Seperti para pedagang keliling lainnya, Busiyah secara umum tidak menggunakan sistem tawar-menawar sehingga meski kadang kepekso, kami cenderung mengikuti aturan mainnya. Rasanya tidak tega harus menawar dengan sadis dan tega membayangan jarak yang ditempuh, berat beban di kepala serta ember berisi tahu yang ia jinjing dengan tangan kanan, sementara tangan kiri memastikan wadah di atas kepalanya aman dan stabil.

Meski tidak menerapkan sistem tawar-menawar secara formal, Busiyah seringkali memberi potongan harga dari harga pertama yang ia berikan. Dalam momen semacam ini, ia biasanya setengah berbisik bahwa potongan tersebut diniatkan sedekah. Hal yang sama terjadi ketika dalam beberapa kesempatan, uang di genggaman tangan tidak cukup membeli barang tertentu dari ‘gerobak’nya. Ia biasanya mengatakan, wes tidak apa-apa, kurangnya tak sedekahkan.

Saya sering membayangkan apa yang akan ia lakukan jika beberapa dagangannya tidak laku dan benar-benar tidak mendapatkan pembeli. Apakah ia menjualnya dengan harga miring, memasaknya sendiri ataukah dikembalikan pada penjual di pasar tradisional tempat ia membelinya? Setiap hari ia biasa membawa aneka sayur, lauk, bumbu masak, hingga makanan ringan semisal kerupuk dan jajanan basah. Daun jati adalah salah satu aksesoris yang selalu tampak dari lapaknya sebagai ganti tas plastik bagi para pembeli. Selain ramah lingkungan, ia juga mendapatkan ‘plastik’ tersebut dengan cuma-cuma. Ada juga dompet berwarna dominan merah setengah lusuh tempat ia menyimpan uang yang selalu tampak di sela-sela dagangannya.

Hal lain yang disukai dari Busiyah, seperti juga para penjual keliling lain adalah kemungkinan untuk ngutang. Ini tentu merupakan sistem yang amat menguntungkan ketika dompet lagi tipis sedang kebutuhan dapur harian tidak mengenal istilah setop atau sekadar istirahat. Busiyah tidak mencatat hutang-hutang kami sebab ia akan menagihnya—dengan tak langsung—esok hari atau sepulang dari pasar ketika kembali mampir. Dalam kesempatan seret duit semacam inilah, kedatangannya cukup terrorizing dan bikin hati baper meski ia tak pernah menagih secara langsung.

***

Jam-jam kunjung Busiyah ke rumah bisa dengan mudah di-titeni. Jika ia tak mampir dalam perjalanan berangkat, biasanya karena dagangan kemarin laku habis atau karena kemarin ia cuti, jam 9-an ia sudah tiba. Akan tetapi jika sebelumnya ia sudah mampir, ia akan datang sekitar jam 09.30. Begitu datang, ia akan memanggil nama ibu mertua dan tante mertua bergiliran, biasanya menanyakan apakah ada yang akan membeli sesuatu. Kami yang terkadang kebetulan sedang menunggu panggilan tersebut akan segera mengerubutinya dan melihat dagangan apa yang ia bawa.

Jika sampai jam 10.00-an panggilannya tidak jua terdengar, kami yang menunggu biasanya akan gelisah dan mulai khawatir. Jangan-jangan Busiyah memang tidak ke pasar hari ini, jangan-jangan ia sudah lewat tapi kami tak mendengar panggilannya, atau jangan-jangan ia masih dalam perjalanan menuju kami. Busiyah tampak mengerti betul ‘ketergantungan’ ini sehingga jika esok atau lusa dirinya tidak akan ke pasar, mengulak barang dan menjualnya kembali, ia selalu memberitahu kami. Ini biasa terjadi ketika ada saudara atau tetangga dekatnya yang nanggap gawe atau meninggal dunia, di mana ia harus rewang selama beberapa hari.

Sebagaimana pelanggan-pelanggan lain, kami memiliki ritual untuk menyambut kedatangan dan melepas kepulangannya. Ritual tersebut bernama ajuma’, yang kurang lebih berarti membantunya menurunkan wadah jualan dari kepalanya kemudian, setelah semua selesai berbelanja, mengembalikan wadah tersebut di tempat semula. Aktivitas ini dilakukan dengan dua tangan baik oleh Busiyah maupun satu di antara kami yang membantunya. Karena bawaannya berat, maka peran pembantu dalam aktivitias ini begitu ia butuhkan. Dua ibu welijo lain biasanya tidak memerlukan bantuan demikian karena bawaannya tidak seberapa banyak dan berat.

***

Momen yang bikin kasihan dan iba adalah ketika kami sudah pada membeli bahan masak harian, entah karena baru abis dari pasar atau terlebih dahulu membeli barang pada penjual lain. Ketika ia datang dan memanggil salah satu di antara ibu atau tante mertuaku, kami akan menjawab panggilannya dengan memberitahu bahwa stock masih ada sehingga hari itu belum ada transaksi dulu. Di saat-saat seperti ini, ekspresi lelah yang ia rasakan akan semakin jelas terlihat sebelum ia mundur teratur dan melanjutkan perjalanan dengan seringkali memanggil dan menawarkan barang dagangan pada pelanggan lain. Biasanya ekspresi tersebut akan bercampur dengan kegembiraan begitu kami mengerubuti ‘gerobak’nya.

Rasa iba pada Busiyah akan meningkat tajam manakala hujan turun di tengah jam kerjanya. Biasanya ini terjadi ketika ia sudah
kepalang basah berangkat dan no way back. Kultur di sini memang tak biasa mengecek prakiraan cuaca harian karena cuaca relatif stabil dan mengikuti ritme musim yang tengah berlangsung, sebelum belakangan. Ia akan berjalan hujan-hujanan—tanpa jasujan—dan menutup lapak di kepalanya dengan plastik seadanya. Sementara dirinya harus tetap menjaga keseimbangan, hujan di depan mata kadang tak bisa dipending sebelum dirinya benar-benar sampai di rumah.

Saya belum tahu pasti sejak kapan Busiyah menekuni profesi semacam ini. Sudah dulu, sejak dari dulu. Begitu selalu jawaban yang saya dapatkan tanpa pernah mendapatkan tahun atau minimal dasawarsa yang pasti. Karena itu jugalah, barangkali, Busiyah tampak cukup menyatu dan menghayati profesinya tersebut. Saya kadang tak bisa membayangkan bagaimana jika berada di posisinya. Memanggul barang bawaan seberat itu sambil melewati jarak tempuh yang tak dekat dan tak jarang melewati tanjakan serta jalan rusak dengan keuntungan finansial yang—saya yakin—tidak seberapa.

Dengan profesi dan rutinitas yang demikian, saya sangatlah yakin bahwa Busiyah bukan hanya pahlawan bagi kami para pelanggannya, akan tetapi juga bagi keluarga dan pedagang lain yang masuk dalam ‘sistem’-nya. Sayapun tahu bahwa di luar sana, ada Busiyah-Busiyah lain dengan cerita yang tak kalah mengharukan. Membayangkan perjuangan dan kegigihannya, saya suka malu dengan keadaan diri sendiri.

Doa terbaik untuk Busiyah. Cheers!



Tempat tinggal saya terletak 3 KM-an dari pasar tradisional terdekat. Jarak tersebut bukan hanya terasa jauh untuk dilalui dengan berjalan kaki—di kultur kami—, akan tetapi juga memiliki beberapa bagian dengan keadaan badan jalan yang rusak. Karenanya, jika tak penting-penting amat dan sedang tidak kepingin atau butuh ‘belanja serius’, sebagian besar kami emoh ke pasar. Kejauhan jika harus berjalan kaki dan pakai motorpun, malas harus melewati jalan rusak.

Sebagai alternatifnya, kami memilih menunggu welijo (belijjha; Madura) yang menjajakan bahan keperluan masak harian. Sejak pagi, ada sekitar 3 mas (penjual) sayur dan 3 ibu welijo yang rutin mampir dan menjadikan rumah kami tak ubahnya shelter. Ada semacam kesepakatan tidak tertulis bahwa tempat tinggal kami bukanlah ‘teritori’ semua penjaja dagangan yang lewat, sehingga tak semua yang lewat akan mampir.

Para penjual tersebut tak ubahnya pahlawan kami di pagi hari. Kami tidak perlu meluangkan waktu, tenaga atau bensin untuk sampai di pasar dan mendapatkan barang yang diperlukan. Item yang tersedia memang tak selengkap di pasar dan harga jual juga lebih tinggi, akan tetapi hal-hal tersebut tidak menjadi big issue. Kami tetap sangat terbantu dengan kehadiran para pahlawan tersebut.

Kehadiran dan peran penjual keliling begitu terasa ketika dalam suatu hari, tak ada satupun di antara mereka yang ‘masuk kerja’. Ini biasanya terjadi pada hari-hari pertama setelah hari besar tiba, semisal hari raya dan maulid Nabi, atau di sebuah hari random ketika mereka tampak bersepakat untuk cuti bersama. Tak hanya lelah dan bosan berharap dan menunggu, kami harus memasak seadanya jika tidak mau merapat ke pasar tradisional terdekat yang sudah akan sepi pada jam 09.30-an pagi.

***

Hal utama yang membedakan mas-mas sayur dan ibu-ibu welijo adalah sarana transportasi yang dipakai. Kelompok pertama menggunakan sepeda motor dengan keranjang penuh bawaan di bagian belakang dari sisi kanan hingga sisi kiri. Adapun ibu-ibu welijo memilih berjalan dengan membawa barang dagangan dalam wadah-wadah tradisional (gaddhang serta budhag, cobbhu’ atau bak plastik besar; lihat ilustrasi gambar) yang dijunjung di atas kepala.

Sebagai penyeimbang sekaligus penguat, sehelai kain yang dilipat dengan desain khusus diselipkan di antara kepala dan wadah-wadah tersebut. Dengan alat dan ‘formasi’ demikian, mereka yang sudah terbiasa dengan posisi seperti ini—umumnya dengan bawaan ringan—seringkali bisa berjalan normal tanpa perlu menggunakan tangan untuk memegang dan menyeimbangkan posisi wadah di atas kepala.

Satu di antara enam penjual tersebut adalah perempuan setengah baya yang biasa dipanggil Busiyah. Entah nama aslinya siapa. Perempuan tersebut saya pilih sebagai tokoh cerita di sini karena beberapa alasan berikut. Pertama, dibanding para penjual lain, Busiyah paling jarang mengambil ‘cuti’. Kedua, barang dagangan Busiyah terbilang lengkap sehingga kedatangannya begitu ditunggu sebagai one for all solution. Ketiga, setiap hari, jika tidak sedang cuti, Busiyah menghampiri rumah kami dua kali; sebelum dan sesudah ia ke pasar. Karena beberapa hal inilah, meski tak sepi dari pesaing, Busiyah tetap menjadi the most wanted hero kami di pagi hari.

***

Selain dalam momen transaksi, saya jarang sekali bertemu Busiyah. Melihatnya di jalanpun nyaris tak pernah kecuali saat ia tengah mampir menjajakan barang ke ‘shelter’ atau spot langganannya yang lain. Sejauh yang saya ingat, saya baru bertemu dia—di luar ritme-ritme rutin tersebut—dalam sebuah acara lelayu. Ketika itu kami bersalaman dan dengan candaan khas Madura ia berkelakar, “kalau bukan di sini, kapan lagi salaman sama aku? Pas aku jajakan jualan (ajuwal jhuko’, bahasanya) tidak mungkin.

Selain itu, ketika kebetulan ke pasar, saya beberapa kali melihat atau berpapasan dengannya. Di momen-momen semacam itu, kami biasanya hanya bertukar senyum dan sapa singkat. Apalagi kalau pasar lagi ramai. Jika sudah bertemu saya di pasar, Busiyah biasanya tak terlalu semangat menjajakan dagangannya pada ibu mertua atau tante-tante sebelah karena sudah bisa meramalkan bahwa list belanjaan tidak akan sebanyak biasanya, bahkan mungkin ‘libur’ dulu.

***

Busiyah adalah tetangga jauh. Sampai saat ini saya belum tau di mana rumahnya. Namun demikian setiap pagi, sebelum jam 6, ia seringkali sudah lewat depan rumah untuk ke pasar dengan atribut lengkap. Jika hendak langsung ke pasar , ia biasanya diantar sang suami menggunakan motor atau menyewa jasa ojek. Namun begitu jika barang di lapak portable-nya—hasil kulakan kemarin—masih bersisa, ia akan terlebih dahulu menawarkan dan menjajakan barang-barang tersebut. Harga barang biasanya akan sedikit turun dibanding sehari sebelumnya.

Dengan keadaan kedua ini, Busiyah biasanya berupaya sedemikian rupa agar barang dagangannya laku. Uang hasil penjualan tentu bisa kembali ia ‘putar’ dengan kulakan di pasar sehingga dapat membawa lebih banyak barang dalam perjalanan pulang. Setelah berhasil membuat lapaknya ludes atau nyaris habis, ia akan bergegas ke pasar menggunakan jasa ojek dari tempat di mana dagangan terakhirnya laku. Sistem semacam ini juga memungkinkan pelanggan untuk memesan barang apa yang ingin mereka beli dari pasar. Busiyah akan membeli barang tersebut kemudian menjualnya kembali.

Busiyah kadang juga menjajakan jualan di pagi hari yang demikian meski dirinya tak hendak ke pasar hari itu. Biasanya ini terjadi karena dirinya akan bepergian atau ada acara keluarga. Jika sudah demikian, kami yang biasanya lebih memburu dagangan ‘segar’ sepulang dari pasar kadangkala terpaksa membeli dagangan yang ia kulak kemarin. Dibanding harus repot-repot ke pasar atau bahkan tidak mendapat amunisi lengkap untuk masak harian, tidak apa-apalah.

Sampai sekarang saya belum tau pasti seberapa jauh jarak tempuh Busiyah. Yang jelas sepulang dari pasar, ia biasa menggunakan jasa ojek sebelum berhenti di shelter pertamanya kemudian melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki hingga sampai di tujuan akhirnya; rumahnya. Saya hanya sempat mengetahui beberapa spot yang sering dikunjungi Busiyah, sekitar 1,5 km dari rumah.
Jika tempat itu adalah shelter pertama (dari arah timur) tempat ia turun dari ojek, maka dalam perjalanan pulang dari pasar saja, Busiyah menempuh jarak tidak kurang dari 2, 5 km. Setiap hari. Profesi ini agaknya benar-benar menyita waktu, tenaga, pikiran dan perasannya.

Dalam momen-momen random, Busiyah kerap kali curcol perihal hal-hal yang ia temui di sela-sela profesinya. Harga-harga yang pada naik, keuntungan yang menipis, barang kulakan yang ketinggalan, uang kulakan yang kurang, kesehatan yang menurun, soal utang-pituang, cuaca yang tak menentu, kejadian tertentu di pasar dan lain sebagainya. Ini bisa terjadi ketika ia menjawab pertanyaan salah satu dari kami atau secara tiba-tiba, memulai curhat begitu saja.

TBC

MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.