Busiyah; Pahlawan Kami di Pagi Hari (2)
Seperti para pedagang keliling lainnya, Busiyah secara umum tidak menggunakan sistem tawar-menawar sehingga meski kadang kepekso, kami cenderung mengikuti aturan mainnya. Rasanya tidak tega harus menawar dengan sadis dan tega membayangan jarak yang ditempuh, berat beban di kepala serta ember berisi tahu yang ia jinjing dengan tangan kanan, sementara tangan kiri memastikan wadah di atas kepalanya aman dan stabil.
Meski tidak menerapkan sistem tawar-menawar secara formal, Busiyah seringkali memberi potongan harga dari harga pertama yang ia berikan. Dalam momen semacam ini, ia biasanya setengah berbisik bahwa potongan tersebut diniatkan sedekah. Hal yang sama terjadi ketika dalam beberapa kesempatan, uang di genggaman tangan tidak cukup membeli barang tertentu dari ‘gerobak’nya. Ia biasanya mengatakan, wes tidak apa-apa, kurangnya tak sedekahkan.
Saya sering membayangkan apa yang akan ia lakukan jika beberapa dagangannya tidak laku dan benar-benar tidak mendapatkan pembeli. Apakah ia menjualnya dengan harga miring, memasaknya sendiri ataukah dikembalikan pada penjual di pasar tradisional tempat ia membelinya? Setiap hari ia biasa membawa aneka sayur, lauk, bumbu masak, hingga makanan ringan semisal kerupuk dan jajanan basah. Daun jati adalah salah satu aksesoris yang selalu tampak dari lapaknya sebagai ganti tas plastik bagi para pembeli. Selain ramah lingkungan, ia juga mendapatkan ‘plastik’ tersebut dengan cuma-cuma. Ada juga dompet berwarna dominan merah setengah lusuh tempat ia menyimpan uang yang selalu tampak di sela-sela dagangannya.
Hal lain yang disukai dari Busiyah, seperti juga para penjual keliling lain adalah kemungkinan untuk ngutang. Ini tentu merupakan sistem yang amat menguntungkan ketika dompet lagi tipis sedang kebutuhan dapur harian tidak mengenal istilah setop atau sekadar istirahat. Busiyah tidak mencatat hutang-hutang kami sebab ia akan menagihnya—dengan tak langsung—esok hari atau sepulang dari pasar ketika kembali mampir. Dalam kesempatan seret duit semacam inilah, kedatangannya cukup terrorizing dan bikin hati baper meski ia tak pernah menagih secara langsung.
***
Jam-jam kunjung Busiyah ke rumah bisa dengan mudah di-titeni. Jika ia tak mampir dalam perjalanan berangkat, biasanya karena dagangan kemarin laku habis atau karena kemarin ia cuti, jam 9-an ia sudah tiba. Akan tetapi jika sebelumnya ia sudah mampir, ia akan datang sekitar jam 09.30. Begitu datang, ia akan memanggil nama ibu mertua dan tante mertua bergiliran, biasanya menanyakan apakah ada yang akan membeli sesuatu. Kami yang terkadang kebetulan sedang menunggu panggilan tersebut akan segera mengerubutinya dan melihat dagangan apa yang ia bawa.
Jika sampai jam 10.00-an panggilannya tidak jua terdengar, kami yang menunggu biasanya akan gelisah dan mulai khawatir. Jangan-jangan Busiyah memang tidak ke pasar hari ini, jangan-jangan ia sudah lewat tapi kami tak mendengar panggilannya, atau jangan-jangan ia masih dalam perjalanan menuju kami. Busiyah tampak mengerti betul ‘ketergantungan’ ini sehingga jika esok atau lusa dirinya tidak akan ke pasar, mengulak barang dan menjualnya kembali, ia selalu memberitahu kami. Ini biasa terjadi ketika ada saudara atau tetangga dekatnya yang nanggap gawe atau meninggal dunia, di mana ia harus rewang selama beberapa hari.
Sebagaimana pelanggan-pelanggan lain, kami memiliki ritual untuk menyambut kedatangan dan melepas kepulangannya. Ritual tersebut bernama ajuma’, yang kurang lebih berarti membantunya menurunkan wadah jualan dari kepalanya kemudian, setelah semua selesai berbelanja, mengembalikan wadah tersebut di tempat semula. Aktivitas ini dilakukan dengan dua tangan baik oleh Busiyah maupun satu di antara kami yang membantunya. Karena bawaannya berat, maka peran pembantu dalam aktivitias ini begitu ia butuhkan. Dua ibu welijo lain biasanya tidak memerlukan bantuan demikian karena bawaannya tidak seberapa banyak dan berat.
***
Momen yang bikin kasihan dan iba adalah ketika kami sudah pada membeli bahan masak harian, entah karena baru abis dari pasar atau terlebih dahulu membeli barang pada penjual lain. Ketika ia datang dan memanggil salah satu di antara ibu atau tante mertuaku, kami akan menjawab panggilannya dengan memberitahu bahwa stock masih ada sehingga hari itu belum ada transaksi dulu. Di saat-saat seperti ini, ekspresi lelah yang ia rasakan akan semakin jelas terlihat sebelum ia mundur teratur dan melanjutkan perjalanan dengan seringkali memanggil dan menawarkan barang dagangan pada pelanggan lain. Biasanya ekspresi tersebut akan bercampur dengan kegembiraan begitu kami mengerubuti ‘gerobak’nya.
Rasa iba pada Busiyah akan meningkat tajam manakala hujan turun di tengah jam kerjanya. Biasanya ini terjadi ketika ia sudah kepalang basah berangkat dan no way back. Kultur di sini memang tak biasa mengecek prakiraan cuaca harian karena cuaca relatif stabil dan mengikuti ritme musim yang tengah berlangsung, sebelum belakangan. Ia akan berjalan hujan-hujanan—tanpa jasujan—dan menutup lapak di kepalanya dengan plastik seadanya. Sementara dirinya harus tetap menjaga keseimbangan, hujan di depan mata kadang tak bisa dipending sebelum dirinya benar-benar sampai di rumah.
Saya belum tahu pasti sejak kapan Busiyah menekuni profesi semacam ini. Sudah dulu, sejak dari dulu. Begitu selalu jawaban yang saya dapatkan tanpa pernah mendapatkan tahun atau minimal dasawarsa yang pasti. Karena itu jugalah, barangkali, Busiyah tampak cukup menyatu dan menghayati profesinya tersebut. Saya kadang tak bisa membayangkan bagaimana jika berada di posisinya. Memanggul barang bawaan seberat itu sambil melewati jarak tempuh yang tak dekat dan tak jarang melewati tanjakan serta jalan rusak dengan keuntungan finansial yang—saya yakin—tidak seberapa.
Dengan profesi dan rutinitas yang demikian, saya sangatlah yakin bahwa Busiyah bukan hanya pahlawan bagi kami para pelanggannya, akan tetapi juga bagi keluarga dan pedagang lain yang masuk dalam ‘sistem’-nya. Sayapun tahu bahwa di luar sana, ada Busiyah-Busiyah lain dengan cerita yang tak kalah mengharukan. Membayangkan perjuangan dan kegigihannya, saya suka malu dengan keadaan diri sendiri.
Doa terbaik untuk Busiyah. Cheers!
Meski tidak menerapkan sistem tawar-menawar secara formal, Busiyah seringkali memberi potongan harga dari harga pertama yang ia berikan. Dalam momen semacam ini, ia biasanya setengah berbisik bahwa potongan tersebut diniatkan sedekah. Hal yang sama terjadi ketika dalam beberapa kesempatan, uang di genggaman tangan tidak cukup membeli barang tertentu dari ‘gerobak’nya. Ia biasanya mengatakan, wes tidak apa-apa, kurangnya tak sedekahkan.
Saya sering membayangkan apa yang akan ia lakukan jika beberapa dagangannya tidak laku dan benar-benar tidak mendapatkan pembeli. Apakah ia menjualnya dengan harga miring, memasaknya sendiri ataukah dikembalikan pada penjual di pasar tradisional tempat ia membelinya? Setiap hari ia biasa membawa aneka sayur, lauk, bumbu masak, hingga makanan ringan semisal kerupuk dan jajanan basah. Daun jati adalah salah satu aksesoris yang selalu tampak dari lapaknya sebagai ganti tas plastik bagi para pembeli. Selain ramah lingkungan, ia juga mendapatkan ‘plastik’ tersebut dengan cuma-cuma. Ada juga dompet berwarna dominan merah setengah lusuh tempat ia menyimpan uang yang selalu tampak di sela-sela dagangannya.
Hal lain yang disukai dari Busiyah, seperti juga para penjual keliling lain adalah kemungkinan untuk ngutang. Ini tentu merupakan sistem yang amat menguntungkan ketika dompet lagi tipis sedang kebutuhan dapur harian tidak mengenal istilah setop atau sekadar istirahat. Busiyah tidak mencatat hutang-hutang kami sebab ia akan menagihnya—dengan tak langsung—esok hari atau sepulang dari pasar ketika kembali mampir. Dalam kesempatan seret duit semacam inilah, kedatangannya cukup terrorizing dan bikin hati baper meski ia tak pernah menagih secara langsung.
***
Jam-jam kunjung Busiyah ke rumah bisa dengan mudah di-titeni. Jika ia tak mampir dalam perjalanan berangkat, biasanya karena dagangan kemarin laku habis atau karena kemarin ia cuti, jam 9-an ia sudah tiba. Akan tetapi jika sebelumnya ia sudah mampir, ia akan datang sekitar jam 09.30. Begitu datang, ia akan memanggil nama ibu mertua dan tante mertua bergiliran, biasanya menanyakan apakah ada yang akan membeli sesuatu. Kami yang terkadang kebetulan sedang menunggu panggilan tersebut akan segera mengerubutinya dan melihat dagangan apa yang ia bawa.
Jika sampai jam 10.00-an panggilannya tidak jua terdengar, kami yang menunggu biasanya akan gelisah dan mulai khawatir. Jangan-jangan Busiyah memang tidak ke pasar hari ini, jangan-jangan ia sudah lewat tapi kami tak mendengar panggilannya, atau jangan-jangan ia masih dalam perjalanan menuju kami. Busiyah tampak mengerti betul ‘ketergantungan’ ini sehingga jika esok atau lusa dirinya tidak akan ke pasar, mengulak barang dan menjualnya kembali, ia selalu memberitahu kami. Ini biasa terjadi ketika ada saudara atau tetangga dekatnya yang nanggap gawe atau meninggal dunia, di mana ia harus rewang selama beberapa hari.
Sebagaimana pelanggan-pelanggan lain, kami memiliki ritual untuk menyambut kedatangan dan melepas kepulangannya. Ritual tersebut bernama ajuma’, yang kurang lebih berarti membantunya menurunkan wadah jualan dari kepalanya kemudian, setelah semua selesai berbelanja, mengembalikan wadah tersebut di tempat semula. Aktivitas ini dilakukan dengan dua tangan baik oleh Busiyah maupun satu di antara kami yang membantunya. Karena bawaannya berat, maka peran pembantu dalam aktivitias ini begitu ia butuhkan. Dua ibu welijo lain biasanya tidak memerlukan bantuan demikian karena bawaannya tidak seberapa banyak dan berat.
***
Momen yang bikin kasihan dan iba adalah ketika kami sudah pada membeli bahan masak harian, entah karena baru abis dari pasar atau terlebih dahulu membeli barang pada penjual lain. Ketika ia datang dan memanggil salah satu di antara ibu atau tante mertuaku, kami akan menjawab panggilannya dengan memberitahu bahwa stock masih ada sehingga hari itu belum ada transaksi dulu. Di saat-saat seperti ini, ekspresi lelah yang ia rasakan akan semakin jelas terlihat sebelum ia mundur teratur dan melanjutkan perjalanan dengan seringkali memanggil dan menawarkan barang dagangan pada pelanggan lain. Biasanya ekspresi tersebut akan bercampur dengan kegembiraan begitu kami mengerubuti ‘gerobak’nya.
Rasa iba pada Busiyah akan meningkat tajam manakala hujan turun di tengah jam kerjanya. Biasanya ini terjadi ketika ia sudah kepalang basah berangkat dan no way back. Kultur di sini memang tak biasa mengecek prakiraan cuaca harian karena cuaca relatif stabil dan mengikuti ritme musim yang tengah berlangsung, sebelum belakangan. Ia akan berjalan hujan-hujanan—tanpa jasujan—dan menutup lapak di kepalanya dengan plastik seadanya. Sementara dirinya harus tetap menjaga keseimbangan, hujan di depan mata kadang tak bisa dipending sebelum dirinya benar-benar sampai di rumah.
Saya belum tahu pasti sejak kapan Busiyah menekuni profesi semacam ini. Sudah dulu, sejak dari dulu. Begitu selalu jawaban yang saya dapatkan tanpa pernah mendapatkan tahun atau minimal dasawarsa yang pasti. Karena itu jugalah, barangkali, Busiyah tampak cukup menyatu dan menghayati profesinya tersebut. Saya kadang tak bisa membayangkan bagaimana jika berada di posisinya. Memanggul barang bawaan seberat itu sambil melewati jarak tempuh yang tak dekat dan tak jarang melewati tanjakan serta jalan rusak dengan keuntungan finansial yang—saya yakin—tidak seberapa.
Dengan profesi dan rutinitas yang demikian, saya sangatlah yakin bahwa Busiyah bukan hanya pahlawan bagi kami para pelanggannya, akan tetapi juga bagi keluarga dan pedagang lain yang masuk dalam ‘sistem’-nya. Sayapun tahu bahwa di luar sana, ada Busiyah-Busiyah lain dengan cerita yang tak kalah mengharukan. Membayangkan perjuangan dan kegigihannya, saya suka malu dengan keadaan diri sendiri.
Doa terbaik untuk Busiyah. Cheers!