidur untuk mbak Nur. Kutinggalkan Rauhia, mb Nur dan barang2 yang sudah dipindah dari mobil ke situ lalu bergegas ke lokasi acara di lantai 2. Selain seremonial pembukaan dan teleconference, ada juga acara ramah tamah dialog yang sialnya sempat nyrempet soal membawa anak ke BDK (pertanyaan awalnya kalau tidak salah adalah soal ibu menyusui; penyewaan freezer dan lain sebagainya). Yang disampaikan Kasi Diklat ketika itu, Pak Muslimin, sama dengan yang ada di sebaran; boleh bawa anak tapi harus tinggal di kos. Di situ aku down dan bingung harus mencari kepastian ke mana; lebih tepatnya bingung harus mencari siapa untuk bisa membela posisiku.
Setelah acara seremonial itu, aku sempat mengungkapkan kegundahanku pada Mahfud, teman satu korp yang tak kuduga juga ada di situ. Kami sepakat untuk mendiamkan persoalan ini tapi aku tak bisa sesantai itu; aku masih kuatir akan ada hal tak diinginkan di depan mata. Aku pribadi bukan tak terbiasa dengen kejutan-kejutan dalam hidup mulai dari yang tak diinginkan hingga yang kedatangannya sama sekali mengejutkan, tapi persoalannya jadi berbeda karena ini bersangkut paut dengan Rauhia. Dari kegundahan itu, entah kenapa kakiku melangkah menuju meja resepsionis, sebab aku merasa ibu yang menjaga meja itu lalu tanpa beban memberiku kunci kamar lain paham posisiku. Barangkali karena dia juga ibu-ibu, seperti yang belakangan diceritakannya padaku. Terlebih ia juga memegang kertas list kamar yang kemarin sempat ditunjukkan Pak Satpam di kunjunganku yang pertama.
Aku menceritakan singkat apa yang aku dengar barusan, termasuk kronologi aku datang ke BDK pertama kali lalu diberitahu bahwa blablabla. Ibunya ramah sekaligus menenangkan, ia mengadukan persoalanku pada Bapak Kasi duh aku lupa. Aku juga masih inget wajah dan postur si bapak, meski lupa namanya dan tentu saja aku masih sangat ingat apa yang dikatakannya. Kurang lebih, menurutnya, aku bisa menempati kamar khusus ibu yang membawa bayi. Tidak ada masalah. Aku lega nyaris 90% karena apa yang disampaikannya sekaligus menjadi tanda ‘sah’ berpindahtangannya kunci E9 padaku. Barangkali si bapak adalah salah satu atasan sehingga keputusannya bisa sekaligus menjadi instruksi bagi si ibu-ibu resepsionis untuk mencatat namaku di list-nya sebagai penghuni E9.  
***
            Sementara itu, kami bertiga menempati kamar E9 tanpa peserta lain. Serasa kamar kos sendiri. Meski begitu, Rauhia tampak sangat tidak nyaman dengan suasana asing nan baru itu. Apalagi dia harus mandi air dingin. Aku ingat sekali pertama kali mandi di situ, Rauhia nangis jerit2 kedinginan. Aku pribadi tak sempat ada space untuk sekadar mengukur apakah aku betah atau tidak. Pikiranku lebih fokus pada bagaimana Rauhia menjalani hari-hari asingnya di tempat baru. Ketika malam, ia cukup sering bangun dan tangisnya lebih sering terdengar dibanding biasanya. Tetangga kamar sempat menanyakanku soal ini dan aku masih berharap keadaan akan membaik; Rauhia akan semakin betah dan tidak menangis sesering itu.
            Esok harinya, 1 Mei, Mayday, kegiatan mulai padat. Pagi kami sarapan lalu apel, abis itu dapat materi sampai jam istirahat sekitar jam 12 siang. Materi pertama yang kami dapatkan adalah semacam perkenalan, aku lupa nama persisnya apa. Fasilitatornya Ibu Fika yang belakangan menjadi mentor-ku untuk laporan aktualisasi. Setelah makan siang, kami kembali ke kamar masing-masing untuk semacam Ishoma (ma-nya mungkin mandi atau main2 hape). Aku pulang ke kamar E9 dan bermain seadanya dengan Rauhia. Ketika itu Rauhia baru belajar berjalan dan tingkahnya belum semerepotkan sekarang. Lumayan lama di situ, ternyata ada ketokan pintu yang lumayan keras hingga perasaanku seketika berubah tak nyaman kembali. Aku seperti mulai memanggil semua kekhawatiranku datang dan menyerbu.
            Dengan masih menggendong Rauhia, aku membuka pintu. Kudapati sosok seorang bapak2 di sana yang raut wajahnya jauh dari ramah. Ia memintaku segera membawa Rauhia dan mbak Nur keluar dari BDK karena menurutnya, membawa anak ke BDK tidaklah dibenarkan. Mendengar itu, aku coba menguasai emosiku agar bisa berargumen dan negosiasi sebisanya. Aku ceritakan kronologi yang kualami dari awal termasuk kunci kamar yang diberikan padaku atas keputusan bapak2 setelah ia di-tembung oleh ibu-ibu resepsionis. Sayangnya, si bapak jauh dari empati, bahkan simpatipun tidak. Boro-boro mendengar penjelasanku sampai selesai, ia malah memintaku segera membawa anak dan rewang-ku keluar sore itu juga. Wajahnya bengis sekali. Ia berlalu dari hadapanku dengan posisi masih bergumam menyalahkanku yang menurutnya ‘tidak tahu aturan’.
            Aku panik bukan main dan masih mencoba mencari solusi yang win-win. Aku datangi kantor BDK—masih dengan menggendong Rauhia—berharap di sana ada bapak2/ibu2 yang akan peduli pada kondisiku dan tidak seenak itu menyuruhku membawa anakku keluar; apalagi dengan adegan pengusiran bertenggat waktu yang bagiku sangat tidak ramah sekali terhadap peserta berkebutuhan khusus. Sayang, ketika itu, tidak semua karyawan masuk kantor. Seingatku hanya sedikit sekali yang ngantor karena bertepatan dengan tanggal merah. Hanya ada segelintir pegawai yang masuk dan sialnya, tak ada satupun yang memberiku solusi selain membawa anak dan rewang-ku keluar BDK. Jangankan bertemu dengan kepala BDK, bapak2 atasan lain juga tak kutemui di situ sehingga aku merasa benar-benar berada di waktu dan tempat yang salah, seperti John Mc Clane di film Die Hard.
            Orang-orang yang kutemui di kantor BDK siang itu, betapapun dengan ekspresi yang berbeda-beda melihat air mataku yang mungkin sudah menggenang tapi tak tahan sekuat mungkin untuk tidak jatuh, terlihat sangat tidak peka dengan kebutuhan khusus sebagian kecil peserta Latsar. FYI di situ bukan tak ada perempuan, dan rasanya dia juga seorang ibu, cuma mungkin ybs kurang peka karena tak pernah mengalami kejadian serupa, terlalu strict pada aturan atau apalah alasan lain. Rasanya aku benar-benar menjadi bagian dari minoritas ketika itu dan yang kurasakan persis seperti narasi-narasi yang kerap aku baca. Aku beneran mengalami betapa kaidah ‘aturannya sudah seperti itu’ seringkali menjadi senjata ampuh untuk menyelesaikan negosiasi tanpa mau melihat apakah aturan itu masih relevan atau tidak dengan semua lapisan stakeholder.
            Aku patah arang. Kuciumi Rauhia berkali-kali, berharap ada kekuatan dan energi positif dari dia yang belum sama sekali mengerti apa yang terjadi; meski mungkin ia merekam percakapan-percakapan saat aku seolah-olah mencari keadilan. Aku tahan air mataku agar tak jatuh dan kubawa kembali ia ke kamar; aku berganti pakaian lalu bersiap ke kelas selanjutnya. Ketika aku datang, kelas sudah dimulai dan ternyata aku telat cukup lama karena tadi saat kuputuskan untuk segera ke kantor BDK, aku tak melihat jam dan terlalu gupuh untuk berpikir normal. Aku mendengarkan diskusi di kelas dan tanpa malu mengacungkan tangan untuk bertanya ketika sesi pertanyaan; padahal aku baru datang dan duduk di situ tak kurang dari 10 menit.
            Terbata-bata, aku mulai pertanyaanku dengan isu kebutuhan khusus ibu dan anak yang sempat ditampilkan di salah satu slide meski aku tak tahu pasti maksudnya apa. Aku bahkan, saat itu, tak tahu materinay apa. Saat itu fasilitatornya Pak Islam, bapak2 murah senyum yang baik hati. Aku lalu mulai menceritakan apa yang kualami dan tangisku pecah di situ; hari pertama di kelas kedua aku sudah mewarnai kelas dengan curhatan ala ibu-ibu yang berasa tak berdaya di hadapan sistem yang menurutnya tak ramah anak dan ibu menyusui. Kelas hening, semua mendengarkan ucapanku dengan isak tangis di sela-selanya. Aku menyampaikan semua yang ada di pikiranku perihal kronologi, pemberitahuan mendadak yang sangat tidak ramah dan menguatkan posisi bahwa aku bertindak tidak atas inisiatifku sendiri, tapi dari berbagai idzin dan prosedur yang menurutku masuk akal.
            Pak Islam, setelah aku selesai berbicara, mengambil alih pembicaraan dan mencoba meredam emosiku, meski yang disampaikannya tak jauh berbeda dengan yang aku dengar tadi. Bedanya, ia memberiku solusi; nanti saya minta tolong Satpam untuk bantu carikan kos. Aku sedikit lega meski masalah belum teratasi. Minimal, pikirku saat itu, ada orang yang bersimpati pada yang kualami dan di hari itu, di tempat itu, masih ada pejabat yang tidak seenaknya sendiri memperlakukan stakeholder tanpa mau mendengarkan penjelasan yang bersangkutan. Setelah selesai kelas Pak Islam, aku kemudian mencari kos bersama Rauhia, mb Nur, dan salah satu bapak2 satpam yang, maaf, aku lupa lagi namanya, tapi wajahnya yang menenangkan masih sangat aku ingat; termasuk ketika ia berjanji akan meminjamkan kipas angin di pos Satpam padaku jika aku jadi kos di tempat yang tak menyediakan fasilitas kipas angin.  
            Aku berjalan kaki menyusuri area perumakan sekitar BDK untuk mendapatkan tempat yang representatif. Ini penting karena sekali lagi, aku tengah menyiapkan tempat untuk anak bayiku, bukan untukku sendiri. Kosku terakhir di Jogja, 2015 lalu, adalah kos murah dengan biaya sewa 1.5 juta/tahun dengan fasilitas yang sebenarnya tidak jelek-jelek amat. Tapi tentu keadaannya berbeda dengan kos bulanan, di Surabaya dan pada tahun 2018. Di tengah-tengah proses mencari kos itu, aku banyak teringat dengan petualangan mencari kos di Jogja meski pada akhirnya aku kembali pada apa yang kuhadapi ketika itu; ternyata aku berpikir terlalu jauh soal komitmen dan kesiapan pemerintah untuk meningkatkan kepekaan terhadap warga dengan kebutuhan khusus melalui pemerataan infrastruktur yang ramah difabel, ibu hamil dan menyusui serta anak kecil. Ternyata aku terlalu mudah menganggap apa-apa yang aku idealkan dalam bacaan-bacaan terkait akan dengan mudahnya terealisasi. In fact, perubahan ke arah situ belum benar-benar terasa, setidaknya bagiku. Jadi ingat toilet khusus ibu dan bayi di tempat-tempat umum di Australia; dan versi lainnya di bandara Soetta 2016 lalu.
            Meski masalah belum terurai karena aku merasa belum menemukan tempat kos yang layak anak dari segi lingkungan, fasilitas dan semuanya, aku merasa senang dan terkuatkan oleh orang2 sekitar yang mensupport-ku lahir batin. Sore setelah mencari kos, teman-teman Serangkul datang berkunjung. FYI di antara mereka berempat, hanya Mas Umam yang sekelas denganku sehingga dia sendirilah yang secara langsung mendengar curcolanku. Sementara itu tiga lainnya di kelas sebelah dan barangkali baru mendengar belakangan. Bertemu mereka orang2 yang dua bulan belakangan mengisi hari-hariku, mendadak ketegaranku tumbang lagi; seperti ingin wadul atas semua yang terjadi. Mereka menguatkanku dan meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja; mereka akan available kapanpun aku membutuhkan bantuan dan aku tak sendiri menghadapi itu semua. Ada juga mba Ririn dan mba Citra dari IAIN Kediri, yang juga sekelas denganku dan secara khusus berkunjung ke kamarku untuk memberi support mental. Sungguh aku merasa masih sangat beruntung setelah sekian ketidakberesan yang kualami.
            Tak selesai di situ. Malamnya, tetangga kamarku, mba Nurul yang sedang hamil anak kedua, menemaniku mencari kos. Ketika itu ia disambangi suami dan anak pertamanya lalu aku nebeng mobilnya untuk mencari kos di sekitar BDK. Karena sudah tidak pakai sikil, jangkauan kami lebih banyak meski aku mengkhawatirkan jarak yang harus aku tempuh setiap akan mengunjungi Rauhia. Suami mba Nurul, aku lupa nama tapi masih ingat wajahnya, juga luar biasa baik mau direpotkan oleh kenalan atau teman baru istrinya yang sama sekali belum pernah bertemu. Kami mengunjungi 3 atau 4 tempat untuk di-survey dan masnya lah yang turun, bertemu resepsionis dan menanyakan harga. Aku dan mba Nurul serta anak masing-masing, Rauhia dan Zizi, menunggu di mobil sambil ngobrol2. Masya Allah aku tak tahu bagaimana menggambarkan betapa bahagia dan bersyukurnya aku saat itu. Di tempat terakhir, setelah masnya turun dan menanyakan harga lalu kami menemukan semacam titik terang, aku dan mba Nurul ikutan turun dan melihat kondisi kamar. Harganya relatif murah, tempat sangat dekat dengan BDK dan fasilitas lumayan.
            Jadilah akhirnya, 90% diputuskan aku akan menyewa kamar kos dengan harga termurah di semacam guesthouse itu. Malam itu aku bisa tidur cukup nyenyak tanpa ancaman extradition, kata Dominic Toretto. Aku sengaja tidak terlalu mempersoalkan tenggat waktu yang diberi si bapak bengis tadi, sebab aku tak ingin sembarangan menyewakan kamar untuk Rauhia jika tidak benar-benar layak untuknya.  Selain nama-nama yang kusebut tadi, salah seorang teman, namanya Fajar dari UIN Malang, juga sempat menanyakan perihal kasus yang tengah aku alami di sela-sela nunggu jam makan malam. Kepedulian, bantuan fisik hingga non-fisik, simpati dan empati dari teman-teman begitu berarti buatku ketika itu. Setidaknya, kalaupun aku sudah terlanjur kecewa dengan sistem dan aturan yang saklek dan tak ramah, aku masih diuntungkan dengan guyub-nya orang-orang di sekitarku; one thing yang mungkin ga bisa dengan mudah aku temui di tempat lain. Perkara ada orang lain yang memandangku berlebihan atau anggapan buruk lainnya, alhamdulillah aku tidak diberi akses untuk mengetahui hal tersebut. Itu juga bukan urusanku. 
            Esok sorenya, setelah semalam nebeng mobilnya mb Nurul yang platnya M dan kalau digabung dengan angka dan huruf di belakangnnya jadi kebaca Mesir, aku dibantu teman-teman Serangkul pindahan ke kos sebelah dengan nebeng mobil mb Dian. Mb Dian adalah penghuni lain kamar sebelah yang juga tengah hamil tua dan siap siaga kalau sewaktu-waktu dia kontraksi dan mau lahiran. Mobil merah miliknya sudah terparkir di depan E10 sejak hari pertama Latsar. Aku juga ingat bahwa sebelumnya, saat bingung-bingungnya mencari suaka, mb Dian pernah menawariku kos-nya yang meski cukup jauh dari BDK, layak untuk dihuni Rauhia barang semalam dua malam. Nyaris tiada yang lebih membahagiakan dibanding dukungan dari banyak orang di tempat yang sama sekali baru. Sebelum ke kos, kami belanja keperluan dulu mumpung lagi idzin. Mas Kudrat yang nyopiri, mb Ria ikut, aku mb Nur dan Rauhia. Sementara Mas Oji dan Mas Umam nunggu di BDK dan akan segera available begitu kami selesai belanja dan akan menggotong barang2 dari mobil. FYI mereka berdua juga ikut membantu pindahin barang dari kamar E9 ke mobil.
***
            Pindahanpun selesai. Kamar Rauhia cukup layak dan ramah anak. Spring bed besar, KM mandi dalam dengan heater, TV dan AC. Ada ruang tamu bersama yang cukup lebar, dapur, kulkas, freezer serta tempat jemuran umum. Meski harus menghabiskan nyaris uang gaji dalam sebulan, itu tak menjadi masalah besar. Toh aku makan enak di BDK 3 kali sehari, coffee break 2 kali sehari dan beberapa kebutuhan dasar sudah terbeli. Aku merasa keadaan mulai membaik dan ramah padaku, meski aku masih harus menghuni kamar E9 seorang diri LITERALLY. Again, itu seperti tak menjadi masalah berarti mengingat Rauhia sudah jauh lebih nyaman dan kooperatif. Ancaman si bapak bengis untuk segera memindahkanku ke kamar reguler bersama dengan teman-teman lain tak terbukti, persis seperti yang aku perkirakan. Rasa lelah dan kantuk setelah seharian beraktivitas mempermudahku untuk segera terlelap tanpa berpikir terlalu banyak perihal beberapa hal di tengah suasana sunyi sendirian semacam itu. 1 kamar besar dengan 4 tempat tidur, satu kamar mandi, lemari, meja dan kursi dengan satu orang penghuni yang keadaan emosinya belum sepenuhnya stabil.
            Keajaiban dan pertolongan Tuhan kembali terjadi. Tak berapa lama dari itu, mb Citra yang pernah menyambangiku setelah tragedi extradition yang sangat traumatik kemudian pindah kamar dan sekamar denganku. Ia ketahuan hamil anak ketiga dan untuk memastikan semuanya baik-baik saja, dia pindah ke kamar E9 yang posisinya di lantai1 sehingga tidak perlu terlalu sering naik turun tangga. Jadilah aku tak sendiri lagi. Ada teman ngobrol dan diskusi, meski memang mb Citra sering tak tinggal sebab di luar jam kelas dan kegiatan formal lain, aku pasti akan ngacir ke kos. FYI untuk bisa bolak-balik ke kos Rauhia sesering mungkin dalam sehari, aku mengurus surat idzin khusus ke Kasi Diklat. Tajuknya, kalau tidak salah, adalah surat idzin menyusui. Di situ terdata beberapa jam kunjungan di mana aku bisa bebas keluar tanpa harus idzin ke Satpam seperti biasa.  Aku kemudian menunjukkan surat itu ke Satpam sehingga ketika akan keluar dan masuk BDK, aku tinggal pasang senyum saja.
            Meski sudah mendaftar kurang lebih 4 jam kunjungan (pagi sebelum apel, siang jam istirahat, sore setelah kelas dan setelah isya atau tarawih, seingatku), ada beberapa kejadian tak terduga. Misalnya adalah saat Rauhia tak bisa dikondisikan tengah malam dan aku harus keluar BDK dini hari itu juga untuk menenangkan Rauhia. Atau ketika aku ketiduran di kos dan malam sudah sangat larut, sehingga sering tak putuskan untuk nginap saja. Awalnya aku backstreet aja tapi lama-lama akhirnya ketahuan. Aku jelaskanlah keadaan seapada adanya mungkin pada pihak-pihak terkait, Kasi Diklat yang memberiku idzin serta bapak-bapak Satpam yang siaganya melebihi McD, 24/7. Akhirnya disepakati bahwa pedoman yang dipakai adalah ‘tidak dengan sengaja’ keluar di jam-jam yang tak tertera di surat idzin. Fair enough. Saking seringnya bolak-balik BDK-kos, aku belakangan lebih suka mandi di kos karena ada fasilitas air hangatnya. Setting KM kos juga memungkinkan Rauhia untuk mandi gaya baru, yakni tidak duduk atau berbaring di atas lincak. Ia bisa berdiri berpegangan kemudian diguyur air hangat. Berkat informasi Bu Lely untuk membawa cebok dan ember kecil, kami bertiga terselamatkan dari cultural shock dalam kamar mandi yang tak menyediakan cebok apalagi bak mandi.
            Hal lain yang berbeda dari kamar kos Rauhia—dibanding kamarnya di rumah—adalah keberadaan TV serta AC. Keluhan Rauhia bangun malam atau dini hari karena kepanasan jadi nyaris tak pernah terjadi karena AC siaga all the time. Keberadaan TV juga sangat membantu mengalihkan perhatiannya ketika aku harus mengendap keluar kamar saat akan ngacir ke BDK. Untukku pribadi, kamar Rauhia juga sangat menyenangkan karnea ada sambungan waifai. Di BDK, waifai hanya menjangkau ruang kelas dan tidak sampai ke kamar. Lain dari itu, yang lebih penting, mb Nur sangat siaga dengan segala kebutuhan Rauhia. Mulai dari makan, diajak main, dikeloni tidur, diajak jalan, digendong dan remeh-temeh lain. Selain seorang ibu dengan dua anak yang sudah beranjak dewasa, dari sono-nya mb Nur memang telaten dan sayang anak kecil. Ia rutin mengajari Rauhia berjalan dan setiap coffee break pertama, ia membawa Rauhia ke BDK untuk kususui. Jadi, hitung-hitungannya, dibandingkan hari-hari kerja biasa, Rauhia sebenarnya lebih intens menyusui selama kami di BDK.   
            Dari sekian banyak hal itu, aku merasa keadaan benar-benar semakin membaik. Di kamar BDK, aku banyak mendapatkan obrolan bernas dengan mb Citra. Aku juga bisa sedikit membantunya melewati masa-masa morning sickness dengan membawakannya makanan atau cemilan saat yang bersangkutan sedang tidak dalam kondisi sehat dan memungkinkan beraktivitas terlalu berat. Sementara itu di kelas, suasana tak kalah menyennagkan; keakraban yang perlahan mulai terjalin, keseruan saat diskusi dan presentasi, tugas-tugas di lapangan maupun di kelas dan banyak lagi yang pada akhirnya membuatku merasa, masio 5 pekan adalah waktu yang lama, terasanya tetap seru dan memorable. Kami tak hanya ‘dimanjakan’ oleh fasilitas di BDK, mulai dari layanan kesehatan gratis hingga konsumsi yang—meski didominasi sayur kuah—turah-turah, tapi juga dibikin enjoyable dengan jadwal tentatif monoton dengan sedikit variasi di antaranya; wiken boleh pulang, Stula dua kali, materi bela Negara dari Kodim Brawijaya, obrolan di luar kelas, rujakan, keroyokan oleh-oleh dari yang baru pulang, olahraga Jumat pagi, hingga benih-benih cinta lokasi.  
***
            Soal extradition yang kualami sempat aku ceritakan pada Kepala BDK, Pak Thaha yang kalau kasih ceramah/amanah apel benar-benar mengaduk-aduk emosi kami para pendengarnya. Momentumnya-pun tak terencana; malam itu aku baru pulang dari kos dan mendapati Pak Thaha sedang berjalan santai sambil melihat suasana BDK. Kalau aku tak salah ingat, ia menginap di BDK malam itu setelah paginya ada kejadian bom bunuh diri di tiga titik di Surabaya. Ia menegurku yang pulang malam tergesa lalu kuceritakan semua yang kualami. Bagusnya Pak Thaha, ia nyaris tak berkomentar apapun tapi ia mampu membuatku menumpahkan segala hal yang aku ingin utarakan. Otomatis, dia juga tak menyalahkan siapa-siapa. Ia cukup mendengar semua yang tak sampaikan tanpa ada kesan kalau dia melewatkan apa-apa yang kusampaikan atau tidak memerhatikan. Minimal, setidaknya menurutku, yang juga kusampaikan implisit padanya, jika kebijakan soal larangan membawa anak ini belum bisa ditinjau ulang, setidaknya tidak ada kasus yang sama atau lebih buruk seperti yang kualami.
            Sampai tulisan ini akan aku akhiri, aku belum tau pasti mengapa sempat ada miskomunikasi yang sesistematis seperti yang kualami. Ibu-ibu resepsionis yang tetap ramah padaku, belakangan, sempat mengatakan bahwa aku dikenakan kebijakan yang berbeda dari yang diinformasikan sejak awal (kebolehan membawa anak ke kamar khusus) untuk menghindari kecemburuan sosial di antara busui-busui lain yang tidak mendapatkan informasi ini sejak awal (should I be victimized then?). Sementara itu, sehari setelah kasus pengusiran anak dan rewang-ku, ketika apel (pagi sebelum sorenya aku pindah kos), pembina apel mengatakan dalam amanahnya bahwa alasan mengapa membawa anak tidak diperbolehkan adalah karena kekhawatiran BDK dianggap day care atau yang semacamnya (segitu amat ya, mikirnya?)
            Padahal, sepembacaanku, masalah ini sebenarnya masih furu’iyyah sebab suatu ketika, dalam adegan buru-buru balik BDK juga sepulangnya dari kos, seorang bapak-bapak (dia juga pejabat, Kasi Rumah Tangga kalau tidak salah gt nomenklaturnya) menanyaiku; baru dari mana dan lain sebagainya. Setelah kuceritakan kejadian yang kualami, dia menyayangkan mengapa alurnya harus demikian. Menurutnya, anak dan rewang-ku sebenarnya bisa tinggal di BDK, toh banyak kamar nganggur, dengan membayar biaya khusus. Keterangannya jauh berbalik dengan alasan bapak bengis yang mengusir anak dan rewang-ku dengan mengatakan bahwa alasannya adalah karena BDK mau kedatangan banyak peserta dan kekurangan kamar. Saat itu, sayangnya, Rauhia dan mb Nur sudah nyaman tinggal di kos dan akupun sudah membayar biaya kos untuk sebulan. Meski demikian, setidaknya, aku menyimpulkan, bahwa tidak semua pejabat di BDK tidak peka. Beberapa di antaranya masih ada yang sangat sensitif terhadap kebutuhan seluruh peserta dengan berbagai ragamnya, tidak strict terhadap aturan jika sudah jelas-jelas tidak relevan dan tidak suka membikin persoalan yang sederhana jadi ribet dengan bumbu ini dan itu di sana-sini.  
            Dan yang terakhir, yang mungkin juga terpenting, aku demikian bersyukur sebab dengan alur yang awalnya banyak suspense itu, aku berhasil menyelesaikan masa pendidikan di Latsar. Dibanding nakal dan bolosnya, aku lebih banyak muthi’ dan disiplinnya hehe. Meski tidak rutin jemaat di masjid dan tarawih langganan ambil yang paket cepat 8 raka’at, aku baru bolos sekali untuk apel (kalau telat pernah beberapa kali) dan tidak pernah bolos kelas. Laporan Stula 1, 2, rancangan serta laporan aktualisasi aku tulis dengan sedikit sekali copy paste. Aku benar-benar starting from the sketch dan meskipun aku harus mengubah nyaris semua rancangan aktualisasi, selalu gugup saat presentasi tapi diuntungkan karena jadi anak asuhnya Bu Fika, nilai yang tertera di sertifikat kelulusanku cukup memuaskan; yah bagiku, di balik semua drama, itu adalah capaian! Bonusnya lagi, aku dengan tim di Latsar 1 dan 2 lolos ke panel AICIS 2018 di Palu. What could be more lesson learned than those!
Pamekasan, 18-19 Agustus 2019

MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.