Saya merasa kesulitan saat harus mencari padanan kata dari bahasa lain untuk bisa menggambarkan apa yang oleh Orang Madura disebut tengka. Dipadankan dengan kata tingkah yang seringkali disandingkan dengan ‘laku’ tidaklah cukup karena hanya mewakili satu dari sekain maknanya. Konotasinyapun seringkali negatif, seperti ketika mengatakan ‘jha’ aka-tengka’ yang kurang lebih berarti ‘jangan bertingkah laku yang negatif (neko-neko) dan atau tidak wajar’.

Dalam beberapa kesempatan atau penggunaan lain (dan tertentu), kata tengka juga bisa disepadankan dengan suatu kewajiban sosial yang umum berlaku di masyarakat Madura. Ini berlaku ketika seorang anggota masyarakat mengadakan kunjungan resmi ke kediaman tetangga/saudaranya yang tengah nanggap gawe (menggelar hajatan) atau mengalami musibah tertentu.

Tulisan ringan ini akan mengulas perihal tengka dalam pengertian terakhir, yang kurang lebih berarti partisipasi anggota masyarakat dalam hajatan sebagai tamu atau undangan. Hajatan dimaksud bisa berbentuk pernikahan, kelahiran, peringatan kematian, aqiqah, pelet kandung, dan lain sebagainya, termasuk menjenguk orang sakit dan atau korban kecelakaan.

Ulasan yang demikian menjadi penting sebab di satu sisi, ia begitu mengakar di masyarakat sehingga dalam keadaan apapun, baik tuan rumah maupun tamu harus menunaikan kewajiban sosial tersebut. Di sisi lain, keberlanjutan tradisi ini berjalan bukan tanpa kritik dan kegelisahan dari para pelakunya sendiri.

Tak Pernah Surutnya Tengka

Hal pertama yang identik dengan tengka adalah ‘jadwal main’ yang bisa datang kapan dan dalam keadaan apa saja. Pada musim uang—yang sering diidentikkan dengan musim panen tembakau—atau bukan, tengka tak pernah surut. Tak heran, sudah menjadi rahasia umum bahwa kebutuhan material untuk tengka bukan tak melebihi kebutuhan (konsumsi) sehari-hari.

Bagaimana tidak, sekali berangkat menunaikan tengka, para tamu/undangan akan datang membawa se-gantang (sekitar 2,5-3 kg) beras, amplop berisi sumbangan/santunan (dan atau salam tempel) atau buah tangan lain yang sepadan dan atau dianggap wajar. Tak hanya itu, beberapa hajatan tertentu memiliki durasi batas waktu sehingga para tamu/undangan tidak memiliki banyak kesempatan untuk mengulur dan menunda kunjungan. Ini menjadikan kebutuhan untuk tengka menjadi mendesak dan harus segera dipenuhi.

Meski tak ada jadwal rutin kapan tengka—dalam pengertian ini—harus ditunaikan, musim nikah (pada Bulan Syawal dan Rajab) adalah salah satu momen di mana keharusan sosial yang demikian akan lebih menjamur. Karenanya, alih-alih merasa tak dianggap, tiadanya undangan (lisan maupun tulisan) yang diterima warga kadang kala dianggap sebagai kebahagiaan tersendiri sebab yang bersangkutan tidak berkewajiban hadir dan menunaikan tengka.

Keadaan yang sama dialami tuan rumah di mana kewajiban untuk memperlakukan tamu/undangan dalam ‘kewajaran’ mengharuskan anggaran khusus yang terkadang tidak sedikit. Ini berkisar mulai dari hidangan ringan, berat hingga perlengkapan lain semisal makanan siap santap sebagai buah tangan, souvenir dan lain sebagainya. Tak hanya itu, dalam momen-momen seperti (peringatan) kematian, keadaan sakit atau musibah lain, timing-nya tidak bisa diperkirakan sehingga terlaksana otomatis tanpa persiapan mental pun material.

Serba-Serbi Tengka

Terlepas dari tinjauan sebelumnya perihal tengka yang dalam satu sisi cukup memberatkan, tradisi ini sebenarnya tidak lepas dari beberapa nilai dan kearifan lokal yang masih demikian terjaga. Beberapa di antaranya menjadi sistem baku meski terealisasi dalam format beragam di wilayah yang berbeda. Serba-serbi tersebut di antaranya adalah sebagai berikut;

Pertama, klasifikasi tengka ompangan dan tengka non-ompangan. Ragam pertama merupakan solidaritas sosial di mana tamu/undangan meringankan beban material si tuan rumah dengan sumbangan atau buah tangan di atas ukuran normal, semisal sekian ton beras, sekian puluh kilogram gula dan lain sebagainya. Jika sudah demikian, tuan rumah akan mencatatnya sebab ia berkewajiban ‘mengembalikan’ saat si tamu/undangan memiliki hajat serupa.

Uniknya, sumbangan yang demikian bisa muncul dari inisiatif si tamu ataupun permintaan si tuan rumah. Tuan rumah bahkan tak jarang menyebutkan besaran ‘bantuan’ yang dibutuhkannya secara lisan atau melalui kode tertentu, biasanya melalui rokok kemasan. Sistem yang demikian menjadi semacam cicilan atau tabungan untuk melaksanakan hajat-hajat tertentu—umumnya pernikahan—dengan perencanaan dan pengelolaan keuangan yang lebih matang.

Sementara itu, ragam kedua adalah tengka non-ompangan yang kurang lebih sama dengan tengka dalam ukuran kewajaran. Buah tangan yang dibawa umumnya berbentuk bahan makanan pokok (beras) yang dibawa dalam sebuah tas jinjing sederhana. Tas jinjing tersebut akan ‘berganti’ isi dengan makanan (nasi dan lauk seadanya) siap santap sebagai ucapan terimakasih dari tuan rumah.
Jika memilih opsi yang lebih praktis, atau dalam keadaan-keadaan tertentu, tamu/undangan bisa menggunakan amplop berisi sejumlah uang. Adapun besarannya disesuaikan dengan kebiasaan setempat, kemampuan si tamu atau dekatnya hubungan kekeluargaan/pertemanan. Meski memilih opsi ini, si tamu biasanya juga akan pulang dengan souvenir yang sama seperti mereka yang datang dengan membawa tas jinjing.

Persoalan buah tangan atau santunan dari tamu yang demikian hampir menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dalam praktik tengka. Buktinya, meski ada mekanisme pengumuman/pemberitahuan baik secara kultural maupun tertulis—di surat undangan—bahwa pihak tuan rumah tidak menerima sumbangan apapun selain doa, keadaan tak banyak berubah. Selain perihal sedikitnya masyarakat—umumnya tuan rumah dengan tingkat ekonomi menengah ke atas—yang memilih ‘mekanisme’ ini, datang dengan tangan kosong ke sebuah hajatan masih dianggap hal tabu.

Cara lain yang dilakukan tuan rumah untuk tidak menerima sumbangan material dari tamu/undangan/saudara/tetangga adalah dengan hanya mengundang laki-laki (suami) baik secara lisan maupun tertulis. Ini biasanya berlaku dalam forum-forum insidental yang sudah direncanakan jauh-jauh hari semisal syukuran memiliki kendaraan baru, rumah, tanah, jabatan aqiqah bayi, peringatan 40-1000 hari kematian dan termasuk juga pernikahan. Mekanisme yang demikian berhubungan erat dengan serba serbi kedua di bawah ini:

Kedua, pembagian kerja laki-laki dan perempuan. Hampir dalam setiap undangan atau kesempatan menghadiri tengka, terdapat pembagian kerja yang ‘paten’ dalam struktur masyarakat Madura. Urusan membawa tas jinjing (dalam tengka non-ompangan) hampir selalu menjadi tugas perempuan (istri) dan tidak demikian halnya dengan instrumen amplop yang bisa menjadi wilayah keduanya. Ini senada dengan forum-forum yang berbalut nuansa keagamaan—tahlil, bacaan Al-Qur’an, istighasah atau doa bersama—serta acara seremonial yang menjadi wilayah utama laki-laki sementara forum ramah tamah dengan tuan rumah menjadi ‘tugas utama’ perempuan.

Ketiga adalah mekanisme ‘beda dapur-beda tengka’. Ini berlaku dalam relasi orang tua-anak atau menantu dalam sebuah keluarga besar. Ketika si anak dan atau menantu memutuskan untuk mandiri dalam hal belanja dapur, proses memasak hingga konsumsi—tidak bergantung pada dan atau bergabung dengan orang tua/mertua—maka secara otomatis beban tengka dikenakan baik bagi orang tua maupun si anak/menantu. Kebiasaan ini menjadi salah satu pertimbangan utama untuk mandiri secara material dalam urusan konsumsi sehari-hari karena beban residual tengka—bagi pasangan muda—yang terbilang tidak kecil.

TBC

Di pagi hari, sejak setelah Subuh, berbagai penjuru di dusun kami biasa dihiasi irama dan ritme tak beraturan namun indah. Suara-suara yang timbul tenggelam tersebut bukanlah kokok ayam, kicauan burung atau deru knalpot dan klakson kendaraan bermotor yang lalu lalang. Ia adalah pukulan batu perempuan-perempuan tangguh yang meng-gepeng-kan singkong rebus untuk dibikin kudapan semacam keripik. Batu/kayu di tangan kanan dengan jemari kiri berlumur air atau minyak goreng akan beradu dengan sebongkah batu besar berbidang atas datar sebagai landasan tempat eksekusi peng-gepeng-an dilakukan.

Di samping sepasang batu tersebut, tersedia sebuah wadah berisi irisan singkong rebus yang sudah ditakar sesuai dengan ukuran satu keping keripik. Satu irisan akan menjadi sekeping keripik dan begitu seterusnya. Sementara itu di sisi lain, terhampar papan berukuran kecil tempat singkong-singkong yang telah gepeng akan dijejer serapi mungkin untuk kemudian dijemur. Begitu menjadi gepeng dan berbentuk sesuai selera, memanjang atau membulat, lembar demi lembar keripik—mentah—akan dijejer sedemikian rupa agar mendapat ‘jatah’ sinar matahari yang sama . Satu papan yang berbingkai kayu dan berbidang janur kering atau kawat tersebut dapat memuat sekitar seratus lembar keripik.

Dengan peralatan dan ‘cara kerja’ yang demikian, aktivitas meng-gepeng-kan ini biasa dilakukan dengan duduk lesehan atau posisi semi jongkok di atas kursi kayu kecil super pendek (Madura; jhangka’). Sebagian besar melakukannya di dapur, beranda atau di tempat-tempat lain sekitar pekarangan rumah. Pilihan jadwal di pagi hari disesuaikan dengan supply sinar matahari yang biasanya available sejak pagi hingga sore, tentu saja jika tidak hujan. Sementara mengapa pelakunya kebanyakan—untuk tidak mengatakan semuanya—adalah perempuan, barangkali karena pekerjaan ini terbilang tidak begitu berat secara fisik, meski bukan tak memerlukan ketelatenan, keterampilan dan kecakapan.

Kultur masyarakat Madura yang cukup ketat mengatur aktivitas perempuan di luar rumah barangkali juga bermain dalam dominasi ini. Pekerjaan sambilan membuat kudapan organik yang demikian tidak mengharuskan aktivitas di luar rumah secara rutin. Ini tentu tak termasuk aktivitas distribusi produk dan pengadaan bahan mentah singkong yang kadang kala mengharuskan aktivitas publik (ke sawah dan atau pasar). Dengan itu semua, kesibukan yang demikian dianggap cukup pantas dan wajar sebagai sampingan urusan-urusan domestik lain yang masih banyak dibebankan pada perempuan.

Sayangnya, kompensasi modal serta jasa dalam proses pembuatan kudapan ini terbilang tidaklah seberapa. Untuk seratus lembar keripik singkong organik ini, atau satu papan jemur, harga jual ke pembeli terakhir biasanya tak lebih dari 7.000-12.000 IDR. Jika dijual ke pedagang atau distributor, tentu harganya akan lebih rendah. Dengan kualitas bahan—seratus persen organik—serta proses pembuatan yang juga organik, keuntungan finansial yang didapat relatif tak sebanding. Rasa yang ditawarkan juga jauh dari murahan. Keripik mentah organik ini bahkan bisa langsung digoreng tanpa penyedap apapun. Tak heran, kudapan ini menjadi oleh-oleh khas dari dusun—atau desa dan daerah—kami karena terkenal kualitas rasanya yang—menurut banyak orang—unggul dan berbeda dari yang lain.

Jika produsen kudapan organik ini mengambil bahan mentah singkong dari sawahnya sendiri, maka keuntungan yang ia dapatkan bisa lebih besar. Meski lagi-lagi, hemat saya, terlihat jauh dari sebanding dengan proses demi proses yang dilalaui. Bayangkan saja, sebelum direbus, singkong harus terlebih dahulu dikupas, dicuci, kemudian diiris sesuai takaran satu keping kudapan. Namun demikian jika bahan mentah bukanlah milik pribadi, alias dari sawah orang/tetangga/saudara, maka total keping keripik yang didapatkan—atau hasil penjualan—harus dibagi dua dengan si empunya singkong.

Jumlah keuntungan finansial yang relatif kecil tersebut agaknya dapat diimbangi dengan prinsip residual karena profesi semacam ini cukup prospektif untuk berkelanjutan, meski tanpa perkembangan dan kemajuan berarti. Singkong berkualitas renyah dan tidak pahit (Madura: gharbu) relatif mudah didapat dalam semua musim dengan harga yang juga terjangkau dan perawatan yang tidak seberapa. Proses pembuatan—dan atau pengolahan—menjadi kudapan keripikpun bisa dilakukan tanpa bantuan mesin atau alat canggih yang memakan biaya, sedang permintaan pasar dan jalur distribusi sudah terbilang ajeg. Barangkali hal-hal ini yang membuat kudapan satu ini tetap bertahan sebagai primadona kudapan organik murah-meriah andalan desa kami.

MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.