satu to do list tahun ini adalah quit breastfeeding alias menyapih Rauhia. Ketika menulisnya di daftar resolusi, ada bayangan mengerikan yang mampir di kepala. Rasanya indescribable. Tergambar bagaimana susahnya menghentikan kebiasaan yang kurang lebih dua tahun belakangan dijalani. Terlebih as she grows up, aku menyadari bahwa menyusu dan menyusui bukan soal skin to skin semata, tapi heart to heart bahkan blood to blood. Lain dari itu, menyusu adalah solusi satu untuk semua bagi Rauhia. Kurang enak badan, marah, ngantuk, sebel, negosiasi mentok, semua terpecahkan dengan menyusu. Bagi aku ibunya, menyusui juga adalah semacam treatment khusus di kala lelah, bosan, stress, desparate atau ngantuk. 

Entah kesepakatan apa yang terjadi antara teks agama dan penelitian medis, yang jelas keduanya sama-sama menyebut angka dua tahun sebagai durasi sempurna untuk menyusui. Suami pernah berkomentar bahwa durasi tersebut adalah ambang minimal, sehingga kalau punjul, tak jadi masalah. Merasa menemukan pembenaran, akupun memercayai dan berniat menerapkannya. Terlebih, aku sering merasa belum pernah benar-benar bisa menyempurnakan dua tahun itu, utamanya dalam hal kuantitas. Hari-hari pertama Rauhia lahir ke dunia, saat aku tugas negara ke Palu kemudian Surabaya, serta nyaris SETIAP HARI KERJA di siang hari sejak ia belum genap berumur setahun, aku cuti sementara dari tugas biologis itu. Jadi bayanganku, kalau ditotal, jumlahnya tak akan sama dengan mereka yang full, apalagi direct breastfeeding selama hawlayni kamilayni.  

Karena pertimbangan itu jugalah, aku ngotot tak mau menyapihnya sebelum ia berumur dua tahun meski ada dua moment yang sebenarnya pas untuk mengeksekusi rencana itu. Alasan yang diberikan memang terdengar masuk akal, semacam biar tidak repot nyapih lagi nanti dan sejenisnya. Tapi aku keukeh emoh. Dengan segala kekurangan, aku ingin menyempurnakannya. Terlebih, balada menyusui adalah episode lain dari kisahku dan Rauhia yang barangkali tak bisa benar-benar utuh tergambarkan dengan kata-kata. Meski seiring waktu, ingatan tentangnya akan pudar ketindih memori-memori lain yang datang belakangan, pengalaman menyusui pertama kali adalah anugerah yang sangat kusyukuri. Tentu ekspresi ini tidak otomatis underestimate pada ibu-ibu yang (memilih untuk) tidak menyusui karena satu dan lain hal. 

Ketika sempat menghadiri Posyandu karena kebetulan jadwalnya Sabtu, aku sempat menuturkan perihal rencana penyapihan ini pada bidan yang membantu persalinanku. Seperti sudah mengerti gelagat dan prinsipku, dengan senyum khasnya ia berkomentar pendek bahwa setelah usia anak 2 tahun, kandungan gizi dalam ASI sudah berkurang sehingga, implied meaning-nya, penyapihan benar-benar patut diagendakan. Aku mengangguk mantap nan bahagia karena jawabannya melegakan, tidak menggurui apalagi judging. Aku juga totally agree dengan insight seorang teman, lebih tepatnya adik dari temanku, yang melihat penyapihan tak lain sebagai bentuk moving on atau transisi dari satu babak ke babak selanjutnya. Informasi semacam inilah yang membuatku lebih legowo menapaki tahapan-tahapan penyapihan Rauhia, instead of yang doktrinal-doktrinal apalagi langsung menghakimi dan memojokkan.

So that’s yah, aku berbulat hati untuk menyapih Rauhia meski aku bukannya nyandak untuk membayangkan bagaimana caranya menidurkan dia, bagaimana jika ia bangun tengah malam dan masih ngantuk tapi tidak bisa tidur lagi tanpa menyentuh kulitku (as it is used to be), bagaimana jika ia sakit, marah, bosan atau suntuk dan sudah tidak ada jalan keluar, bagaimana aku bisa berekonsiliasi setelah sekian suspense di antara kami tak bisa dihindari, dan semuanya. Dibandingkan tahapan-tahapan lain dalam kehamilan hingga pengasuhan anak, di fase ini aku merasa paling malas dan emoh untuk mencari informasi daring soal, apa sih namanya, weaning with love. Mungkin terlalu mabuk informasi, jadi overload dan akhirnya malas. Meski begitu, aku masih bersemangat bertanya soal pengalaman ibu-ibu yang lebih senior dalam menyapih anaknya, termasuk yang extended breastfeeding. Semua menyiratkan bahwa drama penyapihan adalah hal yang pasti bisa dilewati, betapapun susah dan dramatisnya. 

***

Hampir semua ibu yang kutanyai menjawab bahwa langkah pertamanya adalah sounding. Ok, aku ikuti saja dan memulai langkah dari titik itu. Tapi, entah karena caraku yang kurang tepat atau gaya Rauhia yang tidak suka terlalu banyak verbal word—barangkali seperti romonya—langkah pertama ini terasa gagal dan mental terus. Setiap aku mendapat moment untuk berbicara dari hati ke hati dengannya lalu kumulai menyinggung soal penyapihan, di situlah Rauhia bereaksi cukup frontal, mulai dari gelengan kepala, delikan mata, teriakan pelan hingga keras mengatakan TIDAK sampai terburu-buru menghampiriku dan mencari sesuatu dari tubuhku yang barangkali ia takut kehilangan atau jauh darinya gara-gara sounding tadi. Tentu aku tak menyerah begitu saja. Aku terus mencoba membuatnya mengerti, tapi yang kurasa, semakin sering aku singgung masalah ini, semakin Rauhia reaktif dan salah satu wujudnya adalah menambah durasi dan frekuensi menyusu. 

Soal sounding ini biasanya merupakan jawaban dari ibu-ibu muda alias ibu-ibu milenial yang barangkali banyak baca teori parenting utamanya dari sosial media atau buku-buku terkait. Jika responden bergeser pada ibu-ibu tradisional atau paling tidak antara tradisional dan milenial, maka jawabannya akan beragam; mulai dari memberi aksesoris pada pa**dara untuk mematikan selera si bayi melalui indera pengecap dan atau penglihatnya, pisah ranjang dan sengaja diungsikan selama masa penyapihan hingga sowan orang pintar untuk meminta petunjuk dan apa yang oleh orang Madura disebut rat-sarat. Setelah berulang sounding tampak tak memberi hasil yang baik, aku mulai melirik pada gaya-gaya tradisional tersebut meski tentu saja ada pertimbangan lain yang mau tak mau aku pakai. Ini menjadi penting sebab sebagian caranya tergolong ekstrim, seperti melumuri ampas kopi, balsem atau jamu pahit. Jadi to sum up, my stance is, masio akhirnya manut, aku tetap harus kritis.

Sikap kritis demikian, sayangnya, bisa tampak sebagai sebuah ke-sok-tahu-an atau sikap ngeyel dari –mereka yang merasa—lebih tahu. Yah kalau semua omongan orang lain akan di-reken (asal jangan diaudit aja), tak akan ada bersambungnya itu sinetron-sinetron. Meski mengerti yang demikian, seringkali keadaan di lapangan memberi tantangan yang jauh dari perkiraan. Ini misalnya, kualami, very first time, dalam pemilihan waktu menyapih. Ulang tahun kedua Rauhia kebetulan bertepatan dengan hari pertama puasa Ramadhan sehingga, selain karena malas dan merasa belum siap, aku putuskan untuk menundanya hingga setelah Ramadhan. Ini juga berbekal saran dan masukan dari beberapa anggota keluarga yang membayangkan bagaimana rempong-nya proses penyapihan di sela-sela rutinitas Ramadhan.

Konfliknya di mana? Di respon-respon terkejut ketika mengetahui bahwa Rauhia uda berumur dua tahun tapi belum disapih. Ini utamanya terjadi di acara kumpul-kumpul dan atau silaturrahim lebaran. Argumentasi yang digunakan untuk menguatkan keterkejutan tersebut biasanya adalah comparison sentences semisal, dulu anakku disapih pas umur sekian bulan, termasuk dengan anak yang lebih muda dari Rauhia tapi sudah disapih. Jika sudah begini, masio tak balas senyum atau cengengesan, dalam hati aku senyatanya berdoa “Ya Allah, jauhkanlah aku dari komentar berlebihan terhadap kehidupan orang lain yang berpotensi—atau sudah pasti—bikin mangkel yang bersangkutan.
Selain soal timing, aku juga memangkas alternatif perihal sowan pada orang pintar untuk meminta doa atau wasilah lain demi memperlancar proses penyapihan Rauhia melalui jalan supranatural. Pilihan ini berawal dari saran umik yang tidak merekomendasikan ini karena menurutnya, kuatir akan membuat si anak pelupa. Aslinya ya aku malas ngurus yang beginian dan tambah dapat dukungan dari umik, jadilah seperti itu pilihannya. Jadi, seperti yang sudah-sudah, kalau ada orang memberi saran soal ini, biasanya aku mesemi, iyakan (semacam ucapan terimakasih telah memberi saran tapi tidak berjanji akan melaksanakan sarannya) atau reaksi hambar lainnya. Kadang memang jadi susah ketika banyak saran dari sana-sini, yang satu sama lain berbeda, lalu pemberi saran justru akan tersinggung ketika tau sarannya tidak dilaksanakan atau kalah saing dibanding saran lain.
Kata kunci lain yang aku garisbawahi dari beberapa teman yang lebih berpengalaman soal penyapihan ini adalah soal TEGA. Kalimat semacam harus tega, wajib tega, dan sejenisnya banyak aku dapatkan ketika mengobrolkan ini dengan teman-teman yang lebih berpengalaman. Semacam bersakit-sakit dahulu, for goodness of all. Aku jadi berpikir banyak dari kalimat itu, semacam mengingat-ngingat, bagaimana bisa aku dibilang tidak tegaan, sementara setiap hari kerja, aku meninggalkannya dan baru pulang ketika sore atau malam hari saat tenaga dan pikiranku sudah lelah? Aku juga pernah beberapa kali meninggalkannya dengan alasan tugas Negara. Pun juga beberapa jam lembur dan jam weekend yang harus aku alokasikan ke agenda lain karena satu dan lain hal tanpa bisa membawanya ikut serta. Padahal, aku bukan tak tahu bahwa so far, yang paling dia butuhkan adalah aku ibunya. Dari situ, aku meyakinkan diriku bahwa soal penundaan waktu penyapihan Rauhia bukanlah soal tega atau tak tega. Aku hanya terlalu malas dan barangkali khawatir kehilangan privilege menyusui yang luar biasa aku syukuri.  

***
Keberanian dan tekad menyapih Rauhia perlahan membulat setelah aku memijatkannya ke dukun yang dari awal mengawal proses kehamilan dan prosesi-prosesi selanjutnya. FYI aku biasa memijat Rauhia ke dukun yang rumahnya juga bisa dengan mudah kujangkau itu jika rewelnya sudah di luar batas kewajaran, apalagi belakangan aktivitas fisiknya waw sekali. Salah satu saran yang diberikan mbah dukun adalah memulai proses penyapihan di hari kelahiran. Itu yang dikatakannya di sebuah Sabtu sore sebelum aku pamit pulang menggendong Rauhia yang masih terisak setelah sesi pijat bayi tradisional. Esok harinya adalah hari kelahiran Rauhia dan sejak malamnya, Sabtu malam kalau kata jomblo, aku membawa Rauhia tidur di tempat yang agak leluasa terakses angin dan mengkondisikan segala halnya agar ia bisa tidur tanpa harus menyusu. Langkah pertama berhasil dan terasa mudah. Aku berniat mengurangi jatah menyusunya terlebih dahulu pelan-pelan, utamanya di momen-momen krusial, untuk menghindarkannya dari too much shocked ketika harus benar-benar lepas nanti. Ketika tengah malam ia terbangun dan seperti biasa mencari kulitku, aku tetap memberikan apa yang dia mau.  

Esok harinya, barulah aku ke tahap selanjutnya; menggunakan aksesoris agar indera penglihatan Rauhia mengirim pesan ke otaknya untuk tidak menyusu. Celakanya, untuk menjalankan misi ini, aku harus berbohong padanya untuk meyakinkan bahwa perubahan di area yang dikenalnya bukanlah tanpa alasan, meski dengan alasan yang ngawur serta nglembo sekali. Rauhia percaya; barangkali karena anak kecil belum nyandak pikirannya untuk berbohong, sehingga apapun yang didengarnya, ia anggap benar adanya. Aku sedih bukan main, tapi aku melanjutkan misi tersebut right away. Awalnya, Rauhia tidak meminta menyusu secara verbal dan semua undercontrol. Namun, pertahanannya perlahan runtuh saat jam tidur siang. Aku yang memang sudah ngantuk luar biasa dan tak ingin melewatkan jam tidur siang di akhir pekan akhirnya menyerah saja. Aku ingat sekali ketika itu suami juga ngompakin biar aku bisa tidur siang untuk bekal begadang nanti malam.

Sore dan malam berlalu tanpa rengekan atau kode lain untuk menyusu. Aku yakin itu bukan karena ia tak ingin, tapi karena ia terlalu percaya dengan kebohongan yang aku ucapkan. Ketika tiba waktunya tidur malam, ia mulai gelisah dan seperti mengiba untuk menyusu. Suami yang melihatnya tidak tega dan menyuruhku menyusui saja. Akan tetapi, karena di tahap itu ayah dan ibu mertua sudah mengetahui bahwa cucu pertamanya sedang dalam proses penyapihan, otomatis inisiatif tersebut ditolak mentah2. Jadilah, bergiliran, kami menggendongnya dan membawa dia ke tempat yang sejuk terakses angin untuk agar kantuknya semakin besar dan ia tertidur serta melupakan keinginannya untuk menyusu. 

Sebelumnya, kami juga memastikan perut Rauhia cukup terisi sehingga ini juga akan membantu kantuknya semakin menjadi dan mempercepat proses ia terlelap, seperti kaidah agar sarapan pagi dengan buah bukan dengan karbo agar waktu produktif pagi bisa maksimal. Sekian menit dibawa angin-anginan di luar, Rauhia sudah tidur di gendongan namun ketika badan mungilnya dipindah ke tempat tidur, seringkali ia terbangun, menangis lagi dan harus digendong kembali. Jika beruntung, Rauhia tidak akan terbangun dan para pasukan bisa beristirahat untuk saving energy sesi berikutnya sebab tak lama, Rauhia biasanya akan bangun dan menangis setengah menjerit sebelum digendong dan dibawa berayun-ayun di area berangin. Begitu seterusnya alur malam itu. Seingatku, malam pertama penyapihan penuh itu, Rauhia bangun pertama kali lewat pukul 12 dan rentetan bangun-digendong-tidur-bangun itu terus berlanjut hingga shubuh. Aku pusing bukan main, masuk angin meski tak keluyuran malam dan esoknya, aku harus jaga ujian 3 kelas.

Hari itu juga adalah hari ulangtahunku; alasan lain mengapa aku ngepasin penyapihan Rauhia dengan hari itu, biar gampang mengingatnya someday. Di kampus aku ikut apel—malah jadi petugasnya—dan njaga ujian seperti terjadwal jauh-jauh hari. Siangnya makan di Awa-Kowa bareng Bu Septi  lalu sorenya, aku mampir ke klinik ibu bidan untuk konsultasi dan dapat amunisi penyapihan. Seperti biasa, di klinik antri sekali sehingga aku harus nunggu agak lama dan otomatis pulang telat. Untungnya sikap dan sambutan bidannya sangat mengenakkan, ramah dan profesional. Diberi gratisan lagi, meski aku minta sedikit aja karena mesti nanti malas minumnya. Sempet juga diperingati agar tidak menyedot ASI karena produksi akan kembali terjadi dan sakitnya akan kembali. Tadi pagi sudah semangat bawa pumper ke kampus dan sempat pumping juga ketika nyeri datang, jebule cocokologi ini keliru.

Aku pulang ke rumah dan Rauhia menyambutku, hangat seperti biasa lalu menghambur ke arahku meski aku belum berinisiatif memeluknya. Moment pertama aku pulang kerja setelah penyapihan, otomatis dia merengek minta menyusu tapi aku alihkan pada yang lain. Masih dengan kebohongan yang sama, sehingga ketika Rauhia mekso ingin melihat bukti dari apa yang aku katakan, dia melihatnya dan berangsur percaya. Agar tidak semua menggunakan cara tipu-tipu, aku mengajaknya bersenandung lagu yang baru dia kenal dengan sedikit modifikasi,

Mie, mie, mie, Rauhia berhentik mimik
Sar, sar, sar, Rauhia sudah besar,
Bubuuuu.. nyenyak,
Bubuuu…nyenyak,
Tak goyang –goyang ser.


Meski awalnya terlihat ingin complain karena ada perubahan lirik dengan yang ia ketahui sebelumnya, akhire Rauhia mau juga mengikuti polaku. Keceriannya kembali dan aku gemas bukan main ketika Rauhia yang cadel tidak bisa mengatakan ser dengan pelafalan seperti biasa. Jadilah lagu itu semacam mantra untuk mengalihkan perhatiannya dari kerinduan akan ASI, moment ketika kami berdua seperti tak ada jarak dan barangkali  juga aroma-aroma khas dari tubuh kami yang saling tercium. Aku bahagia menemukan solusi ini, tapi jatuhnya tetap kasihan dan seperti tak tega. Why shouldn't I avoid giving her the thing I have?
***
Malam kedua penyapihan, pola-pola Rauhia mulai terbaca dan terpetakan. Ia ingin segera dievakuasi—baca: digendong—ketika bangun, ia tidak ingin berada di tempat panas, dan sesekali saat bangun, ia ingin minum air putih atau menyambangi kulkas sekadar mencari apa yang bisa diambil dan dinikmati dari situ. Kebiasaan minum air tengah malam sudah tampak sejak sebelum masa penyapihan, sementara alternatif untuk memberinya susu formula, susu kemasan yang siap minum dan sebagainya otomatis tereliminir melihat responnya yang emoh. Sesekali ia tampak sangat menikmati dan terbuai lalu mengantuk dengan lantunan lagu, salawat atau bacaan lain. Meski begitu, ketika tengah malam ia terbangun, yang dicarinya tetaplah mama, bukan air apalagi susu kemasan. Kembali, kami bergantian menggendong dan menidurkannya, seringkali mengipasnya manual. Aku seringkali mengambil porsi istirahat cukup besar karena esoknya  harus tetap kerja, tapi tetap saja kepikiran dan tidurpun tak lelap seperti biasa.
Sementara menahan nyeri fisik karena menghentikan kebiasaan menyusui, perang batinku tak kalah menyakitkan. Rasanya powerless sekali melihat dan mendengar Rauhia menjerit2 menginginkan sesuatu yang aku miliki tapi sudah tak bisa aku berikan. Seringkali aku juga berpikir perihal extended breastfeeding tapi kurasa kurang kondusif untuk menerapkannya di tengah gempuran mitos-mitos tradisional yang sangat membatasi pilihan. Mitos yang sudah kutanyakan benar tidaknya pada bidanku itu—yang ternyata tidak benar menurut beliau, celakanya, dipercaya oleh nyaris semua orang di sekitarku. Barangkali pembuktiannya melalui satu dua kasus, tapi validitasnya seperti mau ngalah-ngalahin kitab suci. In short word, mitos-mitos yang beredar adalah soal ‘basi’nya ASI setelah sejenak berhenti menyusui dan dipercaya dapat memberi efek buruk pada fisik, psikis maupun intelektual bayi. In my humble opinion, itu tidaklah demikian sebab tubuh punya sistem otomasi sendiri. Bisa detoks dengan sendirinya dan lain sebagainya.  
Jadi, ketika di suatu sore, beberapa hari kemudian, Rauhia sudah could not stand anymore untuk tidak menyusu, aku nekat menyusuinya. Sebentar dan tak niatkan sebagai the very last session of breastmilk she gets. Aku juga mengutarakan padanya secara verbal bahwa setelah itu, Rauhia sudah tidak boleh menyusu, karena Rauhia sudah besar. Implied meaning-nya adalah bahwa sandiwara yang kemarin aku bilang itu bohong. Saat suatu ketika Rauhia mengingat kebohongan itu lalu mengatakan alasan mengapa ia tidak boleh lagi menyusui, aku buru-buru mengatakan bahwa sebabnya tidak demikian, tapi karena Rauhia sudah besar and now is the time. Sayangnya, masio sudah aku katakan demikian, Rauhia tampak lebih percaya pada yang kuutarakan pertama. Mungkin karena sounding-nya lebih sering dan intens, mungkin juga karena dia bingung mengapa informasi yang diberikan ibunya berbeda antara satu dan yang lain. My very deep apologize, Nak. 
Malam-malam selanjutnya, keadaan semakin membaik. Tetangga yang mendengar tangis Rauhia sangat intens pada malam pertama, malam menjelang 17 Juni, berkomentar bahwa pada malam-malam setelahnya, tangis Rauhia sudah tidak intens lagi. Keadaan di dalam rumah sebenarnya tak banyak berubah. Kami berempat tetap bergantian menggendong, menidurkan dan mengipasinya. Suatu malam, Rauhia bahkan pernah kembali rewel bukan main sehingga ia harus tidur di gendongan ayah mertua hingga pagi. Aku yang harus berangkat bekerja meninggalkannya dalam keadaan terlelap di gendongan setelah semalam luar biasa menahan kantuk dan lelah setelah seharian beraktivitas di kantor; dikejar deadline, urusan berburu tanda tangan dan hal-hal administratif lain.

Kami juga diuntungkan dengan keadaan karena tak lama setelah proses penyapihan dimulai, suhu malam beranjak semakin dingin dan itu artinya, kami terbantu oleh cuaca yang sangat disukai Rauhia. Rauhia tak perlu lagi diungsikan untuk tidur dan cukup dengan membuka jendela kamar, ia bisa lebih mudah dikondisikan untuk terlelap. Sebelumnya, ketika udara masih normal—sowap, kata orang Madura—kami biasa menggelar alas di ruang tamu, membuka jendela dan pintu lalu menidurkan Rauhia di situ. Itu masih ditambah tugas mengipasi dan memastikan tidak ada nyamuk yang bisa mendekat, sementara tugas menemaninya tidur di spot itu adalah wilayahku. Aku ingat suatu malam, tidur Rauhia—yang proses mencapainya begitu dramatik—pernah terganggu karena gigitan nyamuk dan hal tersebut begitu merusak mood-nya sehingga ia rewel sepanjang malam. Kesimpulannya, tempat tersebut bagus untuk karena memberi akses angin dan udara dingin, tapi akses nyamuk juga tak kalah luas.   

Selain momentum ketika akan tidur malam, nyaris tidak ada halangan berarti dalam proses penyapihan Rauhia. Jika any random time dia tiba-tiba menunjukkan gelagat ingin menyusu, aku sudah punya sekian cara dan instrument untuk mengalihkan pikirannya. Yang bikin heran adalah saat aku mendengar beberapa orang dewasa tampak seperti mengolok-olok—mungkin niatnya mengguyoni—Rauhia karena dia sudah tidak lagi bisa menyusu, padahal itu masih dalam proses penyapihan. Dikiranya sounding kaya gitu bisa memudahkan proses penyapihan kali ya? Aku masih mencerna kebiasaan yang seolah menjadi atribut keakraban itu dan meski saat ini belum menemukan jawaban yang tepat serta wajar, aku mentok di keinginan kuat tidak melakukan hal yang sama pada anak lain; barangkali itulah cara terbaik menyikapi hal tak disukai yang kita terima. Ada juga keheranan lain mendengar cerita-cerita penyapihan yang tampak simple dan sederhana banget, semacam anakku kemarin disowankan ke orang pintar abis itu dia lupa. Uda gitu aja. Rasanya koq makjleb kalau ingat proses Rauhia berhari-hari bahkan nyaris satu-dua pekan, seperti mendengar cerita orang yang lahiran setelah ngeden satu hingga tiga kali, sedang diri ini ngeden 5jam-an.  
***
As the time goes on, and as it heals almost everything, Rauhia tampak mulai bisa berdamai dengan kenyataan, meski perubahan kecil-besar mau tak mau terjadi. Jika sebelumnya ia cukup jarang dengan romo-nya, setelah penyapihan mereka berdua makin lengket. Ada beberapa momen, even, ketika Rauhia prefers her dad instead of her mum. Ke mana-mana selalu ingin ngikutin romo-nya, termasuk ketika si  romo kumpul dengan teman-temannya dan banyak asap rokok di situ. Barangkali karena romo-nya yang paling sering menggendong lalu menidurkan dia ketika malam saat mamanya sudah teler duluan kecapaian. Dia bahkan mulai dekat dengan Firman, ipar sepupu, yang memang intens berkomunikasi dengan si romo seharian saking tak terpisahkannya Rauhia dengan duplikatnya itu.
Rauhia juga dikabarkan cukup susah tidur siang dan rekor tidur siangnya tidak lebih dari satu atau dua kali. Entah ada hubungan atau tidak dengan penyapihan, tapi aku merasa kalau siangnya ia tak tidur, malamnya dia lekas cepat dan mudah ngantuk. Rauhia juga kurusan, barangkali faktor kehilangan sumber nutrisi favoritnya, sementara intensitas dan selera makannya tidak banyak berubah. Rauhia juga memiliki kesibukan baru, yakni ngopeni beberapa bonekanya yang seolah-olah dia anggap hidup dan butuh treatment layaknya bayi biasa. Salah satu treatment-nya adalah menyusui seolah-olah dia adalah ibu dari boneka-boneka yang dia panggil adik. Kadangkala, Rauhia juga menyuruhku menyusui boneka-bonekanya jika dia tidak tengah mengingat kebohongan yang kuutarakan dulu. Aku tentu sangat terhibur melihatnya growing up that healthy and improving. Sesekali, saat dia memintaku terlibat, aku pura-pura menyusui itu boneka-boneka dengan mengatakan, ‘sekarang waktunya adik yang mimik mama. Rauhia ga boleh mimik lagi.’
Sekali waktu, Rauhia masih belum move on sepenuhnya dari kebiasaan skin to skin denganku. Dia seringkali ndesel-ndesel seperti memintaku membolehkannya melakukan aktivitas sampingan yang dulu biasa ia lakukan saat menyusu. Aku tak memermasalahkan yang demikian dan menyilakannya melakukan itu, meski dengan pengawasan penuh. Lain dari itu, Rauhia tampak mulai mengerti kalau di situ bukan lagi wilayahnya dan masih banyak hal lain yang bisa ia lakukan, seperti menari dan menyanyi Baby Shark, mendekati kulkas atau memintaku memeluk lalu membelai rambut hitam lebatnya. Belakangan dia juga mulai biasa mencium dan memelukku atas inisiatifnya sendiri dan tak lagi hanya menjadi objek yang aku ciumi dan peluk bertubi-tubi saat aku gemas, lelah atau lagi sebel padanya. Proses menuju tidur malam juga sudah tidak sedrama dulu dan meski sudah tidak menyusu dan menyusui, kami berdua tetap rutin skin to skin contact untuk memancing kantuk masing-masing dan segera tertidur pulas, seperti bersiap untuk esok yang lebih indah. 
P.S; Kini Rauhia sudah disapih dan aku tak lagi terlalu terikat secara biologis dengannya. Sebelum ini, dua tahunan yang lalu, tali pusar yang menghubungkan tubuhnya dengan plasenta dan rahimku juga sudah terpotong dan memberinya jalan hidup sendiri. Jantungnya tak lagi berdetak di dalam perutku dan darahnya tak lagi mengalir di antara nadiku. Meski begitu, so far Rauhia tetap menunjukkan bahwa akulah yang paling istimewa di hatinya. Akulah orang nomor 1 baginya dengan segala kekurangan dan ketidakmampuanku selalu berada di dekat dia. Akulah orang yang paling ia tunggu untuk pulang lalu mengiyakan ajakannya melakukan any childlike matters. Dan tentunya, putriku, meski ASI tak lagi menjadi asupan utamamu, cintaku tetap tak berbatas dan tersyarat padamu. We would never been apart. I love you even more to the moon and back.




Awal bulan depan Rauhia genap berumur dua tahun. Itu berdasarkan perhitungan kalender Masehi. Kalau Kalander Hijriyah, hari pertama di usia keduanya sudah sejak beberapa pekan yang lalu. Jika tidak ada perubahan, ulang tahun keduanya juga akan bertepatan dengan hari pertama puasa Ramadhan. Aku masih no idea soal weaning with love dan atau toilet training, lebih tepatnya belum ingin memikirkan dua hal menakutkan tersebut. Selain mengotak-atik rencana selebrasi ulang tahunnyatentu dengan versiku, aku lebih dibuat sibuk dengan pikiran soal dua tahun pertama yang ia lewati, so far, bersamaku dan orang-orang di sekitarnya.



          Barangkali karena sempat menulis soal golden age dua tahun pertama anak lalu membaca buku 1000 Hari Pertama Ananda which is kumpulan tulisan para pemenang sayembara yang diadakan GNFI akhir tahun kemarin, aku jadi tergoda untuk berpikir lebih jauh. Rasanya ingin men-scoring diri sendiri meski tidak adadan males bikinkomponen-komponen penilaiannya. Tapi barangkali keisengan itu jadi tidak begitu penting jika mengingat bahwa intinya, di sana-sini memang banyak yang harus aku perbaiki. Pola makan, aktivitas, interaksi, sanitasi, 'kurikulum', targetted timelines, dos dan donts dan lain-lain. Yang terasa penting untuk saat ini, as far as I can tell you, Rauhia sekarang cukup berbeda dengan dia pada Mei 2017 juga pada Mei 2018.

         Pada Mei 2017, sehari setelah Hari Bidan Nasional ketika itu, ia masihlah bayi merah yang bisanya menangis, buang air, dan minum. Literally itu saja, selain bergerak dan bernafas tentu saja. Kehadirannya membuat ritme hidupku berubah drastis bahkan total. Dia benar-benar menjadi pusat dan nyaris satu-satunya obyek perhatian. Meski saat itu suka menebak-nebak, sampai saat ini aku belum yakin soal mana di antara kelima inderanya yang lebih dulu berfungsi paling maksimal. Meski matanya terbuka dan bagian hitamnya suka pindah kanan pindah kiri, ketika itu aku tak yakin dia bisa melihat dengan jelas seperti manusia dewasa. Belakangan, kuperhatikan indera pendengarannya berfungsi dengan baik ketika ia sering terkejut ketika ada suara nyaring semisal knalpot bodong, klakson yang berlebihan atau petasan.

Seperti adegan yang sering kulihat di TV atau media sosial, aku juga suka memberikan telunjukku untuk ia genggam pada hari-hari pertamanya lahir ke dunia. Ia manut saja dan kuperhatikan jari-jemarinya yang masih merah begitu kuat menggenggam telunjukku. Kuku-kukunya cepat sekali panjang akan tetapi hal itu tidak menjadi persoalan serius karena ia masih menggunakan kaus tangan. Aksesoris ini biasanya dilepas ketika ia mandi sehingga waktu memotong kuku paling tepat adalah setelah ia mandi. Kurang lebih dalam 40 hari pertamanya, Rauhia dimandikan oleh dua dukun bayi. Pertama dukun di rumah Pamekasan dan kedua dukun di rumah Sumenep. Aku nyaris tidak pernah menyaksikan ia dimandikan oleh dukun pertama sebab aku masih dalam masa recovery, sementara scene-scene dengan dukun kedua nyaris tak pernah kulewatkan. Meski, ketika itu, aku ingat sekali, aku hanya bisa bantu menyisir rambutnya yang tebal sejak lahir.

     Setahun setelahnya, Mei 2018, aku memboyong Rauhia bersama rewang-nya ke Surabaya ketika aku harus mengikuti Pelatihan Dasar (Latsar, versi barunya Prajab) fase pertama selama lima pekan. Ulang tahun pertamanya ketika itu hari Ahad, kalau tidak salah Ahad pertama di Surabaya. Sebagian besar peserta Latsar izin pesiar dan akupun juga demikian. Aku izin pesiar ke kamar kos Rauhia yang bisa ditempuh dengan perjalanan kaki kurang lebih 3-5 menit dari kamarku di E9. Tak ada selebrasi apa-apa ketika itu, meski dari jauh hari aku sudah menyiapkan hadiah kecil untuknya. Rauhia ketika itu adalah bayi kecil yangjika dibandingkan hari inimasih cooperative ketika waktunya meal. Ia baru belajar berdiri, telah fasih merangkak, dan baru bisa mengucap satu dua kata. Panggilannya padaku ketika itu masihlah ama, bukan mama.

     Mumpung lagi di Surabaya, aku sempatkan untuk mengajaknya berkunjung ke tempat-tempat yang akan susah dijangkau begitu kami pulang ke Madura. Pusat perbelanjaan, rumah saudara hingga tempat jajanan dan menu kuliner yang bisa jadi langka di Madura. Aku tak yakin apakah ketika besar nanti, ia akan mengingat lima pekan di Surabaya itu. Beberapa momen sempat aku abadikan, barangkali suatu saat Rauhia akan menikmatinya betapapun ingatan otak mungkin tak banyak mendukung. Aku sendiri tidak banyak mengingat adegan-adegan masa kecilku, semantara poto-poto jadul yang tersisa nyaris tak mendukung ingatan akan adegan di sekitarnya. Karena itulah, aku merasa harus menuliskan ini, betapapun sederhana dan pendek, agar di kemudian hari, when shes growing up, she knows how much she is loved.

*** 
   
       Dann Rauhia hari ini sudah bisa berjalan dan berbicara, tapi mulai susah diajak kerjasama saat meal time dan kadangkala susah diarahkanuntuk tidak mengatakan diatur. Sesekali ia terjatuh ketika berjalan terlalu kencang atau terantuk benda yang ia tak sadari menghalangi langkahnya. Ia juga mulai fasih berbicara meski sebagian kecil bahasanya susah difahami orang lain. Kadangkali ia menirukan omongan orang lain dan bergumam seperti tengah bercerita dan minta tanggapan, meski lawan bicaranya harus mencoba memahami maksudnya melalui beberapa kata kunci yang jelas ia ucapkan dan dimengerti artinya namun jumlahnya seringkali tidak banyak. Selain kemampuan berjalan dan berbicara, ia mulai tampak terampil mengekspresikan perasaan, termasuk yang berhubungan dengan meal atau snack.

Dulu saat ia baru MPASI, bahkan ketika berumur setahun, ia nyaris selalu ok dengan menu apapun yang disajikan untuknya. Karbo ok, sayur ok, buah ok, protein ok, kudapan juga ok. E belakangan, aku lihat ia mulai picky bersamaan dengan kemampuannya menunjukkan emoh baik melalui perkataan, isyarat dan bahasa tubuh. Selera makannya juga, sependek perhatianku yang tak bisa 24 jam sehari dan 7 hari sepekan bersamanya secara fisik, mengikuti keadaan mood-nya. Kalau lagi baik, dan menunya cocok, dia akan lahap. Otherwise, dia bisa absen dari meal time seharian penuh dengan beragam dalih dan ekspresi. Pola lain yang tampak dari Rauhia adalah kecenderungannya yang cepat bosan. Memberinya menu meal yang sama setiap hari sama sekali bukan pilihan yang baik karena nyaris bisa dipastikan ia tidak akan antusias melahapnya. Dari beberapa adegan, terbukti ia sangat lahap menyantap makanan, baik meal atau snack, yang sudah lama tak dimakannya.

Rauhia juga cenderung menyukai makanan yang tidak begitu manis atau asin sekalian. Barangkali turunan genetis dari aku atau faktor lain, tapi sejauh ini begitulah yang dapat aku simpulkan dari beberapa sample adegan. Dia prefers keju daripada coklat dan lebih menyukai cemilan gurih dibanding cemilan manis. Ada juga hal-hal yang kadang susah dimengerti dan dinalar, semisal mengapa ia terlihat lebih antusias ketika nebeng menu makanan orang lain dibanding menu makanannya sendiri (padahal si ibu sudah semangat 45 perabotan makan beliin Tupperware biar eating menjadi fun learning). Jika toples kudapan atau kulkas tak berisi, dia juga sudah mulai komplen meski dengan satu atau dua kata kunci, beyi jajan (beli jajan), namun bermakna permintaan agar ruang-ruang tersebut segera diisi. Dalam beberapa moment aku sering melihatnya memeluk toples sambil duduk santai sementara mulutnya asyik mengunyah kudapan.
***
Well, Nak, menceritakan dua tahun pertamamu rasanya tak akan pernah selesai. Meski begitu, aku ingin menuliskan beberapa hal semampuku sebagai ikhtiar kecil bagaimana aku mensyukuri kehadiranmu dan mencintaimu dengan ketidaksempurnaanku di sana-sini.

Setelah sejak umur setahun Kau berpindah tempat mandi ke kamar mandi, bukan lagi di lincak yang outdoor, beberapa pekan yang lalu kita memulai fase baru, yakni mandi dengan air dingin alias air bak mandi tanpa terlebih dahulu dijerang seperti biasanya. Ini bukanlah inisiatifku, sebab aku meneruskan apa yang sudah dimulai oleh rewang-mu (rewang kedua yang membantuku menjaga dan mengurus keperluan Rauhia). Aku lihat Kau belajar beradaptasi meski tampak juga bahwa Kau masih mengira guyuran air dingin itu adalah guyonan, sebab kami terbiasa memperlakukanmu demikian ketika sebelum-sebelumnya, Kau tak juga mau entas dari Kamar Mandi karena keasyikan main. Satu tugas berkurang sebab aku nyaris tak pernah absen menjerangkanmu air termasuk ketika gas habis dan belum diisi ulangsehingga harus nebeng ke dapur sebelah. Tentu ini tidak diberlakukan ketika Kau sedang unwell seperti beberapa waktu yang lalu.

Sejauh yang kuingat, Kau selalu menyambut kedatanganku dengan bahagia dan suka cita, bahkan girang, sejak di Surabaya. Ketika itu Kau juga selalu menangis dan berteriak protes tatkala aku berangkat sehingga begitu melihatku, bahkan orang lain yang berpakaian sama denganku, Kau akan senang bukan main. Hal tersebut berlangsung hingga hari ini meski dalam satu-dua moment, Kau pernah cuek akan kedatanganku karena terlalu asyik bermain. Akan tetapi di sebagian besar moment saat aku pulang kerja dan baru sampai rumah, Kau selalu menyambutku dengan penuh excitement, terburu-buru untuk menghambur ke pelukan, bersegera mengajak ke kamar, mencari-cari celah untuk menemukan kulit yang kaucari atau tak sabar membuka bungkusan oleh-oleh yang kubawa. Ekspresi sederhanameski kadang kala hebohitulah yang selalu kurindukan dan membayang di pelupuk mata nyaris seharian di jam dan hari kerja.

Sejak diwarai soal copa bhaceng, aku selalu membiasakan diri meneguk air putih begitu bangun tidur. Betapapun sedikitnya tegukanku, tetap kuupayakan konsisten agar efeknya terasa dan longlasting. Belakangan aku juga membiasakan ini padamu, meski keseringan, minuman yang Kau teguk begitu bangun tidur adalah ASI. Setelah itu, begitu keluar dari kamar, aku biasa langsung membawamu ke meja makan dan menyodorkan segelas air untuk Kautandaskan. Usaha kecil itu mulai menampakkan hasil ketika, selain di waktu-waktu random Kau suka tiba-tiba minta mimik aing (seperti yang biasa Kaulafalkan), nyaris tiap bangun tidur, tak peduli itu dini hari, Kau meminta hal yang sama. Jika sudah demikian, maka lelah dan kantuk harus langsung tak lawan. Aku akan ke meja makan dan membawakanmu segelas air. Begitu melihatku datang, Kau akan bangun dari posisi tidur, berganti duduk dan meraih gelas yang kusodorkan. Kadangkala Kau memintaku untuk meneguk air setelahmu lalu Kau akan kembali berbaring dan melanjutkan aktivitas tidur, bermain, menggumam atau skin to skin denganku. Harapanku, semoga kebiasaan ini tetap Kaujaga, termasuk juga perihal mindset bahwa tak ada yang lebih baik untuk diminum selain plain water.

Soal yang satu ini aku tidak ingat sejak kapan. Hanya saja belakangan, bersamaan dengan kemampuan motorik halusmu yang semakin baik, Kau sering tampak asyik melakukan sesuatu sesukamu SAMBIL melakukan sesuatu yang lain, which is bergumam mengikuti gerakan tangan. Jika Kau tengah mencorat-coret di kertas, mengambil baju dari lemari lalu membuka lipatannya dan berusaha melipat kembali, bermain di atas papan ajaib, mengacak-acak beras atau apapun yang bisa Kaulakukan, akan terdengar gumaman dari mulutmu yang entah bagaimana menjadi ciri khas sekaligus kebiasaan. Jika kusela dengan dialog untuk memancingmu berkomentar, Kau biasanya akan memberi tanggapan singkat kemudian kembali lagi pada aktivitas utama serta gumamanmu itu. Entah apa maksudnya. Atau jika tidak, maka aktivitasmu ini akan dimanfaatkan dengan menyuapimu makan. Most of the time, it works. Kausibuk dengan aktivitasmu sehingga tidak terlalu memedulikan menu makanan, selera makan atau mood­-mu. Seperti reflek, saat sendok didekatkan, Kau akan membuka mulut dan mengunyahnya. Begitu seterusnya hingga menu di piring habis dan seringkali Kau meminta tambahan. 

Dalam perjalanan ke tukang pijat langgananku, di suatu malam di atas sepeda motor, sejauh yang bisa kuingat, untuk pertama kalinya Kau menunjukkan ekspresi yang kurang lebih berarti, pardon, could you repeat your speaking please? Ekspresi itu belakangan sering Kaupakai ketika menanggapi orang lain yang mencoba berkomunikasi denganmu. Aku sendiri kadangkala mencurigai apakah ekspresi aaaa? itu benar-benar untuk meminta orang lain mengulang ucapannya atau hanya manuvermu saja untuk bemain-main. Meski tidak selalu kuucapkan secara verbal, sejak jantungmu masih berdenyut di perutku, aku sering mengajakmu bicara. Termasuk dalam hati yang kusampaikan lewat sentuhan di perut. Belakangan aku merasa betapa kebiasaan itu benar-benar melekat sehingga meski bahasa verbalmu kadang tak kupahami, aku terbiasa menebak apa yang Kauinginkan dan seringkali tidak meleset. Memahami bayi, barangkali memang memahami sebuah ketidakteraturan, seperti belajar bahasa. Learning English is learning irregularities. Hanya saja tentu, ada pola yang bisa dipahami dan dijadikan pegangan.

Kemampuan berkomunikasimu yang semakin baik belakangan diimbangi dengan istilah-istilah versimu yang seperti tak ingin Kauubah meski orang di sekitarmu bukan tak memberitahu it was incorrect. Kasus pertama adalah kakak untuk menyebut sandal dan yang kedua adalah kaki untuk menyebut celana. Tentu perbedaannya sangat mendasar sehingga penyebutan yang demikian bukan karena faktor usia atau cadel, seperti jilbab yang Kaubahasakan mbaj. Mengapa kakak disebut sandal bermula dari beberapa adegan ketika Kau, yang suka sekali mengenakan sandal, tak peduli milik siapapun, diberitahu bahwa beberapa sandal yang ditemui adalah sandal milik Fatin, sepupu yang ia sebut kakak. Dari situ Rauhia barangkali menyimpulkan bahwa benda yang biasa dijadikan alas kaki ketika berjalan disebut kakak. Ia salah menentukan definisi di antara dua kata kunci . Sementara yang kedua adalah istilah yang barangkali ia simpulkan dari adegan mengenakan celana which is dipasangnya dari kaki. Jadilah ia mengatakan kaki untuk menyebut celana panjang, celana selutut hingga celana dalam. 

Kasus yang serupa tapi tak sama adalah soal pemahaman Rauhia perihal sayur. Karena sejak awal MPASI aku membiasakan lidahnya mengenal berbagai rasa makanan, termasuk yang asem (barangkali ini jadi salah satu alasan mengapa ia suka meneguk Yakult) dan beberapa jenis sayur, belakangan dia tidak terlalu sulit beradaptasi ketika harus ikutan minum jamu atau berhadapan dengan sayur di piringnya. Seringkali, ia malah lebih memilih sayur dibanding karbo dan protein. Tapi yang bikin lucu, Rauhia tampaknya memahami bahwa sayur hanya terbatas pada kuah bening bayam serta kuah sup. Selain itu, semisal tumis bayam, apalagi tumis kacang panjang, tidak ia akui sebagai sayur sehingga pernah dalam suatu adegan,  ia masih meminta sayur meski di piringnya sudah ada tumis oyong.

Ada beberapa kejadian mengejutkanindeed menggembirakanyang semakin menyadarkanku bahwa daya rekam anak bayi tak bisa diremehkan, sehingga apa-apa yang mampir ke inderanya mesti benar-benar lulus sensor. Suatu ketika Rauhia kuperkenalkan dengan sosok kartun Hello Kitty yang karakternya tampak di baju tidurku serta beberapa mainan yang dimilikinya. Barangkali selain itu, ketika tak bersamaku, dia juga bertemu karakter Hello Kitty di tempat dan barang lain lain. E suatu ketika, sore menjelang senja saat itu, aku bersamanya dan bapaknya tengah cuci mata di kota. Di daerah seberang Kantor Capil Pamekasan, tempat mobil-mobil bakul sticker biasanya buka lapak saat siang hari, ia melihat sticker Hello Kitty tertempel di tembok trotoar lalu dengan heboh memberitahuku. Kasus nyaris serupa juga terjadi pada tokoh kartun Doraemonyang kuajari untuk menyebutnya Emon, to make it simpleyang dihafalnya di luar kepala sehingga setiap dia bertemu karakter ini, ia akan memberitahu padaku atau orang yang bersamanya as if, look, thats Emon.

Di waktu lain, kami tengah berkendara dan lewat di depan supermarket tempat kami biasa berbelanja bulanan dan kadang kala mengajaknya dengan iming-iming ayo ikut, mau beli popok. Kendaraan melaju agak kencang akan tetapi radar Rauhia tetap on melihat logo toko tersebutdalam neon box yang menyala dan iapun bersorak popok, popok! Seperti biasa tingkahnya tersebut selalu mengundang tawa, tak peduli belanja bulanan terakhir kami lakukan setelah ia terlelap untuk menghindari kekacauan kecil yang biasa ditimbulkan Rauhia di toko atau swalayan, seperti ngotot mau beli sesuatu atau tidak mau meminjamkan barang yang ingin diambilnya ke tante/om kasir untuk dipindai dan dipastikan harganya. Dalam beberapa kunjungan ke supermarket, Rauhia memang sempat menunjukkan gejala tantrum, meski tidak dalam skala mengkhawatirkan. Dalam suatu moment dia malah dengan gesit memberi instruksi untuk membuka kulkas dan berdiam lama di situ, seperit mencari tempat adem setelah kepanasan di perjalanan.

Rauhia tampak tidak seintrovert aku meski tidak seekstrovert bapaknya, tentu dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Meski sudah jarang membawa Rauhia ke kampus, belakangan aku cukup sering membawanya ketika bepergian di luar jam dan hari kantor ke tempat-tempat umum. Di situ, be it tempat makan, rumah saudara atau teman, tempat umum lain, Rauhia tampak cukup bersahabat dengan orang asing yang baru pertama kali ditemuinya, asal yang bersangkutan adalah anak kecil. Beberapa kali ia terlihat proaktif mendekati anak kecil yang seusianya, seperti ingin mengajak atau ikut bermain. Nah beda lagi ceritanya ketika yang ditemuinya adalah orang dewasa. Jika tak mengenal yang bersangkutan, nyaris bisa dipastikan Rauhia tidak akan ramah dan cenderung tidak mau dekat  Dulu sewaktu belum menikah hingga belum punya anak, aku sering heran dengan anak-anak yang terlihat xenophobia dengan gejala demikian. Tapi ketika menghadapi situasi tersebut by myself, aku jadi sadar bahwa anak kecil memiliki logikanya sendiri. Aku bisa saja mengatakan bahwa om ini, tante ini, baik dan sayang padanya akan tetapi, mana mau dia percaya. Yang dilihatnya, barangkali, adalah bahwa aku lebih suka dekat dengan orang yang selalu bersama denganku.

Among others, ini mungkin the worst news! Rauhia yang belum genap berumur dua tahun sudah sangat fasih sekali melafalkan hape dan yutub dengan kecadelan di sana-sini. Ia juga tampak bisa membedakan bahwa yang pertama adalah barang, sedang yang kedua adalah bagian dari yang pertama. Ketika bangun tidur dan mendapati suara yang pertama kali didengarnya adalah alarm yang kuatur untuk menyala setiap jam 6 pagi, ia biasanya langsung tanggap dan berujar hape. Dan itu belum seberapa. Dia juga sudah biasa dan terlatih memainkan jemarinya di atas layar sentuh gawaiku. Literally aku tak mengajari dia secara langsung, tapi dia learning by imitating. Karena pemandangan yang dominan dari ibunya adalah memainkan jari di atas layar, iapun tinggal meniru dan mempraktikkan hal yang sama. Turning out that it works! Meski gawaiku dikunci dengan sandi tertentu, jeda waktu untuk kekunci lagi cukup lama sehingga ia tetap bisa menggunakan gawai dengan memencet satu-satunya tombol yang bisa dipencet di layar bagian bawah, yakni tombol standby. Setelah itu dia akan swipping up, down, left and right dengan sangat fasih dan mahir.

Di antara beberapa menu aplikasi yang ada di gawaiku, Yutub adalah yang paling Rauhia suka. Tapi aku tidak memberinya fasilitas dalam jaringan. Video-video yang bisa ia tonton hanyalah video yang aku unduh ketika daring dan bisa dinikmati luring. Aku pikir ini bagus untuk filter materi meski kadang ia suka menonton video-video yang aku unduh untuk kebutuanku, seperti video konser musik, lagu dengan lirik, video tutorial Bahasa Inggris atau video lain yang sifatnya tidak berbahaya untuk anak kecil. Karena itu aku pastikan, sebelum gawai berpindah ke tangan kecilnya, paket data sudah aku off sehingga keadaan dapat terkendali. Kejadian yang terlanjur demikian bergulir bukan karena aku tak mengetahui bahwa gawai tidak baik untuk anak, tapi yang kualami adalah sulitnya menjauhkan anak dari gawai ketika dua orang tuanya juga tidak lepas dari gawai. 

Meski sudah full gawai selama hari dan jam kerja, aku tetap susah lepas dari benda kecil itu begitu sampai di rumah dan idealnya semua waktu dan energi aku prioritaskan untuk Rauhia, setelah meninggalkannya seharian penuh. Beberapa kali kucoba lepas dari gawai untuk fokus menemani Rauhia bermain, makan atau menghabiskan waktu, dan memang ketika itu Rauhia juga lupa dengan yang namanya hape. Tapi begitu aku menyelinap menghampiri hape yang tengah tak sembunyikan agar tak terlacak dia lalu dia mencari dan memergokiku sebelum aku berhasil mengondisikan keadaan, dia akan meminta hape berpindah tangan dan begitulah seterusnya. Sebagai ibu-ibu yang tidak kudet-kudet amat, tentu aku juga bukan tak tahu ada beberapa permainan alternatif yang digadang-gadang bisa menggantikan gawai dengan spesifikasi konten islami dan edukatif, anti radiasi dan lain-lain. Hanyas aja, selain persoalan anggaran yang tak jadi-jadi aku sisihkan, aku juga tidak mudah percaya iklan. Lagian, meski apologi ini sama sekali tidak heroik, aku melihat ada gunanya juga Rauhia mengenal gawai dan salah satu konten di dalamnya, meski kendali tetap harus aku pegang dan skala kompromi tidak bisa aku bikin elastis terus-terusan.

Manfaat yang paling kurasakan adalah bahwa Rauhia tidak ngeyel lagi bahwa setelah SATU dan DUA ada bilangan bernama TIGA which is posisinya sebelum angka EMPAT. Sebelumnya aku sempat kelimpungan memberi pemahaman padanya perihal angka 3 yang ia loncati begitu menyebut angka 1 hingga 10. Selalu hitungannya 1, 2 kemudian 4 dan seterusnya. Nah begitu aku mengunduhkan video dengan kata kunci lagu angka untuk anak dan membiarkannya saja di list offline videos, to let her watch it by herself, (soalnya kalau dikondisikan sekalian biasanya jadi angel untuk diajak kerjasama), dia mulai mengurangi ke-ngotot-annya dan perlahan mulai percaya bahwa ada angka 3 setelah 2 dan sebelum 4. Sehingga, meski angka-angka belasan belum dikuasainya, ia sudah fasih menghafal angka 1 hingga 10 versi dia sendiri; bahasa yang juga difahami oleh orang-orang terdekatnya dan tidak terlalu jauh dengan versi aslinya.

Sejak dulu, melalui beberapa observasi terhadap anak-anak kecil, aku jadi bercita-cita untuk mengajarkan anak-(anakku) tidak takut terhadap hal-hal yang biasa ditakuti (atau dijadikan hantu) oleh orang dewasa, seperti imunisasi, minum jamu, ketemu dokter, ketemu dukun pijat dan seterusnya. Aku sangat terganggu dengan omongan semisal Kalau nakal nanti tak kasih jamu. Padahal, jamu itu baik dan anak seharusnya dikondisikan agar mengetahui hal ini dengan jalan yang tepat, bukan dengan menjadikannya sebagai momok. Maksudnya kalau terpaksa harus mengancam, jangan seperti itu bentuknya. Karena itu begitu Rauhia tampak bisa diajak berkomunikasi, aku selalu mengatakan padanya bahwa meski minum jamu, diimunisasi atau dipijat itu sakit di awal, dampaknya akan luar biasa besar dan positif baginya belakangan. Sejauh ini aku lihat rencana dan angan-angan itu berjalan seperti yang kuinginkan, meski aku sadar bahwa intervensi orang lain tak bisa terhindarkan. Minimal, aku sudah punya sikap dan harus konsisten di situ sehingga kalaupun Rauhia mendapatkan hal berbeda dari orang lain, ia mendapatkan hal yang sama dariku bahwa hal-hal tersebut bukan untuk ditakuti atau dijadikan bahan ancaman.

Ini sebenarnya cukup menyedihkan, tapi sekaligus menjadi penting dan layak untuk diceritakan agar suatu saat Rauhia bisa tahu. Soal body shaming. Interaksi yang cukup dekat dan intim kadang kala memang menghilangkan sekat-sekat privasi atau kesopanan. Tak sedikit orang yang menganggap body shaming sebagai ekspresi keakraban, bahkan tanpa rasa bersalah menjadikannya panggilan. Rauhia sempat menjadi korban kesalahkaprahan yang sangat buruk itu dan aku, celakanya, sempat bingung mau bersikap bagaimana karena kalau aku frontal, itu akan sangat melanggar norma-norma kesopanan keluarga. Tapi, karena tak diemin malah semakin menjadi dan dalam kacamata paling jahat, aku melihatnya malah dijadikan bulan-bulanan, aku tak bisa mengerem lagi. Aku akhirnya frontal meski tidak secara verbal namun kupastikan semua orang yang bersangkutan tahu akan posisiku yang merasa this is a big deal that everyone could not just make it a joke. So far aku melihat keadaan teratasi meski aku tidak tahu apa yang terjadi di belakangaku, atau sejauh mana aku menjadi obyek berita. Believe me I do not even care about it. Kadangkala aku merasa harus angkuh just to make sure mental anakku sejak kecil tidak dirusak oleh kebiasaan yang seharusnya tidak dibiasakan. Tulisan point ini cukup emosional karena memang masalah terjadi cukup berlarut karena keraguanku untuk bertindak dan pertimbangan yang terlalu banyak. Juga rasa sungkan dan takut akan hal-hal yang mungkin terjadi, tapi semuanya tak tepis. Barangkali karena naluri keibuan atau egoisme pribadi. I dont know for sure.

Barangkali, peribahasa buah jatuh tak jauh dari pohonnya benar. Ada banyak hal dari Rauhia yang nurun dari orang tua ataupun anggota keluarga dekatnya. Selain soal komposisi wajah yang nyaris sepenuhnya mengeliminasi unsur dariku, Rauhia memiliki banyak kesamaan dengan romo-nya. Gaya tidur dengan lutut tertekuk yang jatuh bangun, kesukaannya mengonsumsi mentimun dan ketikdasukaannya diganggu ketika tengah asyik melakukan sesuatu. Porsi minum yang banyak, ekspresi ketika marah dan tertawa serta kulitnya yang sensitif dan maunya digaruk terus bahkan di tengah-tengah jam tidur ketika matanya masih terpejam. Persis sekali. Kebiasan orang-orang terdekatnya yang tak bisa tenang kalau stock kudapan habis juga begitu tampak di Rauhia. Lain dari itu, nyaris seperti adik bungsuku yang konon memiliki kesamaan wajah dengannya, Rauhia suka mengonsumsi telur rebus dengan mengeliminir bagian merahnya. 

Rauhia aku cita-citakan menjadi anak yang tidak cengeng. Barangkali semua orang tua punya harapan yang sama. Teknik spesifiknya adalah dengan tidak menunjukkan ekspresi terkejut ketika ia terjatuh. It implies, kalau menurutku sih, orang tua mendidik anak untuk tidak gampang sambat dan menangis untuk hal-hal yang masih bisa ditoleransi. So far ini juga berjalan, meski lagi-lagi, tidak hanya aku yang berada di sampinya ketika ia terjatuh saat berjalan atau terantuk batu saat tengah berlari. Karena itu aku sering mendukung dan mensugestinya secara verbal dengan mengatakan bahwa anak mama tidak cengeng, tidak nangis kalau tidak benar-benar sakit. Di imunisasi terakhirnya, in which aku berkesempatan menemani, ia tak sama sekali menangis begitu dan setelah jarum sunti kecil menancap di lengannya. Tapi ketika bermain ia terjatuh, ia menangis. Barangkali rasa sakit dari kejadian kedua lebih serius dibanding yang pertama. Soal tegel ini, Rauhia sebenarnya cukup terlatih oleh keadaan ketika di bulan-bulan pertamanya, ia harus merasakan senut-senut di kepala saat menderita borok dan berkali-kali harus dioperasi kecil-kecilan dengan teknik manual. Setelah berapa kali eksekusi, ia bahkan tak menangis meski darah nanah segar keluar dari borok di kepalanya.      
Seperti salah satu versi namanya, nyali, aku berharap dia memiliki much bravery in a good time and place. Karenanya aku tak ragu membawa Rauhia dekat dengan hewan-hewan yang ada di sekitar rumah sambil mengenalkan namanya masing-masing. Kucing, sapi, ayam, kambing, kelinci, belalang dan lain sebagainya. E begitu tahu kosata baru, takut, dan entah barangkali ada sebab lain lagi, Rauhia belajar merangkai kata takut kucing. Tak hanya kata-kata, ia bahkan menunjukkan gelagat nyata bahwa dirinya tak mau dekat-dekat dengan kucing yang dulu ia sukai. Aku bahagia sekaligus terkejut dengan perkembangan ini, sambil iseng mengingat salah satu meme yang mengatakan bahwa orang jadi banyak baper setelah ada istilah baper. Barangkali hal yang sama terjadi pada Rauhia.
***
Dear, Rauhia..
Someday if you grow up.
You might surpass any limit I could not even reach, as I wish you will do.
You would meet many people and much values in life.
You may change your mindset, perspective on life, relationship, love, family and anything as the time goes by.
You may do and get many more things than what I did.
For me, however, you would always be my baby.

(ending mekso)  

Foto: Dokumentasi pribadi
Caption: Duduk santai 

MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.