Ketika tulisan mentog dan seoloah-olah yang berhasil tak tulis selalu ingin langsung tak buang/robek/delete, di situlah waktu yang tepat untuk bertemu dan berdiskusi dengan orang lain. Itulah yang utamanya kupahami dari tipikal belajar/nulis/bacaku yang tidak bisa berkompromi dengan kebisingan, perbincangan, alunan musik non-instrument atau selingan lain. Setelah jumpalitan bikin abstrak selama kurang lebih 2 pekan dan merasa belum banyak perkembangan berarti, pagi itu aku memutuskan untuk menghubungi salah seorang dosen senior di kampus. FYI aku sudah lama impressed sama dosen satu ini. Penampilannya casual, ramah dan belakangan yang kutau, surprisingly, dia SMART! Jadilah aku menghubungi ybs melalui pesan singkat untuk janji bertemu. Sambutannya hangat dan ia menyanggupi appointment sore sebab siangnya masih ada acara. Couldn’t be more grateful for that.

Siang menjelang sore, aku kembali menghubunginya dan beberapa menit kemudian, ia memberitahu bahwa dia available saat itu. Aku  bergegas menuju rendezvous dan mendapati pintu ruangan tertutup rapat. Aku mengetuk lalu membukanya. Pemandangan pertama yang mampir di mataku adalah tempelan kertas berisi imbauan untuk tidak merokok di ruang berAC dan dia yang tengah duduk di situ, literally doing what the paper says it forbidden. Aku tentu tersenyum mafhum dengan adegan itu considering bahwa ayah dan suamiku sama-sama perokok. Jendela di sisi timur terbuka dan barangkali itulah corong utama sirkulasi asap rokok. Aku lalu duduk tepat di hadapannya. Di depan kami ada meja lonjong lumayan lebar yang tampak belum terlalu lama.

Momen itu adalah kunjungan pertamaku ke ruang tersebut. Sebelum memulai perbincangan serius, aku banyak melempar basa-basi dan sibuk mengamati sekeliling ruangan. Beberapa lemari, pigora sampul beberapa edisi jurnal, meja kerja, TV besar di dinding dan alat-alat kantor standard lain ada di situ. Seperti pada banyak pertemuan, aku selalu merasa kaku untuk memulai obrolan. Biasanya, ini juga menyesuaikan dengan lawan bicara. Untungnya, meski sesekali sibuk dengan hape, air muka bapak di depanku sangat membuatku nyaman. Aku sedikit bertanya soal latar belakang pendidikan dan kariernya, dan aku can’t be more amazed than that. Dia tak hanya terlihat intellectually rich, tapi juga socially friendly. Aku lalu menuturkan masalah yang menderaku dua pekan belakangan. Proses pembuatan abstrak dan proposal penelitian yang memakan banyak waktu, tenaga juga perasaan tapi akhirnya selalu melemparkanku pada pikiran-pikiran bahwa what I did so far is almost meaningless. Flat, literally descriptive instead of analytic, could not relate it to wider context, improper dan jauh dari worth serta hal-hal semacamnya.

Seperti yang sudah kuduga, he did not straightly focus on my exact problem. Instead, dia menanyai latar belakang pendidikan dan asalku. Secara formal aku belajar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (nomenklaturnya dulu Tafsir dan Hadist) dan aku genuine dari Madura. He said it is a perfect combination relating to the subject research I would like to discuss. Dia sempat menyinggung bahwa considering on my own major, I am supposed to master so called Balaghah Al-Qur’an ranging from badi’, ma’ani and bayan. Believe me saat diomongin itu aku hanya tersenyum kecut dan eyes rolling mengingat pelajaran di Aliyah yang tak selesai aku khatamkan masio jebule aku dapat nilai bagus. Di awal tadi, meski tak yakin dia mendengar dengan baik dan detail, aku sedikit menyinggung keperluan di balik penulisan tadi. I know this may not matter for him, but for me it does. Dia lalu menyela bahwa kanal yang bisa kumasuki untuk (rancangan) penelitianku, salah satunya adalah linguistik, particularly about deliverability of a work for its reader. Realizing bahwa bidang ilmuku bukan di situ, ia lalu mengatakan bahwa aku perlu sedikit keluar dari zona nyamanku dengan memelajari bidang lain, semisal linguistic. Yah, that’s exactly true karena studi Islam, kata Pak Amin, seharusnya memang integrative interkonektif. Allahumma thawwil um’ra asatidzi.

Dari situ ia kemudian menyinggung soal paradigm, kerangka kerja, serta style sebuah karya, dan dalam konteks yang kami diskusikan, terjemahan. Agar perbincangan tidak meleber  ke mana-mana, tadi di awal aku juga sempat kemukakan bahwa aku memiliki 3 sumber data primer karya yang terbitnya in sequence, hanya saja ketika harus membandingkan ketiganya, aku bingung harus mengambil standpoint dari mana. Iapun langsung menyasar sample dengan mengatakan bahwa karya versi kedua (dan mungkin yang pertama) baginya harfiyah, sedangkan yang terakhir, dynamic (padahal aku berharap dia akan mengatakan tafsiriyah). Ini dari segi style, satu titik fokus yang belakangan banyak menyita pikiranku. Akupun kembali menggiring pada konteks dengan mengatakan bahwa asumsi demikian bisa jadi tidak berlaku seluruhnya, sebab aku menemukan anomali darinya. Ada satu terjemahan yang justru menunjukkan sebaliknya ketika sebuah ayat diterjemahkan dengan tafsir dari sebuah kitab tafsir populer. Aku kemudian juga mengaitkannya dengan latar belakang tim penerjemah yang cukup berbeda antara versi pertama vs kedua dan ketiga.

Ia kemudian membalas bahwa tim di versi pertama didominasi oleh etnis peranakan yang lahir dan besar di luar Madura namun tetap membawa darah Madura di tubuhnya. It makes sense, therefore, ketika bahasa yang digunakan dan dipilih tidak lagi pure dan Madurese. Tak hanya soal latar belakang, perbedaan yang demikian juga sangat erat kaitannya dengan teknik dan taktis proses. Terjemhan versi pertama menerjemahkan dari karya terjemahan lain, yakni terjemahan Al-Qur’an Bahasa Indonesia, bukan dari wujud pertama Al-Qur’an dalam Bahasa Arab. Aku lalu mengulik informasi soal dua terjemahan kedua which is dia terlibat di situ. Ia spontan menjawab, namun sampai di kalimat pertama yang belum selesai dan menemukan titik, seperti ciri khas freeman kebanyakan, ia merujuk responden lain untuk aku mendapatkan informasi terkait. Komentarnya, “saya sudah berkali-kali ngomong soal ini dalam beberapa sesi wawancara”. Alih-alih membuatku kapok, aku jadi semakin tertarik untuk melanjutkan obrolan sambil dalam hati mbatin, besok aku cari bukunya di Perpustakaan. Aku sudah dapat kata kuncinya kemarin, cuma belum tak eksekusi.

Dan justru, dari obrolan inilah dia mulai menceritakn kegelisahan—bahasa lainnya kemangkelan—karena misi Madurologi-nya tidak banyak dipahami. “Saya ini nabi yang tak dipahami,” ucapnya dengan jumawa tapi mempesona, simply because he deserves for that dan gada kesan arogan sama sekali. Aku kemudian memberi ruang seluas-luasnya untuk mengijazahkan konsep Madurologi versi dia yang menurutnya tak terpahami, atau belakangan semakin tak terpahami. Diskusi soal ini tampak lebih menarik baginya dibandingkan tema yang aku bawa sejak datang. Jika sebelum sampai di tema ini ia sangat sering membaca layar hapenya, perbincangan ini mengubah suasana obrolan sepenuhnya. Ia tampak sangat bersemangat. Sebelum memulai penjelasan, ia mengatakan, “jangan-jangan Kamu juga tidak paham Madurologi.” Aku tersenyum lebar dan bersiap menulis sabda-sabda yang akan disampaikannya. Kurang lebih begini intinya; Logos itu khan ilmu, jadi ya kurang lebih ilmu tentang Madura, atau dalam cakupan teknisnya, penelitian tentang Madura. Madurologi itu dalam proyeksinya, tidak ingin sama dengan Javanologi dan sejenisnya yang berusaha melihat fenomena local dengan kacamatanya bule atau outsider. Madurologi ini berupaya melihat Madura dari kacamata insider.  Ga haruslah selalu pakai teori-teori yang modernized westernized. Pendekatannya cukup dengan etno-metodologi, etnografi dan fenomenologi. SELESAI! (Masio membenarkan, aku mbatin dalam hati bahwa terkadang, tidak semua dosen pengampu, dosen pembimbing, ketua atau sekretaris jurusan, atau bahkan promoter dan co-promotor, mau dengan penelitian yang se-pure itu.)

Nah, bagian ini sebenarnya tak banyak kufahami. Bapak di depanku tiba-tiba menyinggung soal diksi eksotis. Menurutnya, diksi ini biasanya digunakan untuk menunjukkan superiorita seseorang atas lawan bicaranya. Karena tak faham itulah, aku menyela, “itu bukan soal rasial ya, Pak? Setau saya orang suka bilang eksotis sebagai bahasa halus dari dark skin”. Ia tak menyalahkan, namun tak juga memberi jawaban persis di titik kebingunganku. Alih-alih, dia melanjutkan cerita bahwa di Chicago, ada orang-orang kulit merah yang tetap memertahankan kebudayaan dan cara hidup tradisionalnya di tengah gempuran modernism. Jadi desa/lokasi ini malah menjadi cagar budaya dan tujuan wisata sekaligus simbol superioritas masyarakat setempat. “Malah bagus”, pungkasnya.

Aku kemudian kembali pada pembahasan soal teori-teori dari luar yang kerap dipakai dalam penelitian lokal. Ia menegaskan bahwa ulasannya tadi tak berarti bahwa dia alergi. Pakai, tapi jangan lupa kritisi. Aku balik bertanya soal teori yang dihasilkan ilmuwan luar namun berasal dari penelitiannya di Indonesia. Kusebutlah itu Geertz. Eh malah dia bilang nyaris sama dengan yang selama ini tak pikirin. Begini kira-kira redaksinya, “Geertz itu tidak bisa membedakan mana kelas sosial dan level agama. Priyayi itu kelas sosial. Abangan dan santri itu agama. Ada priyayi yang santri, ada priyai yang abangan. Kaya gitu kq ya dijadikan satu kategori.”Well, sampai di situ aku harus—untuk kesekian kalinya—mengakui bahwa bapak di depanku tidak hanya pintar, tapi juga lugas menyampaikan argument. Dia percaya diri dan tampak sangat yakin dengan apa yang dikatakannya. Sebenere itu sudah cukup jadi modal untuk ngomong di depan orang lain apapun isi omongannya.

Dari situ, aku kemudian menyinggung sebuah keunikan dalam Bahasa Madura yang, menurut dia, di obrolan selanjutnya, tidak unik-unik amat sebab bahasa lain juga memiliki yang serupa. Ini adalah soal speech level atau ondhakan bhasa yang kurang lebih memiliki tiga clusters; enjha’ iyya, enggi enten dan enggi bunten. I have read literatures on this, both English and Indonesia, tapi jawabannya benar-benar genuine dan, once more, memukau. Terlepas dari percaya atau tidak, apa yang disampaikannya benar-benar baru buatku. Baginya speech level tak lebih dari politik bahasa dan atau simbol dari feodalisme. Duh, kq jauh banget? Gitu aku mikirnya. Dan beginilah penjelasan yang bersangkutan; Ondhak Bhasa itu baru ada sejak 1563 M (literally dia bilang gitu dan aku langsung catat di note) setelah penaklukan Kerajaan Mataram dengan rajanya Sultan Agung di Madura. Salah satu yang dibawanya adalah so called domesticated Madurese language, Bahasa Madura yang terjinakkan. Jadi, menurutya, dulu sebelum penaklukan itu, hanya ada satu level dalam Bahasa Madura, yakni di tingkatan enjha’ iyya. Ia menambahkan bahwa diksi-diksi di tingkatan ini almost totally different from those spoken in Java. Asumsi ini juga berdasarkan atas pengalamannya sendiri yang hijrah ke Madura dari Lamongan. Ia mengaku sama sekali tidak mengerti bahasa di level pertama ini. Akan tetapi untuk level 2 dan 3, ia menyatakan nyaris sepenuhnya sama dengan Bahasa Jawa, selain dalam persoalan dialek. Untuk menguatkan ini, ia mengemukakan contoh varian kata makan dalam Bahasa Madura. Ini baginya undeniable, sehingga Pak Mien A. Rifa’i mengamini gagasan tersebut dalam salah satu karyanya.

Yang kupahami, sedikit banyak dia ingin mengatakan bahwa dua level bahasa dalam Bahasa Madura, yang disebutnya sangat kental dengan nuansa Mataram, adalah bahasa yang sengaja dimasyarakatkan untuk semakin memperkuat feodalisme tadi. Ia kemudian mengulas soal keterbukaan masyarakat yang relatif lebih tinggi di kalangan pesisir atau area pantai dibandingkan di kalangan pegunungan (high land). Baginya, kepemilikan atas tanah juga berarti kepemilikan atas bahasa sebab bahasa halus sengaja dikonstruk untuk dijadikan alat komunikasi dengan pemilik tanah yang dari situ memuat nilai respect yang jauh berbeda dengan bahasa kasual enjha’ iyya. Dan percayalah sampai di titik ini, seperti biasa, aku melongo dalam hati sembari bergumam, mikirnya lho sampai sini. Masya Allah. Di awal sekali setelah kusinggung soal speech level ini, ia mengemukakan bahwa Bahasa Madura adalah rumpun Bahasa Melayu yang sebenarnya anti-feodal dan menjadi bahasa ibu utamanya di daerah maritim. Aku sempat bertanya perihal spelling Madurese yang proper, Snya satu atau 2, berhubung aku pernah menemukan dua ejaan tersebut. Ia membenarkan penulisan dua versi itu dan mengatakan kecenderungannya pada satu S.  

Lalu entah dengan conjunction bagaimana, diskusi kami sampai pada soal Nietzche. Aku lebih banyak mendengarkan dan menikmati letupan emosi dari seorang pembaca (barangkali juga penerjemah Nietzche). Buku yang diceritakannya ketika itu adalah The Will to Power. Nietzche yang menurutnya adalah pembuka gerbong posmodernisme, di buku tersebut, masih menurutnya, begitu lihai menulis gagasan dengan concise dan very short sentence. Gagasannya genuine, flashing, imbuhnya berkal-kali. Sampai di situ aku tahu betapa ga gaulnya ketika ga baca buku. Mendengar narasi oratif itu, aku berasa berada di antara adegan-adegan bimbingan skripsi/tesis, menghadiri orasi ilmiah atau kuliah umum. Rasanya nyes di hati. Belum lagi abis itu, ia mengatakan bahwa narasi besar madzhab-madzhab dominan di dunia, sosialisme komuniasi, materialism idealism sudah selesai. Jika belakangan ada penemuan atau teori baru, itu semua hanya paraphrasing, articulating dan accentuating dari itu semua. Memang tak ada contoh konkrit yang disampaikan untuk memperkuat gagasan itu, tapi aku benar-benar terkesan dan sepertinya ke depan, setiap kali menemukan hal baru, aku akan sering bertanya, benarkah itu hanyalah paraprashing atau semacam sejarah mungkin terulang.

Lalu dua point terakhir yang tak kalah berkesan. Pertama, ia sendiri secara eksplisit melemparkan kalimat The Deadly Trap of Translator. Based on his own experience, dia merasakan betul bagaimana susahnya mengkotak-kotakkan otak ketika harus menjadi translator dan author. Di awal wawancara, atau katakanlah, obrolan tadi, aku sempat menanyakan how far he went on translation worlds. Jawabannya mencengangkan. Jam terbang bapak ini tidak hanya berlipat-lipat dibanding aku, tapi juga lebih jauh scope-nya, dari genre hingga bahasa tujuan. Makanya saat aku bilang, nerjemah atau ngedit karya orang bikin kita ga punya space untuk diri sendiri, dia malah membalasnya dengan ungkapan tadi. Bahasa Inggrisnya juga fluent dan aku suka banget ketika dia ngomong bahasa-bahasa umpatan semisal bullshit atau tong sampah. Yang dia alami malah lebih jauh dari sambatanku yang hanya itu-itu aja. Yah semacam kehilangan diri sendiri karena terlalu larut mendalami pemikiran seseorang dan berusaha memahamkan pembaca akan teks yang dialihbahasakan. Sampai di situ aku ternganga mendengar bagaimana ia seringkali memulai tulisan lalu di lembar kesekian, ia robek karena merasa bahwa yang menulis bukanlah dirinya, tapi tokoh yang ia pelajari. Tokoh yang karyanya ia terjemahkan. Well tentu saja meski belum sampai mencapai maqam itu, aku ngeri membayangkan keadaan yang demikian.

Si bapak juga menceritakan alasan dan latar belakang ia gandrung menerjemah, dan salah satnya sama denganku, meski sekali lagi levelnya jauh berbeda. Dari sini sebenarnya bisa dipahami kenapa dia tidak mengambil arus utama dengan banyak menulis dan mengakui tulisannya sebagai karya lalu membubuhkan namanya di situ. Hes too much idealist, like what he said his friends commented on him, barangkali benar adanya. Dan aku bertaruh, hanya sedikit orang yang mau menapaki jalan berbeda ini di tengah jebakan system yang mengharuskan semua dosen—yang menurutnya gaji dulu sampai sekarang tetap aja sedikit—memiliki ritme dan pola yang sama betapapun kecenderungan masing-masing berbeda. He quits his doctoral program dan mengatakan bahwa ia akan menempuh jalan lain untuk bermanfaat bagi sesame. Dan deg! Aku ingat dosen pembimbing skripsiku yang  memilih jalan yang nyaris serupa. Allahumma, panjangkanlah usia guru-guruku. Dan well, di samping alasan-alasan yang bagiku masuk akal, dia menyelipkan guyonan bahwa ke-emoh-annya untuk menulis adalah karena alasan simplistis, bahwa Nabi tidak menulis dan yang menulis harusnya adalah sahabatnya. Sampai di sini telingaku memutar lagu mujhse dosti karongge.

Point terakhir adalah soal budaya. Menurutnya budaya adalah gagasan, nilai, ideologi, dan hal-hal di alam ide yang masih mentah alias abstrak sehingga membutuhkan ruang fisik untuk mewujud. Ketika beralih menjadi hal fisik inilah, budaya menjadi peradaban atau civilization. Dan belakangan, menurutnya, teknologi melalui technicalisme mengambil alih posisi budaya dalam pembentukan peradaban. It took over the pandita yang sarat makna, sehingga values beyond any civilization jadi terlupakan dan tak difahami. Contohnya adalah values beyond the diction kumpul kebo dan free sex. Yang pertama merujuk pada pandangan yang menyamakan perilaku seks di luar nikah dengan naluri hewani, sedang yang kedua tidak demikian.  Bersamaan dengan itu, keahlian atau expertise jadi tergantikan juga fungsinya oleh political power.

Walaupun totally academic, ada beberapa perbincangan soal kehidupan pribadi yang mau tak mau masuk dalam sesi ini. Aku sempat bertanay soal MK yang diampu si bapak, anggota keluarganya, mobil butut yang lama tak dibawanya ke kampus, termasuk soal bagaimana ia memandang konsep privasi kaitannya dengan kebiasaan mengunggah foto anak di media sosial. Track record-nya di kampus maupun ketika kuliah juga menjadi bumbu dari obrolan kami dan aku berkali-kali berkata bahwa I will be back soon to talk to him. Hal-hal yang tidak ter-cover dalam tulisan ini, baik karena sengaja atau karena kelupaan, semoga tidak mengurangi niat tulus tulisan ini untuk mengabadikan perbincangan berharga dengan seorang master, sembari ngalap berkah, sembari mengimbangi kerja otak yang belakangan diperas cukup keras dengan olahraga jari.

P.S. Percakapan dengan durasi tak lebih dari 1.5 jam itu dilengkapi dengan asap mengepul putih dari dua batang rokok 234 yang dibilang sebagai the only one legacy dari para wali. Ada juga sebuah telepon genggam berlayar lebar yang awalnya cukup menyita perhatian si bapak tapi belakangan banyak ia cuekin. Sayang sekali jam 16.00 keburu datang sehingga aku harus mengakhiri perbincangan mengingat barang yang masih tak tinggal di perpustakaan dan kewajiban lain yang menunggu di rumah. Ohya, ada urusan administrasi kampus yang juga sempat tak selesaikan, eh mulai dink, dengan pertemuan ini.  Komplit lah pokoknya. Cant wait for another next!


satu to do list tahun ini adalah quit breastfeeding alias menyapih Rauhia. Ketika menulisnya di daftar resolusi, ada bayangan mengerikan yang mampir di kepala. Rasanya indescribable. Tergambar bagaimana susahnya menghentikan kebiasaan yang kurang lebih dua tahun belakangan dijalani. Terlebih as she grows up, aku menyadari bahwa menyusu dan menyusui bukan soal skin to skin semata, tapi heart to heart bahkan blood to blood. Lain dari itu, menyusu adalah solusi satu untuk semua bagi Rauhia. Kurang enak badan, marah, ngantuk, sebel, negosiasi mentok, semua terpecahkan dengan menyusu. Bagi aku ibunya, menyusui juga adalah semacam treatment khusus di kala lelah, bosan, stress, desparate atau ngantuk. 

Entah kesepakatan apa yang terjadi antara teks agama dan penelitian medis, yang jelas keduanya sama-sama menyebut angka dua tahun sebagai durasi sempurna untuk menyusui. Suami pernah berkomentar bahwa durasi tersebut adalah ambang minimal, sehingga kalau punjul, tak jadi masalah. Merasa menemukan pembenaran, akupun memercayai dan berniat menerapkannya. Terlebih, aku sering merasa belum pernah benar-benar bisa menyempurnakan dua tahun itu, utamanya dalam hal kuantitas. Hari-hari pertama Rauhia lahir ke dunia, saat aku tugas negara ke Palu kemudian Surabaya, serta nyaris SETIAP HARI KERJA di siang hari sejak ia belum genap berumur setahun, aku cuti sementara dari tugas biologis itu. Jadi bayanganku, kalau ditotal, jumlahnya tak akan sama dengan mereka yang full, apalagi direct breastfeeding selama hawlayni kamilayni.  

Karena pertimbangan itu jugalah, aku ngotot tak mau menyapihnya sebelum ia berumur dua tahun meski ada dua moment yang sebenarnya pas untuk mengeksekusi rencana itu. Alasan yang diberikan memang terdengar masuk akal, semacam biar tidak repot nyapih lagi nanti dan sejenisnya. Tapi aku keukeh emoh. Dengan segala kekurangan, aku ingin menyempurnakannya. Terlebih, balada menyusui adalah episode lain dari kisahku dan Rauhia yang barangkali tak bisa benar-benar utuh tergambarkan dengan kata-kata. Meski seiring waktu, ingatan tentangnya akan pudar ketindih memori-memori lain yang datang belakangan, pengalaman menyusui pertama kali adalah anugerah yang sangat kusyukuri. Tentu ekspresi ini tidak otomatis underestimate pada ibu-ibu yang (memilih untuk) tidak menyusui karena satu dan lain hal. 

Ketika sempat menghadiri Posyandu karena kebetulan jadwalnya Sabtu, aku sempat menuturkan perihal rencana penyapihan ini pada bidan yang membantu persalinanku. Seperti sudah mengerti gelagat dan prinsipku, dengan senyum khasnya ia berkomentar pendek bahwa setelah usia anak 2 tahun, kandungan gizi dalam ASI sudah berkurang sehingga, implied meaning-nya, penyapihan benar-benar patut diagendakan. Aku mengangguk mantap nan bahagia karena jawabannya melegakan, tidak menggurui apalagi judging. Aku juga totally agree dengan insight seorang teman, lebih tepatnya adik dari temanku, yang melihat penyapihan tak lain sebagai bentuk moving on atau transisi dari satu babak ke babak selanjutnya. Informasi semacam inilah yang membuatku lebih legowo menapaki tahapan-tahapan penyapihan Rauhia, instead of yang doktrinal-doktrinal apalagi langsung menghakimi dan memojokkan.

So that’s yah, aku berbulat hati untuk menyapih Rauhia meski aku bukannya nyandak untuk membayangkan bagaimana caranya menidurkan dia, bagaimana jika ia bangun tengah malam dan masih ngantuk tapi tidak bisa tidur lagi tanpa menyentuh kulitku (as it is used to be), bagaimana jika ia sakit, marah, bosan atau suntuk dan sudah tidak ada jalan keluar, bagaimana aku bisa berekonsiliasi setelah sekian suspense di antara kami tak bisa dihindari, dan semuanya. Dibandingkan tahapan-tahapan lain dalam kehamilan hingga pengasuhan anak, di fase ini aku merasa paling malas dan emoh untuk mencari informasi daring soal, apa sih namanya, weaning with love. Mungkin terlalu mabuk informasi, jadi overload dan akhirnya malas. Meski begitu, aku masih bersemangat bertanya soal pengalaman ibu-ibu yang lebih senior dalam menyapih anaknya, termasuk yang extended breastfeeding. Semua menyiratkan bahwa drama penyapihan adalah hal yang pasti bisa dilewati, betapapun susah dan dramatisnya. 

***

Hampir semua ibu yang kutanyai menjawab bahwa langkah pertamanya adalah sounding. Ok, aku ikuti saja dan memulai langkah dari titik itu. Tapi, entah karena caraku yang kurang tepat atau gaya Rauhia yang tidak suka terlalu banyak verbal word—barangkali seperti romonya—langkah pertama ini terasa gagal dan mental terus. Setiap aku mendapat moment untuk berbicara dari hati ke hati dengannya lalu kumulai menyinggung soal penyapihan, di situlah Rauhia bereaksi cukup frontal, mulai dari gelengan kepala, delikan mata, teriakan pelan hingga keras mengatakan TIDAK sampai terburu-buru menghampiriku dan mencari sesuatu dari tubuhku yang barangkali ia takut kehilangan atau jauh darinya gara-gara sounding tadi. Tentu aku tak menyerah begitu saja. Aku terus mencoba membuatnya mengerti, tapi yang kurasa, semakin sering aku singgung masalah ini, semakin Rauhia reaktif dan salah satu wujudnya adalah menambah durasi dan frekuensi menyusu. 

Soal sounding ini biasanya merupakan jawaban dari ibu-ibu muda alias ibu-ibu milenial yang barangkali banyak baca teori parenting utamanya dari sosial media atau buku-buku terkait. Jika responden bergeser pada ibu-ibu tradisional atau paling tidak antara tradisional dan milenial, maka jawabannya akan beragam; mulai dari memberi aksesoris pada pa**dara untuk mematikan selera si bayi melalui indera pengecap dan atau penglihatnya, pisah ranjang dan sengaja diungsikan selama masa penyapihan hingga sowan orang pintar untuk meminta petunjuk dan apa yang oleh orang Madura disebut rat-sarat. Setelah berulang sounding tampak tak memberi hasil yang baik, aku mulai melirik pada gaya-gaya tradisional tersebut meski tentu saja ada pertimbangan lain yang mau tak mau aku pakai. Ini menjadi penting sebab sebagian caranya tergolong ekstrim, seperti melumuri ampas kopi, balsem atau jamu pahit. Jadi to sum up, my stance is, masio akhirnya manut, aku tetap harus kritis.

Sikap kritis demikian, sayangnya, bisa tampak sebagai sebuah ke-sok-tahu-an atau sikap ngeyel dari –mereka yang merasa—lebih tahu. Yah kalau semua omongan orang lain akan di-reken (asal jangan diaudit aja), tak akan ada bersambungnya itu sinetron-sinetron. Meski mengerti yang demikian, seringkali keadaan di lapangan memberi tantangan yang jauh dari perkiraan. Ini misalnya, kualami, very first time, dalam pemilihan waktu menyapih. Ulang tahun kedua Rauhia kebetulan bertepatan dengan hari pertama puasa Ramadhan sehingga, selain karena malas dan merasa belum siap, aku putuskan untuk menundanya hingga setelah Ramadhan. Ini juga berbekal saran dan masukan dari beberapa anggota keluarga yang membayangkan bagaimana rempong-nya proses penyapihan di sela-sela rutinitas Ramadhan.

Konfliknya di mana? Di respon-respon terkejut ketika mengetahui bahwa Rauhia uda berumur dua tahun tapi belum disapih. Ini utamanya terjadi di acara kumpul-kumpul dan atau silaturrahim lebaran. Argumentasi yang digunakan untuk menguatkan keterkejutan tersebut biasanya adalah comparison sentences semisal, dulu anakku disapih pas umur sekian bulan, termasuk dengan anak yang lebih muda dari Rauhia tapi sudah disapih. Jika sudah begini, masio tak balas senyum atau cengengesan, dalam hati aku senyatanya berdoa “Ya Allah, jauhkanlah aku dari komentar berlebihan terhadap kehidupan orang lain yang berpotensi—atau sudah pasti—bikin mangkel yang bersangkutan.
Selain soal timing, aku juga memangkas alternatif perihal sowan pada orang pintar untuk meminta doa atau wasilah lain demi memperlancar proses penyapihan Rauhia melalui jalan supranatural. Pilihan ini berawal dari saran umik yang tidak merekomendasikan ini karena menurutnya, kuatir akan membuat si anak pelupa. Aslinya ya aku malas ngurus yang beginian dan tambah dapat dukungan dari umik, jadilah seperti itu pilihannya. Jadi, seperti yang sudah-sudah, kalau ada orang memberi saran soal ini, biasanya aku mesemi, iyakan (semacam ucapan terimakasih telah memberi saran tapi tidak berjanji akan melaksanakan sarannya) atau reaksi hambar lainnya. Kadang memang jadi susah ketika banyak saran dari sana-sini, yang satu sama lain berbeda, lalu pemberi saran justru akan tersinggung ketika tau sarannya tidak dilaksanakan atau kalah saing dibanding saran lain.
Kata kunci lain yang aku garisbawahi dari beberapa teman yang lebih berpengalaman soal penyapihan ini adalah soal TEGA. Kalimat semacam harus tega, wajib tega, dan sejenisnya banyak aku dapatkan ketika mengobrolkan ini dengan teman-teman yang lebih berpengalaman. Semacam bersakit-sakit dahulu, for goodness of all. Aku jadi berpikir banyak dari kalimat itu, semacam mengingat-ngingat, bagaimana bisa aku dibilang tidak tegaan, sementara setiap hari kerja, aku meninggalkannya dan baru pulang ketika sore atau malam hari saat tenaga dan pikiranku sudah lelah? Aku juga pernah beberapa kali meninggalkannya dengan alasan tugas Negara. Pun juga beberapa jam lembur dan jam weekend yang harus aku alokasikan ke agenda lain karena satu dan lain hal tanpa bisa membawanya ikut serta. Padahal, aku bukan tak tahu bahwa so far, yang paling dia butuhkan adalah aku ibunya. Dari situ, aku meyakinkan diriku bahwa soal penundaan waktu penyapihan Rauhia bukanlah soal tega atau tak tega. Aku hanya terlalu malas dan barangkali khawatir kehilangan privilege menyusui yang luar biasa aku syukuri.  

***
Keberanian dan tekad menyapih Rauhia perlahan membulat setelah aku memijatkannya ke dukun yang dari awal mengawal proses kehamilan dan prosesi-prosesi selanjutnya. FYI aku biasa memijat Rauhia ke dukun yang rumahnya juga bisa dengan mudah kujangkau itu jika rewelnya sudah di luar batas kewajaran, apalagi belakangan aktivitas fisiknya waw sekali. Salah satu saran yang diberikan mbah dukun adalah memulai proses penyapihan di hari kelahiran. Itu yang dikatakannya di sebuah Sabtu sore sebelum aku pamit pulang menggendong Rauhia yang masih terisak setelah sesi pijat bayi tradisional. Esok harinya adalah hari kelahiran Rauhia dan sejak malamnya, Sabtu malam kalau kata jomblo, aku membawa Rauhia tidur di tempat yang agak leluasa terakses angin dan mengkondisikan segala halnya agar ia bisa tidur tanpa harus menyusu. Langkah pertama berhasil dan terasa mudah. Aku berniat mengurangi jatah menyusunya terlebih dahulu pelan-pelan, utamanya di momen-momen krusial, untuk menghindarkannya dari too much shocked ketika harus benar-benar lepas nanti. Ketika tengah malam ia terbangun dan seperti biasa mencari kulitku, aku tetap memberikan apa yang dia mau.  

Esok harinya, barulah aku ke tahap selanjutnya; menggunakan aksesoris agar indera penglihatan Rauhia mengirim pesan ke otaknya untuk tidak menyusu. Celakanya, untuk menjalankan misi ini, aku harus berbohong padanya untuk meyakinkan bahwa perubahan di area yang dikenalnya bukanlah tanpa alasan, meski dengan alasan yang ngawur serta nglembo sekali. Rauhia percaya; barangkali karena anak kecil belum nyandak pikirannya untuk berbohong, sehingga apapun yang didengarnya, ia anggap benar adanya. Aku sedih bukan main, tapi aku melanjutkan misi tersebut right away. Awalnya, Rauhia tidak meminta menyusu secara verbal dan semua undercontrol. Namun, pertahanannya perlahan runtuh saat jam tidur siang. Aku yang memang sudah ngantuk luar biasa dan tak ingin melewatkan jam tidur siang di akhir pekan akhirnya menyerah saja. Aku ingat sekali ketika itu suami juga ngompakin biar aku bisa tidur siang untuk bekal begadang nanti malam.

Sore dan malam berlalu tanpa rengekan atau kode lain untuk menyusu. Aku yakin itu bukan karena ia tak ingin, tapi karena ia terlalu percaya dengan kebohongan yang aku ucapkan. Ketika tiba waktunya tidur malam, ia mulai gelisah dan seperti mengiba untuk menyusu. Suami yang melihatnya tidak tega dan menyuruhku menyusui saja. Akan tetapi, karena di tahap itu ayah dan ibu mertua sudah mengetahui bahwa cucu pertamanya sedang dalam proses penyapihan, otomatis inisiatif tersebut ditolak mentah2. Jadilah, bergiliran, kami menggendongnya dan membawa dia ke tempat yang sejuk terakses angin untuk agar kantuknya semakin besar dan ia tertidur serta melupakan keinginannya untuk menyusu. 

Sebelumnya, kami juga memastikan perut Rauhia cukup terisi sehingga ini juga akan membantu kantuknya semakin menjadi dan mempercepat proses ia terlelap, seperti kaidah agar sarapan pagi dengan buah bukan dengan karbo agar waktu produktif pagi bisa maksimal. Sekian menit dibawa angin-anginan di luar, Rauhia sudah tidur di gendongan namun ketika badan mungilnya dipindah ke tempat tidur, seringkali ia terbangun, menangis lagi dan harus digendong kembali. Jika beruntung, Rauhia tidak akan terbangun dan para pasukan bisa beristirahat untuk saving energy sesi berikutnya sebab tak lama, Rauhia biasanya akan bangun dan menangis setengah menjerit sebelum digendong dan dibawa berayun-ayun di area berangin. Begitu seterusnya alur malam itu. Seingatku, malam pertama penyapihan penuh itu, Rauhia bangun pertama kali lewat pukul 12 dan rentetan bangun-digendong-tidur-bangun itu terus berlanjut hingga shubuh. Aku pusing bukan main, masuk angin meski tak keluyuran malam dan esoknya, aku harus jaga ujian 3 kelas.

Hari itu juga adalah hari ulangtahunku; alasan lain mengapa aku ngepasin penyapihan Rauhia dengan hari itu, biar gampang mengingatnya someday. Di kampus aku ikut apel—malah jadi petugasnya—dan njaga ujian seperti terjadwal jauh-jauh hari. Siangnya makan di Awa-Kowa bareng Bu Septi  lalu sorenya, aku mampir ke klinik ibu bidan untuk konsultasi dan dapat amunisi penyapihan. Seperti biasa, di klinik antri sekali sehingga aku harus nunggu agak lama dan otomatis pulang telat. Untungnya sikap dan sambutan bidannya sangat mengenakkan, ramah dan profesional. Diberi gratisan lagi, meski aku minta sedikit aja karena mesti nanti malas minumnya. Sempet juga diperingati agar tidak menyedot ASI karena produksi akan kembali terjadi dan sakitnya akan kembali. Tadi pagi sudah semangat bawa pumper ke kampus dan sempat pumping juga ketika nyeri datang, jebule cocokologi ini keliru.

Aku pulang ke rumah dan Rauhia menyambutku, hangat seperti biasa lalu menghambur ke arahku meski aku belum berinisiatif memeluknya. Moment pertama aku pulang kerja setelah penyapihan, otomatis dia merengek minta menyusu tapi aku alihkan pada yang lain. Masih dengan kebohongan yang sama, sehingga ketika Rauhia mekso ingin melihat bukti dari apa yang aku katakan, dia melihatnya dan berangsur percaya. Agar tidak semua menggunakan cara tipu-tipu, aku mengajaknya bersenandung lagu yang baru dia kenal dengan sedikit modifikasi,

Mie, mie, mie, Rauhia berhentik mimik
Sar, sar, sar, Rauhia sudah besar,
Bubuuuu.. nyenyak,
Bubuuu…nyenyak,
Tak goyang –goyang ser.


Meski awalnya terlihat ingin complain karena ada perubahan lirik dengan yang ia ketahui sebelumnya, akhire Rauhia mau juga mengikuti polaku. Keceriannya kembali dan aku gemas bukan main ketika Rauhia yang cadel tidak bisa mengatakan ser dengan pelafalan seperti biasa. Jadilah lagu itu semacam mantra untuk mengalihkan perhatiannya dari kerinduan akan ASI, moment ketika kami berdua seperti tak ada jarak dan barangkali  juga aroma-aroma khas dari tubuh kami yang saling tercium. Aku bahagia menemukan solusi ini, tapi jatuhnya tetap kasihan dan seperti tak tega. Why shouldn't I avoid giving her the thing I have?
***
Malam kedua penyapihan, pola-pola Rauhia mulai terbaca dan terpetakan. Ia ingin segera dievakuasi—baca: digendong—ketika bangun, ia tidak ingin berada di tempat panas, dan sesekali saat bangun, ia ingin minum air putih atau menyambangi kulkas sekadar mencari apa yang bisa diambil dan dinikmati dari situ. Kebiasaan minum air tengah malam sudah tampak sejak sebelum masa penyapihan, sementara alternatif untuk memberinya susu formula, susu kemasan yang siap minum dan sebagainya otomatis tereliminir melihat responnya yang emoh. Sesekali ia tampak sangat menikmati dan terbuai lalu mengantuk dengan lantunan lagu, salawat atau bacaan lain. Meski begitu, ketika tengah malam ia terbangun, yang dicarinya tetaplah mama, bukan air apalagi susu kemasan. Kembali, kami bergantian menggendong dan menidurkannya, seringkali mengipasnya manual. Aku seringkali mengambil porsi istirahat cukup besar karena esoknya  harus tetap kerja, tapi tetap saja kepikiran dan tidurpun tak lelap seperti biasa.
Sementara menahan nyeri fisik karena menghentikan kebiasaan menyusui, perang batinku tak kalah menyakitkan. Rasanya powerless sekali melihat dan mendengar Rauhia menjerit2 menginginkan sesuatu yang aku miliki tapi sudah tak bisa aku berikan. Seringkali aku juga berpikir perihal extended breastfeeding tapi kurasa kurang kondusif untuk menerapkannya di tengah gempuran mitos-mitos tradisional yang sangat membatasi pilihan. Mitos yang sudah kutanyakan benar tidaknya pada bidanku itu—yang ternyata tidak benar menurut beliau, celakanya, dipercaya oleh nyaris semua orang di sekitarku. Barangkali pembuktiannya melalui satu dua kasus, tapi validitasnya seperti mau ngalah-ngalahin kitab suci. In short word, mitos-mitos yang beredar adalah soal ‘basi’nya ASI setelah sejenak berhenti menyusui dan dipercaya dapat memberi efek buruk pada fisik, psikis maupun intelektual bayi. In my humble opinion, itu tidaklah demikian sebab tubuh punya sistem otomasi sendiri. Bisa detoks dengan sendirinya dan lain sebagainya.  
Jadi, ketika di suatu sore, beberapa hari kemudian, Rauhia sudah could not stand anymore untuk tidak menyusu, aku nekat menyusuinya. Sebentar dan tak niatkan sebagai the very last session of breastmilk she gets. Aku juga mengutarakan padanya secara verbal bahwa setelah itu, Rauhia sudah tidak boleh menyusu, karena Rauhia sudah besar. Implied meaning-nya adalah bahwa sandiwara yang kemarin aku bilang itu bohong. Saat suatu ketika Rauhia mengingat kebohongan itu lalu mengatakan alasan mengapa ia tidak boleh lagi menyusui, aku buru-buru mengatakan bahwa sebabnya tidak demikian, tapi karena Rauhia sudah besar and now is the time. Sayangnya, masio sudah aku katakan demikian, Rauhia tampak lebih percaya pada yang kuutarakan pertama. Mungkin karena sounding-nya lebih sering dan intens, mungkin juga karena dia bingung mengapa informasi yang diberikan ibunya berbeda antara satu dan yang lain. My very deep apologize, Nak. 
Malam-malam selanjutnya, keadaan semakin membaik. Tetangga yang mendengar tangis Rauhia sangat intens pada malam pertama, malam menjelang 17 Juni, berkomentar bahwa pada malam-malam setelahnya, tangis Rauhia sudah tidak intens lagi. Keadaan di dalam rumah sebenarnya tak banyak berubah. Kami berempat tetap bergantian menggendong, menidurkan dan mengipasinya. Suatu malam, Rauhia bahkan pernah kembali rewel bukan main sehingga ia harus tidur di gendongan ayah mertua hingga pagi. Aku yang harus berangkat bekerja meninggalkannya dalam keadaan terlelap di gendongan setelah semalam luar biasa menahan kantuk dan lelah setelah seharian beraktivitas di kantor; dikejar deadline, urusan berburu tanda tangan dan hal-hal administratif lain.

Kami juga diuntungkan dengan keadaan karena tak lama setelah proses penyapihan dimulai, suhu malam beranjak semakin dingin dan itu artinya, kami terbantu oleh cuaca yang sangat disukai Rauhia. Rauhia tak perlu lagi diungsikan untuk tidur dan cukup dengan membuka jendela kamar, ia bisa lebih mudah dikondisikan untuk terlelap. Sebelumnya, ketika udara masih normal—sowap, kata orang Madura—kami biasa menggelar alas di ruang tamu, membuka jendela dan pintu lalu menidurkan Rauhia di situ. Itu masih ditambah tugas mengipasi dan memastikan tidak ada nyamuk yang bisa mendekat, sementara tugas menemaninya tidur di spot itu adalah wilayahku. Aku ingat suatu malam, tidur Rauhia—yang proses mencapainya begitu dramatik—pernah terganggu karena gigitan nyamuk dan hal tersebut begitu merusak mood-nya sehingga ia rewel sepanjang malam. Kesimpulannya, tempat tersebut bagus untuk karena memberi akses angin dan udara dingin, tapi akses nyamuk juga tak kalah luas.   

Selain momentum ketika akan tidur malam, nyaris tidak ada halangan berarti dalam proses penyapihan Rauhia. Jika any random time dia tiba-tiba menunjukkan gelagat ingin menyusu, aku sudah punya sekian cara dan instrument untuk mengalihkan pikirannya. Yang bikin heran adalah saat aku mendengar beberapa orang dewasa tampak seperti mengolok-olok—mungkin niatnya mengguyoni—Rauhia karena dia sudah tidak lagi bisa menyusu, padahal itu masih dalam proses penyapihan. Dikiranya sounding kaya gitu bisa memudahkan proses penyapihan kali ya? Aku masih mencerna kebiasaan yang seolah menjadi atribut keakraban itu dan meski saat ini belum menemukan jawaban yang tepat serta wajar, aku mentok di keinginan kuat tidak melakukan hal yang sama pada anak lain; barangkali itulah cara terbaik menyikapi hal tak disukai yang kita terima. Ada juga keheranan lain mendengar cerita-cerita penyapihan yang tampak simple dan sederhana banget, semacam anakku kemarin disowankan ke orang pintar abis itu dia lupa. Uda gitu aja. Rasanya koq makjleb kalau ingat proses Rauhia berhari-hari bahkan nyaris satu-dua pekan, seperti mendengar cerita orang yang lahiran setelah ngeden satu hingga tiga kali, sedang diri ini ngeden 5jam-an.  
***
As the time goes on, and as it heals almost everything, Rauhia tampak mulai bisa berdamai dengan kenyataan, meski perubahan kecil-besar mau tak mau terjadi. Jika sebelumnya ia cukup jarang dengan romo-nya, setelah penyapihan mereka berdua makin lengket. Ada beberapa momen, even, ketika Rauhia prefers her dad instead of her mum. Ke mana-mana selalu ingin ngikutin romo-nya, termasuk ketika si  romo kumpul dengan teman-temannya dan banyak asap rokok di situ. Barangkali karena romo-nya yang paling sering menggendong lalu menidurkan dia ketika malam saat mamanya sudah teler duluan kecapaian. Dia bahkan mulai dekat dengan Firman, ipar sepupu, yang memang intens berkomunikasi dengan si romo seharian saking tak terpisahkannya Rauhia dengan duplikatnya itu.
Rauhia juga dikabarkan cukup susah tidur siang dan rekor tidur siangnya tidak lebih dari satu atau dua kali. Entah ada hubungan atau tidak dengan penyapihan, tapi aku merasa kalau siangnya ia tak tidur, malamnya dia lekas cepat dan mudah ngantuk. Rauhia juga kurusan, barangkali faktor kehilangan sumber nutrisi favoritnya, sementara intensitas dan selera makannya tidak banyak berubah. Rauhia juga memiliki kesibukan baru, yakni ngopeni beberapa bonekanya yang seolah-olah dia anggap hidup dan butuh treatment layaknya bayi biasa. Salah satu treatment-nya adalah menyusui seolah-olah dia adalah ibu dari boneka-boneka yang dia panggil adik. Kadangkala, Rauhia juga menyuruhku menyusui boneka-bonekanya jika dia tidak tengah mengingat kebohongan yang kuutarakan dulu. Aku tentu sangat terhibur melihatnya growing up that healthy and improving. Sesekali, saat dia memintaku terlibat, aku pura-pura menyusui itu boneka-boneka dengan mengatakan, ‘sekarang waktunya adik yang mimik mama. Rauhia ga boleh mimik lagi.’
Sekali waktu, Rauhia masih belum move on sepenuhnya dari kebiasaan skin to skin denganku. Dia seringkali ndesel-ndesel seperti memintaku membolehkannya melakukan aktivitas sampingan yang dulu biasa ia lakukan saat menyusu. Aku tak memermasalahkan yang demikian dan menyilakannya melakukan itu, meski dengan pengawasan penuh. Lain dari itu, Rauhia tampak mulai mengerti kalau di situ bukan lagi wilayahnya dan masih banyak hal lain yang bisa ia lakukan, seperti menari dan menyanyi Baby Shark, mendekati kulkas atau memintaku memeluk lalu membelai rambut hitam lebatnya. Belakangan dia juga mulai biasa mencium dan memelukku atas inisiatifnya sendiri dan tak lagi hanya menjadi objek yang aku ciumi dan peluk bertubi-tubi saat aku gemas, lelah atau lagi sebel padanya. Proses menuju tidur malam juga sudah tidak sedrama dulu dan meski sudah tidak menyusu dan menyusui, kami berdua tetap rutin skin to skin contact untuk memancing kantuk masing-masing dan segera tertidur pulas, seperti bersiap untuk esok yang lebih indah. 
P.S; Kini Rauhia sudah disapih dan aku tak lagi terlalu terikat secara biologis dengannya. Sebelum ini, dua tahunan yang lalu, tali pusar yang menghubungkan tubuhnya dengan plasenta dan rahimku juga sudah terpotong dan memberinya jalan hidup sendiri. Jantungnya tak lagi berdetak di dalam perutku dan darahnya tak lagi mengalir di antara nadiku. Meski begitu, so far Rauhia tetap menunjukkan bahwa akulah yang paling istimewa di hatinya. Akulah orang nomor 1 baginya dengan segala kekurangan dan ketidakmampuanku selalu berada di dekat dia. Akulah orang yang paling ia tunggu untuk pulang lalu mengiyakan ajakannya melakukan any childlike matters. Dan tentunya, putriku, meski ASI tak lagi menjadi asupan utamamu, cintaku tetap tak berbatas dan tersyarat padamu. We would never been apart. I love you even more to the moon and back.



MARI themes

Diberdayakan oleh Blogger.