Tentang Keinginan dan atau Kebutuhan akan Mobil (1)
Satu di antara grup WhasApp yang saya ikuti tengah ramai dengan beberapa perbincangan, salah satunya perihal mobil baru. Seorang anggota grup menyampaikan selamat kepada salah satu anggota lain karena yang bersangkutan baru saja membeli mobil. Sayangnya, ia telat merespon dan keduluan beberapa ucapan senada dari beberapa anggota lain yang sebagian di antaranya menagih syukuran. Tak lama, iapun muncul dan justru mengatakan bahwa kabar tersebut tidak benar adanya.
Masing-masing pihak mencoba meyakinkan bahwa dirinyalah yang berkata benar. Sayapun akhirnya tak tahan menjadi silent reader dan sedikit terlibat dalam obrolan tersebut. Belakangan, mereka berdua memang dekat karena suami keduanya berteman dekat, sehingga jika satu di antaranya memberi kabar perihal yang lain, maka berita tersebut seharusnya valid. Tulisan ini tentu tidak akan menelusuri ‘sengketa’ tersebut sebab meski sedikit penasaran, saya merasa tidak berkepentingan.
***
Pergantian tahun baru saja terlewat. Di antara resolusi-resolusi yang ingin diwujudkan pada 2018, memiliki mobil barangkali merupakan satu di antara list yang dimiliki banyak orang. Kendaraan roda empat tersebut saat ini tak lagi menjadi barang mewah dan atau kebutuhan sekunder/tersier, akan tetapi nyaris menjadi kebutuhan pokok. Dari hari ke hari, jumlahnya semakin meningkat tak hanya di perkotaan, akan tetapi juga di pelosok-pelosok kampung.
Hal demikian seharusnya menjadi kabar baik karena menunjukkan semakin tingginya daya beli masyarakat. Namun demikian bersamaan dengan itu, kabar-kabar lain bermunculan, mulai dari semakin sesaknya jalan, macet yang semakin subur di tempat-tempat yang awalnya lengang, polusi yang meningkat, meruginya pengusaha angkutan umum, sistem kredit yang mencekik dan masih banyak lagi. Sayang, dampak-dampak negatif tersebut nyaris tidak lebih diperhitungkan dibanding ‘kebutuhan’ memiliki mobil.
Bagi sebagian orang, memiliki mobil barangkali sekadar merupakan keinginan, baik keinginan yang sekadar merupakan angan-angan atau hal yang bisa saja diwujudkan. Mereka yang masuk dalam kategori ini biasanya masih memiliki alternatif lain dalam berkendara atau memiliki prioritas lain yang didahulukan. Namun demikian bagi sebagian lain, memiliki mobil terasa sebagai sebuah kebutuhan. Ini, sedikitnya, dapat dijelaskan dengan beberapa hal berikut.
Pertama, kondisi angkutan umum. Secara umum, angkutan umum yang tersedia belum menjangkau banyak titik serta memiliki fasilitas dan pelayanan yang belum memuaskan, mulai dari kualitas hingga faktor kenyamanan dan keamanan. Faktor pertama ini sangat kentara sebagai akar persoalan jika melihat bagaimana kualitas angkutan umum di negara-negara maju sangat efektif mengurangi jumlah kendaraan bermotor pribadi.
Kedua, pertimbangan (jumlah) penumpang. Ini utamanya dialami dan dirasakan oleh keluarga kecil yang baru memiliki buah hati, keluarga besar dengan banyak anggota atau karyawan yang commuting dengan menempuh jarak jauh. Selain berkait dengan faktor kenyamanan, kebersamaan dengan keluarga serta kesehatan, pilihan memiliki mobil juga dipengaruhi pertimbangan akan faktor kesehatan. Mengendarai mobil dinilai lebih aman untuk kesehatan karena mampu menjauhkan penumpang dari panas dan hujan serta gejala masuk angin.
Ketiga, gengsi. Bagi sebagian kita, memiliki mobil adalah salah satu di antara pencapaian membanggakan yang bisa menaikkan status sosial. Memiliki mobil seakan menjadi puncak kesuksesan setelah bekerja tekun dalam jangka waktu lama. Tak hanya itu, ia kerap juga menjadi hadiah untuk mengungkapan sayang kepada keluarga atau pasangan. Beberapa orang tua menghadiahkan mobil sebagai ucapan selamat atas pencapaian anak-anaknya atau ketika mereka memasuki jenjang pendidikan tertentu.
Keempat, penghasilan dan atau profesi. Tak sedikit orang yang mendahulukan mobil dibanding kebutuhan lain karena merasa bahwa penghasilan atau profesi yang ia miliki telah membuat dirinya pantas, wajar atau bahkan wajib memiliki mobil. Persoalan angka-angka dalam penghasilan sesungguhnya sangatlah relatif dan menyesuaikan dengan skala yang dimiliki masing-masing orang. Akan tetapi, hasrat memiliki mobil akan perlahan muncul ketika rekan seprofesi memutuskan untuk membeli mobil.
Kelima, sistem pembelian kredit. Peran lembaga leasing, dealer, gerai mobil bekas atau e-commerce yang menawarkan pembelian mobil dengan sistem kredit—lewat berbagai iming-iming menggiurkan—tidak bisa dilepaskan dari fenomena ini. Seperti halnya sistem kredit untuk membeli barang-barang lain, teknik marketing yang sedemikian rupa dapat dengan mudah menggoda banyak pembeli untuk menempuh jalur kredit betapapun mereka bukan tak berhitung soal bunga dan komponen pembiayaan serta ketentuan lain.
Keenam, alternatif dibanding menyewa atau meminjam. Dibanding menyewa mobil di rental setiap kali akan bepergian jauh, mengangkut barang atau bepergian dengan banyak penumpang, menggunakan mobil pribadi jauh lebih ramah di kantong serta lebih menjamin kenyamanan. Sementara itu, menggunakan mobil pinjaman milik teman atau keluarga berkait dengan persoalan hutang sosial tak tertulis serta antisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dari pertimbangan-pertimbangan kecil ini, mobil pribadi menjadi satu solusi dari berbagai problematika.
***
Masing-masing pihak mencoba meyakinkan bahwa dirinyalah yang berkata benar. Sayapun akhirnya tak tahan menjadi silent reader dan sedikit terlibat dalam obrolan tersebut. Belakangan, mereka berdua memang dekat karena suami keduanya berteman dekat, sehingga jika satu di antaranya memberi kabar perihal yang lain, maka berita tersebut seharusnya valid. Tulisan ini tentu tidak akan menelusuri ‘sengketa’ tersebut sebab meski sedikit penasaran, saya merasa tidak berkepentingan.
***
Pergantian tahun baru saja terlewat. Di antara resolusi-resolusi yang ingin diwujudkan pada 2018, memiliki mobil barangkali merupakan satu di antara list yang dimiliki banyak orang. Kendaraan roda empat tersebut saat ini tak lagi menjadi barang mewah dan atau kebutuhan sekunder/tersier, akan tetapi nyaris menjadi kebutuhan pokok. Dari hari ke hari, jumlahnya semakin meningkat tak hanya di perkotaan, akan tetapi juga di pelosok-pelosok kampung.
Hal demikian seharusnya menjadi kabar baik karena menunjukkan semakin tingginya daya beli masyarakat. Namun demikian bersamaan dengan itu, kabar-kabar lain bermunculan, mulai dari semakin sesaknya jalan, macet yang semakin subur di tempat-tempat yang awalnya lengang, polusi yang meningkat, meruginya pengusaha angkutan umum, sistem kredit yang mencekik dan masih banyak lagi. Sayang, dampak-dampak negatif tersebut nyaris tidak lebih diperhitungkan dibanding ‘kebutuhan’ memiliki mobil.
Bagi sebagian orang, memiliki mobil barangkali sekadar merupakan keinginan, baik keinginan yang sekadar merupakan angan-angan atau hal yang bisa saja diwujudkan. Mereka yang masuk dalam kategori ini biasanya masih memiliki alternatif lain dalam berkendara atau memiliki prioritas lain yang didahulukan. Namun demikian bagi sebagian lain, memiliki mobil terasa sebagai sebuah kebutuhan. Ini, sedikitnya, dapat dijelaskan dengan beberapa hal berikut.
Pertama, kondisi angkutan umum. Secara umum, angkutan umum yang tersedia belum menjangkau banyak titik serta memiliki fasilitas dan pelayanan yang belum memuaskan, mulai dari kualitas hingga faktor kenyamanan dan keamanan. Faktor pertama ini sangat kentara sebagai akar persoalan jika melihat bagaimana kualitas angkutan umum di negara-negara maju sangat efektif mengurangi jumlah kendaraan bermotor pribadi.
Kedua, pertimbangan (jumlah) penumpang. Ini utamanya dialami dan dirasakan oleh keluarga kecil yang baru memiliki buah hati, keluarga besar dengan banyak anggota atau karyawan yang commuting dengan menempuh jarak jauh. Selain berkait dengan faktor kenyamanan, kebersamaan dengan keluarga serta kesehatan, pilihan memiliki mobil juga dipengaruhi pertimbangan akan faktor kesehatan. Mengendarai mobil dinilai lebih aman untuk kesehatan karena mampu menjauhkan penumpang dari panas dan hujan serta gejala masuk angin.
Ketiga, gengsi. Bagi sebagian kita, memiliki mobil adalah salah satu di antara pencapaian membanggakan yang bisa menaikkan status sosial. Memiliki mobil seakan menjadi puncak kesuksesan setelah bekerja tekun dalam jangka waktu lama. Tak hanya itu, ia kerap juga menjadi hadiah untuk mengungkapan sayang kepada keluarga atau pasangan. Beberapa orang tua menghadiahkan mobil sebagai ucapan selamat atas pencapaian anak-anaknya atau ketika mereka memasuki jenjang pendidikan tertentu.
Keempat, penghasilan dan atau profesi. Tak sedikit orang yang mendahulukan mobil dibanding kebutuhan lain karena merasa bahwa penghasilan atau profesi yang ia miliki telah membuat dirinya pantas, wajar atau bahkan wajib memiliki mobil. Persoalan angka-angka dalam penghasilan sesungguhnya sangatlah relatif dan menyesuaikan dengan skala yang dimiliki masing-masing orang. Akan tetapi, hasrat memiliki mobil akan perlahan muncul ketika rekan seprofesi memutuskan untuk membeli mobil.
Kelima, sistem pembelian kredit. Peran lembaga leasing, dealer, gerai mobil bekas atau e-commerce yang menawarkan pembelian mobil dengan sistem kredit—lewat berbagai iming-iming menggiurkan—tidak bisa dilepaskan dari fenomena ini. Seperti halnya sistem kredit untuk membeli barang-barang lain, teknik marketing yang sedemikian rupa dapat dengan mudah menggoda banyak pembeli untuk menempuh jalur kredit betapapun mereka bukan tak berhitung soal bunga dan komponen pembiayaan serta ketentuan lain.
Keenam, alternatif dibanding menyewa atau meminjam. Dibanding menyewa mobil di rental setiap kali akan bepergian jauh, mengangkut barang atau bepergian dengan banyak penumpang, menggunakan mobil pribadi jauh lebih ramah di kantong serta lebih menjamin kenyamanan. Sementara itu, menggunakan mobil pinjaman milik teman atau keluarga berkait dengan persoalan hutang sosial tak tertulis serta antisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dari pertimbangan-pertimbangan kecil ini, mobil pribadi menjadi satu solusi dari berbagai problematika.
***