Prophetic Talk amongst the Smoke
Ketika
tulisan mentog dan seoloah-olah yang
berhasil tak tulis selalu ingin langsung tak buang/robek/delete, di situlah waktu yang tepat untuk bertemu dan berdiskusi
dengan orang lain. Itulah yang utamanya kupahami dari tipikal
belajar/nulis/bacaku yang tidak bisa berkompromi dengan kebisingan,
perbincangan, alunan musik non-instrument atau selingan lain. Setelah
jumpalitan bikin abstrak selama kurang lebih 2 pekan dan merasa belum banyak
perkembangan berarti, pagi itu aku memutuskan untuk menghubungi salah seorang
dosen senior di kampus. FYI aku sudah lama impressed
sama dosen satu ini. Penampilannya casual, ramah dan belakangan yang kutau, surprisingly, dia SMART! Jadilah aku menghubungi ybs melalui pesan
singkat untuk janji bertemu. Sambutannya hangat dan ia menyanggupi appointment sore sebab siangnya masih
ada acara. Couldn’t be more grateful for
that.
Siang menjelang sore, aku kembali menghubunginya dan beberapa menit kemudian, ia memberitahu bahwa dia available saat itu. Aku bergegas menuju rendezvous dan mendapati pintu ruangan tertutup rapat. Aku mengetuk lalu membukanya. Pemandangan pertama yang mampir di mataku adalah tempelan kertas berisi imbauan untuk tidak merokok di ruang berAC dan dia yang tengah duduk di situ, literally doing what the paper says it forbidden. Aku tentu tersenyum mafhum dengan adegan itu considering bahwa ayah dan suamiku sama-sama perokok. Jendela di sisi timur terbuka dan barangkali itulah corong utama sirkulasi asap rokok. Aku lalu duduk tepat di hadapannya. Di depan kami ada meja lonjong lumayan lebar yang tampak belum terlalu lama.
Momen itu adalah kunjungan pertamaku ke ruang tersebut. Sebelum memulai perbincangan serius, aku banyak melempar basa-basi dan sibuk mengamati sekeliling ruangan. Beberapa lemari, pigora sampul beberapa edisi jurnal, meja kerja, TV besar di dinding dan alat-alat kantor standard lain ada di situ. Seperti pada banyak pertemuan, aku selalu merasa kaku untuk memulai obrolan. Biasanya, ini juga menyesuaikan dengan lawan bicara. Untungnya, meski sesekali sibuk dengan hape, air muka bapak di depanku sangat membuatku nyaman. Aku sedikit bertanya soal latar belakang pendidikan dan kariernya, dan aku can’t be more amazed than that. Dia tak hanya terlihat intellectually rich, tapi juga socially friendly. Aku lalu menuturkan masalah yang menderaku dua pekan belakangan. Proses pembuatan abstrak dan proposal penelitian yang memakan banyak waktu, tenaga juga perasaan tapi akhirnya selalu melemparkanku pada pikiran-pikiran bahwa what I did so far is almost meaningless. Flat, literally descriptive instead of analytic, could not relate it to wider context, improper dan jauh dari worth serta hal-hal semacamnya.
Seperti yang sudah kuduga, he did not straightly focus on my exact problem. Instead, dia menanyai latar belakang pendidikan dan asalku. Secara formal aku belajar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (nomenklaturnya dulu Tafsir dan Hadist) dan aku genuine dari Madura. He said it is a perfect combination relating to the subject research I would like to discuss. Dia sempat menyinggung bahwa considering on my own major, I am supposed to master so called Balaghah Al-Qur’an ranging from badi’, ma’ani and bayan. Believe me saat diomongin itu aku hanya tersenyum kecut dan eyes rolling mengingat pelajaran di Aliyah yang tak selesai aku khatamkan masio jebule aku dapat nilai bagus. Di awal tadi, meski tak yakin dia mendengar dengan baik dan detail, aku sedikit menyinggung keperluan di balik penulisan tadi. I know this may not matter for him, but for me it does. Dia lalu menyela bahwa kanal yang bisa kumasuki untuk (rancangan) penelitianku, salah satunya adalah linguistik, particularly about deliverability of a work for its reader. Realizing bahwa bidang ilmuku bukan di situ, ia lalu mengatakan bahwa aku perlu sedikit keluar dari zona nyamanku dengan memelajari bidang lain, semisal linguistic. Yah, that’s exactly true karena studi Islam, kata Pak Amin, seharusnya memang integrative interkonektif. Allahumma thawwil um’ra asatidzi.
Dari situ ia kemudian menyinggung soal paradigm, kerangka kerja, serta style sebuah karya, dan dalam konteks yang kami diskusikan, terjemahan. Agar perbincangan tidak meleber ke mana-mana, tadi di awal aku juga sempat kemukakan bahwa aku memiliki 3 sumber data primer karya yang terbitnya in sequence, hanya saja ketika harus membandingkan ketiganya, aku bingung harus mengambil standpoint dari mana. Iapun langsung menyasar sample dengan mengatakan bahwa karya versi kedua (dan mungkin yang pertama) baginya harfiyah, sedangkan yang terakhir, dynamic (padahal aku berharap dia akan mengatakan tafsiriyah). Ini dari segi style, satu titik fokus yang belakangan banyak menyita pikiranku. Akupun kembali menggiring pada konteks dengan mengatakan bahwa asumsi demikian bisa jadi tidak berlaku seluruhnya, sebab aku menemukan anomali darinya. Ada satu terjemahan yang justru menunjukkan sebaliknya ketika sebuah ayat diterjemahkan dengan tafsir dari sebuah kitab tafsir populer. Aku kemudian juga mengaitkannya dengan latar belakang tim penerjemah yang cukup berbeda antara versi pertama vs kedua dan ketiga.
Ia kemudian membalas bahwa tim di versi pertama didominasi oleh etnis peranakan yang lahir dan besar di luar Madura namun tetap membawa darah Madura di tubuhnya. It makes sense, therefore, ketika bahasa yang digunakan dan dipilih tidak lagi pure dan Madurese. Tak hanya soal latar belakang, perbedaan yang demikian juga sangat erat kaitannya dengan teknik dan taktis proses. Terjemhan versi pertama menerjemahkan dari karya terjemahan lain, yakni terjemahan Al-Qur’an Bahasa Indonesia, bukan dari wujud pertama Al-Qur’an dalam Bahasa Arab. Aku lalu mengulik informasi soal dua terjemahan kedua which is dia terlibat di situ. Ia spontan menjawab, namun sampai di kalimat pertama yang belum selesai dan menemukan titik, seperti ciri khas freeman kebanyakan, ia merujuk responden lain untuk aku mendapatkan informasi terkait. Komentarnya, “saya sudah berkali-kali ngomong soal ini dalam beberapa sesi wawancara”. Alih-alih membuatku kapok, aku jadi semakin tertarik untuk melanjutkan obrolan sambil dalam hati mbatin, besok aku cari bukunya di Perpustakaan. Aku sudah dapat kata kuncinya kemarin, cuma belum tak eksekusi.
Dan justru, dari obrolan inilah dia mulai menceritakn kegelisahan—bahasa lainnya kemangkelan—karena misi Madurologi-nya tidak banyak dipahami. “Saya ini nabi yang tak dipahami,” ucapnya dengan jumawa tapi mempesona, simply because he deserves for that dan gada kesan arogan sama sekali. Aku kemudian memberi ruang seluas-luasnya untuk mengijazahkan konsep Madurologi versi dia yang menurutnya tak terpahami, atau belakangan semakin tak terpahami. Diskusi soal ini tampak lebih menarik baginya dibandingkan tema yang aku bawa sejak datang. Jika sebelum sampai di tema ini ia sangat sering membaca layar hapenya, perbincangan ini mengubah suasana obrolan sepenuhnya. Ia tampak sangat bersemangat. Sebelum memulai penjelasan, ia mengatakan, “jangan-jangan Kamu juga tidak paham Madurologi.” Aku tersenyum lebar dan bersiap menulis sabda-sabda yang akan disampaikannya. Kurang lebih begini intinya; Logos itu khan ilmu, jadi ya kurang lebih ilmu tentang Madura, atau dalam cakupan teknisnya, penelitian tentang Madura. Madurologi itu dalam proyeksinya, tidak ingin sama dengan Javanologi dan sejenisnya yang berusaha melihat fenomena local dengan kacamatanya bule atau outsider. Madurologi ini berupaya melihat Madura dari kacamata insider. Ga haruslah selalu pakai teori-teori yang modernized westernized. Pendekatannya cukup dengan etno-metodologi, etnografi dan fenomenologi. SELESAI! (Masio membenarkan, aku mbatin dalam hati bahwa terkadang, tidak semua dosen pengampu, dosen pembimbing, ketua atau sekretaris jurusan, atau bahkan promoter dan co-promotor, mau dengan penelitian yang se-pure itu.)
Nah, bagian ini sebenarnya tak banyak kufahami. Bapak di depanku tiba-tiba menyinggung soal diksi eksotis. Menurutnya, diksi ini biasanya digunakan untuk menunjukkan superiorita seseorang atas lawan bicaranya. Karena tak faham itulah, aku menyela, “itu bukan soal rasial ya, Pak? Setau saya orang suka bilang eksotis sebagai bahasa halus dari dark skin”. Ia tak menyalahkan, namun tak juga memberi jawaban persis di titik kebingunganku. Alih-alih, dia melanjutkan cerita bahwa di Chicago, ada orang-orang kulit merah yang tetap memertahankan kebudayaan dan cara hidup tradisionalnya di tengah gempuran modernism. Jadi desa/lokasi ini malah menjadi cagar budaya dan tujuan wisata sekaligus simbol superioritas masyarakat setempat. “Malah bagus”, pungkasnya.
Aku kemudian kembali pada pembahasan soal teori-teori dari luar yang kerap dipakai dalam penelitian lokal. Ia menegaskan bahwa ulasannya tadi tak berarti bahwa dia alergi. Pakai, tapi jangan lupa kritisi. Aku balik bertanya soal teori yang dihasilkan ilmuwan luar namun berasal dari penelitiannya di Indonesia. Kusebutlah itu Geertz. Eh malah dia bilang nyaris sama dengan yang selama ini tak pikirin. Begini kira-kira redaksinya, “Geertz itu tidak bisa membedakan mana kelas sosial dan level agama. Priyayi itu kelas sosial. Abangan dan santri itu agama. Ada priyayi yang santri, ada priyai yang abangan. Kaya gitu kq ya dijadikan satu kategori.”Well, sampai di situ aku harus—untuk kesekian kalinya—mengakui bahwa bapak di depanku tidak hanya pintar, tapi juga lugas menyampaikan argument. Dia percaya diri dan tampak sangat yakin dengan apa yang dikatakannya. Sebenere itu sudah cukup jadi modal untuk ngomong di depan orang lain apapun isi omongannya.
Dari situ, aku kemudian menyinggung sebuah keunikan dalam Bahasa Madura yang, menurut dia, di obrolan selanjutnya, tidak unik-unik amat sebab bahasa lain juga memiliki yang serupa. Ini adalah soal speech level atau ondhakan bhasa yang kurang lebih memiliki tiga clusters; enjha’ iyya, enggi enten dan enggi bunten. I have read literatures on this, both English and Indonesia, tapi jawabannya benar-benar genuine dan, once more, memukau. Terlepas dari percaya atau tidak, apa yang disampaikannya benar-benar baru buatku. Baginya speech level tak lebih dari politik bahasa dan atau simbol dari feodalisme. Duh, kq jauh banget? Gitu aku mikirnya. Dan beginilah penjelasan yang bersangkutan; Ondhak Bhasa itu baru ada sejak 1563 M (literally dia bilang gitu dan aku langsung catat di note) setelah penaklukan Kerajaan Mataram dengan rajanya Sultan Agung di Madura. Salah satu yang dibawanya adalah so called domesticated Madurese language, Bahasa Madura yang terjinakkan. Jadi, menurutya, dulu sebelum penaklukan itu, hanya ada satu level dalam Bahasa Madura, yakni di tingkatan enjha’ iyya. Ia menambahkan bahwa diksi-diksi di tingkatan ini almost totally different from those spoken in Java. Asumsi ini juga berdasarkan atas pengalamannya sendiri yang hijrah ke Madura dari Lamongan. Ia mengaku sama sekali tidak mengerti bahasa di level pertama ini. Akan tetapi untuk level 2 dan 3, ia menyatakan nyaris sepenuhnya sama dengan Bahasa Jawa, selain dalam persoalan dialek. Untuk menguatkan ini, ia mengemukakan contoh varian kata makan dalam Bahasa Madura. Ini baginya undeniable, sehingga Pak Mien A. Rifa’i mengamini gagasan tersebut dalam salah satu karyanya.
Yang kupahami, sedikit banyak dia ingin mengatakan bahwa dua level bahasa dalam Bahasa Madura, yang disebutnya sangat kental dengan nuansa Mataram, adalah bahasa yang sengaja dimasyarakatkan untuk semakin memperkuat feodalisme tadi. Ia kemudian mengulas soal keterbukaan masyarakat yang relatif lebih tinggi di kalangan pesisir atau area pantai dibandingkan di kalangan pegunungan (high land). Baginya, kepemilikan atas tanah juga berarti kepemilikan atas bahasa sebab bahasa halus sengaja dikonstruk untuk dijadikan alat komunikasi dengan pemilik tanah yang dari situ memuat nilai respect yang jauh berbeda dengan bahasa kasual enjha’ iyya. Dan percayalah sampai di titik ini, seperti biasa, aku melongo dalam hati sembari bergumam, mikirnya lho sampai sini. Masya Allah. Di awal sekali setelah kusinggung soal speech level ini, ia mengemukakan bahwa Bahasa Madura adalah rumpun Bahasa Melayu yang sebenarnya anti-feodal dan menjadi bahasa ibu utamanya di daerah maritim. Aku sempat bertanya perihal spelling Madurese yang proper, Snya satu atau 2, berhubung aku pernah menemukan dua ejaan tersebut. Ia membenarkan penulisan dua versi itu dan mengatakan kecenderungannya pada satu S.
Lalu entah dengan conjunction bagaimana, diskusi kami sampai pada soal Nietzche. Aku lebih banyak mendengarkan dan menikmati letupan emosi dari seorang pembaca (barangkali juga penerjemah Nietzche). Buku yang diceritakannya ketika itu adalah The Will to Power. Nietzche yang menurutnya adalah pembuka gerbong posmodernisme, di buku tersebut, masih menurutnya, begitu lihai menulis gagasan dengan concise dan very short sentence. Gagasannya genuine, flashing, imbuhnya berkal-kali. Sampai di situ aku tahu betapa ga gaulnya ketika ga baca buku. Mendengar narasi oratif itu, aku berasa berada di antara adegan-adegan bimbingan skripsi/tesis, menghadiri orasi ilmiah atau kuliah umum. Rasanya nyes di hati. Belum lagi abis itu, ia mengatakan bahwa narasi besar madzhab-madzhab dominan di dunia, sosialisme komuniasi, materialism idealism sudah selesai. Jika belakangan ada penemuan atau teori baru, itu semua hanya paraphrasing, articulating dan accentuating dari itu semua. Memang tak ada contoh konkrit yang disampaikan untuk memperkuat gagasan itu, tapi aku benar-benar terkesan dan sepertinya ke depan, setiap kali menemukan hal baru, aku akan sering bertanya, benarkah itu hanyalah paraprashing atau semacam sejarah mungkin terulang.
Lalu dua point terakhir yang tak kalah berkesan. Pertama, ia sendiri secara eksplisit melemparkan kalimat The Deadly Trap of Translator. Based on his own experience, dia merasakan betul bagaimana susahnya mengkotak-kotakkan otak ketika harus menjadi translator dan author. Di awal wawancara, atau katakanlah, obrolan tadi, aku sempat menanyakan how far he went on translation worlds. Jawabannya mencengangkan. Jam terbang bapak ini tidak hanya berlipat-lipat dibanding aku, tapi juga lebih jauh scope-nya, dari genre hingga bahasa tujuan. Makanya saat aku bilang, nerjemah atau ngedit karya orang bikin kita ga punya space untuk diri sendiri, dia malah membalasnya dengan ungkapan tadi. Bahasa Inggrisnya juga fluent dan aku suka banget ketika dia ngomong bahasa-bahasa umpatan semisal bullshit atau tong sampah. Yang dia alami malah lebih jauh dari sambatanku yang hanya itu-itu aja. Yah semacam kehilangan diri sendiri karena terlalu larut mendalami pemikiran seseorang dan berusaha memahamkan pembaca akan teks yang dialihbahasakan. Sampai di situ aku ternganga mendengar bagaimana ia seringkali memulai tulisan lalu di lembar kesekian, ia robek karena merasa bahwa yang menulis bukanlah dirinya, tapi tokoh yang ia pelajari. Tokoh yang karyanya ia terjemahkan. Well tentu saja meski belum sampai mencapai maqam itu, aku ngeri membayangkan keadaan yang demikian.
Si bapak juga menceritakan alasan dan latar belakang ia gandrung menerjemah, dan salah satnya sama denganku, meski sekali lagi levelnya jauh berbeda. Dari sini sebenarnya bisa dipahami kenapa dia tidak mengambil arus utama dengan banyak menulis dan mengakui tulisannya sebagai karya lalu membubuhkan namanya di situ. Hes too much idealist, like what he said his friends commented on him, barangkali benar adanya. Dan aku bertaruh, hanya sedikit orang yang mau menapaki jalan berbeda ini di tengah jebakan system yang mengharuskan semua dosen—yang menurutnya gaji dulu sampai sekarang tetap aja sedikit—memiliki ritme dan pola yang sama betapapun kecenderungan masing-masing berbeda. He quits his doctoral program dan mengatakan bahwa ia akan menempuh jalan lain untuk bermanfaat bagi sesame. Dan deg! Aku ingat dosen pembimbing skripsiku yang memilih jalan yang nyaris serupa. Allahumma, panjangkanlah usia guru-guruku. Dan well, di samping alasan-alasan yang bagiku masuk akal, dia menyelipkan guyonan bahwa ke-emoh-annya untuk menulis adalah karena alasan simplistis, bahwa Nabi tidak menulis dan yang menulis harusnya adalah sahabatnya. Sampai di sini telingaku memutar lagu mujhse dosti karongge.
Point terakhir adalah soal budaya. Menurutnya budaya adalah gagasan, nilai, ideologi, dan hal-hal di alam ide yang masih mentah alias abstrak sehingga membutuhkan ruang fisik untuk mewujud. Ketika beralih menjadi hal fisik inilah, budaya menjadi peradaban atau civilization. Dan belakangan, menurutnya, teknologi melalui technicalisme mengambil alih posisi budaya dalam pembentukan peradaban. It took over the pandita yang sarat makna, sehingga values beyond any civilization jadi terlupakan dan tak difahami. Contohnya adalah values beyond the diction kumpul kebo dan free sex. Yang pertama merujuk pada pandangan yang menyamakan perilaku seks di luar nikah dengan naluri hewani, sedang yang kedua tidak demikian. Bersamaan dengan itu, keahlian atau expertise jadi tergantikan juga fungsinya oleh political power.
Walaupun totally academic, ada beberapa perbincangan soal kehidupan pribadi yang mau tak mau masuk dalam sesi ini. Aku sempat bertanay soal MK yang diampu si bapak, anggota keluarganya, mobil butut yang lama tak dibawanya ke kampus, termasuk soal bagaimana ia memandang konsep privasi kaitannya dengan kebiasaan mengunggah foto anak di media sosial. Track record-nya di kampus maupun ketika kuliah juga menjadi bumbu dari obrolan kami dan aku berkali-kali berkata bahwa I will be back soon to talk to him. Hal-hal yang tidak ter-cover dalam tulisan ini, baik karena sengaja atau karena kelupaan, semoga tidak mengurangi niat tulus tulisan ini untuk mengabadikan perbincangan berharga dengan seorang master, sembari ngalap berkah, sembari mengimbangi kerja otak yang belakangan diperas cukup keras dengan olahraga jari.
P.S.
Percakapan dengan durasi tak lebih dari 1.5 jam itu dilengkapi dengan asap
mengepul putih dari dua batang rokok 234 yang dibilang sebagai the only one legacy dari para wali. Ada
juga sebuah telepon genggam berlayar lebar yang awalnya cukup menyita perhatian
si bapak tapi belakangan banyak ia cuekin. Sayang sekali jam 16.00 keburu
datang sehingga aku harus mengakhiri perbincangan mengingat barang yang masih
tak tinggal di perpustakaan dan kewajiban lain yang menunggu di rumah. Ohya, ada
urusan administrasi kampus yang juga sempat tak selesaikan, eh mulai dink,
dengan pertemuan ini. Komplit lah
pokoknya. Cant wait for another next!