Seperti para pedagang keliling lainnya, Busiyah secara umum tidak menggunakan sistem tawar-menawar sehingga meski kadang kepekso, kami cenderung mengikuti aturan mainnya. Rasanya tidak tega harus menawar dengan sadis dan tega membayangan jarak yang ditempuh, berat beban di kepala serta ember berisi tahu yang ia jinjing dengan tangan kanan, sementara tangan kiri memastikan wadah di atas kepalanya aman dan stabil.

Meski tidak menerapkan sistem tawar-menawar secara formal, Busiyah seringkali memberi potongan harga dari harga pertama yang ia berikan. Dalam momen semacam ini, ia biasanya setengah berbisik bahwa potongan tersebut diniatkan sedekah. Hal yang sama terjadi ketika dalam beberapa kesempatan, uang di genggaman tangan tidak cukup membeli barang tertentu dari ‘gerobak’nya. Ia biasanya mengatakan, wes tidak apa-apa, kurangnya tak sedekahkan.

Saya sering membayangkan apa yang akan ia lakukan jika beberapa dagangannya tidak laku dan benar-benar tidak mendapatkan pembeli. Apakah ia menjualnya dengan harga miring, memasaknya sendiri ataukah dikembalikan pada penjual di pasar tradisional tempat ia membelinya? Setiap hari ia biasa membawa aneka sayur, lauk, bumbu masak, hingga makanan ringan semisal kerupuk dan jajanan basah. Daun jati adalah salah satu aksesoris yang selalu tampak dari lapaknya sebagai ganti tas plastik bagi para pembeli. Selain ramah lingkungan, ia juga mendapatkan ‘plastik’ tersebut dengan cuma-cuma. Ada juga dompet berwarna dominan merah setengah lusuh tempat ia menyimpan uang yang selalu tampak di sela-sela dagangannya.

Hal lain yang disukai dari Busiyah, seperti juga para penjual keliling lain adalah kemungkinan untuk ngutang. Ini tentu merupakan sistem yang amat menguntungkan ketika dompet lagi tipis sedang kebutuhan dapur harian tidak mengenal istilah setop atau sekadar istirahat. Busiyah tidak mencatat hutang-hutang kami sebab ia akan menagihnya—dengan tak langsung—esok hari atau sepulang dari pasar ketika kembali mampir. Dalam kesempatan seret duit semacam inilah, kedatangannya cukup terrorizing dan bikin hati baper meski ia tak pernah menagih secara langsung.

***

Jam-jam kunjung Busiyah ke rumah bisa dengan mudah di-titeni. Jika ia tak mampir dalam perjalanan berangkat, biasanya karena dagangan kemarin laku habis atau karena kemarin ia cuti, jam 9-an ia sudah tiba. Akan tetapi jika sebelumnya ia sudah mampir, ia akan datang sekitar jam 09.30. Begitu datang, ia akan memanggil nama ibu mertua dan tante mertua bergiliran, biasanya menanyakan apakah ada yang akan membeli sesuatu. Kami yang terkadang kebetulan sedang menunggu panggilan tersebut akan segera mengerubutinya dan melihat dagangan apa yang ia bawa.

Jika sampai jam 10.00-an panggilannya tidak jua terdengar, kami yang menunggu biasanya akan gelisah dan mulai khawatir. Jangan-jangan Busiyah memang tidak ke pasar hari ini, jangan-jangan ia sudah lewat tapi kami tak mendengar panggilannya, atau jangan-jangan ia masih dalam perjalanan menuju kami. Busiyah tampak mengerti betul ‘ketergantungan’ ini sehingga jika esok atau lusa dirinya tidak akan ke pasar, mengulak barang dan menjualnya kembali, ia selalu memberitahu kami. Ini biasa terjadi ketika ada saudara atau tetangga dekatnya yang nanggap gawe atau meninggal dunia, di mana ia harus rewang selama beberapa hari.

Sebagaimana pelanggan-pelanggan lain, kami memiliki ritual untuk menyambut kedatangan dan melepas kepulangannya. Ritual tersebut bernama ajuma’, yang kurang lebih berarti membantunya menurunkan wadah jualan dari kepalanya kemudian, setelah semua selesai berbelanja, mengembalikan wadah tersebut di tempat semula. Aktivitas ini dilakukan dengan dua tangan baik oleh Busiyah maupun satu di antara kami yang membantunya. Karena bawaannya berat, maka peran pembantu dalam aktivitias ini begitu ia butuhkan. Dua ibu welijo lain biasanya tidak memerlukan bantuan demikian karena bawaannya tidak seberapa banyak dan berat.

***

Momen yang bikin kasihan dan iba adalah ketika kami sudah pada membeli bahan masak harian, entah karena baru abis dari pasar atau terlebih dahulu membeli barang pada penjual lain. Ketika ia datang dan memanggil salah satu di antara ibu atau tante mertuaku, kami akan menjawab panggilannya dengan memberitahu bahwa stock masih ada sehingga hari itu belum ada transaksi dulu. Di saat-saat seperti ini, ekspresi lelah yang ia rasakan akan semakin jelas terlihat sebelum ia mundur teratur dan melanjutkan perjalanan dengan seringkali memanggil dan menawarkan barang dagangan pada pelanggan lain. Biasanya ekspresi tersebut akan bercampur dengan kegembiraan begitu kami mengerubuti ‘gerobak’nya.

Rasa iba pada Busiyah akan meningkat tajam manakala hujan turun di tengah jam kerjanya. Biasanya ini terjadi ketika ia sudah
kepalang basah berangkat dan no way back. Kultur di sini memang tak biasa mengecek prakiraan cuaca harian karena cuaca relatif stabil dan mengikuti ritme musim yang tengah berlangsung, sebelum belakangan. Ia akan berjalan hujan-hujanan—tanpa jasujan—dan menutup lapak di kepalanya dengan plastik seadanya. Sementara dirinya harus tetap menjaga keseimbangan, hujan di depan mata kadang tak bisa dipending sebelum dirinya benar-benar sampai di rumah.

Saya belum tahu pasti sejak kapan Busiyah menekuni profesi semacam ini. Sudah dulu, sejak dari dulu. Begitu selalu jawaban yang saya dapatkan tanpa pernah mendapatkan tahun atau minimal dasawarsa yang pasti. Karena itu jugalah, barangkali, Busiyah tampak cukup menyatu dan menghayati profesinya tersebut. Saya kadang tak bisa membayangkan bagaimana jika berada di posisinya. Memanggul barang bawaan seberat itu sambil melewati jarak tempuh yang tak dekat dan tak jarang melewati tanjakan serta jalan rusak dengan keuntungan finansial yang—saya yakin—tidak seberapa.

Dengan profesi dan rutinitas yang demikian, saya sangatlah yakin bahwa Busiyah bukan hanya pahlawan bagi kami para pelanggannya, akan tetapi juga bagi keluarga dan pedagang lain yang masuk dalam ‘sistem’-nya. Sayapun tahu bahwa di luar sana, ada Busiyah-Busiyah lain dengan cerita yang tak kalah mengharukan. Membayangkan perjuangan dan kegigihannya, saya suka malu dengan keadaan diri sendiri.

Doa terbaik untuk Busiyah. Cheers!



Tempat tinggal saya terletak 3 KM-an dari pasar tradisional terdekat. Jarak tersebut bukan hanya terasa jauh untuk dilalui dengan berjalan kaki—di kultur kami—, akan tetapi juga memiliki beberapa bagian dengan keadaan badan jalan yang rusak. Karenanya, jika tak penting-penting amat dan sedang tidak kepingin atau butuh ‘belanja serius’, sebagian besar kami emoh ke pasar. Kejauhan jika harus berjalan kaki dan pakai motorpun, malas harus melewati jalan rusak.

Sebagai alternatifnya, kami memilih menunggu welijo (belijjha; Madura) yang menjajakan bahan keperluan masak harian. Sejak pagi, ada sekitar 3 mas (penjual) sayur dan 3 ibu welijo yang rutin mampir dan menjadikan rumah kami tak ubahnya shelter. Ada semacam kesepakatan tidak tertulis bahwa tempat tinggal kami bukanlah ‘teritori’ semua penjaja dagangan yang lewat, sehingga tak semua yang lewat akan mampir.

Para penjual tersebut tak ubahnya pahlawan kami di pagi hari. Kami tidak perlu meluangkan waktu, tenaga atau bensin untuk sampai di pasar dan mendapatkan barang yang diperlukan. Item yang tersedia memang tak selengkap di pasar dan harga jual juga lebih tinggi, akan tetapi hal-hal tersebut tidak menjadi big issue. Kami tetap sangat terbantu dengan kehadiran para pahlawan tersebut.

Kehadiran dan peran penjual keliling begitu terasa ketika dalam suatu hari, tak ada satupun di antara mereka yang ‘masuk kerja’. Ini biasanya terjadi pada hari-hari pertama setelah hari besar tiba, semisal hari raya dan maulid Nabi, atau di sebuah hari random ketika mereka tampak bersepakat untuk cuti bersama. Tak hanya lelah dan bosan berharap dan menunggu, kami harus memasak seadanya jika tidak mau merapat ke pasar tradisional terdekat yang sudah akan sepi pada jam 09.30-an pagi.

***

Hal utama yang membedakan mas-mas sayur dan ibu-ibu welijo adalah sarana transportasi yang dipakai. Kelompok pertama menggunakan sepeda motor dengan keranjang penuh bawaan di bagian belakang dari sisi kanan hingga sisi kiri. Adapun ibu-ibu welijo memilih berjalan dengan membawa barang dagangan dalam wadah-wadah tradisional (gaddhang serta budhag, cobbhu’ atau bak plastik besar; lihat ilustrasi gambar) yang dijunjung di atas kepala.

Sebagai penyeimbang sekaligus penguat, sehelai kain yang dilipat dengan desain khusus diselipkan di antara kepala dan wadah-wadah tersebut. Dengan alat dan ‘formasi’ demikian, mereka yang sudah terbiasa dengan posisi seperti ini—umumnya dengan bawaan ringan—seringkali bisa berjalan normal tanpa perlu menggunakan tangan untuk memegang dan menyeimbangkan posisi wadah di atas kepala.

Satu di antara enam penjual tersebut adalah perempuan setengah baya yang biasa dipanggil Busiyah. Entah nama aslinya siapa. Perempuan tersebut saya pilih sebagai tokoh cerita di sini karena beberapa alasan berikut. Pertama, dibanding para penjual lain, Busiyah paling jarang mengambil ‘cuti’. Kedua, barang dagangan Busiyah terbilang lengkap sehingga kedatangannya begitu ditunggu sebagai one for all solution. Ketiga, setiap hari, jika tidak sedang cuti, Busiyah menghampiri rumah kami dua kali; sebelum dan sesudah ia ke pasar. Karena beberapa hal inilah, meski tak sepi dari pesaing, Busiyah tetap menjadi the most wanted hero kami di pagi hari.

***

Selain dalam momen transaksi, saya jarang sekali bertemu Busiyah. Melihatnya di jalanpun nyaris tak pernah kecuali saat ia tengah mampir menjajakan barang ke ‘shelter’ atau spot langganannya yang lain. Sejauh yang saya ingat, saya baru bertemu dia—di luar ritme-ritme rutin tersebut—dalam sebuah acara lelayu. Ketika itu kami bersalaman dan dengan candaan khas Madura ia berkelakar, “kalau bukan di sini, kapan lagi salaman sama aku? Pas aku jajakan jualan (ajuwal jhuko’, bahasanya) tidak mungkin.

Selain itu, ketika kebetulan ke pasar, saya beberapa kali melihat atau berpapasan dengannya. Di momen-momen semacam itu, kami biasanya hanya bertukar senyum dan sapa singkat. Apalagi kalau pasar lagi ramai. Jika sudah bertemu saya di pasar, Busiyah biasanya tak terlalu semangat menjajakan dagangannya pada ibu mertua atau tante-tante sebelah karena sudah bisa meramalkan bahwa list belanjaan tidak akan sebanyak biasanya, bahkan mungkin ‘libur’ dulu.

***

Busiyah adalah tetangga jauh. Sampai saat ini saya belum tau di mana rumahnya. Namun demikian setiap pagi, sebelum jam 6, ia seringkali sudah lewat depan rumah untuk ke pasar dengan atribut lengkap. Jika hendak langsung ke pasar , ia biasanya diantar sang suami menggunakan motor atau menyewa jasa ojek. Namun begitu jika barang di lapak portable-nya—hasil kulakan kemarin—masih bersisa, ia akan terlebih dahulu menawarkan dan menjajakan barang-barang tersebut. Harga barang biasanya akan sedikit turun dibanding sehari sebelumnya.

Dengan keadaan kedua ini, Busiyah biasanya berupaya sedemikian rupa agar barang dagangannya laku. Uang hasil penjualan tentu bisa kembali ia ‘putar’ dengan kulakan di pasar sehingga dapat membawa lebih banyak barang dalam perjalanan pulang. Setelah berhasil membuat lapaknya ludes atau nyaris habis, ia akan bergegas ke pasar menggunakan jasa ojek dari tempat di mana dagangan terakhirnya laku. Sistem semacam ini juga memungkinkan pelanggan untuk memesan barang apa yang ingin mereka beli dari pasar. Busiyah akan membeli barang tersebut kemudian menjualnya kembali.

Busiyah kadang juga menjajakan jualan di pagi hari yang demikian meski dirinya tak hendak ke pasar hari itu. Biasanya ini terjadi karena dirinya akan bepergian atau ada acara keluarga. Jika sudah demikian, kami yang biasanya lebih memburu dagangan ‘segar’ sepulang dari pasar kadangkala terpaksa membeli dagangan yang ia kulak kemarin. Dibanding harus repot-repot ke pasar atau bahkan tidak mendapat amunisi lengkap untuk masak harian, tidak apa-apalah.

Sampai sekarang saya belum tau pasti seberapa jauh jarak tempuh Busiyah. Yang jelas sepulang dari pasar, ia biasa menggunakan jasa ojek sebelum berhenti di shelter pertamanya kemudian melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki hingga sampai di tujuan akhirnya; rumahnya. Saya hanya sempat mengetahui beberapa spot yang sering dikunjungi Busiyah, sekitar 1,5 km dari rumah.
Jika tempat itu adalah shelter pertama (dari arah timur) tempat ia turun dari ojek, maka dalam perjalanan pulang dari pasar saja, Busiyah menempuh jarak tidak kurang dari 2, 5 km. Setiap hari. Profesi ini agaknya benar-benar menyita waktu, tenaga, pikiran dan perasannya.

Dalam momen-momen random, Busiyah kerap kali curcol perihal hal-hal yang ia temui di sela-sela profesinya. Harga-harga yang pada naik, keuntungan yang menipis, barang kulakan yang ketinggalan, uang kulakan yang kurang, kesehatan yang menurun, soal utang-pituang, cuaca yang tak menentu, kejadian tertentu di pasar dan lain sebagainya. Ini bisa terjadi ketika ia menjawab pertanyaan salah satu dari kami atau secara tiba-tiba, memulai curhat begitu saja.

TBC

Sepulangnya dari Australia akhir Maret kemarin, aku mendapat ‘teman’ baru di rumah, namanya Pak Untung. Dia datang ke rumah pada hari yang sama dengan kedatanganku. Aku datang agak siang, Pak Untung datang sore menjelang petang. Kedatangan karyawan temporer yang kemudian tinggal di rumah bukan hal baru bagi keluarga suamiku. Sebelumnya sudah ada beberapa dan yang terakhir, Mas Bucek, bahkan sudah berkali-kali pulang-datang-pulang-datang. Aku lebih banyak jetlag dan recovery dari batuk yang sangat mengganggu pada hari-hari pertama sepulangnya ke Indonesia. Agenda lain adalah bagiin oleh-oleh serta memuaskan hasrat kerinduan pada masakan Indonesia (Madura). Aku tak banyak peduli dan kepo-in Pak Untung, meski aku sangat bersemangat menghabiskan sekarung rambutan yang ia bawa dari Jember, kota kelahirannya, which is juga kota kelahiran suamiku. Setelah jetlag-ku mulai reda dan aku beranjak pulih dari semacam post-power syndrome, aku mulai penasaran terhadap sosok Pak Untung karena minimal, satu kali sehari, aku akan berinteraksi dengannya, mempersilakan ia makan atau sekadar bertukar senyum ketika tak sengaja bertemu. Pak Untung adalah seorang tunawicara dan tunarungu meski ketika ingin bicara, ia masih bisa memaksakan diri untuk memunculkan suara. Gangguan pendengarannya tampak lebih parah. Suatu malam aku pernah menghampirinya untuk memberitahu bahwa makanan sudah siap. Ketika itu Pak Untung membelakangi arah dari mana aku datang dan memandang lepas ke jalan, tampak asyik dengan pikirannya sendiri. Aku butuh usaha keras dan lama untuk membuatnya menoleh. Dengan isyarat tangan, dia minta maaf atas responnya yang terlambat menanggapi ucapanku. Aku hanya tersenyum dan membalas isyaratnya seolah-olah mengatakan, I am fine. No worries. Pak Untung memiliki keahlian menyulap potongan-potongan kayu menjadi barang-barang perabotan rumah tangga, mulai dari kursi, meja rias, tempat tidur dan lain-lain. Ayah mertuaku sengaja mendatangkan dia dari Jember agar ia membantu menyelesaikan beberapa order dan melengkapi display items di usaha meble yang ia rintis sejak beberapa tahun lalu. Aku tak tahu apa alasan ayah mertuaku mendatangkan karyawan musiman jauh-jauh dari Jember. Yang kutahu adalah bahwa Pak Untung meninggalkan istri dan anaknya beberapa lama untuk mencari Rupiah dengan keterbatasan (sekaligus keistimewaan) yang dia miliki. Rasanya nonjok banget di hatiku. Fatherly love-nya kental sekali. Aku sering menghampiri Pak Untung ke tempat kerjanya ketika kebagian tugas memersilakan dia makan. Ia sangat cekatan dan tampak sudah lama menekuni keahlian tersebut. Ketika aku mengajaknya bicara, Pak Untung—seperti biasa—selalu memberikan respon sigap sambil memamerkan deretan giginya. Calming me down sekali. Beberapa kali ia mengajakku berkomunikasi namun aku masih sering gagal memahami apa yang ingin dia sampaikan. Biasanya aku hanya tersenyum dan dia tampak mengerti dengan bahasa tubuhku. Ketika bekerja, Pak Untung hampir tidak pernah lepas dari sebatang rokok di mulutnya. Ayah mertuaku sampai membelikan beberapa bungkus rokok merk khusus untuk Pak Untung. Tampaknya asap rokok membantunya bekerja dan melancarkan gerakan tangannya memotong kayu, memegang kemudian memainkan palu, menancapkan paku, mengoperasikan mesin pemotong kayu, menyambungkan satu potongan kayu dengan potongan lain dan aktivitas-aktivitas lain yang rutin ia lakukan. Itu aku sadari saat kutemukan bahwa ketika tak sedang bekerja, Pak Untung tidak sering—bahkan jarang—merokok. Kalau sedang sendiri dan tampak termenung, entah apa yang ia pikirkan, barulah Pak Untung merokok. Barangkali mengajak bicara asap yang mengepul dari mulutnya. Pak Untung tidak banyak request dan protes meski seharian ia bekerja dan semalaman ia tidur di atas sofa yang ada di display room. Aku tak tahu apakah di situ banyak nyamuk tapi bangunan di pinggir jalan itu beratapkan seng sehingga ketika hujan, dipastikan hawa di dalam akan sangat dingin. Satu hal yang pernah ia complain adalah menu makanan ketika tak ada sayur berkuah di meja. Dengan bahasa isyarat yang khas dan kadang mengharukan, ia menyampaikan bahwa ia sulit menelan makanan jika tanpa kuah. Ia memegang lehernya dan mengubah ekspresi wajah seperti orang kesakitan. Ibu mertuakupun mengiyakan complain tersebut sehingga setiap meal time, tiga kali sehari, kami selalu menyediakan kuah untuk Pak Untung. Aku belum tau seberapa besar porsi makan Pak Untung tapi yang pasti, ia suka sambel. Cobek sambel selalu ludes setelah dia menyantap hidangan kami. Mengetahui hal yang demikian adalah kebahagiaan yang baru kutau kaya apa rasanya belakangan ini. Btw aku juga sering me-nguping obrolan para tukang ketika mereka menyantap makanan dan Pak Untung ternyata juga ikut terlibat di perbincangan tersebut, entah bagaimana caranya. Mas Bucek, ahli ukir yang belakangan kembali bekerja dan tinggal di rumah, juga sering tertawa terpingkal-pingkal saat tengah ‘ngobrol’ dengan Pak Untung. Ketika melihat Pak Untung mondar-mandir di depan mataku, aku suka berpikir bahwa kepindahan sementara ini sebenarnya tak pernah mudah bagi siapapun, termasuk bagi Pak Untung. Ia harus tidur di tempat yang berbeda, makan masakan yang berbeda, menghabiskan waktu di tempat baru dan hal-hal baru lain yang mungkin kerasa masih aneh baginya. Perasaan semacam ga betah ala-anak pondok kupastikan ada, meski motivasi ekonomi bisa mengalahkan kecenderungan-kecenderungan semacam itu. Pak Untung juga tidak mendapat fasilitas laundry sehingga dia mencuci dan mengurus bajunya sendiri. Aku juga sering memerhatikannya ketika menjemur pakaian. Ia selalu bisa menyembunyikan rasa lelah (Pak Untung bekerja tujuh hari sepekan) dan—mungkin—tak betahnya berada jauh dari keluarga. Oh ya setauku, Pak Untung juga membawa sandang seperlunya selama masa tinggalnya di sini. Baju untuk bekerja dan untuk santai masing-masing ada. Baju kerjanya adalah kaus oblong tanpa lengan, kaus lengan pendek, dan celana selutut serta topi, sedang baju santai terdiri dari sarung, kemeja lengan panjang dan peci putih ala-ala hadiah haji. Aku tak ingat berapa potong tapi pastinya tak banyak. Baju-baju itu, meski sederhana, adalah saksi di setiap tetes keringat dan kerinduannya untuk pulang. Pak Untung juga tidak membawa alat komunikasi semacam handphone sehingga ayah mertuakulah yang menghubungi istrinya untuk keperluan keuangan. Kebayang gimana khawatir dan kangennya keluarga pak Untung terhadap keadaan Pak Untung di sini. LDR tanpa gadget mungkin masih kerasa absurd, tapi ternyata masih ada yang menjalaninya. Selain membantu Ayah mertuaku membikin barang-barang perabot rumah tangga, setiap sore, Pak Untung juga membantu Ibu mertuaku memasak air untuk konsumsi para tukang yang setiap hari bisa berjumlah lima orang. Saat bekerja, selain rokok dan kopi, para tukang ternyata membutuhkan banyak asupan hidrasi cukup banyak sehingga kami harus menyediakan stock air yang cukup. Untuk keperluan ini, Ibu mertuaku biasa memasak air di pawon buatan di sebelah ‘ruang kerja’ Pak Untung sehingga Pak Untung seperti merasa memiliki beban moral untuk juga membantu proses memasak air tersebut. Setiap akan berangkat ngampus, aku juga sering bertemu Pak Untung di display room tempat dia biasa tidur. Ia tampak menanyakan akan ke mana aku dan aku sigap menjawabnya, saya mau sekolah, Pak. Ia tersenyum dan mengancungkan ibu jarinya; seperti menangkap omonganku, mungkin lewat gerak bibir. Aku balik tersenyum dan merasa baru dihadiahi suntikan semangat. Pak Untung selalu tampak semangat dan oriented sekali dalam bekerja. Ia betul-betul menikmati pekerjaanya dan berusaha total di situ. Rasanya malu sekali kalau ingat aku sering setengah-setengah dalam melakukan banyak hal, disorientasi dan kadang digresi ke mana-mana. Aku sering berpikir bagaimana rasanya jauh dari keluarga, seperti yang Pak Untung alami saat ini. Fenomena kaum migran yang meninggalkan kampung halaman bukan hal baru di kampungku, baik di rumah orang tua maupun di rumah mertuaku. Mereka bahkan berbondong-bondong berkarya dan memakmurkan daerah atau negeri orang karena di rumahnya sendiri, mereka tak mendapatkan (juga mungkin tak menciptakan) banyak peluang. Beberapa bahkan menetap di tanah rantau dan emoh kembali lagi ke kampung halaman. Mereka menciptakan house sekaligus home baru dan menyambangi kampung halamannya—setidaknya—setahun sekali ketika Lebaran. Bagi si perantau, ini memang tentang pilihan, tapi di sisi lain, ketimpangan kaya gini sebenarnya menunjukkan masih berjayanya sentralisasi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Yang kulihat dari Pak Untung adalah he does what he can do as well as possible. Doing the job, getting paid and then going home. Go hard or go home, kata Fast Furious. Aku pernah membantunya menransfer sejumlah uang untuk istrinya di Jember dan rasanya mengharukan sekali. Jumlah kiriman sebenarnya tak seberapa dibanding konsekuensi untuk berjauhan dan pura-pura tak punya kerinduan, akan tetapi itu akan sangat berarti bagi istri dan anak-anaknya. Keterbatasan yang dimilikinya tak menghalangi Pak Untung untuk menujukkan keistimewaan hebat yang dia punya. Kesulitan yang ia temui—konon itu bawaan lahir—tidak membuatnya mundur sedikitpun dari panggilan nurani mencukupi kebutuhan istri dan anaknya. Semoga panjang umur dan sehat selalu Pak Untung. Jangan lupa tersenyum. Ketekunan dan keseriusan Bapak bekerja sangat menginspirasi! (teriring doa rahasia untuk Pak Untung) Ps; Foto menyusul :)

MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.