Spot yang hampir bisa dipastikan selalu ada di setiap perpustakaan adalah loket pengembalian buku pinjaman. Beberapa perpustakaan yang dilengkapi peralatan canggih barangkali tak lagi menggunakan tenaga manusia dan atau sistem manual lagi, akan tetapi mengandalkan mesin dan atau digital. Bagaimanapun bentuknya, unsur satu ini merupakan salah satu bagian penting karena memastikan aksesibilitas koleksi serta kepatuhan peminjam. Dan yang juga penting adalah keberlangsungan spesies buku di sebuah perpustakaan.

***

Cukup awam di dunia perpustakaan dalam hal minimnya jam kunjung, sedikitnya lokal yang dikunjungi apalagi ilmu-ilmu kepustakaan, bertugas di meja pengembalian sekali sepekan adalah pengalaman berharga bagiku. Tugas tersebut merupakan salah satu rangkaian ‘ladang ilmu’ baru yang aku dapatkan di masa probation¬ sebagai calon ASN di sebuah perguruan tinggi tak jauh dari tempat kelahiran pun domisili saat ini.

Di perpustakaan tempat aku bekerja tersebut, sistem digital sudah diberlakukan di sebagian besar elemen. Proses scanning dibutuhkan ketika seorang anggota akan masuk area perpustakaan, mau pinjam buku, mau mengembalikan buku, memperpanjang peminjaman dan transaksi lain. Ada juga alarm tuwiw-tuwiw untuk memastikan tak ada klepto beraksi di ruangan sesakral perpustakaan. CCTV juga di mana-mana. Not bad lah, to be short.

Namun demikian, transaksi peminjaman, pengembalian dan perpanjangan masa pinjaman masih melibatkan tenaga manusia. Inilah mengapa, meja pengembalian pinjaman adalah pemandangan pertama yang menyambut setiap pengunjung begitu memasuki area perpustakaan. Barangkali untuk meng-cover kebutuhan anggota yang hanya akan mengembalikan/memerpanjang pinjaman buku tanpa tamasya ke rak-rak di bagian dalam, meja ini ditempatkan di bagian depan. Berbeda dengan meja peminjaman yang memang ditempatkan di area yang hanya bisa diakses oleh mereka yang telah in ke perpustakaan.

***

Hingga tulisan ini dimulai, aku baru menghabiskan sekitar tiga kali putaran tugas di meja pengembalian. Aku mendapat piket setiap Senin sehingga aktivitas di meja itu mengawali hari kerja lima hari sepekanku. Normalnya, aku mulai bekerja sejak jam 8 teng lalu istirahat jam 11.30. Masuk kembali jam 13.00 sampai 15.30. Selama sekian jam di meja itu, yang aku lakukan, mostly, adalah melayani pengunjung yang mengembalikan buku dan atau memerpanjang pinjaman. Secondarily ya berselancar di dunia maya, baca koran, sarapan (boeah, ofkos), ke kamar kecil, ngobrol dengan teman satu piket dan aktivitas sambilan lain.

Meski belum banyak mencicipi asam garam di desk pengembalian, ada beberapa hal yang rasanya wortid untuk aku bagi di sini tentang petugas di meja pengembalian.

Pertama, petugas di desk pengembalian is suppossed to be seorang skilfull yang focus-oriented namun multitalented sekaligus multitasking. Dalam satu waktu, mereka melakukan serangkaian tugas yang berbeda. Masing-masing pengunjung membutuhkan layanan yang tak sama. Ada yang mengembalikan buku saja, ada yang mengembalikan sekaligus membayar denda, ada yang memerpanjang pinjaman saja, mengembalikan satu buku dan memerpanjang buku lain dan seterusnya.

Jika si petugas salah fokus barang sepersekian detik, transaksi bisa kacau atau setidaknya, ketahuan dan terlihat so careless. Petugas di meja pengembalian, dalam hal ini, adalah perantara yang menghubungkan dunia luar dan dalam perpustakaan. Buku yang dikembalikan pengunjung bisa diakui secara de jure telah kembali jika telah di-scan oleh petugas pengembalian. Meski secara de facto buku telah kembali ke rak namun—seperti yang kualami—petugas melakukan human error ketika proses scanning, maka si anggota terhitung tetap memiliki tanggungan pinjaman.

Sependek yang kualami, asupan air mineral sangat membantu menyatukan fokus saat di meja pengembalian. Selain juga, tentunya, peraturan dari diri sendiri untuk profesional dan tidak mekso untuk nyambi melakukan hal-hal lain di jam kerja cukup works. Selebihnya ya, time speaks louder. Semakin tinggi jam terbangnya, semakin lihailah kerjanya.

Kedua, petugas di desk pengembalian adalah mereka yang berinteraksi dengan berbagai macam buku namun hanya bisa sebatas menyentuh sampul lalu memindahkannya ke tempat transit untuk kemudian sampai ke tujuan selanjutnya. Jangankan membaca isi buku, skimming halaman-halaman saja dipastikan tak sempat. Saat ada sampul buku yang berhasil menarik perhatian dan jari jemari sudah berniat membuka lembar demi lembar, sering sekali di depan meja sudah ada pengunjung lain yang membutuhkan layanan.

So far, meski tak banyak, bukan tak ada segelintir buku yang menarik perhatianku, mulai dari judul, tema, penulis, cover ataupun bentuk fisiknya. Ketertarikan semacam itu, sayangnya, tak bisa segera berlanjut dengan eksekusi langsung dan seringnya malah bikin baper ketika mikir betapa banyaknya waktu terbuang untuk hal-hal yang tak lebih penting dibanding membaca buku.

Ketiga, petugas di bagian pengembalian juga dituntut untuk menjadi seorang yang berjiwa besar dan melaksanakan apa yang katanya begini, kesabaran adalah matahari. Mengapa demikian? Sepanjang jam kerjanya, mereka akan bertemu dan melayani sekian macam pengunjung yang tak hanya beda penampilan, busana, gerak-gerik dan cara bicara, akan tetapi juga karakter dan pembawaan yang berbeda. Ada yang cekatan, ada yang manja, ada yang sopan sekali, ada yang mbingungke, ada yang jeleyi, ada yang telat mikir, salah instruksi, salah fokus dan seterusnya.
Bottom line-nya adalah bahwa menjadi petugas di meja pengembalian itu tidak seremeh-temeh yang dipikirkan mereka yang belum pernah magang dan menghabiskan waktu berjam-jam di situ.

***

Ohya, kalau boleh nambah satu item lagi, petugas di meja pengembalian harus kreatif menghadapi alur yang itu-itu saja dan tampak flat serta potentially boring. Meski layar komputer yang terkoneksi ke internet menawarkan banyak hiburan yang accessible right away, aku biasanya juga merasa senang dan terhibur melakukan beberapa hal berikut;

Pertama, iseng menyebut nama pengunjung seperti yang tertera di database KTA mereka. Tentu ini tidak aku lakukan pada semua pengunjung dan di semua waktu. Selain untuk memastikan bahwa si pemegang kartu adalah ia yang namanya tertulis di situ, ini biasa aku lakukan untuk menarik perhatian pengunjung agar fokus pada transaksi. Beberapa nama yang unik dan questionable juga mau tak mau membuatku kepo sehingga sering sekali langsung bertanya pada yang bersangkutan.

Kedua, bersikap ramah dan talkative untuk mengetahui feedback dari pengunjung. Kebanyakan mereka akan ramah jika diramahi duluan dan akan jutek jika dijuteki duluan. Sikap ini di antaranya adalah mengucapkan terimakasih di akhir transaksi, melempar senyum, sok akrab dan hal-hal semacamnya. Selain memberi energi positif pada diri sendiri dan orang lain, tak ada yang rugi dari aktivitas semacam ini.

Ketiga, memerhatikan penampilan pengunjung. Ini biasanya tak jauh-jauh dari aksesoris, padu-padan busana, dandanan, model hijab, model rambut dan lain sebagainya yang sifatnya physic. Karena keasyikan memerhatikan salah seorang pengunjung cowo yang tasnya berwarna pink, aku pernah hilang fokus selama sekian detik.

Keempat, ekspresi dan kecenderungan komunikasi pengunjung. Item terakhir ini seringkali menyuguhkan hiburan tersendiri. Sebagian besar pengunjung biasanya menampakkan ekspresi datar sepanjang transaksi. Sometimes human are just too technical, barangkali. Mereka nyaris melakukan hal yang sama dengan rentetan seri yang juga persis sama. Di sinilah, mereka yang berbeda memberikan warna tersendiri.
Beberapa hal yang mereka lakukan di antaranya adalah minta maaf karena telat mengembalikan buku, mengikhlaskan kembalian ketika petugas tak bisa mengembalikan sisa transaksi, bersiap membayar (dan menulis data) denda padahal pinjamannya tidak telat serta memperlakukan petugas di meja pengembalian layaknya resepsionis atau information desk.

***
Dan sekali lagi, karena tulisan ini adalah dari perspektif aku yang sedang lebih sering menjadi penjaga meja pengembalian dibanding pengunjung, maka dalam perspektifku, idealnya, at very minimun level, alur transaksi di meja pengembalian adalah demikian;

Satu: Pengunjung datang ke meja pengembalian. Sewaktu-waktu mereka juga diharuskan mengantri.

Dua: Ketika sudah tiba giliran dan face to face dengan petugas, mereka menyodorkan KTA plus buku yang akan diproses lalu mengutarakan maksud dengan jelas. Mengembalikan, memerpanjang, kombinasi keduanya atau lainnya.

Tiga: Petugas men-scan barcode di KTA lalu menginformasikan ada berapa tanggungan pinjaman.

Empat: Petugas melayani hingga selesai. De facto dan de jure sesuai. Menyetempel tanggal pengembalian di kertas bagian dalam sampul belakang buku untuk perpanjangan dan menaruh buku di tempat transit untuk transaksi pengembalian.

Lima: Perubahan data selesai dan petugas memertegas kembali info soal update transaksi. Ada berapa pinjaman atau harus dikembalikan kapan.

Namuuuuuuuuuuuuuuuuunnnn... Yang terjadi di lapangan kadang kala adalah seperti ini:

Satu: Pengunjung sampai di depan meja pengembalian tapi masih sibuk mencari Kartu Tanda Anggota Perpustakaan dalam dompet, tas atau sakunya. Petugas yang sudah menjulurkan tangan harus sabar menunggu dan seringkali terpaksa harus mengamati gerak-gerik si pengunjung seolah memberi bantuan supranatural agar KTA dapat segera ditemukan.

Dua: Pengunjung memilih alur slow motion dan seperti mengulur waktu dengan menjulurkan KTA kemudian menjulurkan buku atau alur sebaliknya. Petugas harus menjulurkan tangan dua kali padahal sebenarnya bisa dilakukan sekali.

Tiga: Pengunjung menyerahkan buku dan KTA namun tak menyebut transaksi yang dibutuhkannya sehingga petugas perlu bertanya semacam ini, ‘dibalikin atau diperpanjang?’

Empat: Pengunjung baru mengatakan bahwa salah satu (atau satu atau semua) buku yang ia serahkan akan diperpanjang ketika petugas telah mencentang
transaksi pengembalian.

Lima: Pengunjung datang dengan membawa buku yang akan diproses namun tanpa KTA (secara teknis sebenarnya tidak masalah).

Enam: pengunjung datang dengan setumpuk buku dan setumpuk KTA. Biasanya terjadi setelah kerja kelompok selesai.

Tujuh: Pengunjung hendak memerpanjang pinjaman yang sudah tidak bisa diperpanjang (perpanjangan masa pinjaman hanya berlaku sekali)

Delapan: Buku yang diserahkan tidak terekam database sebagai buku yang tengah di luar (di user, bukan di tandon atau di rak sirkulasi).

Sembilan: Server lagi error sehingga pengembalian tak bisa dilayani. Pengunjung kembali dengan wajah kecewa dan petugas sibuk mencari bahasa berbeda untuk mengumumkan hal yang sama.

Sepuluh: Kode batang di KTA atau di buku tidak langsung terlacak oleh mesin.
Dan lain sebagainya dan seterusnya.

***

Etapi, for sure, petugas di meja pengembalian juga manusia biasa yang tak kebal dari khilaf, lupa, lalai dan hal-hal tidak profesional lain. Cerita-cerita tentang ini, biarlah, let us see, menemukan tempatnya sendiri.

Gambar: https://sites.google.com/a/stainpamekasan.ac.id/publikasi/berita

Namanya siapa? Panggilannya siapa? Dipanggil siapa?

Demikian pertanyaan yang nyaris selalu muncul dalam obrolan tentang si bayi atau ketika si bayi tengah turut serta dalam perjumpaan dengan orang-orang baru. Dalam keadaan demikian, spontan saya menjawab ‘RAUHIA’ dengan pelafalan sedikit articulate karena hampir semua lawan bicara tidak langsung ngeh dengan nama si bayi sa’ spelling2nya. Paling sering dianggap Ruhia, Raudia bahkan ada yang menduga Claudia. Di situ saya seringkali melakukan pengulangan dengan volume suara lebih tinggi dan bentuk mulut lebih jelas, bahkan dengan mengeja. R-A-U-H-I-A.

Mengapa RAUHIA menjadi pilihan nama panggilan si bayi sebenarnya sederhana saja. Nama tengahnya memang Rauhia dan as far as I can tell you, belum banyak—kalau bilang belum ada koq kaya sombong banget—saya mendengar nama Rauhia. Alternatif lain yang terpikir atau diusulkan seperti Gita, Gigi, Anjali, Ruhi, Angel atau juga Intan sepertinya sudah banyak yang pakai. Tak seperti nama lengkapnya yang sudah fixed ketika si bayi masih berenang dalam perut, proses penentuan nama panggilan belumlah selesai bahkan ketika si bayi sudah berusia sekian hari.

Selain menerima banyak usul dari beberapa pihak, kami sendiri juga belum sure soal panggilan, atau lebih tepatnya belum bersepakat penuh tentang skala prioritas kriteria panggilan yang asyik saat dihadapkan pada beberapa pertimbangan berikut.

Pertama, nama panggilan yang baik harus tidak mudah di-convert ke huruf lain atau dialek daerah yang sedikit banyak ‘merusak’ estetika nama dan keutuhan artinya. Ini misalnya terjadi ketika f atau v menjadi p, dha menjadi dhe, z menjadi s, sa menjadi se, u menjadi o, i menjadi e dan seterusnya. Opsi ini utamanya semakin menguat di pikiran setelah melewati proses pembuatan nama Rasikhan.

Kedua, nama panggilan yang baik harusnya mudah diucapkan. Umumnya, nama panggilan terdiri dari dua suku kata dan terdiri dari gabungan huruf dengan pelafalan yang tidak ribet. Masih menurut Ummi Rasikhan, nama panggilan dengan tiga suku kata juga berpotensi menimbulkan kerusakan ketika ada orang lain yang sembarangan memotong satu suku kata di depan atau di belakang tanpa memikirkan enak tidaknya panggilan tersebut mampir di telinga, apalagi soal arti.

Ketiga, dan masih dari sumber yang sama alias ibid atau sda, nama panggilan yang baik susah diplesetkan dengan kata lain yang tidak sama sekali berhubungan namun terpaksa dijodohkan untuk tujuan mengolok-olok. Contohnya, anak lelaki yang bernama Excel akan berpotensi dipanggil XL which is nama provider layanan telomunikasi. Anak perempuan yang bernama La’a Li’u akan berpotensi dipanggil Liya Liyu.

Keempat, dan ini adalah dari sumber yang berbeda, adalah kepantasan untuk menjadi nama panggilan atau label dalam berbagai kesempatan. Mbak Ida Jahrun yang mengenalkan teori ini menyontohkan nama yang kecadelan dan menurutnya hanya pantas diatributkan di masa kecil si anak. Ketika si anak sudah dewasa, masuk dunia kerja dan atau dunia formal administratif lain, panggilan cadel tersebut akan menjadi kurang pantas. Jadi menurutnya, untuk menentukan bagian mana dari sebuah nama lengkap yang akan menjadi panggilan, caranya adalah mengimbuhkan adik, kakak, ibu, nenek dan seterusnya sebelum kandidat nama panggilan. Misal: Adik Rauhia, Kakak Rauhia, Ibu Rauhia, Nenek Rauhia. (Kata Mb Ida, Rauhia memenuhi kriteria satu ini. She prefers Rauhia over Anjali ketika opsi tersisa tinggal dua nama itu).

Keempat adalah versi suami bahwa nama (panggilan) yang bagus adalah nama yang sesuai dengan (kultur) tempat di mana si anak tinggal. Menurutnya, pertimbangan soal ini juga harus masuk di list
sebab nama yang mekso untuk antimainstream tapi menabrak nilai kelumrahan lokal juga tak elok. Ini jugalah yang menjadi alasan mengapa si bayi tak jadi dipanggil Anjali atau angle meski saya pribadi welcome saja jika ada yang memanggilnya demikian.

***

Lalu entah kenapa dan bagaimana ceritanya, di hari pertama si bayi lahir, kalau tidak salah sorenya, sudah terdengar ada yang memanggilnya RUHI. Sontak saya sedikit terkejut sebab meski nama itu masuk dalam salah satu list opsi, belum ada kata deal antara saya dan suami. Belakangan saya malah kurang suka dengan nama itu karena terkesan mengikuti trend karakter anak perempuan bernama Ruhi di serial India berseri yang saat itu sedang booming. FYI saya bukan penikmat drama berseri tersebut. 

Soal ini, saya sempat melayangkan protes ‘kultural’ (meski tak tepat sasaran) pada suami dan seperti biasa dia tidak terlalu reaktif. Akhirnya saya juga jadi cooling down karena sibuk dengan hal-hal baru yang serba challanging yet exciting tapi tetap aja kepikiran soal nama panggilan. Ketika itu belum ada pikiran untuk memilih ‘Rauhia’ (utamanya karena pertimbangan kriteria kedua dan ketiga) sehingga bawaannya masih let it flow. Usul dan komentar dari kerabat dan sahabat hilir mudik di telinga tapi tetap aja pada prinsipnya, saya dan suamilah yang akhirnya (paling berwenang) menentukan.

Hingga... dalam salah satu edisi open house, ada salah satu tamu yang bercerita bahwa cucunya bernama (dan dipanggil) RUHI. Saat itu saya langsung yakin untuk tak memanggil si bayi dengan nama tersebut sebab ketika sudah ada yang punya, maka yang berpotensi dianggap sebagai peniru adalah yang datang belakangan. Tambah, tak ada alat bukti ataupun saksi yang dapat meyakinkan bahwa informasi perihal nama cucu tamu tersebut tidak berkontribusi dalam proses pencarian nama si bayi. Tapi anyway, dari awal yang saya sasar adalah ra’ fathah ra, bukan ra’ dhammah ru.

Di luar itu, pikiran untuk memilih Rauhia muncul dari kebiasaan adik kelas saya semasa di Jogja, Dwi Rahayu, yang suka menyebut si bayi dengan panggilan RAUHI. Saya pikir koq not bad, bagus juga. Mewakili namanya, dua suku kata sehingga mudah diucapkan dan yang juga penting, mewujudkan keinginan saya untuk memiliki anak dengan unsur diftong di dalam namanya. Diftong itu kalau tidak salah pertemuan dua vokal dengan syarat dan ketentuan berlaku, saya tahu istilah ini di kelas Pronounciation-nya Miss Frida.

Dari kemantapan akan RAUHI, saya berpikir mengapa tidak dituntaskan saja menjadi Rauhia sebab pelafalan HIA bisa disingkat menjadi satu suku kata (atau maksimal satu setengah suku kata). Sepertinya akan lebih sempurna secara makna, estetika dan kesesuaian dengan nama lengkap si bayi. Beruntungnya suami cukup koperatif dan mau menyetujui pilihan serta usul saya tersebut. Dari awal memang dia lebih banyak menyilakan saya berkesplorasi dan maunya hanya pilih antara yes dan no.

Sementara itu, sudah banyak yang terlanjur memanggil si bayi dengan sebutan Ruhi. Alasannya kebanyakan demi kemudahan pengucapan. Meski kecewa dan sempat ciut, saya tetap optimis sebab menurut seorang saudara, pada akhirnya, panggilan (pilihan) orang tua yang akan menjadi brand paten seorang anak. Terlebih dalam hal ini saya dan suami kompak memanggilnya Rauhia. Saya menghilangkan sebutan Ruhi dari mulur saya dan tetap menggunakan Rauhia bahkan ketika berkomunikasi dengan mereka yang terlanjur memanggilnya Ruhi. Tak jarang juga, saya menegaskan secara verbal bahwa nama (panggilan) si bayi adalah RAUHIA instead of RUHI. Yang terakhir ini biasanya terjadi dalam percakapan dengan anak-anak usia SD-SMP yang biasa menyapa si bayi di sela-sela sesi terakhir full day school ala Madura yang mereka habiskan di surau dekat rumah.

Sampai catatan ini ditulis, saya masih membayangkan dan bertanya-tanya apakah suatu saat, ketika si bayi sudah bisa semakin berpikir dan memilih, ia akan menyukai nama yang kami berikan kepadanya. Apakah ia setuju kami memanggilnya RAUHIA dan bukan yang lain. Atau, yang jaraknya lebih dekat, dengan bahasa apa si bayi akan memanggil atau menyebut dirinya sendiri. Nama kecil atau nickname pertama apa yang akan keluar dari mulutnya.Beberapa hari yang lalu ibu mertua bercerita bahwa ia suka bergumam 'IYA' 'IYA' ketika menirukan orang lain memanggil/menyebut namanya.

Hari ini si bayi genap berumur 11 bulan dalam perhitungan kalender Masehi. Bulan depan, di tanggal yang sama, adalah ulangtahunnya yang pertama. Kemarin seharian saya membawanya ke kampus dan saya merasa jiwa saya lengkap tak berceceran seperti biasa. Diajak main ke manapun ok, pulang sepetang apapun ga masalah, melakukan apapun juga burdenless karena tak ada pikiran yang melayang ke rumah bertanya-tanya si bayi sedang apa dan bagaimana kabarnya. Rasanya menyenangkan sekali, meski belakangan saya sadar bahwa pundak kiri saya terasa lebih berat dari biasanya.

Grow up Better, Rauhia! I love you!

MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.