Membawa Anak Saat Prajab ; Drama Berderai Air Mata yang Berakhir Bahagia
Meski dengan iming-iming 80 akan beranjak menjadi
100, kabar perihal semakin dekatnya jadwal Prajab (Latsar, istilah kekiniannya)
bagiku tetap terasa jauh lebih dahsyat dibanding petir di musim kemarau. Ketika
itu Rauhia belum genap satu tahun dan akupun belum genap dua bulan masuk kantor,
sekitar pertengahan April 2018. Aku dan keempat temanku akan menjalani masa
Latsar (sesi 1) selama 5 pekan dari akhir Apil 2018 hingga pertengahan
Ramadhan, awal Juni 2018. Lokasinya di BDK Surabaya dan ini artinya program ASI
2 tahunku terancam gagal bahkan belum di separuh perjalanan.
Salah
satu keterangan resmi dari panitia penyelenggara dengan eksplisit menyebutkan
larangan untuk membawa anak saat Latsar. Tentu saja nalar protesku main,
semacam menuduh aturan itu tidak ramah bagi ibu menyusui dan program ASI di
1000 hari pertama anak atau
yang semacanya. Meski begitu, aku tentu tidak hanya ngedumel dalam hati.
Aku hubungilah beberapa senior yang memiliki pengalaman membawa anak saat
Latsar. Di kampus aku ketemu Bu Lely, ibu tiga anak (ketika itu) yang sempat
membawa anak pertamanya saat Prajab. Selain itu ada juga Aida, temen
sejurusan dan seangkatanku di S-1 yang juga berpengalaman sama. Bedanya, Aida
ikut Prajab di BDK Semarang, sedang Bu Lely di BDK Surabaya.
Jadilah
aku lebih intens komunikasi dengan Bu Lely, selain karena Aida jauh di sana dan
Bu Lely deket di sini, sekampus denganku dan sangat friendly saat
pertama kali aku SKSD-in di media sosial. Aku ingat sekali di suatu sore,
sebelum jam kantor selesai, aku datang ke ruangan Bu Lely, ngobrol banyak dan
lama sampai nyelo giliran mahasisiwa yang sepertinya mau bimbingan
skripsi dan itupun masih bablas jam ceklok pulang. Kami keasyikan
ngobrol. Bu Lely yang ramah, detail dan tidak pelit info dengan aku yang sangat excited
mendengarkan ceritanya. Kemudian
seingatku, aku kembali janjian untuk bertemu Bu Lely, sekian hari menjelang
keberangkatanku untuk mengambil pinjaman cooling bag dan ice gel serta
memintanya memeragakan cara kerja bottle sterilzer milikku yang aku sendiri tak
tahu bagaimana cara mengoperasikannya (ampuni aku.)
Berbekal
saran dari Bu Lely dan obrolan dengan beberapa kakak tingkat, termasuk perihal
mereka yang juga menjalani Prajab di tengah-tengah masa menyusui tapi memilih
untuk LDR dengan anaknya, akupun menyiapkan diri dan segala keperluan
sebisa mungkin di tengah-tengah gejolak emosi yang sangat jauh dari stabil. Perihalnya
satu; aku harus mendapatkan rewang karena tak mungkin ‘bersekolah’ dan
dalam waktu yang sama mengurus Rauhia. D day keberangkatan semakin dekat
dan aku masih bingung mendapatkan rewang yang memenuhi sederet kriteria
untuk menjaga Rauhia sementara aku berkegiatan selama di BDK. Ketika itu aku
masih nge-blank di BDK mau ngapain aja. Yang ada di pikiranku hanyalah
bahwa aku tak ingin jauh dari Rauhia dan karenanya aku harus mencegah hal itu
terjadi.
Komunikasi
darat maupun udara aku gencarkan untuk mendapatkan rewang. Beberapa hari
pertama pencarian belum memberikan hasil. Aku sampai selalu berkaca-kaca setiap
menceritakan keadaanku dan meminta tolong kolega untuk membantu mencarikan rewang.
I did it many times dan everytime of it, aku selalu merasa tak kuat menahan
air mataku. Ketika itu emosiku juga sedang kacau-kacanya karena lagi
jadi-jadinya didera perasaan bersalah meninggalkan Rauhia seharian di rumah. Keajaiban
pertamapun terjadi. Lewat sambungan telepon, umik mengabariku bahwa ada saudara
yang siap kuboyong ke Surabaya selama lima pekan. Umik percaya kompetensi dan
keterampilan orang tersebut sehingga aku ikutan percaya meski belum mengenalnya
dengan baik dan hanya pernah bertemu beberapa kali.
Rewang
sudah checlisted. Selanjutnya adalah tempat kost. Menurut Bu Lely,
Aida dan beberapa informan lain, larangan membawa anak ke BDK berarti larangan
membawa anak turut serta bubu dan tinggal di BDK. Alternatifnya, jika mau
membawa anak, maka anak bisa dikoskan di sekitar BDK dan sang ibu bisa
mengunjungi kost setiap kali ada waktu selo. Menyadari bahwa persoalan
ini juga tak kalah penting,
aku memutuskan untuk survey lokasi ke BDK sebelum hari H keberangkatan. Bersama
Rauhia, suami dan seorang teman yang tak mintai tolong jadi sopir. Perjalanan
ke Surabaya tersebut sekaligus menjadi momen pertama membawa Rauhia jalan jauh.
She is fine, tidak mabok dan relatif tidak rewel.
Mumpung
bawa kendaraan pribadi (maksudnya bukan kendaraan umum), akupun membawa
sebagian barang yang sudah tak catat pas obrolan dengan Bu Lely. Bayangannya
sampai TKP akan cari kos, bayar DP, lalu naruh barang di situ agar ketika
berangkat pas D-day, barang yang dibawa tidak teralu bejibun. Jadilah
menjelang siang, kami berangkat dari Pamekasan dan sampai TKP menjelang maghrib.
Nyaris tak ada hambatan berarti sepanjang jalan kecuali dua titik macet di
pasar tumpah Mbangkalan sama kejebak arus pulang kerja ketika baru masuk
Surabaya. Eh hari itu Sabtu sepertinya, berarti arus berangkat satnite-an.
***
Sesampainya di BDK,
kami disambut ramah bapak-bapak Satpam. Aku sudah lupa namanya tapi aku masih
ingat wajah dan posturnya plus tidak akan lupa ceritanya. FYI kami
memang sengaja mengunjungi BDK terlebih dahulu sebab menurut CP BDK, ada
baiknya kami minta tolong Satpam untuk mencarikan kos. Singkatnya begini;
begitu kututurkan bahwa keperluanku adalah mencari kos karena aku akan membawa
anak bayi, si satpam malah mengatakan bahwa panitia menyediakan kamar khusus
untuk peserta yang membawa bayi. Karena keterangannya berbeda dengan informasi
yang kuterima, aku memastikan kebenarannya. Ia bertanya pada rekannya dan si
rekan justru menunjukkan lembaran berisi list kamar dengan kolom nama
peserta yang masih kosong serta keterangan yang menunjukkan adanya kamar khusus
untuk ibu yang membawa bayi.
Apakah sampai di situ
saja? Tentu tidak. Aku bahkan diberi kesempatan memindah barang bawaan di mobil
ke kamar yang dibilang sebagai kamar khusus ibu yang membawa bayi tersebut.
Bapaknya memberiku kunci E10, mengantarkanku ke situ dan membukakan pintu. Aku
memindah barang-barang sambil tak henti bersyukur dalam hati meski masih ada
sedikit pertanyaan mengapa ada yang kres antara edaran resmi dengan
keadaan di lapangan. Well tapi aku sudah merasa sedikit lega dan beban
di kepala terasa tak seberat sebelumnya. Bukan cuma soal uang yang tak anggarin
buat kos kemudian bisa tak alihkan ke yang lain, tapi yang lebih penting juga
jarak antara aku dan Rauhia yang tak harus berjauhan. Sebelum pulang dan
pamitan, aku sempat poto2 lalu mengabari beberapa orang perihal kabar baik
tersebut.
***
Hari pertama Latsar,
karena jadwal acara pertama masih jam 11 siang, aku dan kedua temanku berangkat
pagi dari Madura. Dari rumah, aku diantar dengan banyak sekali barang bawaan
(persis dengan orang pindahan kos) bersama Rauhia dan mbak Nur,
rewang yang secara hubungan saudara masih kemenakanku. Di kampus, aku
janjian dengan Mas Oji, teman angkatan yang juga akan ikut Latsar serta Mas
Usman, kakak angkatan yang kami pinjam mobilnya sekalian minta tolong ybs untuk
mengantarkan kami ke BDK. Dibandingkan bawaanku yang masyaAllah banyak banget,
Mas Oji hanya membawa satu kopor yang relatif tidak besar. Kamipun basa-basi
sebentar, lalu suami pulang duluan sebelum aku berangkat sementara Mas Usman
dan Mas Oji masih mengondisikan beberapa hal.
Tiga yang lain ke mana?
Mba Ria berangkat dari Jogja, Mas Kudrat dianter oleh mertua dan keluara
besarnya (konon karena satu-satunya mantu yang PNS haha) dan Mas Umam
nunggu kami di Sampang kota, rumahnya. Sepanjang perjalanan, meski banyak
tertawa dan bercanda, perasaanku tak nyaman luar biasa. Berbagai hal yang tak
pikirin silih berganti di pandangan, bagaimana jika, bagaimana jika,
bagaimana jika dan seterusnya. Rauhia seperti biasa masih relatif
kooperatif. Aku berharap dia akan tetap sehat dan bertumbuh dengan baik meski
harus menghabiskan banyak waktu dengan orang baru di tempat dan suasana yang
juga baru.
Kami sampai di BDK dan
buru-buru menyelesaikan persoalan administrasi karena ternyata acara dimajukan.
Aku sempat pindah kamar ke E9 karena E10 ternyata sudah penuh dan tidak ada space
tempat tidur untuk mbak Nur. Kutinggalkan Rauhia, mb Nur dan barang2 yang sudah dipindah
dari mobil ke situ lalu bergegas ke lokasi acara di lantai 2. Selain seremonial
pembukaan dan teleconference, ada juga acara ramah tamah dialog yang sialnya sempat nyrempet
soal membawa anak ke BDK (pertanyaan awalnya kalau tidak salah adalah soal ibu
menyusui; penyewaan freezer dan lain
sebagainya).
Yang disampaikan Kasi Diklat ketika itu, Pak Muslimin, sama dengan yang ada di
sebaran; boleh bawa anak tapi harus tinggal di kos. Di situ aku down dan
bingung harus mencari kepastian ke mana; lebih tepatnya bingung harus mencari
siapa untuk bisa membela posisiku.
Setelah acara
seremonial itu, aku sempat mengungkapkan kegundahanku pada Mahfud, teman satu korp
yang tak kuduga juga ada di situ. Kami sepakat untuk mendiamkan persoalan ini
tapi aku tak bisa sesantai itu; aku masih kuatir akan ada hal tak diinginkan di
depan mata. Aku pribadi bukan tak terbiasa dengen kejutan-kejutan dalam hidup
mulai dari yang tak diinginkan hingga yang kedatangannya sama sekali
mengejutkan, tapi persoalannya jadi berbeda karena ini bersangkut paut dengan
Rauhia. Dari kegundahan itu, entah kenapa kakiku melangkah menuju meja
resepsionis, sebab aku merasa ibu yang menjaga meja itu lalu tanpa beban
memberiku kunci kamar lain paham posisiku. Barangkali karena dia juga ibu-ibu, seperti yang
belakangan diceritakannya padaku.
Terlebih ia juga memegang kertas list kamar yang kemarin sempat
ditunjukkan Pak Satpam di kunjunganku yang pertama.
Aku menceritakan
singkat apa yang aku dengar barusan, termasuk kronologi aku datang ke BDK
pertama kali lalu diberitahu bahwa blablabla. Ibunya ramah sekaligus
menenangkan, ia mengadukan persoalanku pada Bapak Kasi duh aku lupa. Aku
juga masih inget wajah dan postur si bapak, meski lupa namanya dan tentu saja
aku masih sangat ingat apa yang dikatakannya. Kurang lebih, menurutnya, aku
bisa menempati kamar khusus ibu yang membawa bayi. Tidak ada masalah. Aku lega
nyaris 90% karena apa yang disampaikannya sekaligus menjadi tanda ‘sah’
berpindahtangannya kunci E9 padaku. Barangkali si bapak adalah salah satu
atasan sehingga keputusannya bisa sekaligus menjadi instruksi bagi si ibu-ibu
resepsionis untuk mencatat namaku di list-nya sebagai penghuni E9.
***
Sementara
itu, kami bertiga menempati kamar E9 tanpa peserta lain. Serasa kamar kos
sendiri. Meski begitu, Rauhia tampak sangat tidak nyaman dengan suasana asing
nan baru itu. Apalagi dia harus mandi air dingin. Aku ingat sekali pertama kali
mandi di situ, Rauhia nangis jerit2 kedinginan. Aku pribadi tak sempat ada space
untuk sekadar mengukur apakah aku betah atau tidak. Pikiranku lebih fokus
pada bagaimana Rauhia menjalani hari-hari asingnya di tempat baru. Ketika
malam, ia cukup sering bangun dan tangisnya lebih sering terdengar dibanding
biasanya. Tetangga kamar sempat menanyakanku soal ini dan aku masih berharap
keadaan akan membaik; Rauhia akan semakin betah dan tidak menangis sesering
itu.
Esok
harinya, 1 Mei, Mayday, kegiatan mulai padat.
Pagi kami sarapan lalu apel, abis itu dapat materi sampai jam istirahat sekitar
jam 12 siang. Materi pertama yang kami dapatkan adalah semacam perkenalan, aku
lupa nama persisnya apa. Fasilitatornya Ibu Fika yang belakangan menjadi mentor-ku
untuk laporan aktualisasi. Setelah makan siang, kami kembali ke kamar
masing-masing untuk semacam Ishoma (ma-nya mungkin mandi atau
main2 hape). Aku pulang ke kamar E9 dan bermain seadanya dengan Rauhia.
Ketika itu Rauhia baru belajar berjalan dan tingkahnya belum semerepotkan
sekarang. Lumayan lama di situ, ternyata ada ketokan pintu yang lumayan keras
hingga perasaanku seketika berubah
tak nyaman kembali. Aku seperti mulai memanggil semua kekhawatiranku datang dan
menyerbu.
Dengan
masih menggendong Rauhia, aku membuka pintu. Kudapati sosok seorang bapak2 di
sana yang raut wajahnya jauh dari ramah. Ia memintaku segera membawa Rauhia dan
mbak Nur keluar dari BDK karena menurutnya, membawa anak ke BDK tidaklah
dibenarkan. Mendengar itu, aku coba menguasai emosiku agar bisa berargumen dan
negosiasi sebisanya. Aku ceritakan kronologi yang kualami dari awal termasuk
kunci kamar yang diberikan padaku atas keputusan bapak2 setelah ia di-tembung
oleh ibu-ibu resepsionis. Sayangnya, si bapak jauh dari empati, bahkan simpatipun
tidak. Boro-boro mendengar penjelasanku sampai selesai, ia malah
memintaku segera membawa anak dan rewang-ku keluar sore itu juga.
Wajahnya bengis sekali. Ia berlalu dari hadapanku dengan posisi masih
bergumam menyalahkanku yang menurutnya ‘tidak tahu aturan’.
Aku
panik bukan main dan masih mencoba mencari solusi yang win-win. Aku
datangi kantor BDK—masih dengan menggendong Rauhia—berharap di sana ada
bapak2/ibu2 yang akan peduli pada kondisiku dan tidak seenak itu menyuruhku
membawa anakku keluar; apalagi dengan adegan pengusiran bertenggat waktu yang
bagiku sangat tidak ramah sekali terhadap peserta berkebutuhan khusus. Sayang,
ketika itu, tidak semua karyawan masuk kantor. Seingatku hanya sedikit sekali
yang ngantor karena bertepatan dengan tanggal merah. Hanya ada
segelintir pegawai yang masuk dan sialnya, tak ada satupun yang memberiku
solusi selain membawa anak dan rewang-ku keluar BDK. Jangankan bertemu
dengan kepala BDK, bapak2 atasan lain juga tak kutemui di situ sehingga aku
merasa benar-benar berada di waktu dan tempat yang salah, seperti John Mc Clane
di film Die Hard.
Orang-orang
yang kutemui di kantor BDK siang itu, betapapun dengan ekspresi yang
berbeda-beda melihat air mataku yang mungkin sudah menggenang tapi tak tahan
sekuat mungkin untuk tidak jatuh, terlihat sangat tidak peka dengan kebutuhan
khusus sebagian kecil peserta Latsar. FYI di
situ bukan tak ada perempuan, dan rasanya dia juga seorang ibu, cuma mungkin
ybs kurang peka karena tak pernah mengalami kejadian serupa, terlalu strict pada aturan atau apalah alasan
lain.
Rasanya aku benar-benar menjadi bagian dari minoritas ketika itu dan yang
kurasakan persis seperti narasi-narasi yang kerap aku baca. Aku beneran mengalami
betapa
kaidah ‘aturannya sudah seperti itu’ seringkali menjadi senjata ampuh untuk
menyelesaikan negosiasi tanpa mau melihat apakah aturan itu masih relevan atau
tidak dengan semua lapisan stakeholder.
Aku
patah arang. Kuciumi Rauhia berkali-kali, berharap ada kekuatan dan energi
positif dari dia yang belum sama sekali mengerti apa yang terjadi; meski
mungkin ia merekam percakapan-percakapan saat aku seolah-olah mencari
keadilan.
Aku tahan air mataku agar tak jatuh dan kubawa kembali ia ke kamar; aku
berganti pakaian lalu bersiap ke kelas selanjutnya. Ketika aku datang, kelas
sudah dimulai dan ternyata aku telat cukup lama karena tadi saat kuputuskan
untuk segera ke kantor BDK, aku tak melihat jam dan terlalu gupuh untuk
berpikir normal. Aku mendengarkan diskusi di kelas dan tanpa malu mengacungkan
tangan untuk bertanya ketika sesi pertanyaan; padahal aku baru datang dan duduk
di situ tak kurang dari 10 menit.
Terbata-bata,
aku mulai pertanyaanku dengan isu kebutuhan khusus ibu dan anak yang
sempat ditampilkan di salah satu slide meski aku tak tahu pasti
maksudnya apa. Aku bahkan, saat itu, tak tahu materinay apa. Saat itu fasilitatornya
Pak Islam, bapak2 murah senyum yang baik hati. Aku lalu mulai menceritakan apa
yang kualami dan tangisku pecah di situ; hari pertama di kelas kedua aku sudah
mewarnai kelas dengan curhatan ala ibu-ibu yang berasa tak berdaya di hadapan
sistem yang menurutnya tak ramah anak dan ibu menyusui. Kelas hening, semua
mendengarkan ucapanku dengan isak tangis di sela-selanya. Aku menyampaikan
semua yang ada di pikiranku perihal kronologi, pemberitahuan mendadak yang
sangat tidak ramah dan menguatkan posisi bahwa aku bertindak tidak atas inisiatifku
sendiri, tapi dari berbagai idzin dan prosedur yang menurutku masuk akal.
Pak
Islam, setelah aku selesai berbicara, mengambil alih pembicaraan dan mencoba
meredam emosiku, meski yang disampaikannya tak jauh berbeda dengan yang aku
dengar tadi. Bedanya, ia memberiku solusi; nanti saya minta tolong Satpam untuk
bantu carikan kos. Aku sedikit lega meski masalah belum teratasi. Minimal,
pikirku saat itu, ada orang yang bersimpati pada yang kualami dan di hari itu,
di tempat itu, masih ada pejabat yang tidak seenaknya sendiri memperlakukan stakeholder
tanpa mau mendengarkan penjelasan yang bersangkutan. Setelah selesai
kelas Pak Islam, aku kemudian mencari kos bersama Rauhia, mb Nur, dan salah satu bapak2 satpam yang, maaf, aku lupa lagi
namanya, tapi wajahnya yang menenangkan masih sangat aku ingat; termasuk ketika
ia berjanji akan meminjamkan kipas angin di pos Satpam padaku jika aku jadi kos
di tempat yang tak menyediakan fasilitas kipas angin.
Aku berjalan
kaki menyusuri area perumakan sekitar BDK untuk mendapatkan tempat yang
representatif. Ini penting karena sekali lagi, aku tengah menyiapkan tempat
untuk anak bayiku, bukan untukku sendiri. Kosku terakhir di Jogja, 2015 lalu,
adalah kos murah dengan biaya sewa 1.5 juta/tahun dengan fasilitas yang
sebenarnya tidak jelek-jelek amat. Tapi tentu keadaannya berbeda dengan kos
bulanan, di Surabaya dan pada tahun 2018. Di tengah-tengah proses mencari kos
itu, aku banyak teringat dengan petualangan mencari kos di Jogja meski pada
akhirnya aku kembali pada apa yang kuhadapi ketika itu; ternyata aku berpikir
terlalu jauh soal komitmen dan kesiapan pemerintah untuk meningkatkan kepekaan terhadap
warga dengan kebutuhan khusus melalui pemerataan infrastruktur yang ramah
difabel, ibu hamil dan menyusui serta anak kecil. Ternyata aku terlalu mudah
menganggap apa-apa yang aku idealkan dalam bacaan-bacaan terkait akan dengan
mudahnya terealisasi. In fact, perubahan ke arah situ belum benar-benar terasa,
setidaknya bagiku. Jadi ingat toilet khusus ibu dan bayi di tempat-tempat umum
di Australia; dan versi lainnya di bandara Soetta 2016 lalu.
Meski
masalah belum terurai karena aku merasa belum menemukan tempat kos yang layak
anak dari segi lingkungan, fasilitas dan semuanya, aku merasa senang dan
terkuatkan oleh orang2 sekitar yang mensupport-ku lahir batin. Sore
setelah mencari kos, teman-teman Serangkul datang berkunjung. FYI di antara
mereka berempat, hanya Mas Umam yang sekelas denganku sehingga dia sendirilah
yang secara langsung mendengar curcolanku. Sementara itu tiga lainnya di kelas
sebelah dan barangkali baru mendengar belakangan. Bertemu mereka orang2 yang
dua bulan belakangan
mengisi hari-hariku, mendadak ketegaranku tumbang lagi; seperti ingin wadul atas
semua yang terjadi. Mereka menguatkanku dan meyakinkan bahwa semuanya baik-baik
saja; mereka akan available kapanpun aku membutuhkan bantuan dan aku tak
sendiri menghadapi itu semua. Ada juga mba Ririn dan mba Citra
dari IAIN Kediri, yang juga sekelas denganku dan secara khusus berkunjung ke
kamarku untuk memberi support mental. Sungguh aku merasa masih sangat
beruntung setelah sekian ketidakberesan yang kualami.
Tak
selesai di situ. Malamnya, tetangga kamarku, mba Nurul yang sedang hamil
anak kedua, menemaniku mencari kos. Ketika itu ia disambangi suami dan anak
pertamanya lalu aku nebeng mobilnya untuk mencari kos di sekitar BDK.
Karena sudah tidak pakai sikil,
jangkauan kami lebih banyak meski aku mengkhawatirkan jarak yang harus aku
tempuh setiap akan mengunjungi Rauhia. Suami mba Nurul, aku lupa nama
tapi masih ingat wajahnya, juga luar biasa baik mau direpotkan oleh kenalan
atau teman baru istrinya yang sama sekali belum pernah bertemu. Kami
mengunjungi 3 atau 4 tempat untuk di-survey dan masnya lah yang turun,
bertemu resepsionis dan menanyakan harga. Aku dan mba Nurul serta anak
masing-masing, Rauhia dan Zizi, menunggu di mobil sambil ngobrol2. Masya
Allah aku tak tahu bagaimana menggambarkan betapa bahagia dan
bersyukurnya
aku saat itu. Di tempat terakhir, setelah masnya turun dan menanyakan harga
lalu kami menemukan semacam titik terang, aku dan mba Nurul ikutan turun
dan melihat kondisi kamar. Harganya relatif murah, tempat sangat dekat dengan
BDK dan fasilitas lumayan.
Jadilah
akhirnya, 90% diputuskan aku akan menyewa kamar kos dengan harga termurah di
semacam guesthouse itu. Malam itu aku bisa tidur cukup nyenyak tanpa
ancaman extradition, kata Dominic Toretto. Aku sengaja tidak terlalu
mempersoalkan tenggat waktu yang diberi si bapak bengis tadi, sebab aku tak ingin sembarangan menyewakan kamar untuk
Rauhia jika tidak benar-benar layak untuknya.
Selain nama-nama yang kusebut tadi, salah seorang teman, namanya Fajar
dari UIN Malang, juga sempat menanyakan perihal kasus yang tengah aku alami di
sela-sela nunggu jam makan malam. Kepedulian, bantuan fisik hingga non-fisik,
simpati dan empati dari teman-teman begitu berarti buatku ketika itu.
Setidaknya, kalaupun aku sudah terlanjur kecewa dengan sistem dan aturan yang saklek
dan tak ramah, aku masih diuntungkan dengan guyub-nya orang-orang di
sekitarku; one thing yang mungkin ga bisa dengan mudah aku temui di
tempat lain. Perkara ada orang lain yang memandangku berlebihan atau anggapan buruk lainnya, alhamdulillah
aku tidak diberi akses untuk mengetahui hal tersebut. Itu juga bukan
urusanku.
Esok
sorenya, setelah semalam nebeng mobilnya mb Nurul yang platnya M
dan kalau digabung dengan angka dan huruf di belakangnnya jadi kebaca Mesir,
aku dibantu teman-teman Serangkul pindahan ke kos sebelah dengan nebeng mobil
mb Dian. Mb Dian adalah penghuni lain kamar sebelah yang juga
tengah hamil tua dan siap siaga kalau sewaktu-waktu dia kontraksi dan mau
lahiran. Mobil merah miliknya
sudah terparkir di depan E10 sejak hari pertama Latsar. Aku juga ingat bahwa
sebelumnya, saat bingung-bingungnya mencari suaka, mb Dian pernah
menawariku kos-nya yang meski cukup jauh dari BDK, layak untuk dihuni
Rauhia barang semalam dua malam. Nyaris tiada yang lebih membahagiakan
dibanding dukungan dari banyak orang di tempat yang sama sekali baru. Sebelum
ke kos, kami belanja keperluan dulu mumpung lagi idzin. Mas Kudrat yang
nyopiri, mb Ria ikut, aku mb Nur dan Rauhia. Sementara Mas Oji
dan Mas Umam nunggu di BDK dan akan segera available begitu kami selesai
belanja dan akan menggotong barang2 dari mobil. FYI mereka berdua juga ikut
membantu pindahin barang dari kamar E9 ke mobil.
***
Pindahanpun
selesai. Kamar Rauhia cukup layak dan ramah anak. Spring bed besar, KM
mandi dalam dengan heater, TV dan AC. Ada ruang tamu bersama yang cukup
lebar, dapur, kulkas, freezer serta tempat jemuran umum. Meski harus
menghabiskan nyaris uang gaji dalam
sebulan, itu tak menjadi masalah besar. Toh aku makan enak di BDK 3 kali
sehari, coffee break 2 kali sehari dan beberapa kebutuhan
dasar sudah terbeli. Aku merasa keadaan mulai membaik dan ramah padaku, meski
aku masih harus menghuni kamar E9 seorang diri LITERALLY. Again, itu
seperti tak menjadi masalah berarti mengingat Rauhia sudah jauh lebih nyaman
dan kooperatif. Ancaman si bapak bengis untuk segera memindahkanku ke
kamar reguler bersama dengan teman-teman lain tak terbukti, persis
seperti yang aku perkirakan. Rasa lelah dan kantuk setelah seharian
beraktivitas mempermudahku untuk segera terlelap tanpa berpikir terlalu banyak
perihal beberapa hal di tengah suasana sunyi sendirian semacam itu. 1 kamar
besar dengan 4 tempat tidur, satu kamar mandi, lemari, meja dan kursi dengan
satu orang penghuni yang keadaan emosinya belum sepenuhnya stabil.
Keajaiban
dan pertolongan Tuhan kembali terjadi. Tak berapa lama dari itu, mb Citra
yang pernah menyambangiku setelah tragedi extradition yang sangat
traumatik kemudian pindah kamar dan sekamar denganku. Ia ketahuan hamil anak
ketiga dan untuk memastikan semuanya baik-baik saja, dia pindah ke kamar E9
yang posisinya di lantai1 sehingga tidak perlu terlalu sering naik turun
tangga. Jadilah aku tak sendiri lagi. Ada teman ngobrol dan diskusi, meski
memang mb Citra sering tak tinggal sebab di luar jam kelas dan kegiatan
formal lain, aku pasti akan ngacir ke kos. FYI untuk bisa bolak-balik ke
kos Rauhia sesering mungkin dalam sehari, aku mengurus surat idzin khusus ke
Kasi Diklat. Tajuknya, kalau tidak salah, adalah surat idzin menyusui. Di situ
terdata beberapa jam kunjungan di mana aku bisa bebas keluar tanpa harus idzin
ke Satpam seperti biasa. Aku kemudian
menunjukkan surat itu ke Satpam sehingga ketika akan keluar dan masuk BDK, aku
tinggal pasang senyum saja.
Meski
sudah mendaftar kurang lebih 4
jam kunjungan (pagi sebelum apel, siang jam istirahat, sore setelah kelas dan
setelah isya atau tarawih, seingatku), ada beberapa kejadian tak terduga.
Misalnya adalah saat Rauhia tak bisa dikondisikan tengah malam dan aku harus
keluar BDK dini hari itu juga untuk menenangkan Rauhia. Atau ketika aku
ketiduran di kos dan malam sudah sangat larut, sehingga sering tak putuskan
untuk nginap saja. Awalnya aku backstreet aja tapi lama-lama akhirnya
ketahuan. Aku jelaskanlah keadaan seapada adanya mungkin pada pihak-pihak
terkait, Kasi Diklat yang memberiku idzin serta bapak-bapak Satpam yang
siaganya melebihi McD, 24/7. Akhirnya disepakati bahwa pedoman yang dipakai
adalah ‘tidak dengan sengaja’ keluar di jam-jam yang tak tertera di surat
idzin. Fair enough. Saking
seringnya bolak-balik BDK-kos, aku belakangan lebih suka mandi di kos karena
ada fasilitas air hangatnya. Setting KM
kos juga memungkinkan Rauhia untuk mandi gaya baru, yakni tidak duduk atau berbaring
di atas lincak. Ia bisa berdiri
berpegangan kemudian diguyur air hangat. Berkat informasi Bu Lely untuk membawa
cebok dan ember kecil, kami bertiga
terselamatkan dari cultural shock dalam
kamar mandi yang tak menyediakan cebok apalagi
bak mandi.
Hal
lain yang berbeda dari kamar kos Rauhia—dibanding kamarnya di rumah—adalah
keberadaan TV serta AC. Keluhan Rauhia bangun malam atau dini hari karena
kepanasan jadi nyaris tak pernah terjadi karena AC siaga all the time. Keberadaan TV juga sangat membantu mengalihkan
perhatiannya ketika aku harus mengendap keluar kamar saat akan ngacir ke BDK. Untukku pribadi, kamar
Rauhia juga sangat menyenangkan karnea ada sambungan waifai. Di BDK, waifai hanya
menjangkau ruang kelas dan tidak sampai ke kamar. Lain dari itu, yang lebih
penting, mb Nur sangat siaga dengan
segala kebutuhan Rauhia. Mulai dari makan, diajak main, dikeloni tidur, diajak
jalan, digendong dan remeh-temeh lain. Selain seorang ibu dengan dua anak yang
sudah beranjak dewasa, dari sono-nya mb Nur memang telaten dan sayang anak
kecil. Ia rutin mengajari Rauhia berjalan dan setiap coffee break pertama, ia membawa Rauhia ke BDK untuk kususui. Jadi,
hitung-hitungannya, dibandingkan hari-hari kerja biasa, Rauhia sebenarnya lebih
intens menyusui selama kami di BDK.
Dari
sekian banyak hal itu, aku merasa keadaan benar-benar semakin membaik. Di kamar
BDK, aku banyak mendapatkan obrolan bernas dengan mb Citra. Aku juga bisa sedikit membantunya melewati masa-masa morning sickness dengan membawakannya
makanan atau cemilan saat yang bersangkutan sedang tidak dalam kondisi sehat
dan memungkinkan beraktivitas terlalu berat. Sementara itu di kelas, suasana
tak kalah menyennagkan; keakraban yang perlahan mulai terjalin, keseruan saat
diskusi dan presentasi, tugas-tugas di lapangan maupun di kelas dan banyak lagi
yang pada akhirnya membuatku merasa, masio
5 pekan adalah waktu yang lama, terasanya tetap seru dan memorable. Kami tak hanya ‘dimanjakan’
oleh fasilitas di BDK, mulai dari layanan kesehatan gratis hingga konsumsi yang—meski
didominasi sayur kuah—turah-turah, tapi juga dibikin enjoyable dengan jadwal tentatif monoton dengan sedikit variasi di
antaranya; wiken boleh pulang, Stula dua kali, materi bela Negara dari Kodim
Brawijaya, obrolan di luar kelas, rujakan, keroyokan oleh-oleh dari yang baru pulang, olahraga Jumat pagi, hingga benih-benih cinta lokasi.
***
Soal extradition yang kualami sempat aku
ceritakan pada Kepala BDK, Pak Thaha yang kalau kasih ceramah/amanah apel
benar-benar mengaduk-aduk emosi kami para pendengarnya. Momentumnya-pun tak
terencana; malam itu aku baru pulang dari kos dan mendapati Pak Thaha sedang
berjalan santai sambil melihat suasana BDK. Kalau aku tak salah ingat, ia
menginap di BDK malam itu setelah paginya ada kejadian bom bunuh diri di tiga
titik di Surabaya. Ia menegurku yang pulang malam tergesa lalu kuceritakan
semua yang kualami. Bagusnya Pak Thaha, ia nyaris tak berkomentar apapun tapi
ia mampu membuatku menumpahkan segala hal yang aku ingin utarakan. Otomatis,
dia juga tak menyalahkan siapa-siapa. Ia cukup mendengar semua yang tak sampaikan
tanpa ada kesan kalau dia melewatkan apa-apa yang kusampaikan atau tidak
memerhatikan. Minimal, setidaknya menurutku, yang juga kusampaikan implisit padanya,
jika kebijakan soal larangan membawa anak ini belum bisa ditinjau ulang,
setidaknya tidak ada kasus yang sama atau lebih buruk seperti yang kualami.
Sampai
tulisan ini akan aku akhiri, aku belum tau pasti mengapa sempat ada
miskomunikasi yang sesistematis seperti yang kualami. Ibu-ibu resepsionis yang
tetap ramah padaku, belakangan, sempat mengatakan bahwa aku dikenakan kebijakan
yang berbeda dari yang diinformasikan sejak awal (kebolehan membawa anak ke
kamar khusus) untuk menghindari kecemburuan sosial di antara busui-busui lain
yang tidak mendapatkan informasi ini sejak awal (should I be victimized then?). Sementara itu, sehari setelah kasus
pengusiran anak dan rewang-ku, ketika
apel (pagi sebelum sorenya aku pindah kos), pembina apel mengatakan dalam
amanahnya bahwa alasan mengapa membawa anak tidak diperbolehkan adalah karena
kekhawatiran BDK dianggap day care atau
yang semacamnya (segitu amat ya, mikirnya?)
Padahal,
sepembacaanku, masalah ini sebenarnya masih furu’iyyah
sebab suatu ketika, dalam adegan buru-buru balik BDK juga sepulangnya dari
kos, seorang bapak-bapak (dia juga pejabat, Kasi Rumah Tangga kalau tidak salah
gt nomenklaturnya) menanyaiku; baru dari mana dan lain sebagainya. Setelah kuceritakan
kejadian yang kualami, dia menyayangkan mengapa alurnya harus demikian.
Menurutnya, anak dan rewang-ku
sebenarnya bisa tinggal di BDK, toh banyak kamar nganggur, dengan membayar biaya khusus. Keterangannya jauh berbalik
dengan alasan bapak bengis yang
mengusir anak dan rewang-ku dengan
mengatakan bahwa alasannya adalah karena BDK mau kedatangan banyak peserta dan
kekurangan kamar. Saat itu, sayangnya, Rauhia dan mb Nur sudah nyaman tinggal di kos dan akupun sudah membayar biaya
kos untuk sebulan. Meski demikian, setidaknya, aku menyimpulkan, bahwa tidak
semua pejabat di BDK tidak peka. Beberapa di antaranya masih ada yang sangat sensitif
terhadap kebutuhan seluruh peserta dengan berbagai ragamnya, tidak strict terhadap aturan jika sudah
jelas-jelas tidak relevan dan tidak suka membikin persoalan yang sederhana jadi
ribet dengan bumbu ini dan itu di
sana-sini.
Dan
yang terakhir, yang mungkin juga terpenting, aku demikian bersyukur sebab
dengan alur yang awalnya banyak suspense itu,
aku berhasil menyelesaikan masa pendidikan di Latsar. Dibanding nakal dan
bolosnya, aku lebih banyak muthi’ dan
disiplinnya hehe. Meski tidak rutin
jemaat di masjid dan tarawih langganan
ambil yang paket cepat 8 raka’at, aku
baru bolos sekali untuk apel (kalau telat pernah beberapa kali) dan tidak
pernah bolos kelas. Laporan Stula 1, 2, rancangan serta laporan aktualisasi aku
tulis dengan sedikit sekali copy paste. Aku
benar-benar starting from the sketch dan
meskipun aku harus mengubah nyaris semua rancangan aktualisasi, selalu gugup
saat presentasi tapi diuntungkan karena jadi anak asuhnya Bu Fika, nilai yang
tertera di sertifikat kelulusanku cukup memuaskan; yah bagiku, di balik semua
drama, itu adalah capaian! Bonusnya lagi, aku dengan tim di Latsar 1 dan 2
lolos ke panel AICIS 2018 di Palu. What
could be more lesson learned than those!
Pamekasan, 18-19 Agustus 2019